Friday, 12 August 2011

Kontrasepsi Hormonal Pada Pria


Kontrasepsi hormonal pada pria belum banyak kita kenal dan belum memasyarakat sebagai salah satu metode kontrasepsi, dibandingkan metode kontrasepsi pada wanita yang sudah dikenal dan diterima secara luas. Walaupun penelitian-penelitian sudah banyak dilakukan tentang kontrasepsi hormonal pada pria, disamping kontrasepsi dengan memakai kondom atau dengan melakukan vasektomi.

Pria merupakan fokus baru untuk program KB yang selama ini belum banyak diperhatikan. Kontrasepsi pria mempunyai harapan perkembangan yang cukup luas di masa datang, dengan ditemukannya hasil penelitian baru. WHO sebagai badan kesehatan dunia telah membentuk suatu Task Force untuk mencari atau mengembangkan metode pengaturan kesuburan pria yang aman, efektif, reversibel dan dapat diterima, serta memonitor keamanan dan efektifitas metode yang ada. Suatu kontrasepsi dikatakan ampuh bila angka kegagalan dimana terjadi kehamilan kurang dari 3%

Secara garis besar cara kontrasepsi pria dapat dibagi menjadi cara mekanis dan cara medikamentosa. Secara mekanis dengan pemakaian kondom dan secara operatif dengan vasektomi. Salah satu cara pengaturan kesuburan pria dengan cara medikamentosa adalah dengan hormon. Sampai saat ini telah diketahui beberapa hormon yang dapat menekan produksi spermatozoa, antara lain analog gonadotropin releasing hormon (GnRH), hormon steroid seperti androgen, progestin dan estrogen. Beberapa jenis androgen yang mudah diperoleh dan diketahui dapat menekan spermatogenesis, misalnya testosteron enanthate (TE) dan 19 nortestosteron (nandrolon).

Kadar testosteron yang normal dalam darah berfungsi memelihara dan mempertahankan spermatogenesis. Sebaliknya kadar testosteron yang tinggi diatas kadar fisiologis akan menghambat spermatogenesis. Akibatnya terjadi oligozoospermia atau azoospermia. Hal ini menjadi dasar pemikiran perkembangan kontrasepsi pada pria.


Kontrasepsi hormonal pria lebih sulit dilakukan untuk menekan produksi sperma dibandingkan dengan kontrasepsi hormonal pada wanita. Secara teori lebih mudah menekan ovulasi pada wanita sebulan sekali dari pada menekan produksi sperma yang diproduksi terus menerus. Produksi sperma tergantung dari stimulasi gonadotropin terus menerus, bila ingin menekan sekresi gonadotropin diperlukan dosis steroid seks yang tinggi.

Peran Testoteron Pada Spermatogenesis

Pada pria testorsteron merupakan androgen utama dalam system peredaran. Biosintesis testosteron berlangsung dalam sel Leydig di jaringan inter tubuler, sedangkan proses spermatogenesis berlangsung dalam epitel tubulus semineferus.

Di dalam tubulus semineferus , testosteron berfungsi dalam mengontrol proses spermatogenesis pada pembelahan miosis dan proses spermiogenesis. Hormon lain yang berhubungan dengan spermatogenesis adalah FSH dan LH. FSH bekerja langsung pada epitel germinal atau melalui sel Sertoli, sedangkan LH berpengaruh pada sel Leydig untuk memproduksi testosteron.

GnRH dari hipotalamus merangsang hipofisis untuk melepaskan FSH dan LH. FSH bekerja pada sel germinal untuk memulai proliferasi dan diferensiasi serta meningkatkan sensitifitas sel Leydig terhadap LH untuk memproduksi testosteron (steroidogenesis). Testosteron dan FSH secara sinergis diperlukan secara normal untuk proses spermatogenesis.

Testosteron bekerja pada sel sertoli untuk menghasilkan zat gizi yang diperlukan dalam proliferasi dan diferensiasi sel germinal untuk membentuk spermatozoa yang fungsional. Disamping itu testosteron yang berdifusi ke sel peritubuler diperlukan untuk menghasilkan faktor pemacu sel sertoli (P-mod-S) yang penting untuk meningkatkan aktifitas sel sertoli untuk menghasilkan zat-zat gizi bagi sel germinal.


Testoteron Sebagai Alternatif Pengembangan Kontrasepsi Pria

Metoda kontrasepsi hormonal bertujuan untuk mengurangi atau mencegah produksi spermatozoa secara reversibel yaitu hambatan sekresi gonadotropin sehingga kadar testosteron intra-testikuler menjadi rendah. Pemberian testosteron dari luar ditambah dengan produksi hormon testosteron dari tubuh menyebabkan testosteron dalam darah tinggi. Hal ini akan menyebabkan mekanisme umpan balik negatif terhadap hipofisis sehingga produksi LH dan FSH menurun. Penurunan kadar FSH dan LH akan menghambat proses spermatogenesis. Oleh karena itu testosteron dapat diharapkan sebagai bahan kontrasepsi karena sangat efektif untuk menginduksi terjadinya azoospermia dan oligozoospermia.

