Monday, 28 February 2011

Erebus


Erebus adalah dewa kegelapan, namanya bisa berarti "kegelapan yang dalam atau bayangan".
Dalam mitologi Yunani , Erebus (diucapkan / ɛrəbəs / ), atau Erebos ( Yunani Kuno : ρεβος, "kegelapan dalam, bayangan"), adalah anak dari dewa primordial, Chaos , dan mewakili personifikasi dari kegelapan dan bayangan, yang mengisi semua sudut dan celah dunia. Namanya digunakan secara bergantian dengan Tartarus dan Hades, sejak Erebus sering dianggap sebagai bagian dari dunia bawah. Erebus adalah cerminan yang nantinya akan terus berimbas kepada keturunan-keturunannya.

Keluarga

Menurut Hesiod 's Theogony , Erebus adalah anak dari Chaos dan kegelapan itu sendiri, tanpa melalui suatu hubungan, dan memiliki saudara bernama Nyx . Anak-anak Chaos yang lain adalah Eros , Tartarus , dan Gaia. Akhirnya Erebus menikahi Nyx, adiknya,  dan melahirkan Hemera (dewi hari), Aether (dewa langit), Cer (dewi kematian), Oneiroi (dewa mimpi ), serta Hypnos (Dewa tidur), Thanatos (dewa kematian), Momus (dewa kritik), Nemesis (dewi balas dendam), yang Hesperides (penjaga apel emas), dan Charon , tukang perahu. Ia juga ayah dari Geras (dewa usia tua) menurut Hyginus. Beberapa akun membuktikan bahwa Erebus adalah ayah dari Moirai (dewa nasib), dengan Nyx juga. 

Versi lain menyatakan bahwa ia adalah anak dari Chaos dan Nyx. Suatu saat, Erebus mengusir ayahnya dan mengawini ibunya sendiri, dan dari hasil perkawinannya dengan ibunya, lahirlah Ether dan Emera, yang kemudian juga akan mengusirnya.

Versi lain lagi menyatakan bahwa, Erebus adalah nama anak dari Dewa Chaos, dan ibunya adalah Gaia (Bumi)

Sebagai tempat mitologi

Erebus kemudian digambarkan sebagai daerah, yang letaknya lebih dalam dari daerahnya Hades, di dunia bawah. Ini adalah tempat orang mati, dimana seseorang harus melewatinya segera setelah mati. Charon mengangkut jiwa-jiwa orang mati di seberang sungai Acheron, dan atas mana mereka, memasuki tanah orang mati. 

Nama Tempat

Nama dewa erebus juga digunakan sebagai nama sebuah gunung berapi yaitu, Gunung Erebus di Pulau Ross, di Antartika . Secara historis gunung Erebus adalah gunung api aktif di bagian bumi paling selatan.

Hikayat Batu dan Pohon Ara

Alkisah pada suatu saat di sebuah negeri di timur tengah sana. Seorang saudagar yang sangat kaya raya tengah mengadakan perjalanan bersama kafilahnya. Diantara debu dan bebatuan, derik kereta diselingi dengus kuda terdengar bergantian. Sesekali terdengar lecutan cambuk sais di udara. Tepat di tengah rombongan itu tampaklah pria berjanggut, berkain panjang dan bersorban ditemani seorang anak usia belasan tahun. Kedua berpakaian indah menawan. Dialah Sang Saudagar bersama anak semata wayang nya. Mereka duduk pada sebuah kereta yang mewah berhiaskan kayu gofir dan permata yaspis. Semerbak harum bau mur tersebar dimana-mana. Sungguh kereta yang mahal.

Iring-iringan barang, orang dan hewan yang panjang itu berjalan perlahan, dalam kawalan ketat para pengawal. Rombongan itu bergerak terus hingga pada suatu saat mereka berada di sebuah tanah lapang berpasir. Bebatuan tampak diletakkan teratur di beberapa tempat. Pemandangan ini menarik bagi sang anak, sehingga ia merasa perlu untuk bertanya pada ayahnya.

"Bapa, mengapa tampak oleh ku bebatuan dengan teratur tersebar di sekitar daerah ini. Apakah gerangan semua itu ?".

"Baik pengamatanmu, anakku", jawab Ayahnya,"bagi orang biasa itu hanyalah batu, tetapi bagi mereka yang memiliki hikmat, semua itu akan tampak berbeda".

"Apakah yang dilihat oleh kaum cerdik cendikia itu, Bapa ?", tanya anaknya kembali.

