Tuesday, 30 November 2010

Kutukan Sang Kacha


Pada jaman dahulu kala, sering terjadi peperangan yang panjang dan lama antara para dewa dengan para raksasa, untuk memperebutkan ke tiga dunia. Para dewata dipimpin oleh Resi Wrihaspati, yang sangat terkenal karena pengetahuannya yang dalam tentang kitab-kitab Weda, sedangkan para raksasa dipimpin oleh seorang resi yang sangat arif dan bijaksana, yaitu Mahaguru Sukracharya.

Wrihaspati dan Mahaguru Sukracharya sama-sama memiliki pengetahuan tentang ilmu perang yang sangat tinggi. Tetapi guru Sukracharya memiliki sedikit keunggulan karena ia memiliki ilmu gaib yang sangat mengerikan yaitu ajian Mritasanjibani. Ajian ini dapat dipergunakan untuk menghidupkan siapa saja yang sudah mati, meskipun orang tersebut sudah menjadi abu, sekalipun. Jadi, setiap ada raksasa yang mati dalam suatu pertempuran, Sukracharya dapat menghidupkannya kembali. Begitu berkali-kali, sehingga jumlah mereka tidak pernah berkurang, dan mereka dapat melanjutkan perang melawan para Dewata. Akibatnya, para Dewa selalu kalah, saat perang dengan para raksasa.

Akhirnya, para Dewata berunding mencari akal, bagaimana untuk dapat mengalahkan para raksasa. Diputuskanlah untuk menemui Kacha, putra Wrihaspati, dan meminta bantuannya. Mereka berharap Kacha bisa memikat hati Mahaguru Sukracharya dan membujuknya untuk menerimanya menjadi salah satu muridnya. Dengan menjadi muridnya, para Dewata berharap, Mahaguru Sukracharya mau menurunkan ilmu gaib ajian Mritasanjibani kepada Kacha, sehingga para Dewata tidak mengalami kekalahan terus menerus.

Dewa Parameswara pun menyuruh Sang Kacha mengabdi kepada Mahaguru Sukracharya agar dapat mewarisi ilmunya. Kacha menyanggupi permintaan itu dan kemudian pergi menghadap Mahaguru Sukracharya yang tinggal di istana Wrishaparwa, raja para raksasa

Sesampainya di hadapan Guru Sukracharya, Kacha memberi salam hormat, lalu berkata, “Hamba adalah cucu Resi Angiras dan anak Resi Wrihaspati. Hamba telah bersumpah untuk menjadi seorang brahmacharin dan ingin menuntut ilmu dibawah asuhan Yang Mulia Mahaguru Sukracharya.”

Sesuai adat, seorang guru yang bijaksana, ia tidak boleh menolak murid yang ingin berguru kepadanya. Maka, Mahaguru Sukracharya berkata, “Kacha, engkau adalah keturunan keluarga baik-baik. Aku sungguh tersanjung, jika engkau mau berguru kepadaku, Aku terima keinginanmu untuk menjadi muridku. Dan ingatlah, aku terima keinginanmu karena aku ingin menunjukkan rasa hormatku pada orang tuamu, Resi Wrihaspati dan kakekmu, Resi Angiras.

Demikianlah, sejak saat itu Kacha menjadi murid Mahaguru Sukracharya. Semua tugas kewajiban yang diberikan Mahaguru Sukracharya dilakukannya dengan sungguh-sungguh. Salah satu tugasnya adalah menghibur Dewayani, anak Mahaguru Sukracharya. Ia adalah putri, Mahaguru Sukracharya, satu-satunya, sehingga tidaklah mengherankan jika kasih sayangnya tercurah sepenuhnya kepada Dewayani. Semua keinginanya selalu dipenuhinya.

Sang Kacha juga sangat setia kepada Mahaguru Sukracharya. Ia hidup berdampingan dengan Dewayani dan Guru Sukracharya. Kacha ditugaskan untuk menghiburnya dengan menyanyi, menari dan mengajaknya bermain. Lama kelamaan, Kacha pun tertarik kepada Dewayani. Tetapi karena ia telah bersumpah untuk menjadi brahmacharin, dimana hidupnya sudah sepenuhnya diperuntukkan untuk mengabdi dan belajar agama, di bawah bimbingan seorang guru dan mengamalkan segala kebajikan hidup tanpa menikah. Ia menahan diri dan berusaha keras untuk tidak melanggar sumpahnya.

