Monday 19 March 2012

Bandung Lautan Api

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa pembakaran kota Bandung, di provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Saat itu sekitar 200.000 penduduk kota Bandung beserta para pejuang TRI, membakar rumah mereka, sambil meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Peristiwa ini berlangsung selama 7 jam. Akibatnya kota Bandung menjadi membara bagaikan lautan api. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

Latar Belakang


Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka nersikap sewenang-wenang dengan mengeluarkan ancaman dan menuntut agar semua senjata api, hasil lucutan dari tentara Jepang,  yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. 

Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Kota Bandung pun akhirnya dibagi dua menjadi bagian utara dan selatan yang dibatasi oleh rel kereta api.

Malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata, dengan alasan penjagaan keamanan. Ultimatum itu tidak dihiraukan oleh para pejuang. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari.

Setelah ultimatum pertama tidak dihiraukan, datang ultimatum kedua pada tanggal 23 Maret 1946. Isinya meminta segera mengosongkan seluruh kota Bandung. Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta waktu itu terpaksa menyetujui dan memerintahkan agar ultimatum kedua itu dipatuhi oleh masyarakat Bandung. Karena merasa berat hati untuk memenuhi ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota Bandung, mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. 


Para pejuang yang tergabung dalam TRI (Tentara Republik Indonesia), akhirnya meninggalkan kota Bandung menuju ke arah selatan, yakni ke Baleendah, Dayeuhkolot, soreang, dan daerah lain di sekitarnya. Sebelum meninggalkan kota Bandung, para pejuang Republik melancarkan serangan umum ke daerah kekuasaan sekutu di Bandung utara. 


Pada tanggal 24 Maret 1946, mereka membakari semua bangunan dan barang-barang yang ada di kota Bandung bagian selatan. Mereka tidak rela jika kota yang mereka cintai jatuh dan dikuasai sekutu secara utuh, lebih baik dibakar sampai habis daripada harus dikuasai musuh.

Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.

Selain tidak rela kota Bandung diserahkan ke[ada musuh, Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang, sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. 

Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga, ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.

Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.

Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.

Istilah Bandung Lautan Api

Istilah Bandung Lautan Api menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembumihangusan tersebut. Jenderal A.H Nasution adalah Jenderal TRI yang dalam pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, memutuskan strategi yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris tersebut.
"Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air." - A.H Nasution, 1 Mei 1997
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.

Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul "Bandoeng Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api".

No comments:

Post a Comment