Meskipun produksi spermatozoa turun 95% pada relawan yang mendapat injeksi testosteron dosis suprafisiologis, tetapi tidak semua relawan menjadi azoospermia. Hasil penelitian dari berbagai tempat menunjukkan azoospermia dicapai setelah pemberian TE. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan testosteron plasma 40% di atas normal.

Dari hasil penelitian multisenter ini penyuntikan TE setiap minggu sekali ternyata cukup efektif untuk pria Asia, sehingga penggunaan TE sebagai kontrasepsi untuk pria Asia akan lebih efektif karena terjadi nya azospermia pada pria Asia lebih besar dibandingkan dengan pri non Asia. Sehingga pada pemakaian kontrasepsi TE di Indonesia kadar keampuhannya lebih besar.

Kontrasepsi pria yang ideal adalah aman, efektif, reversibel dan dapat diterima. Pemakaian TE dapat dikatakan aman karena mempunyai efek samping yang minimum. Penyuntikan TE sebagai penurunan kesuburan pria adalah efektif dengan angka kegagalan terjadi kehamilan pada pasangannya <3%. Sehingga keampuhannya sebanding dengan kontrasepsi wanita. Bila penyuntikan TE dihentikan akan terjadi peningkatan sperma kembali sampai konsentrasi >20 juta/ml. Sehingga penyuntikan TE bersifat reversible. Hanya sayangnya penyuntikan tiap minggu tidak praktis untuk dipakai sebagai kontrasepsi pria sehingga belum dapat diterima masyarakat.

Untuk lebih meningkatkan efektifitas testosteron menurunkan produksi sperma sampai mencapai azoospermia, digunakan kombinasi androgen/ testosteron dengan progesteron. Progestron digunakan untuk kontrasepsi wanita karena dapat menekan gonadotropin. Mekanisme kerja inilah yang dipakai pada kontrasepsi pria untuk menekan gonadotropin, sehingga dapat menekan produksi sperma.

Pada pemberian regimen secara oral dengan menggabungkan cyproterone asetat dengan testosterone undecanoate didapatkan penurunan produksi sperma, meskipun mungkin tidak sampai azoosperma, dan juga penurunan hormon-hormon LH, FSH dan Testoteron, secara bermakna.

Pemberian kombinasi kedua obat tersbut, tidak memberikan efek yang bermakna pada hematologi maupun pada berat badan, tetapi volume testis tampak menurun.

Testoteron Daya Kerja Panjang

Karena penyuntikan TE tiap minggu dipandang tidak praktis untuk penggunaan kontrasepsi pria, maka perlu dicari testosteron dengan daya kerja jangka panjang. Salah satu testosteron dengan daya kerja jangka panjang yang sedang dikembangkan adalah testosteron busiklat. Testosteron ini telah digunakan untuk pengobatan pria dengan hipogonadisme yang hasilnya menunjukkan bahwa injeksi dosis tunggal 600 mg dapat meningkatkan kadar androgen plasma secara bermakna, dan dipertahankan pada kadar normal selama 12 minggu.

Cara lain kontrasepsi pada pria adalah dengan penyuntikan tiap bulan depot-medroxyprogesteron acetat (DMPA, 200 mg atau 100 mg) dan testosteron enanthate (250 mg atau 100 mg) dapat menyebabkan supresi spermatogenesis sampai azoospermia.

Penggunaan testosteron dengan daya kerja jangka panjang lainnya ialah testosteron implan, dikenal sebgai metode lepas lambat. Disini terjadi pelepasan testosteron kedalam sirkulasi darah secara bertahap, sehingga kadar testosteron yang tinggi dapat dipertahankan lebih lama. Walaupun testosteron implan lebih efektif untuk mencapai azospermia tetapi dalam pemakaiannya masih sulit diterima. Testosteron jangka panjang jenis lain adalah testosteron undecanoate (TU).

Pemberian 7α-methyl-19-nortestosterone secara transdermal juga dapat digunakan sebagai kontrasepsi pada pria tanpa mempengaruhi libido dan karakteristik seks sekunder.

Keamanan Kontrasepsi Hormonal Pada Pria

Penggunaan kontrasepsi hormonal pada pria perlu mendapat perhatian untuk keamanan pemakaiannya seperti juga pada kontrasepsi pada wanita. Seleksi testosteron enanthate selama 30 tahun pengalaman klinik sebagai kontrasepsi hormonal pada pria yang aman.

Dengan pemberian yang hati-hati dan monitoring dengan pemeriksaan laboratorium klinik dilakukan untuk mengetahui status pasien secara keseluruhan, merupakan suatu protokol pemberian kontrasepsi hormonal pada pria. Pengaruh terhadap libido dan karakteristik sex sekunder harus diperhatikan. Kadang-kadang pada keadaan tertentu dimana diperlukan pemeriksaan khusus dengan prosedur tertentu termasuk ukuran prostat dengan ultrasound atau pemeriksaan antigen prostat spesifik.


No comments:

Post a Comment