Sementara itu, ketika para raksasa mengetahui bahwa guru mereka mengambil seorang murid, anak Wrihaspati, mereka menjadi cemas dan curiga. Jangan-jangan Kacha mempunyai niat buruk dan tidak benar-benar ingin berguru. Jangan-jangan ia hanya ingin membujuk Mahaguru Sukracharya untuk mendapatkan rahasia ilmu gaib, ajian Mritasanjibani. Hal tersebut membuat iri para Detya, murid-murid Guru Sukracharya. Karena itu, mereka berunding dan berusaha untuk melenyapkan Kacha.

Pada suatu hari, seperti biasa, Kacha menggembalakan sapi-sapi milik Mahaguru Sukracharya ke padang rumput. Tiba-tiba datanglah beberapa raksasa, mereka menyergapnya dan kemudian membunuhnya. Mayat Kacha dicincang-cincang dan dibiarkan menjadi makanan serigala.

Sore hari ketika tiba saatnya sapi-sapi ini pulang ke kandang, Dewayani tidak melihat Kacha menyertai sapi-sapinya. Ia menjadi cemas dan segera memberi tahu ayahnya tentang hal itu. Sambil menangis tersedu-sedu, Dewayani mengatakan, ” Ayah ... , matahari sudah terbenam dan api pedupaan untuk pemujaan malam ayah, juga sudah dinyalakan, tetapi Kacha belum juga pulang. Sapi-sapi pun sudah kembali ke kandang. aku khawatir kalau-kalau ada hal buruk yang menimpa Kacha. Tolonglah dia, ayah. aku sangat mencintainya dan tidak dapat hidup tanpa dia."

”Apa yang kau inginkan, akan ayah lakukan, anakku?” kata Sang Guru Sukracharya.

”Carilah dia, ayah! Aku takut ada hal-hal buruk yang menimpa Sang Kacha. Ayah..., aku  sangat mencintainya, ayah!” sahut Dewayani.

”Baiklah, mari kita cari dia,” jawab Guru Sukracharya.

Mereka berdua kemudian pergi mencari ke padang rumput, dimana Kacha biasa menggembalakan sapi-sapinya. Sesampainya di sana, mereka kemudian mencarinya untuk beberapa lama, tetapi tidak juga dapat menjumpai Kacha. Setelah seharian mencari dan tetap tidak dapat menemukan Kacha, mereka kemudian beristirahat di bawah pohon rindang, di tepi padang rumput tersebut.

Rasa capai dan lapar menghampiri mereka. Sambil beristirahat mereka menunggu kalau-kalau ada binatang buruan yang dapat digunakan mengisi perut mereka. Setelah menunggu beberapa lama, mereka menjumpai beberapa ekor serigala yang datang bergerombol, tidak jauh dari padang rumput tersebut.

Karena lama tidak mendapat binatang buruan, Sang Guru Sukracharya berinisiatif menangkap salah satu serigala yang dijumpai, untuk dijadikan santapan mereka berdua. Dengan ilmunya, Sang Guru Sukracharya dengan mudah menangkap salah satu serigala tersebut dan kemudian memanggangnya untuk jadi santapan mereka berdua. Pada saat Sang Guru Sukracharya memakannya, ada sesuatu yang bergolak di dalam lambungnya. Dengan ilmu aji Mritasanjibani yang dimilikinya, ia merasakan adanya bagian tubuh manusia yang masuk ke dalam perutnya.

Sang Guru Sukracharya, kemudian menanyakan, “Hai ..., manusia siapakah engkau dan bagaimana engkau bisa masuk ke dalam perut serigala-serigala ini?” Sang Kacha kemudian memberitahukan siapa dirinya dan menceritakan bagaimana ia dibunuh oleh para raksasa, dicincang-cincang dan dagingnya diberikan ke serigala-serigala tadi. 

“Baiklah, kalau memang itu kejadiannya. Dewayani, anakku, sangat menginginkan engkau dapat dihidupkan kembali, tetapi saat ini engkau sudah terlanjur berada dalam perutku,” kata Sang Guru Sukracharya. “Aku dapat saja menghidupkanmu lagi, tetapi pada saat engkau keluar dari tubuhku, tubuhku akan hancur. Itu berarti aku akan meninggalkan Dewayani untuk selama-lamanya. Padahal ia tidak ingin kehilangan aku, ayahnya, atau dirimu,” lanjut Guru Sukracharya.

