Wednesday, 18 May 2011

Habitat


Habitat makhluk hidup adalah tempat tinggal berbagai jenis organisme hidup melaksanakan kehidupannya. Dalam ekosistem yang menjadi habitatnya dapat bermacam-macam, seperti perairan, daratan, hutan atau sawah. Istilah habitat dapat berarti juga sebagai tempat tinggal atau tempat menghuni seluruh populasi atau komunitas makhluk hidup dalam ekosistem. 

Bagi tumbuhan dan makhluk hidup lainnya, sebagai habitat selain lokasi atau tempat yang bersifat fisik juga berbaga jenis hubungan (asosiasi) yang terjadi dalam habitat tersebut. Pada umumnya tumbuhan dan makhluk hidup lainnya mempunyai preferensi ekologi (persyaratan faktor ekologi yang dibutuhkan untuk hidupnya yang sesuai) tertentu. Misalnya tumbuhan mangrove mempunyai preferensi ekologi habitat rawa payau di tepi pantai yang berlumpur dengan salinitas bervariasi sesuai dengan frekuensi, kedalaman dan lumpur, dan ketahanan jenis mangrove terhadap arus dan ombak (Anonim, ).

Berbagai jenis tumbuhan mempunyai habitat yang berbeda-beda, serupa atau sama sesuai dengan preferensi ekologinya. Berdasarkan kondisi habitatnya dikenal 2 tipe habitat, yaitu habitat mikro dan habitat makro. Habitat makro merupakan habitat bersifat global dengan kondisi lingkungan yang bersifat umum dan luas, misalnya gurun pasir, pantai berbatu karang, hutan hujan tropika, dan sebagainya. Sebaliknya habitat mikro merupakan habitat local dengan kondisi lingkungan yang bersifat setempat yang tidak terlalu luas, misalnya, kolam, rawa payau berlumpur lembek dan dangkal, danau, dan sebagainya (Anonim, ).

Relung atau niche merupakan tempat makhluk hidup berfungsi di habitatnya, bagaimana cara hidup, atau peran ekologi makhluk hidup tersebut. Jadi pada dasarnya makhluk hidup secara alamiah akan memilih habitat dan relung ekologinya sesuai dengan kebutuhannya, dalam arti bertempat tinggal, tumbuh berkembang dan melaksanakan fungsi ekologi pada habitat yang sesuai dengan kondisi lingkungan (misalnya iklim), nutrien, dan interaksi antara makhluk hidup yang ada. Dalam ekologi, seluruh peranan dan fungsi makhluk hidup dalam komunitasnya dinamakan relung atau niche ekologi. Jadi relung ekologi merupakan semua faktor atau unsur yang terdapat dalam habitatnya yang mencakup jenis-jenis organisme yang berperanan, lingkungan, dan tempat tinggal yang sesuai dan spesialisasi populasi organisme yang terdapat dalam komunitas (Anonim, ).

Habitat: Morrison (2002) mendefinisikan habitat sebagai sumberdaya dan kondisi yang ada di suatu kawasan yang berdampak ditempati oleh suatu species. Habitat merupakan organism-specific: ini menghubungkan kehadiran species, populasi, atau idndividu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan fisik dan karakteristik biologi. Habitat terdiri lebih dari sekedar vegatasi atau struktur vegetasi; merupakan jumlah kebutuhan sumberdaya khusus suatu species. Dimanapun suatu organisme diberi sumberdaya yang berdampak pada kemampuan untuk bertahan hidup, itulah yang disebut dengan habitat. 

Tipe Habitat: Habitat tidak sama dengan tipe habitat. Tipe habitat merupakan sebuah istilah yang dikemukakan oleh Doubenmire (1968:27-32) yang hanya berkenaan dengan tipe asosiasi vegetasi dalam suatu kawasan atau potensi vegetasi yang mencapai suatu tingkat klimaks. Habitat lebih dari sekedar sebuah kawasan vegetasi (seperti hutan pinus). Istilah tipe habitat tidak bisa digunakan ketika mendiskusikan hubungan antara satwa liar dan habitatnya. Ketika kita ingin menunjukkan vegetasi yang digunakan oleh satwa liar, kita dapat mengatakan asosiasi vegetasi atau tipe vegetasi didalamnya. Penggunaan Habitat: Penggunaan habitat merupakan cara satwa menggunakan (atau mengkonsumsi dalam suatu pandangan umum) suatu kumpulan komponen fisik dan biologi (sumber daya) dalam suatu habitat. Hutto (1985:458) menyatakan bahwa penggunaan habitat merupakan sebuah proses yang secara hierarkhi melibatkan suatu rangkaian perilaku alami dan belajar suatu satwa dalam membuat keputusan habitat seperti apa yang akan digunakan dalam skala lingkungan yang berbeda.

