Sunday, 21 August 2011

Kehamilan dan Asma Bronkhiale

Asma Bronkhiale (AB) merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai sehari-hari dengan ditandai oleh adanya obstruksi bronkhiale yang difus namun reversible baik secara spontan ataupun melalui pengobatan.
Di Amerika Serrikat insiden AB pada kehamilan berkisar antara 0.5 sampai 1.0 % dari seluruh kehamilan.  Angka abortus, partus dan partus prematurus maupun kematian pada ibu atau janin, umumnya tidak mengalami peningkatan pada ibu-ibu yang menderita AB yang terkontrol dengan baik. Sementara itu, kehamilan dengan serangan AB yang berat merupakan suatu problem yang serius, dengan angka abortus partus prematurus serta angka kematian ibu dan janin yang meningkat.

Pengaruh Kehamilan terhadap Asma Bronkiale

Pada seorang wanita hamil terjadi perubahan-perubahan fisiologis pada beberapa organ-organ tubuhnya. Perubahan-perubahan fisiologis yang diketahui berpengaruh terhadap perjalanan AB antara lain membesarnya uterus, elevasi diafragma, perubahan-perubahan hormonal dan lain-lain.

Sejak inplantasi blastokist pada endometrium, uterus akan terus membesar sesuai umur kehamilan. Pada akhir bulan ke tiga, uterus sudah cukup besar dan umumnya sebagian sudah tersembul ke luar rongga pelvis, mengisi rongga perut untuk selanjutnya terus membesar perlahan-lahan mendesak usus ke atas dan ke samping, sehingga pada trimester terakhir kehamilan, uterus sudah mencapai daerah setinggi hati. Semua ini akan meningkatkan tekanan intrabdominal.

Perubahan-perubahan hormonal yang terjadi saat kehamilan dan persalinan menyangkut banyak jenis hormon-hormon, tetapi yang diketahui ada kaitannya langsung ataupun tidak langsung terhadap perjalanan AB baru beberapa jenis.

1. Progesteron

Meningkatnya hormon progesteron pada masa kehamilan, mempunyai efek langsung terhadap pusat pernapasan (respiratory center), menyebabkan peningkatan frekuensi pernapasan (respiratory rate), sehingga menyebabkan hiperventilasi. Progesteron juga bersifat “smooth muscle relaxan” terhadap otot-otot polos usus, genitourinarius, dan diduga juga pada otot-otot bronkus.

2. Estrogen
Hormon Estrogen, kadarnya meningkat saat kehamilan, terutama pada trimester ketiga. Estrogen mempunyai efek menurunkan “diffusing capacity” dari CO2 pada paru-paru dan diduga, ini terjadi sebagai akibat meningkatnya asam mukopolisakharida perikapiler.

3. Kortisol
Hormon Kortisol, kadarnya meningkat pada kehamilan, diduga sebagai akibat klirens kortisol yang menurun, bukan karena sekresinya yang meningkat, sehingga waktu paruhnya akan memanjang. Dan pemberian preparat steroid pada masa kehamilan harus memperhitungkan keadaan ini.

Pengaruh Adsma Bronkiale Terhadap Kehamilan

Pada ibu-ibu hamil yang menderita AB, insiden hiperemesis, perdarahan, toksemia gravidarum, induksi persalinan dengan komplikasi dan kematian ibu, meningkat secara bermakna dibandingkan dengan ibu-ibu hamil tanpa penyakit AB. Hal ini diduga sangat erat hubungannya dengan obat-obat anti asma yang diberikan selama kehamilan ataupun akibat efek langsung daripada beratnya asma itu sendiri.

Hal yang sangat penting diperhatikan didalam penatalaksanaan AB pada ibu-ibu hamil ialah disamping untuk keselamatan ibunya sendiri, keselamatan janin hendaknya juga diperhatikan. Oksigenasi pada janin hendaknya dipertahankan supaya adekuat, obat-obatan hendaknya dipilih yang bisa menjamin keselamatan janin di dalam kandungan.

Pengaruh Obat-obatan Anti Asma Terhadap Kehamilan

Banyak obat yang dipakai dalam penatalaksanaan AB. Sebagian diantaranya tidak mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap kehamilan, namun sebagian lagi, dapat memberikan pengaruh yang sebaliknya, sehingga pemakaiannya harus hati-hati dan hanya atas indikasi-indikasi tertentu saja.

A. Golongan Xanthin
Golongan yang luas dipakai adalah aminofilin dan teofilin. Cara kerja kedua jenis obat ini adalah sebgai bronkodilator yang langsung bekerja pada otot-otot bronkus dengan jalan menghambat kerja enzim fosfodisterase.