”Sekarang, apa yang kau inginkan. Aku akan menghidupkan engkau kembali, demi Dewayani, tetapi demi dia pula, aku tidak boleh mati. Satu-satunya jalan adalah aku akan mengajarkan ilmu gaib ajian Mritasanjibani kepadamu. Dengan menguasainya engkau akan bisa menghidupkan aku lagi, meskipun tubuhku sudah hancur lebur setelah mengeluarkan engkau. Berjanjilah untuk menggunakan ilmu ini yang akan kuajarkan kepadamu untuk menghidupkan aku kembali, agar Dewayani tidak berduka atas kematian salah satu diantara kita.”

Kemudian, dari dalam lambung gurunya, Kacha mengucapkan janjinya, ”Guru ..., budi baik, pengorbanan dan kebaikan yang telah guru berikan kepadaku sampai saat ini, rasanya sudah tidak mampu hamba balaskan, apa lagi sekarang guru berkenan untuk menghidupkan aku lagi. Seberapa besar lagi budi baik guru yang harus aku tanggung. Hanya satu yang dapat aku lakukan untuk membalas budi baik guru selama ini, yaitu menuruti segala apa yang guru perintahkan dan aku berjanji untuk memenuhi pesan Bapa Guru.”

Demikianlah Mahaguru Sukracharya memberitahukan rahasia ilmu gaib Mritasanjibani kepada Kacha. Seketika itu juga Kacha keluar dari tubuh gurunya, sementara Sang Resi Sukracharya langsung rubuh, wafat dengan tubuh hancur berkeping-keping. Kacha pun memenuhi janjinya. Ia segera sujud di hadapan gurunya dan mempergunakan ilmu gaib Mritasanjibani. Katanya, ”Guru yang ikhlas membagi ilmunya kepada muridnya ibarat seorang ayah yang mengasihi putranya. Karena aku keluar dari tubuhmu, maka aku adalah anakmu juga.”

Sejak mendapat ilmu gaib Mritasanjibani, meskipun ia berkali-kali dibunuh oleh para Detya, namun dapat dihidupkan kembali atas ajian sakti Guru Sukracharya, yang sudah dimilikinya.

Beberapa tahun lamanya Kacha meneruskan hidupnya menjadi murid Resi Sukracharya, sampai tiba waktunya untuk kembali ke kahyangan, dunia para dewata. Ketika saatnya tiba, ia mohon diri kepada gurunya dan Resi Sukracharya pun merestuinya dan mengijinkannya pergi. Kacha kemudian berpamitan kepada Dewayani., namun dicegah oleh Dewayani karena ia ingin untuk menjadi istri, Sang Kacha.

Putri jelita ini dengan hormat berkata, ”Wahai cucu Angiras, kau telah menawan hatiku sejak lama dengan kesucian hati, hidupmu yang tidak bercacat, kemajuan dalam menuntut ilmu, dan asal-usulmu yang agung. Sejak lama aku mencintaimu dengan sepenuh hati, walaupun engkau tetap teguh menjalankan sumpahmu sebagai brahmacharin. Tetapi sudah selayaknya sekarang engkau menerima cintaku dan sudi membuatku bahagia dengan menikahiku.”

Tetapi karena Sang Kacha merasa tidak enak untuk menikahi anak gurunya sendiri, maka ia menolaknya. Kacha menjawab, ”Oh, Dewayani yang suci, engkau adalah putri Mahaguruku yang selalu kusegani. Aku hidup kembali setelah keluar dari tubuh ayahmu. Karena itu, aku kini aku bukan lagi orang lain, tapi kini aku menjadi saudaramu seayah. Sungguh tidak pantas jika engkau memintaku, saudaramu, agar sudi mengawinimu.”

Dewayani berkata, ”Engkau anak Resi Wrihaspati yang patut kuhormati dan bukan anak ayahku. Aku yang menyebabkan engkau bisa hidup kembali, karena aku mencintaimu dan mengharapkan engkau menjadi suamiku. Tidak pantas engkau meninggalkan aku yang tidak berdosa ini tanpa memberiku kesempatan untuk mengabdi kepadamu.”