"Mereka akan melihat itu sebagai mutiara hikmat yang tersebar, memang hikmat berseru-seru di pinggir jalan, mengundang orang untuk singgah, tetapi sedikit dari kita yang menggubris ajakan itu.".

"Apakah Bapa akan menjelaskan perkara itu padaku?"

"Tentu buah hatiku", sahut Sang Saudagar sambil mengelus kepala anaknya.

"Dahulu, ketika aku masih belia, hal ini pun menjadi pertanyaan di hatiku. Dan kakekmu, menerangkan perkara yang sama, seperti saat ini aku menjelaskan kepadamu. Pandanglah batu-batu itu dengan seksama. Di balik batu itu ada sebuah kehidupan. Masing-masing batu yang tampak olehmu sebenarnya
sedang menindih sebuah biji pohon ara."

"Tidakkah benih pohon ara itu akan mati, karena tertindih batu sebesar itu Bapa?"

"Tidak anakku. Sepintas lalu memang batu itu tampak sebagai beban yang akan mematikan benih pohon ara. Tetapi justru batu yang besar itulah yang membuat pohon ara itu sanggup bertahan hidup dan berkembang sebesar yang kau lihat di tepi jalan kemarin".
 
"Bilakah hal itu terjadi Bapa ?"

"Batu yang besar itu sengaja diletakkan oleh penanamnya menindih benih pohon ara. Mereka melakukan itu sehingga benih itu tersembunyi terhadap hembusan angin dan dari mata segala hewan. Samapai beberapa waktu kemudian benih itu akan berakar, semakin banyak dan semakin kuat. Walau tidak tampak kehidupan di atas permukaannya, tetapi dibawah, akarnya terus menjalar. Setelah dirasa cukup barulah tunasnya akan muncul perlahan. Pohon ara itu akan tumbuh semakin besar dan kuat hingga akhirnya akan sanggup menggulingkan batu yang menindihnya.

Demikianlah pohon ara itu hidup. Dan hampir di setiap pohon ara akan kau temui, sebuah batu, seolah menjadi peringatan bahwa batu yang pernah menindih benih pohon ara itu tidak akan membinasakannya. Selanjutnya benih itu menjadi pohon besar yang mampu menaungi segala mahluk yang berlindung dari terik matahari yang membakar."

"Apakah itu semua tentang kehidupan ini Bapa?", tanya anaknya.

Sang Saudagar menatap anaknya lekat-lekat sambil tersenyum, kemudian meneruskan penjelasannya.

"Benar anakku. Jika suatu saat engkau di dalam masa-masa hidupmu, merasakan terhimpit suatu beban yang sangat berat, ingatlah pelajaran tentang batu dan pohon ara itu. Segala kesulitan yang menindihmu, sebenarnya merupakan sebuah kesempatan bagimu untuk berakar, semakin kuat, bertumbuh dan  akhirnya tampil sebagai pemenang.

Camkanlah, belum ada hingga saat ini benih pohon ara yang tertindih, mati oleh bebatuan itu. Jadi jika benih pohon ara yang demikian kecil saja diberikan kekuatan oleh Sang Khalik untuk dapat menyingkirkan batu diatasnya, bagaimana dengan kita ini. Dzat Yang Maha
Perkasa itu bahkan sudah menanamkan keilahian-Nya pada diri-diri kita. Dan menjadikan kita, manusia ini jauh melebihi segala mahluk di muka bumi ini.

Perhatikanlah kata-kata ini anakku. Pahatkan pada loh-loh batu hatimu, sehingga engkau menjadi bijak dan tidak dipermainkan oleh hidup ini. Karena memang kita ditakdirkan menjadi tuan atas hidup kita."

Hikayat Abunawas

Syahdan, di suatu masa hidup seorang laki-laki yang punya sifat kikir (pelit). Ia mempunyai sebuah rumah yang cukup besar. Di dalam rumah itu dia tinggal bersama seorang istri dan 3 orang anaknya yang masih kecil-kecil. Laki-laki ini merasa rumahnya sudah sangat sempit dengan keberadaannya dan keluarganya, namun untuk memperluas rumahnya, sang lelaki ini merasa sayang untuk mengeluarkan uang. Ia kemudian memutar otaknya, bagaimana caranya agar ia bisa memperluas rumahnya tanpa mengeluarkan banyak uang. Akhirnya, ia mendatangi Abunawas, seorang yang terkenal cerdik di kampungnya. Pergilah ia menuju rumah Abunawas.

