Tuesday 7 December 2010

Dinasti Kuru


Pengasingan sementara leluhur Dinasti Kuru

Pangeran dari Dinasti Bharata bernama Riksa yang lebih tua daripada Jala dan Rupina menjadi raja dan memiliki putera bernama Sambarana, penerus tahta kerajaan. Dikisahkan ketika Sambarana berkuasa, banyak penduduk yang meninggal karena kelaparan, penyakit pes, kekeringan, dan wabah.

Pada saat, Kuru belum lahir, kerajaan yang dipimpin Sambrana, ayahnya, mendapat serbuan dari Kerajaan Panchala. Dalam keadaan tersebut, para Ksatria Dinasti Bharata terpukul mundur oleh tentara musuh. Panchala dengan sepuluh Aksauhini berhasil mengalahkan dinasti Bharata. Sambarana bersama isteri, para menteri, dan kerabatnya, melarikan diri, dan menempati sebuah hutan di tepi sungai Sindhu. Tempat ini masuk dalam wilayah dari kaki pegunungan di sebelah barat.

Di dalam benteng yang dibangunnya, Raja Sambarana hidup selama seribu tahun (untuk jangka waktu yang lama) bersama Dewi Tapati (dewi yang tinggal di tepi sungai Tapati dan dikenal sebagai dewi sungai Tapati). Ia adalah putri raja Surya dengan Saranya. Tapati dinikahinya dengan pertolongan Wasista, pendeta para raja Dinasti Surya, yang datang mengunjungi tempat pengasingan tersebut. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Kuru yang menjadi cikal bakal Wangsa Kaurawa atau Dinasti Kuru

Asal mula Dinasti Kuru

Raja Kuru tersebut memiliki sifat kebaikan yang sangat tinggi, maka dari itu ia dilantik untuk mewarisi tahta kerajaan oleh rakyatnya. Namanya membuat dataran Kurujanggala (sebelah timur Haryana) menjadi masyur di seluruh dunia. 

Sejak kecil, Kuru dididik oleh seorang Maharesi (rohaniwan yang mendapat wahyu Tuhan) yang bernama Wasista. Pada usia sepuluh tahun, ia sudah dapat menguasai sastra, kitab suci, dan tugas-tugas sebagai seorang raja. Menurut kitab Wamanapurana, pada usia enam belas tahun, 

Kuru menikah dengan Sodamini, putri Raja Sudama. Setelah Sambarana mangkat, Kuru, yang memang memiliki sifat kebaikan yang tinggi, diangkat dan dilantik untuk mewarisi tahta kerajaan menjadi raja dan membebaskan kerajaannya dari jajahan musuhnya. Namanya membuat dataran Kurujanggala (sebelah timur Haryana) menjadi masyur di seluruh dunia. 

Kuru memerintah kerajaannya dengan baik, adil dan bijaksana. Kerajaan Kuru terbentang di antara sungai Saraswati dan sungai Gangga. Untuk membuat keturunannya mengenangnya selamanya, Kuru memutuskan untuk melakukan perjalanan keliling dunia, demi mencari hal yang dapat membuat namanya mahsyur.

Pendiri Kurukshetra

Dalam perjalanannya menjelajahi bumi, sampailah Raja Kuru pada suatu tempat yang bernama Samantapancaka. Tempat itu merupakan salah satu dari lima sthāna (tempat duduk) Dewa Brahma. Dewa Brahma sebenarnya memiliki lima sthāna (tempat duduk) di lima penjuru bumi. Sthāna Beliau yang berada di utara adalah Samantapancaka. Di Samantapancaka terdapat sebuah kolam suci, dan disanalah Kuru mulai melakukan hal yang akan membuatnya termahsyur. 

Menurut kitab Wamanapurana, Setelah Kuru sampai ke tempat tersebut, ia melakukan tapa brata di sebuah tempat bernama Kurukshetra dan ia pun melihat kesuburan tanah di wilayah tersebut. Ia memutuskan untuk membajak wilayah tersebut dengan menggunakan bajak yang terbuat dari emas, dan ditarik oleh seekor sapi dan seekor kerbau

Tindakan Kuru ini disaksikan oleh Dewa Indra yang merasa heran dan membuat sang dewa penasaran, sehingga turun ke bumi untuk menanyakan tujuan Kuru melakukan hal tersebut. Kuru menjawab bahwa ia melakukannya agar mendapatkan pahala atas meditasi, tindak kebenaran, tindakan welas asih, pengampunan, kesucian, amal, dan semacamnya. Saat Dewa Indra menanyakan dimana benihnya, Kuru tidak menjawab tetapi terus bekerja membajak wilayah tersebut.

Setelah Dewa Indra pergi meninggalkan Kuru, Dewa Wisnu turun ke bumi untuk menanyakan hal yang sama kepada Kuru. Pada saat itu, Kuru baru mau menjawab dan mengatakan bahwa benih yang ditanyakan ada di dalam tubuhnya sendiri. 

Saat Wisnu meminta Kuru untuk mengeluarkan benihnya, Kuru merentangkan tangan kanannya. Kemudian Wisnu mengeluarkan senjata cakra untuk menyayat tangan Kuru menjadi ribuan potongan, yang kemudian menaburkannya ke tanah yang dibajak Kuru. Setelah itu, Kuru merentangkan tangan kirinya dan Wisnu pun melakukan hal yang sama. 

Lalu, Kuru menyerahkan kakinya, dan Wisnu pun memotongnya. Akhirnya saat Kuru menyerahkan kepalanya, Wisnu terkesan kepadanya.

Kemudian, Wisnu memberi dua anugerah pada Kuru. Pertama, wilayah yang telah dibajaknya menjadi wilayah yang suci, dimana upacara suci yang diselenggarakan disana akan berpahala berlipat ganda dan ramai dikunjungi sebagai tempat berziarah untuk mendapatkan pengampunan, dan dikenal sebagai Kurukshetra, untuk mengenang jasa Kuru, yang secara harfiah berarti "Wilayah Kuru", "Medan Kuru" atau "Daratan sang Kuru".

Kedua, Wisnu memberkati bahwa siapapun yang meninggal di wilayah tersebut, maka arwahnya akan segera mencapai surga. Ribuan tahun setelah Kurukshetra disucikan, perang saudara antara sesama keturunan Kuru terjadi di tempat itu. Tempat tersebut dipilih dengan harapan agar para Ksatria yang gugur segera mencapai surga, karena tanah di wilayah tersebut diberkati.

Wahini, istri Sang Kuru, melahirkan lima putera, yaitu Awikesit, Bhawisyanta, Citrarata, Muni dan Janamejaya-1. Awikesit berputera Parikesit-1, Sawalaswa, Adiraja (lihat: Kerajaan Karusha), Wiraja, Salmali, Uccaihsrawa, Bhanggakara dan Jitari yang kedelapan. Parikesit-1 memiliki putera-putera yang bernama Kaksasena, Ugrasena, Citrasena, Indrasena, Susena dan Bimasena. Putera dari Janamejaya-2 adalah Dretarastra-1 yang tertua, Pandu-1, Balhika-1, Nishadha , Jambunada, Kundodara, Padati, dan Wasati yang kedelapan.

No comments:

Post a Comment