Kacha menjawab, ”Jangan mencoba membujukku untuk melakukan hal yang tidak benar. Engkau sungguh jelita, dan semakin jelita dalam keadaan marah seperti sekarang, tetapi aku adalah saudaramu. Abdikanlah hidupmu untuk kebajikan dalam bimbingan ayahmu, Mahaguru Sukracharya. Jalanilah hidupmu seperti dulu. Berdoalah dan biarkanlah aku pergi.” Setelah berkata demikian, dengan lembut Kacha melepaskan diri dari pegangan Dewayani dan kembali ke dunia para dewata.

Dewayani menjadi sangat marah, karena kecewa, malu dan merasa terhina, lalu mengutuk Sang Kacha supaya kelak ilmunya tidak sempurna. Tetapi karena Sang Kacha merupakan seorang murid yang jujur dan setia, maka kutukan yang diberikan Dewayani kepadanya tidak mempan karena diucapkan berdasarkan nafsu. Sang Kacha pun balik mengutuk Dewayani, bahwa suatu saat kelak ia akan dimadu oleh budaknya sendiri.

Sepeninggalan Kacha, Dewayani selalu dalam keadaan murung dan sedih. Tak ada yang bisa menghiburnya, tidak juga Mahaguru Sukracharya, ayahnya.

Parikesit & Upacara Sharpayajna (Sharpahoma)


Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Abimanyu, yang bertahta di Hastinapura dengan Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Parikesit lahir di istana Hastinapura setelah keluarga Pandawa boyong dari Amarta ke Hastinapura. Parikesit memiliki anak yang bernama Janamejaya. Karena beliau merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa.

Pada saat Maharaja Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut serta bersama Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukshetra. Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur akibat serangan musuh yang dilakukan secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Dewi Utari, karena gugur dalam perang.

Pada pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aswatama bertarung dengan Arjuna. Aswatama dan Arjuna sama-sama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata Brahmāstra. Karena dicegah oleh Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar senjata tersebut diarahkan ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh Parikesit yang masih berada dalam kandungan. Atas pertolongan Kresna, Parikesit dihidupkan kembali. Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya.

Setelah Parikesit lahir, Resi Dhomya menyampaikan ramalannya kepada Yudistira bahwa ia akan menjadi pemuja setia Dewa Wisnu, dan semenjak ia diselamatkan oleh Bhatara Kresna, ia akan dikenal sebagai Vishnurata (Orang yang selalu dilindungi oleh Sang Dewa).

Resi Dhomya juga menyampaikan bahwa Parikesit akan selamanya mencurahkan kebajikan, ajaran agama dan kebenaran, dan akan menjadi pemimpin yang bijaksana, tepatnya seperti Ikswaku dan Rama dari Ayodhya. Ia akan menjadi ksatria panutan seperti Arjuna, kakeknya sendiri, dan akan membawa kemahsyuran bagi keluarganya.

Saat dimulainya zaman Kali Yuga, yaitu zaman kegelapan, dan mangkatnya Kresna Awatara dari dunia fana, lima Pandawa bersaudara pensiun dari pemerintahan. Parikesit naik tahta negara Hastinapura menggantikan kakeknya Prabu Yudistira (Prabu Karimataya), dengan Krepa sebagai penasehatnya. Beliau berwatak bijaksana, jujur dan adil. Beliau juga menyelenggarakan Aswameddha Yajña tiga kali di bawah bimbingan Krepa.

Prabu Parikesit mempunyai 5 (lima) orang permasuri dan 8 (delapan) orang putera, yaitu:
-          Dewi Puyangan, berputera Ramayana dan Pramasata
-          Dewi Gentang, berputera Dewi Tamioyi
-          Dewi Satapi alias Dewi Tapen, berputera Yudayana dan Dewi Pramasti
-          Dewi Impun, berputera Dewi Niyedi
-          Dewi Dangan, berputera Ramaprawa dan Basanta.

 

Kutukan Sang Srenggi

Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi berburu kijang dan tanpa disadari ia telah sampai ke tengah hutan. Kijang yang diincar atau dibidiknya, terus diikutinya sampai pada suatu saat Prabu Parikesit kehilangan jejak. Ia menjadi kepayahan, dan berusaha  untuk mencari tempat beristirahat. Akhirnya sampailah ia di sebuah tempat pertapaan di dalam hutan tersebut. Di pertapaan itu, tinggal seorang pendeta, bernama Begawan Samiti. 