Si lelaki : “Salam hai Abunawas, semoga engkau selamat sejahtera.”

Abunawas : “Salam juga untukmu hai orang asing, ada apa gerangan kamu mendatangi kediamanku yang reot ini ?”

Si lelaki lalu menceritakan masalah yang ia hadapi. Abunawas mendengarkannya dengan seksama. Setelah si lelaki selesai bercerita, Abunawas tampak tepekur sesaat, tersenyum, lalu ia berkata :

“Hai Fulan, jika kamu menghendaki kediaman yang lebih luas, belilah sepasang ayam, jantan dan betina, lalu buatkan kandang di dalam rumahmu. Tiga hari lagi kau lapor padaku, bagaimana keadaan rumahmu.”

Si lelaki ini menjadi bingung, apa hubungannya ayam dengan luas rumah, tapi ia tak membantah. Sepulang dari rumah Abunawas, ia membeli sepasang ayam, lalu membuatkan kandang untuk ayamnya di dalam rumah. Tiga hari kemudian, ia kembali ke kediaman Abunawas, dengan wajah berkerut.

Abunawas : “Bagaimana Fulan, sudah bertambah luaskah kediamanmu?”

Si lelaki : “Boro boro ya Abu. Apa kamu yakin idemu ini tidak salah? rumahku tambah kacau dengan adanya kedua ekor ayam itu. Mereka membuat keributan dan kotorannya berbau tak sedap.”

Abu nawas : “( sambil tersenyum ) Kalau begitu tambahkan sepasang bebek dan buatkan kandang di dalam rumahmu, lalu kembalilah kemari tiga hari lagi.”

Si lelaki terperanjat. Kemarin ayam, sekarang bebek, memangnya rumahnya peternakan, apa?, atau si cerdik Abunawas ini sedang kumat jahilnya? Namun seperti saat pertama kali, ia tak berani membantah, karena ingat reputasi Abunawas yang selalu berhasil memecahkan berbagai masalah. Pergilah ia ke pasar, dibelinya sepasang bebek, lalu dibuatkannya kandang di dalam rumahnya. Setelah tiga hari ia kembali menemui Abunawas.

Abunawas : “Bagaimana Fulan, kediamanmu sudah mulai terasa luas atau belum ?”
Si lelaki : “Aduh Abu, ampun, jangan kau mengerjai aku. Saat ini adalah saat paling parah selama aku tinggal di rumah itu. Rumahku sekarang sangat mirip pasar unggas, sempit, padat, dan baunya bukan main.”

Abunawas : “Waah, bagus kalau begitu. Tambahkan seekor kambing lagi. Buatkan ia kandang di dalam rumahmu juga, lalu kembali kesini tiga hari lagi.”

Si lelaki : “Apa kau sudah gila, Abu? Kemarin ayam, bebek dan sekarang kambing. Apa tidak ada cara lain yang lebih normal?”

Abunawas : “Lakukan saja, jangan membantah.”

Lelaki itu tertunduk lesu, bagaimanapun juga yang memberi ide adalah Abunawas, sicerdik pandai yang tersohor, maka dengan pasrah pergilah ia ke pasar dan membeli seekor kambing, lalu ia membuatkan kandang di dalam rumahnya. Tiga hari kemudian dia kembali menemui Abunawas.

Abunawas : “Bagaimana Fulan ? Sudah membesarkah kediamanmu ?”
Si lelaki : “Rumahku sekarang benar-benar sudah jadi neraka. Istriku mengomel sepanjang hari, anak-anak menangis, semua hewan-hewn berkotek dan mengembik, bau, panas, sumpek, betul-betul parah. Ya Abu, tolong aku, Abu, jangan suruh aku beli sapi dan mengandangkannya di rumahku, aku tak sanggup ya Abu.”

Abunawas : “Baiklah, kalau begitu, pulanglah kamu, lalu juallah kambingmu kepasar, besok kau kembali untuk menceritakan keadaan rumahmu.”

Si lelaki pulang sambil bertanya-tanya dalam hatinya, kemarin disuruh beli, sekarang disuruh jual, apa maunya si Abunawas. Namun, ia tetap menjual kambingnya ke pasar. Keesokan harinya ia kembali ke rumah Abunawas.