Kesukaan Habitat: Johnson (1980) menyatakan bahwa seleksi merupakan proses satwa memilih komponen habitat yang digunakan. Kesukaan habitat merupakan konsekuensi proses yang menghasilkan adanya penggunaan yang tidak proporsional terhadap beberapa sumberdaya, yang mana beberapa sumberdaya digunakan melebihi yang lain.

Ketersediaan Habitat: Ketersediaan habitat menunjuk pada aksesibiltas komponen fisik dan biologi yang dibutuhkan oleh satwa, berlawanan dengan kelimpahan sumberdaya yang hanya menunjukkan kuantitas habitat masing-masing organisme yang ada dalam habitat tersebut (Wiens 1984:402). Secara teori kita dapat menghitung jumlah dan jenis sumberdaya yang tersedia untuk satwa; secara praktek, merupakan hal yang hampir tidak mungkin untuk menghitung ketersediaan sumberdaya dari sudut pandang satwa (Litvaitis et al., 1993). Kita dapat menghitung kelimpahan species prey untuk suatu predator tertentu, tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa semua prey yang ada di dalam habitat dapat dimangsa karena adanya beberapa batasan, seperti ketersediaan cover yang banyak yang membatasi aksesibilitas predator untuk memangsa prey. Hal yang sama juga terjadi pada vegetasi yang berada di luar jangkauan suatu satwa sehingga susah untuk dikonsumsi, walaupun vegetasi itu merupakan kesukaan satwa tersebut. Meskipun menghitung ketersediaan sumber daya aktual merupakan hal yang penting untuk memahami hubungan antara satwa liar dan habitatnya, dalam praktek jarang dilakukan karena sulitnya dalam menentukan apa yang sebenarnya tersedia dan apa yang tidak tersedia (Wiens 1984:406). Sebagai konsekuensinya, mengkuantifikasi ketersediaan sumberdaya biasanya lebih ditekankan pada penghitungan kelimpahan sumberdaya sebelum dan sesudah digunakan oleh satwa dalam suatu kawasan, daripada ketersediaan aktual. Ketika aksesibilitas sumber daya dapat ditentukan terhadap suatu satwa, analisis untuk menaksir kesukaan habitat dengan membandingkan penggunan dan ketersediaan merupakan hal yang penting. 

Kualitas Habitat: Istilah kualitas habitat menunjukkan kemampuan lingkungan untuk memberikan kondisi khusus tepat untuk individu dan populasi secara terus menerus. Kualitas merupakan sebuah variabel kontinyu yang berkisar dari rendah, menengah, hingga tinggi. Kualitas habitat berdasarkan kemampuan untuk memberikan sumberdaya untuk bertahan hidup, reproduksi, dan kelangsungan hidup populasi secara terus menerus. Para peneliti umumnya menyamakan kualitas habitat yang tinggi dengan menonjolkan vegetasi yang memiliki kontribusi terhadap kehadiran (atau ketidak hadiran) suatu spesies (seperti dalam Habitat Suitability Index Models dalam Laymon dan Barrett 1986 dan Morrison et al. 1991). Kualitas secara eksplisit harus dihubungkan dengan ciri-ciri demografi jika diperlukan. Leopold (1933) dan Dasman et al. (1973) menyatakan bahwa suatu habitat dikatakan memiliki kualitas yang tinggi apabila kepadatan satwa seimbang dengan sumberdaya yang tersedia, di lapangan pada umumnya habitat yang memiliki kualitas ditunjukkan dengan besarnya kepadatan satwa (Laymon dan Barrett 1986). Van Horne (1983) mengatakan bahwa kepadatan merupakan indikator yang keliru untuk kulitas habitat. Oleh sebab itu daya dukung dapat disamakan dengan level kualitas habitat tertentu, kualitasnya dapat berdasarkan tidak pada jumlah organisme
tetapi pada demografi populasi secara individual. Kualitas habitat merupakan kata kunci bagi para ahli restorasi.

Beberapa istilah seperti makrohabitat dan mikrohabitat penggunaannya tergantung dan merujuk pada skala apa studi yang akan dilakukan terhadap satwa menjadi pertanyaan. (Johnson, 1980).

Dengan demikian makrohabitat dan mikrohabitat harus ditentukan untuk masing-masing studi yang berkenaan dengan spesies spesifik. Secara umum, macrohabitat merujuk pada ciri khas dengan skala yang luas seperti zona asosiasi vegetasi (Block and Brennan, 1993) yang biasanya disamakan dengan level pertama seleksi habitat menurut Johnson. Mikrohabitat biasanya menunjukkan kondisi habitat yang sesuai, yang merupakan faktor penting pada level 2-4 dalam hierarkhi Johnson. Oleh sebab itu merupakan hal yang tepat untuk menggunakan istilah mikrohabitat dan makrohabitat dalam sebuah pandangan relatif, dan pada skala penerapan yang ditetapkan secara eksplisit. 