Pada saat Raja Parikesit sampai dipertapaan itu, Begawan Samiti sedang duduk bertapa dan pantang untuk berbicara (tapa dengan membisu). Ketika Sang Raja bertanya kemana buruannya pergi, Begawan Samiti hanya diam membisu karena memang sedang pantang berkata-kata. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Begawan Samiti.

Begawan Samiti memiliki seorang putra bernama Sang Srenggi, yang memiliki sifat mudah marah. Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat ada bangkai ular melilit di leher ayahnya. Ia bertanya-tanya siapakah yang berani bersikap kurang ajar kepada Begawan Samiti, ayahnya, dengan melilitkan bangkai ular tersebut ke lehernya? 

Ia kemudian mendapat penjelasan dari Sang Kresa, bahwa yang mengalungkan bangkai ular ke leher ayahnya adalah raja Parikesit. Karena memang sifatnya yang mudah marah, mendengar itu Sang Srenggi menjadi sangat marah. Kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. 

Begawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Begawan Samiti berjanji akan mengakhiri kutukan tersebut. Ia lalu mengutus muridnya untuk memberitahu sang Raja. Namun, karena sang Raja sudah merasa tersinggung dan juga malu untuk menerima pengakhiran kutukan tersebut dari Begawan Samiti, maka ia lebih memilih untuk berlindung.

Raja Parikesit lalu menyuruh untuk mengadakan upacara Sarpayajna guna mengusir semua ular dan berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan ketat oleh para prajurit serta para patihnya. Di sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular.

Sang Sregi kemudian mengutus naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintahnya menggigit raja Parikesit. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Raja berada dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Naga Taksaka pada awalnya mengalami kesulitan untuk menjalankan perintah itu. 

Akhirnya pada hari ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya, naga Taksaka menyamar menjadi ulat dan masuk ke dalam jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Pada saat Raja Parikesit menyantap jambu yang dihidangkan, naga Taksaka menggigitnya dan raja Partikesit wafat setelah digigit Naga Taksaka .

Upacara Sharpahoma (Upacara pengorban ular)

Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan wajah yang tampan. Setelah menginjak dewasa, Raja Janamejaya menikah dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Selama masa pemerntahannya, Raja Janamejaya memerintah Hastinapura dengan adil dan bijaksana, sebagaimana ayahnya, sehingga kerajaan Hastina menjadi kuat, aman dan tenteram.

Pada suatu saat, setelah Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka yang juga berasal dari desa Taksila, datang menghadap Raja Janamejaya. Sang Uttangka menyatakan, bahwa ia sangat membenci Naga Taksaka. Ia juga menceritakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena digigit Naga Taksaka.

Raja Janamejaya kemudian meneliti kebenaran cerita tersebut dan ternyata para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka. Sang Raja kemudian dianjurkan mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga Taksaka. Raja Janamejaya setuju untuk mengadakan upacara pengorbanan ular yang dikenal dengan sebutan Sarpahoma, guna membasmi seluruh ular dari muka bumi. 

Mendengar niat Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Naga Taksaka kemudian mengutus Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja.

Astika yang  menerima tugas tersebut, lalu pergi ke tempat upacara pengorbanan ular dilaksanakan, di tepi sungai Arind, di daerah Bardan. Untuk menandai tempat upacara tersebut, raja Janamejaya, membangun sebuah kolam batu yang disebut Parikshit Kund. Para brahmana sebenarnya tahu bahwa kelak upacara tersebut akan digagalkan oleh seorang brahmana, namun mereka tidak memberitahukannya kepada Sang Raja.

Raja Janamejaya kemudian memerintahkan untuk menyiapkan segala kebutuhan upacara dengan mengundang para brahmana dan ahli mantra untuk membantu persiapan upacara Sarpahoma. Setelah sarana dan prasarana lengkap, Sang Raja memerintahkan untuk segera memulai upacara pengorbanan ular. Api di tungku pengorbanan, berkobar-kobar. Dengan mantra-mantra suci yang dibacakan oleh para brahmana, beribu-ribu ular (naga) yang melayang di langit, bagaikan terhisap dan lenyap ditelan api pengorbanan.
 