Abu nawas : “Bagaimana kondisi rumahmu hari ini ?”
Si lelaki :”Yah, lumayan lah Abu, paling tidak bau dari kambing dan suara embikannya yang berisik sudah tak kudengar lagi.”

Abu nawas : “Kalau begitu juallah bebek-bebekmu hari ini, besok kau kembali kemari”

Si lelaki pulang ke rumahnya dan menjual bebek-bebeknya ke pasar. Esok harinya ia kembali ke rumah Abunawas.

Abunawas : “Jadi, bagaimana kondisi rumahmu hari ini?”

Si lelaki : “Syukurlah Abu, dengan perginya bebek-bebek itu, rumahku jadi jauh lebih tenang dan tidak terlalu sumpek dan bau lagi. Anak-anakku juga sudah mulai berhenti menangis.”

Abunawas. "Bagus. Kini juallah ayam-ayammu ke pasar dan kembali besok ”

Si lelaki pulang dan menjual ayam-ayamnya ke pasar. Keesokan harinya ia kembali dengan wajah yang berseri-seri ke rumah Abunawas.

Abunawas : “Kulihat wajahmu cerah hai Fulan, bagaimana kondisi rumahmu saat ini?”

Si lelaki :”Alhamdulillah ya Abu, sekarang rasanya rumahku sangat lega karena ayam dan kandangnya sudah tidak ada. Kini istriku sudah tidak marah-marah lagi, anak-anakku juga sudah tidak rewel.”

Abunawas : “(sambil tersenyum) nah nah, kau lihat kan, sekarang rumahmu sudah menjadi luas padahal kau tidak menambah bangunan apapun atau memperluas tanah banguanmu. Sesungguhnya rumahmu itu cukup luas, hanya hatimu sempit, sehingga kau tak melihat betapa luasnya rumahmu.

Mulai sekarang kau harus lebih banyak bersyukur, karena masih banyak orang yang rumahnya lebih sempit darimu. Sekarang pulanglah kamu, dan atur rumah tanggamu, dan banyak-banyaklah bersyukur atas apa yang dirizkikan Tuhan padamu, dan jangan banyak mengeluh.”

Si lelaki pun termenung sadar atas segala kekeliruannya, ia terpana akan kecendikiaan sang tokoh dan mengucapkan terima kasih pada Abunawas.

Hikayat Seorang Kakek dan Seekor Ular

Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.

Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat.

“Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini.”

“Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya.”

Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk.

Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi.

Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.”

Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati.”

“Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.” Kontan ular itu mengancam.

“La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan.

Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku.”

Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, “Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku.”

Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular: “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.”

Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:
“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu.”

Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?”

Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu.”

Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.”

Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:
“Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat.”

Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.

Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.

Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman.

Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.

Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.

Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.

Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.

Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.

Hikayat


Sebuah hikayat dibacakan sebagai hiburan, pelipur lara atau untuk membangkitkan semangat juang. Hikayat berasal dari India dan Arab, yaitu bentuk sastra lama yang berisikan kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan, kepahlawanan dan kehidupan para dewa-dewi, peri, pangeran, putri kerajaan, serta raja-raja yang memiliki kekuatan gaib. 

Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang dimiliki seseorang yang menjadi tokoh utamanya, yang diceritakan dalam hikayat, kadang tidak masuk akal. Namun cerita dalam hikayat banyak mengambil tokoh-tokoh  sejarah. Hikayat seringkali ditulis dalam bahasa Melayu.
 
Contoh: Hikayat Hang Tuah, Kabayan, Si Pitung, Hikayat Si Miskin, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Sang Boma, Hikayat Panji Semirang, Hikayat Raja Budiman.

Burung Gagak dan Rubah

Pada suatu waktu, seekor burung gagak sedang terbang berputar-putar mencari sesuatu untuk dimakan. Ketika ia mendekati sebuah rumah, ia melihat sepotong keju tergeletak di atas ambang jendela. 
Dengan menukik secara cepat, ia menyambar potongan keju tersebut dan membawanya pergi. Ia terbang ke tempat yang sepi dan bertengger di atas dahan pohon untuk memakannya dengan tenang. Pada saat bersamaan, seekor rubah sedang melintas jalan itu. Saat ia melintas, ia melihat burung gagak tersebut dengan potongan keju di paruhnya.
 
Mulutnya mulai meneteskan liur dan ia memutuskan untuk merenggut potongan keju itu dari burung gagak. "Jika saja aku mampu untuk membuat paruhnya terbuka, keju itu akan jatuh. Selanjutnya aku bisa merebutnya dan lari. Aku kira tidak akan sulit untuk membodohinya."
 