Aminofilin dan teofilin merupakan obat yang cukup aman bagi ibu hamil dengan AB. Pada dosis terapeutik tidak terbukti bahwa obat-obat ini berbahaya pada ibu atau janin, bahkan pada beberapa kasus terjadi penurunan yang bermakna daripada insidens “respiratory distress syndrome” pada bayi-bayi dari ibu yang mendapat aminoflin.

B. Golongan simptomatik
Obat-obatan dari golongan ini adalah adrenalin, efedrin, isoprenalin, terbutalin, salbutamol, orsiprenalin dan sebagainya. Obat-obat ini bekerja sebagai anti asma dengan cara merangsang reseptor simpatis.

C. Adrenalin

Selain merangsang reseptor beta1 dan beta2, juga merangsang reseptor alpha, sehingga selain merangsang bronkus, obat ini juga merangsang jantung, pembuluh darah dan lain-lain. Untuk mencegah efek samping, maka dianjurkan untuk mempergunakan dosis terkecil yang masih memberikan dilatasi bronkus yang optimal.

Selain itu, obat ini juga meberikan efek kontriksi pembuluh darah, mukosa bronkus, sehingga mengurangi edema dan kongesti saluran nafas. Adrenalin juga menyebabkan penurunan sementara perfusi uterus yang dapat menyebabkan “fetal distress”. Pemakaian pada umur kehamilan di bawah 4 bulan harus dihindari, karena ditemukan kasus –kasus malformasi janin, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti.

D. Efedrin

Farmakodinamiknya mirip adrenalin, namun mulai jarang dipakai, karena efek bronkodilatornya kurang kuat. Pada dosis terapi sering memberikan efek samping yang jelas. Pada kasus-kasus dengan kehamilan, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa obat ini mengganggu kehamilan, sehingga digolongkan aman untuk dipakai.

E. Obat-obat Beta Agonis
Seperti halnya terbutalin, orsiprenalin, heksoprenalin, salbutamol dll, mempunyai efek stimulasi terhadap adrenoreseptor beta2. Obat-obat golongan ini bekerja dengan meningkatkan siklik AMP dengan jalan merangsang reseptor beta2 yang terdapat pada membran otot polos bronkus.

Dengan perangsangan ini, maka aktifitas ensim adenilsiklase akan meningkat, sehingga perubahan-perubahan ATP menjadi siklik AMP bertambah. Belum diketahui efeknya terhadap janin, tetapi obat ini cukup aman dipakai pada kehamilan.

Karena obat ini dapat menyebabkan relaksasi pada otot-otot uterus, maka pada batas tertetntu akan dapat menyulitkan jalannya persalinan, ataupun atonia uteri, sehingga tidak dianjurkan untuk dipakai pada hamil tua, saat inpartu ataupun masa nifas.

F. Sodium Kromoglikat

Cara kerja obat ini adalah dengan menghambat pelepasan mediator humoral pada sel mast, sehingga dapat mencegah serangan asma. Obat ini tidak menyebabkan kelainan pada janin maupun pada ibunya, sehingga nampaknya tidaklah berbahaya. Namun demikian pemakaian pada ibu-ibu hamil datanya belum cukup banyak.

G. Kortikosteroid

Obat-obat ini umumnya digunakan pada AB yang berat. Kortikosteroid memiliki efek anti alergi dan anti inflamasi, juga dapat meningkatkan otot polos bronkus yang refrakter terhadap stimulant adrenoreseptor B2.

Pada kehamilan kadar kortisol ibu meningkat, dan hanya sebagian kecil saja yang melewati plasenta ke dalam sirkulasi janin dan segera berubah menjadi bentuk inaktif. Prednisone dan prednisolon dapat menembus plasenta dalam kadar yang sangat kecil, kira-kira 1/10 kadar plasma ibu, sehingga sangatlah jarang terjadi supresi pertumbuhan kelenjar adrenal janin pada ibu-ibu hamil yang mendapat obat ini.

H. Antihistamin, Ekspektorans dan antibiotika
Walapun secara langsung bukan sebagai obat asma, namun sering digunakan secara bersama dengan obat asma, pada penderita-penderita AB. Dipenhidramin, tripilinamin, feniramin, klorfeniramin, fenilefrin merupakan obat-obat yang dapat dipergunakan secara aman pada ibu-ibu hamil.

Ekspektoran, terkecuali ynag mengandung yodium juga aman dipakai. Diantara antibiotik, golongan penisilin dan derivatnya merupakan obat yang paling aman pada kehamlan.

Pengaruh beberapa obat-obat pertolongan persalinan terhadap asma bronkiale.

Beberapa jenis obat-obatan yang sering dipergunakan pada saat persalinan, secara farmakologis mempunyai potensi untuk mempengaruhi perjalanan AB.