Pada saat upacara sedang berlangsung, muncullah seorang brahmana yang bernama Sang Astika. Ia kemudian segera menemui Raja Janamejaya dan setelah menghaturkan sembah sujud kepada Sang Raja, Astika dengan hati tulus mohon kepada Sang Raja untuk menghentikan upacara pengorbanan ular tersebut. Ia mengatakan bahwa upacara tersebut tidak pantas untuk dilakukan. 

Karena merasa terharu akan ketulusan Astika dan digerakkan dengan rasa belas-kasihannya, Maharaja Janamejaya, akhirnya menghentikan upacara tersebut. Setelah upacara tersebut dihentikan, Sang Astika segera mohon diri untuk kembali ke Nagaloka dan Naga Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.

Setelah Astika pulang, Sang Raja merasa kecewa karena upacaranya tidak sempurna. Sebagai gantinya, Resi Wesampayana menuturkan sebuah kisah panjang untuk Sang Raja, yaitu kisah para kakek buyutnya - Pandawa dan Korawa - hingga pertempuran besar di Kurukshetra.

Wesampayana menuturkan Mahabharata

Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Begawan Byasa untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di Kurukshetra. Karena Begawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Begawan Wesampayana diminta untuk mewakilinya. Beliau adalah murid Begawan Byasa.

Sungai Cano Cristales



Inilah sungai terindah di dunia Sungai Cano Cristales, Sungai yang terletak di Kolombia ini, kerap disebut sungai Lima Warna (River of Five Colors) atau sungai Pelangi (Rainbow River). Sebutan itu mengacu pada warna-warni yang ditampilkan.

Tampilan warna-warni itu berasal dari ganggang yang tumbuh subur di bebatuan dan goa-goa alami di dasar sungai. Ganggang merah, kuning, hijau,coklat, biru, terlihat indah di air yang bening.

Sayangnya, kita tidak selalu bisa melihat pemandangan menakjubkan itu. Ganggang bermekaran hanya pada periode tertentu saja. Antara periode basah (musim hujan) dan kering (musim kemarau). Saat itulah Cano Cristales akan menampilkan pesonanya. Warna-warni pelangi akan menutupi seluruh sungai.

Arus dan kedalaman air, mengatur jumlah sinar matahari yang bisa mencapai ganggang. Pada musim hujan, dimana kedalaman dan arus air bertambah, maka hal ini akan menjauhkan sinar matahari dari dasar sungai. Sebaliknya pada musim kemarau airnya terlalu dangkal, sehingga warna-warna sungai ini tidak muncul. Nah, pada pertengahan antara kedua musim tersebutlah, merupakan waktu yang tepat untk mengunjungi sungai Cano Cristales, untuk menikmati pesona indah sungai ini.

Kejaiban ini tidak lama. Hanya beberapa hari saja. Mungkin ini juga yang menambah keistimewaan Cano Cristales. Setelah memasuki musim kemarau, Cano Cristales berubah menjadi biasa saja, seperti sungai-sungai pada umumnya.

Air sungai menjadi dangkal, ganggang warna-warni sedang ‘tidur’. Jadi kalau anda ingin menyaksikan fenomena alam yang menakjubkan, datanglah pada periode antara dua musim ini. Saat itulah Cano Cristales ‘hidup!’
Sebenarnya aliran air sungai, ikut memegang peranan penting dalam hadirnya ‘mujizat’ itu. Aliran air berperan dalam mengatur jumlah cahaya matahari yang masuk hingga ke dasar. Pada musim hujan, aliran air akan mencegah cahaya matahari mencapai dasar sungai.

Sayangnya, Cano Cristales terletak sangat terpencil. Persisnya dekat kota La Macarena, Kolombia. Untuk mencapai ‘sungai ajaib’ sepanjang 100 meter dan lebar 20 meter itu, tidak mudah. Banyak belukar dan pohon liar. Suasana masih sangat alami. Lokasi hanya bisa disa dicapai dengan naik kuda atau bagal.
Mungkin karena keterpencilan serta sulitnya akses, jarang ada agen perjalanan menawarkan tur ke sana. 

Pemerintah setempat pun belum tergerak menggarap obyek wisata istimewa ini.
So, kepopuleran Cano Cristales hanya karena promosi dari mulut ke mulut para wisatawan yang kebetulan datang ke sini. Atau dari publikasi foto-foto mereka di dunia maya. Sangat disayangkan!

Galeri Gambar