Maka, dengan berjalan mendekati pohon tempat burung gagak bertengger, ia berkata, "Hai teman, kau kelihatan gagah hari ini. Apakah ada sesuatu yang istimewa terjadi hari ini?"
 
Burung gagak amat senang mendengar hal itu. "Apakah aku benar-benar kelihatan sedemikian gagah? Belum pernah ada yang memberitahukan hal ini sebelumnya padaku," pikir sang gagak. Namun, ia tetap diam.
 
Namun, rubah tersebut tekun untuk membuatnya bicara. Maka ia berkata, "Aku ingin memberitahumu bahwa kamu amat pandai bernyanyi. Aku tidak menyadari hal ini hingga aku mendengar kau sedang bernyanyi lain hari. Aku harus katakan bahwa kau memiliki suara yang amat merdu."
 
Tetapi burung gagak tersebut tetap tidak berkata sedikitpun. Dengan memutuskan untuk merayunya lagi, rubah berkata,"Benar tuan gagak! Percayalah padaku, aku belum pernah mendengar suara yang indah seperti suaramu. Aku telah menunggu lama untuk mendengarkan nyanyianmu. Sekarang, setelah aku bertemu denganmu, kau harus menyanyikan lagu untukku."
 
Burung gagak tersebut terkejut mendengar pujian sebanyak itu bagi suaranya. "Aku tidak pernah mengira suaraku sedemikian indah. Belum pernah ada yang memberitahuku kalau aku pandai menyanyi. Sebenarnya, aku sendiri juga akan suka mendengar diriku menyanyi. Namun bagaimana aku bisa menyanyi? Aku sedang menggigit keju di paruhku." Dengan cara ini ia tetap diam sekali lagi.
 
Rubah memutuskan untuk mencoba keberuntungannya sekali lagi. Maka ia berkata,"Benar, tuan gagak. Aku benar-benar ingin mendengar suaramu, paling tidak sekali saja. Maukah kau membantuku?"
 
Burung gagak terlalu gembira untuk mengendalikan dirinya lagi. Maka sambil memutuskan untuk akhirnya menyanyikan sebuah lagu, ia membuka mulutnya. Bersamaan dengan itu, keju terjatuh ke tanah.
Rubah langsung merenggutnya dan melarikan diri. Tinggallah burung gagak menyesali kebodohannya. 

Keledai Bodoh dan Serigala

Dahulu ada seekor keledai dan seekor serigala yang berteman baik. Bersama-sama mereka berkelana mencari makanan. "Hari ini aku ingin makan buah semangka," kata Si keledai. "Ayo kita pergi dan mencari ladang semangka."
 
Keledai dan serigala mencari di semua tempat dan pada akhirnya mereka menemukan sebuah ladang penuh dengan buah semangka besar-besar dan masak. Keduanya menunggu malam tiba, sehingga mereka dapat memasukinya tanpa terlihat orang. 
 
"Wah..," kata Si keledai, "Lihatlah semua semangka yang masak itu."
 
Dengan cepat ia memakan buah semangka sebanyak yang dapat ia lakukan. Setelah keledai dan serigala mengisi perutnya, Si serigala berkata,"Ayo kita kembali, nanti terlambat."
 
"Mengapa kita harus kembali buru-buru? Angin bertiup sepoi-sepoi, bintang-bintang berkelip di langit, bulan bersinar cemerlang. Aku belum ingin kembali. Ternyata makan semua buah semangka yang lezat ini membuatku merasa sangat nyaman. Aku merasa ingin menyanyi." Dengan lagak sok jadi penyanyi, Si keledai menyanyikan sebuah lagu,
 
"Hii...haw, hii...haw, hoek, hoekkk!"
 
"Hentikan suara berisik yang sangat memekakkan itu, keledai bodoh!" teriak serigala, "Nanti para petani akan mendengar dan datang ke sini!"
 
"Apa..!? berisik katamu. Kamu sebut nyanyianku yang merdu ini sebagai berisik?" kata keledai dengan marah. "Aku rasa kamu iri padaku, karena kamu tak dapat menyanyi separuh saja dari kemampuanku."
 
"Kalau demikian, kamu menyanyilah terus. Aku lebih baik menunggu di luar kebun," kata serigala cepat-cepat keluar dari kebun.
 