Niche: Habitat suatu organisme adalah tempat organisme itu hidup, atau tempat ke mana seseorang harus pergi untuk menemukannya. Sedangkan niche (relung) ekologi merupakan istilah yang lebih luas lagi artinya tidak hanya ruang fisik yang diduduki organisme itu, tetapi juga peranan fungsionalnya di dalam masyarakatnya (misal: posisi trofik) serta posisinya dalam kondisi lingkungan tempat tinggalnya dan keadaan lain dari keberadaannya itu. Ketiga aspek relung ekologi itu dapat dikatakan sebagai relung atau ruangan habitat, relung trofik dan relung multidimensi atau hypervolume.

Oleh karena itu relung ekologi sesuatu organisme tidak hanya tergantung pada dimana dia hidup tetapi juga apa yang dia perbuat (bagaimana dia merubah energi, bersikap atau berkelakuan, tanggap terhadap dan mengubah lingkungan fisik serta abiotiknya), dan bagaimana jenis lain menjadi kendala baginya. Hutchinson (1957) telah membedakan antara niche pokok (fundamental niche) dengan niche yang sesungguhnya (relized niche). Niche pokok didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik yang memunkinkan populasi masih dapat hidup. Sedangkan niche sesungguhnya didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik yang ditempati oleh organisme-organisme tertenu secara bersamaan.

Dimensi-dimensi pada niche pokok pada niche pokok menentukan kondisi-kondisi yang menyababkan organisme-organisme dapat berinteraksi tetapi tidak menentukan bentuk, kekuatan atau arah interaksi. Dua faktor utama yang menetukan bentuk interaksi dalam populasi adalah kebutuhan fisiologis tiap-tiap individu dan ukuran relatifnya. Empat tipe pokok dari interaksi diantara populasi sudah diketahui yaitu: kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis. 

Agar terjadi interaksi antar organisme yang meliputi kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis harusnya ada tumpang tidih dalam niche. Pada kasus simbion, satu atau semua partisipan mengubah lingkungan dengan cara membuat kondisi dalam kisaran kritis dari kisaran-kisaran kritis partisipan yang lain. Untuk kompetitor, predator dan mangsanya harus mempunyai kecocokan dengan parameter niche agar terjadi interaksi antar organisme, sedikitnya selama waktu interaksi.

Pengertian umum habitat menurut Alikodra (1990), adalah sebuah kawasan yang terdiri dari komponen fisik maupun abiotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar. Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya, karena habitat mempunyai fungsi menyediakan makanan, air dan pelindung. Habitat yang sesuai untuk suatu jenis, belum tentu sesuai untuk jenis yang lain, karena setiap satwa menghendaki kondisi habitat yang berbeda beda (Dasman, 1981). Habitat suatu jenis satwa liar merupakan sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik serta dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya (Alikodra, 1990).

Komponen habitat yang dapat mengendalikan kehidupan satwa liar (Shawn, 1985), terdiri dari:
  1. Pakan (food), merupakan komponen habitat yang paling nyata dan setiap jenis satwa mempunyai kesukaan yang berbeda dalam memilih pakannya. Sedangkan ketersediaan pakan erat hubungannya dengan perubahan musim;
  2. Pelindung (cover), adalah segala tempat dalam habitat yang mampu memberikan perlindungan bagi satwa dari cuaca dan predator, ataupun menyediakan kondisi yang lebih baik dan menguntungkan bagi kelangsungan kehidupan satwa;
  3. Air (water), dibutuhkan oleh satwa dalam proses metabolisme dalam tubuh satwa. Kebutuhan air bagi satwa bervariasi, tergantung air dan/atau tidak tergantung air. Ketersediaan air pada habitat akan dapat mengubah kondisi habitat, yang secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh pada kehidupan satwa;
  4. Ruang (space), dibutuhkan oleh individu-individu satwa untuk mendapatkan cukup pakan, pelindung, air dan tempat untuk kawin. Besarnya ruang yang dibutuhkan tergantung ukuran populasi, sementara itu populasi tergantung besarnya satwa, jenis pakan, produktivitas dan keragaman habitat.Tipe habitat merupakan komponen-komponen sejenis pada suatu habitat yang mendukung sekumpulan jenis satwa liar untuk beraktivitas. Tipe habitat yang diperlukan suatu satwa di identifikasi melalui pengamatan fungsi-fungsinya, misalnya untuk makan atau bertelur. Satwa memilih habitat yang tersedia dan sesuai untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sedangkan struktur vegetasi merupakan susunan vertikal dan distribusi spasial tumbuh-tumbuhan (vegetasi) dalam suatu komunitas. Menurut Mueller, Dombois dan Ellenberg, 1974, struktur vegetasi berfungsi sebagai pengaturan ruang hidup suatu individu dengan unsur utama adalah: bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk

No comments:

Post a Comment