1. Prostaglandin

Merupakan obat yang dapat menginduksi terjadinya abortus pada kasus-kasus abortus terapeutis, induksi persalinan, induksi haid dan lain-lain, sehubungan dengan khasiatnya dapat menyebabkan kontraksi uterus. Prostaglandin F2a dan E2 juga mempunyai efek sebagai bronkokonstriktor, sehngga berakibat meningkatkan “pulmonary resistance”, dan akan memperberat AB, oleh karena itu pemakaian obat ini pada penderita AB akan berbahaya, sehingga patut dihindari.

2. Obat-obat anesthesia

Anestesia tidak jarang diperlukan pada berbagai macam kasus ginekologis maupun obstetric, Dietil eter mempunyai efek bronkodilatasi namun sangat iritatif terhadap mukosa bronkus, dan dapat menyebabkan sekresi yang berlebihan. Nitrous okside dan halotan mempunyai efek bronkolitik, sehingga dalam hal ini obat tersebut merupakan obat-obat pilihan.

Disamping itu anestesi epidural, anaestesi spinal, “saddle block”, “pudendal bock” ataupun anaestesi lokal dapat digolongkan sebagai cara anestesi yang aman untuk penderita-penderita AB.

Penatalaksanaan Asma Bronkiale pada kehamilan
Pada dasarnya penatalaksanaan AB pada kehamilan tidaklah berbeda dengan penatalaksanaan AB pada umunya, namun di dalam beberapa hal perlu perhatian khusus yang menyangkut keselamatan ibu dan janin, utamanya di dalam pemilihan obat-obat yang akan dipergunakan dan mencegah penyakitnya berlarut-larut untuk mencegah kemungkinan terjadinya hipoksia pada janin.

Penderita Rawat Jalan
Penderita dengan serangan AB yang ringan dapat dirawat sebagai penderita rawat jalan. Hal yang paling penting pada penderita-penderita ini adalah mencegah supaya serangan AB jangan timbul dan jangan menjadi berat, sehingga di dalam hal ini sangat perlu mengidenitfikasi serta mengeliminir faktor-faktor pencetus, seperti infeksi saluran nafas, inhalasi alergen, bahan-bahan iritatif, stress emosional, dan sebagainya. 

Sodium kromoglikat dapat merupakan obat yang terpilih dalam usaha pencegahan ini disamping eliminasi faktor-faktor pencetus.

Pada serangan AB yang ringan, teofilin dapat merupakan pilihan atau kalau perlu amniofilin intravenous 250 – 500 mg secara bolus pelan-pelan atau isopreterinol inhalasi atau nebulizer, atau adrenalin subkutan 0,2-0,5 ml, yang dapat diulang dalam 15 sampai 30 menit kemudian.

Pada penderita “steroid dependent asthma”, prednisone, prednisolon merupakan obatan yang terpilih. Beklometason dipropionat peri-inhalasi juga dapat diberikan untuk menggantikan prednisone atau untuk mengurangi kebutuhan terhadap prednisone.

Penderita Rawat Inap
Diperuntukkan bagi penderita dengan AB yang berat atau status asthmaticus. Diberikan aminofilin IV 250-500 mg secara bolus pelan-pelan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian aminoflin per-infus dengan dosis 0,9 mg/kg BB/hari. 

Hidrokortison sodium suksinat diberikan 100-200 mg IV/4-6 jam, oksigen melalui kateter hiidung, cairan dan elektrolit yang cukup dan eliminasi faktor-faktor pencetus.

Apabila perlu ditambahkan obat-obat golongan beta agonis, dalam hal ini yang telah banyak dipergunakan pada kasus dengan kehamilan adalah terbutalin peroral 2.5 – 5 mg/8 jam.

Pada penderita AB yang inpartu perlu mendapat pengobatan dan pengawasan dengan seksama, karena sangat sering AB yang semula ringan menjadi berat saat inpartu, atau pada saat kehamilaan AB tidak pernah menyerang, saat inpartu AB menyerang.

Penatalaksanaan sesuai dengan berat ringannya AB, dengan pengawasan yang seksama terhadap perkembangan penyakit. Dalam keadaan ini perlu diingat bahwa obat-obat adrenalin dan beta agonis mempunyai efek yang tidak menguntungkan, sehingga pemakaiannya harus dihindari.

Perhatian khusus perlu pula diberikan terhadap penderita-penderita dengan riwayat “steroid dependent asthma” yang inpartu. Diperlukan pemberian kortikosteroid eksogen yang adekuat, yang maksudnya memberikan konsentrasi yang cukup dari hormon ini untuk menghadapi stress pada saat partus, dan mencegah eksaserbasi AB inpartu. Untuk maksud ini, sejak dimulainya inpartu diberikan hidrokortison 100 mg intramuskuler setiap 8 jam selama 24 jam atau lebih, sesuai keadaan.


No comments:

Post a Comment