"Hii...haw, hii...haw, hoek, hoekkk!" teriak si keledai. "Hii...haw, hi...haw, hoek,hoekkk." Keledai mengira suaranya amat merdu. Dia bahkan menuduh temannya yaitu serigala sengaja keluar hanya karena tak bisa menyanyi seperti dirinya.
 
Ketika Pak Tani mendengar ringkikan keledai yang melengking itu, dia merasa heran. "Ada apa ya? Siapa yang bersuara di kebunku..? "Kurang ajar! Ada seseorang atau sesuatu yang memasuki kebun semangkaku, awas ya! Tidak akan kuampuni kau!" kata Pak Tani sambil berlari cepat. "Kamu pencuri!" teriak Pak Tani memukul si keledai dengan keras. "Rasakan pentungan ini, karena mencuri semangka kami."
 
"Bak..! Buk..! Bak..! Buk..!" berkali-kali Pak Tani memukuli Si keledai. Si keledai ambruk akibat pukulan Pak Tani. 
 
"Bagaimana? Kapok tidak kamu? Kukira keledai ini telah mati, hem...aku masih banyak pekerjaan, terpaksa kau kutinggalkan saja di sini!" kata PakTani.
 
Setelah Pak Tani meninggalkannya, Sang serigala mendekati Si keledai dan berkata,"Bukankah aku telah memperingatkanmu?"
 
"Yah.., karena kebodohanku sendirilah menyebabkan aku dipukuli," rintih Si keledai menahan sakit sambil berusaha berdiri. "Lain kali aku akan mendengarkan nasihat baik yang diberikan kepadaku secara lebih cermat." 

Balas Budi Serigala Kecil

Di tengah hutan ada sepasang Serigala yang mempunyai anak. Mereka hidup tenang dan bahagia. Selalu bercanda dengan anak laki-laki mereka. Kalau malam mereka bernyanyi dengan suara yang keras. Sehingga penghuni hutan lainnya terganggu.
 
Pak Harimau Si Raja Hutan tak tahan mendengar suara bising dari keluarga Serigala. Pak Harimau mengamuk, sepasang suami istri Serigala itu diserangnya. Pak Serigala mengadakan perlawanan, sebelum terbunuh Pak Serigala menyuruh anaknya yang masih kecil itu melarikan diri agar selamat.
 
Dengan penuh ketakutan Serigala kecil melompat dan berlari sekuat tenaganya. Sementara ayah dan ibunya berjuang keras melawan Pak Harimau yang ganas. Walau bagaimana akhirnya kedua Serigala itu tak sanggup mengalahkan Pak Harimau, mereka berdua tewas. Sementara Pak Harimau menderita luka-luka yang cukup parah.
 
Serigala kecil terus berlari dan berlari hingga akhirnya tenaganya terkuras habis dan ia terjatuh ke tanah, kakinya terkilir. Pada saat itu lewatlah sepasang Rusa, mereka kasihan melihat Serigala kecil yang kelelahan dan kakinya terkilir, Serigala itu ditolongnya.
 
"Bu, mari kita bawa pulang saja Serigala kecil ini," kata Pak Rusa.
 
"Iya Pak, nampaknya ia tidak buas!" jawab Bu Rusa.
 
Serigala kecil itu dibawa pulang dan dirawat hingga sembuh. Kebetulan keluarga Rusa belum mempunyai anak. Keluarga Rusa mengangkat Serigala itu sebagai anak mereka.
 
Hari berganti, tahun berlalu, Serigala kecil sekarang sudah menjadi besar, ia juga rajin membantu kedua orang tua angkatnya, sehingga keluarga Rusa semakin menyayanginya.
 
"Ah, tidak sia-sia kita dulu menolongnya. Ternyata dia menjadi anak yang berbakti," kata Bu Rusa kepada suaminya. 
 
Setelah hidup damai selama bertahun-tahun, Bu Rusa akhirnya melahirkan bayi Rusa kecil yang sehat. Bukan main senangnya keluarga Rusa, Serigala yang menjadi anak angkat mereka pun turut bergembira mendapat seekor adik.
 
Beberapa bulan kemudian, Bu Rusa sudah harus membantu suaminya menanam padi di sawah. Hari itu mereka menitipkan bayi Rusa yang masih kecil kepada Serigala anak angkat mereka untuk ditunggui. Dengan penuh setia Serigala itu menunggui adik angkatnya. Jangankan diganggu hewan besar, nyamuk dan lalat yang mendekati bayi Rusa itu pasti dihalaunya. Sehingga bayi Rusa bisa istirahat dan tidur dengan nyenyak.
 
Menjelang tengah hari sepasang Rusa berjalan pulang dari sawah mereka. Mereka kaget melihat Serigala anak angkat mereka berlari-lari dengan keringat bercucuran.
 
"Pak...Bapaaaaak! Cepat pulang!" teriak Serigala keras-keras.
 
"Ada apa ini?" tanya Pak Rusa dengan hati penuh curiga ketika melihat darah belepotan di sekitar mulut dan hidung Serigala. "Mengapa kau berlari-lari ke sawah? Bukankah aku menyuruhmu menunggui adikmu di rumah. Jangan-jangan...hah! Apakah kau telah memakan adikmu sendiri? Kurangajar...!"
 
"Tid...tidak Pak...!"
"Pak, mulutnya penuh darah, jangan-jangan bayi kita memang telah dimakannya. Hajar saja dia Pak, dasar Serigala tak tahu balas budi!" kata Bu Rusa.
 
Tanpa menunggu penjelasan anak angkatnya, Pak Rusa menghajar Serigala itu dengan pentungan, hingga Serigala itu terkapar pingsan di tanah. Lalu dengan penuh amarah yang meluap-luap, Serigala itu mereka lemparkan ke sungai.
 
"Pak cepat tengok bayi kita!" Bu Rusa mengingatkan suaminya. Mereka segera lari ke rumah. Ternyata bayi mereka masih tertidur di atas ayunan. Selamat tanpa kurang suatu apa. Di bawah ayunan nampak bangkai seekor ular besar yang putus lehernya.
 
"Astaga...jadi Serigala tadi sebenarnya telah menyelamatkan anak kita dari terkaman ular besar ini," kata Bu Rusa.
 
"Oalah Bu...bu...kita telah bertindak gegabah." ucap Pak Rusa dengan penuh sesal.
 
Mereka segera menyusuri sungai tempat Serigala dihanyutkan, namun usahanya sia-sia belaka. Serigala yang malang itu tak pernah ditemukan lagi, entah sudah mati tenggelam atau dimakan buaya. 

Burung Gagak, Rusa dan Srigala


Di dalam sebuah hutan yang besar, hidup seekor rusa dan seekor burung gagak. Mereka adalah teman yang sangat akrab.

Rusa telah menjadi gemuk dan suka mengembara di hutan tanpa khawatir tentang apapun di dunia ini.
Pada suatu hari, seekor serigala kebetulan melihat rusa kecil yang gemuk itu.
“Hmmm,” kata serigala. “Daging empuk rusa yang muda ini akan merupakan hidangan yang sangat lezat. Ah, sebagai permulaan, saya akan mencoba untuk memperoleh kepercayaannnya.”
Serigala berpikir tentang hal ini lalu kemudian pergi ke si rusa kecil.
“Halo” katanya, “apa kabar?”

“Kamu siapa?” tanya rusa.

“Saya adalah seekor serigala dan saya tinggal sendirian di hutan ini. Saya tidak mempunyai teman. Sekarang, karena saya telah bertemu denganmu, saya ingin menjadi temanmu dan akan melakukan apapun yang kamu inginkan untuk membuat kamu bahagia,”jawab serigala.
 
“Wah, baik kalau begitu,” kata rusa.

Kemudian, ketika matahari sudah terbenam, keduanya bersama-sama pulang ke rumah rusa. Teman rusa, burung gagak, hidup berdekatan di cabang sebuah pohon.

Ketika ia melihat serigala, dia berseru, “Rusa temanku, siapa itu yang bersama kamu?”

“Ini adalah seekor serigala. Dia ingin menjadi teman kita. Oleh karena itu , dia ikut dengan saya,” jawab rusa.

“Apakah kamu kira adalah bijaksana untuk berteman begitu cepat dengan seseorang yang kamu tidak tahu apa-apa tentangnya?” kata burung gagak.
Kamu tidak tahu tentang keluarganya atau bagaimana sifatnya. Bagaimana kamu bisa mengundang dia untuk tinggal dengan kamu tanpa mengetahui semua ini?”

“Burung gagak” teriak serigala dengan marah. “Waktu kamu pertama bertemu rusa, apakah kamu tahu apapun tentang dia, saudaranya atau kelakuannya? Kalau begitu, bagaimana kalian telah menjadi teman akrab hari ini?”

“Aduh, tolong jangan berdebat,” kata rusa. “Marilah kita semua berteman. Kamu hanya bisa tahu seorang teman dari seorang musuh setelah mengamati kelakuannya.”

“Baik, kalau begitu,” kata burung gagak. “Terserah kamulah.”
Dan kemudian mereka pun semua hidup bersama-sama.
Waktupun berlalu.

Pada satu hari, serigala membawa rusa ke samping lalu berbisik, “Teman, di bagian lain hutan ini, ada ladang penuh jagung. Saya akan membawa kamu ke sana dan menunjukkan kepada kamu tempatnya.”

Serigala itu membawa rusa dan menunjukkan ladang itu. Semenjak itu, rusa mulai pergi ke sana setiap hari dan makan sampai puas. Ketika pemilik ladang menyadari bahwa ada seseorang sedang makan jagungnya, dia kemudian memasang sebuah perangkap dan akhirnya rusa itu tertangkap.

“Aduh! Saya sekarang perlu bantuan temanku. Dia pasti akan membebaskan saya dari perangkap ini”, pikir rusa.

Sementara itu, serigala sampai disana dan berpikir, “inilah yang sedang aku tunggu-tunggu. Kalau dia dibunuh oleh pemilik ladang, dagingnya akan menjadi makananku selama berhari-hari.”

Pada waktu rusa kebetulan melihat serigala, dia menjerit, “Oh, teman, tolong. Bantu saya. Hanya teman seperti kamu yang bisa menyelamatkan saya dari keadaan yang mengerikan ini.’

“Tapi teman”, kata serigala, “jerat ini dibuat dari kulit, jadi mana bisa saya menyentuhnya hari ini, sebab hari ini saya puasa. Tolong jangan salah mengerti terhadap saya. Saya akan menggigit jerat ini di awal pagi besok..”

Ketika matahari terbenam dan rusa masih belum kembali, burung gagak merasa cemas. Dia langsung berangkat untuk mencari rusa dan akhirnya sampai di ladang jagung.Seketika itu juga , dia melihat rusa temannya.

“Rusa temanku! Apa yang terjadi padamu?” kata burung gagak dengan suara penuh belas kasihan.

“Inilah yang terjadi jika seseorang tidak mendengar nasihat temannya”, jawab rusa.

Lalu dia menceritakan kepada burung gagak bagaimana serigala menunjukkan ladang jagung untuk menangkap dia.
” Di mana penjahat itu?” Tanya burung gagak dengan marah.

“Dia sedang bersembunyi di sekitar sini, sambil menunggu kesempatan untuk membunuh saya untuk dimakan”. Jawab rusa.

“Saya sudah memperingati kamu untuk tidak pernah mempercayai orang asing, tetapi kamu tidak memperhatikannya”, kata burung gagak.

Sambil mengeluh, burung gagak kemudian berteriak, “Serigala, penipu! Pendusta ! Apa yang kamu lakukan? Bagaimana bisa kamu menipu seseorang yang mempercayaimu? Ah, kalau seseorang berteman dengan seorang penipu, pastilah dia harus menerima akibatnya”.

Burung gagak kemudian memutuskan untuk tinggal, menemani temannya.
Pada pagi hari, petani kembali dengan sepotong kayu di tangannya.
Begitu burung gagak melihat dia datang, dia berkata kepada rusa, “Cepat! Lakukan seperti yang saya katakan! Berbaringlah tanpa bergerak seakan-akan kamu sudah mati. Kalau aku memberi kode dengan bersuara, meloncatlah dan langsung lari untuk keselamatan dirimu”.

Maka rusa pun berbaring tanpa bergerak di tanah seolah-olah dia sudah mati.

Tatkala petani sudah berada dekat sekali dengan rusa, dengan muka yang menyala-nyala dia merasa senang sekali dan berkata, “Bagus sekali, rusa ini sudah mati!”
Kemudian petani membebaskan dia dan mengambil jerat itu. Pada saat yang sama, burung gagak memberi tanda kepada rusa yang kemudian meloncat dan lari secepat mungkin.

Petani terkejut, lalu langsung melempar kayunya ke rusa tetapi lemparan kayu tersebut tidak mengenai rusa melainkan mengenai serigala yang sedang bersembunyi di dekat sana. Akibat terkena lemparan kayu tersebut, serigala itu langsung mati.

Rusa menyadari bahwa lebih baik memiliki satu musuh yang jelas daripada teman yang menusuk dari belakang.