Tuesday, 30 November 2010

Parikesit & Upacara Sharpayajna (Sharpahoma)


Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Abimanyu, yang bertahta di Hastinapura dengan Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Parikesit lahir di istana Hastinapura setelah keluarga Pandawa boyong dari Amarta ke Hastinapura. Parikesit memiliki anak yang bernama Janamejaya. Karena beliau merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa.

Pada saat Maharaja Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut serta bersama Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukshetra. Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur akibat serangan musuh yang dilakukan secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Dewi Utari, karena gugur dalam perang.

Pada pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aswatama bertarung dengan Arjuna. Aswatama dan Arjuna sama-sama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata Brahmāstra. Karena dicegah oleh Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar senjata tersebut diarahkan ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh Parikesit yang masih berada dalam kandungan. Atas pertolongan Kresna, Parikesit dihidupkan kembali. Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya.

Setelah Parikesit lahir, Resi Dhomya menyampaikan ramalannya kepada Yudistira bahwa ia akan menjadi pemuja setia Dewa Wisnu, dan semenjak ia diselamatkan oleh Bhatara Kresna, ia akan dikenal sebagai Vishnurata (Orang yang selalu dilindungi oleh Sang Dewa).

Resi Dhomya juga menyampaikan bahwa Parikesit akan selamanya mencurahkan kebajikan, ajaran agama dan kebenaran, dan akan menjadi pemimpin yang bijaksana, tepatnya seperti Ikswaku dan Rama dari Ayodhya. Ia akan menjadi ksatria panutan seperti Arjuna, kakeknya sendiri, dan akan membawa kemahsyuran bagi keluarganya.

Saat dimulainya zaman Kali Yuga, yaitu zaman kegelapan, dan mangkatnya Kresna Awatara dari dunia fana, lima Pandawa bersaudara pensiun dari pemerintahan. Parikesit naik tahta negara Hastinapura menggantikan kakeknya Prabu Yudistira (Prabu Karimataya), dengan Krepa sebagai penasehatnya. Beliau berwatak bijaksana, jujur dan adil. Beliau juga menyelenggarakan Aswameddha Yajña tiga kali di bawah bimbingan Krepa.

Prabu Parikesit mempunyai 5 (lima) orang permasuri dan 8 (delapan) orang putera, yaitu:
-          Dewi Puyangan, berputera Ramayana dan Pramasata
-          Dewi Gentang, berputera Dewi Tamioyi
-          Dewi Satapi alias Dewi Tapen, berputera Yudayana dan Dewi Pramasti
-          Dewi Impun, berputera Dewi Niyedi
-          Dewi Dangan, berputera Ramaprawa dan Basanta.

 

Kutukan Sang Srenggi

Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi berburu kijang dan tanpa disadari ia telah sampai ke tengah hutan. Kijang yang diincar atau dibidiknya, terus diikutinya sampai pada suatu saat Prabu Parikesit kehilangan jejak. Ia menjadi kepayahan, dan berusaha  untuk mencari tempat beristirahat. Akhirnya sampailah ia di sebuah tempat pertapaan di dalam hutan tersebut. Di pertapaan itu, tinggal seorang pendeta, bernama Begawan Samiti. 

Pada saat Raja Parikesit sampai dipertapaan itu, Begawan Samiti sedang duduk bertapa dan pantang untuk berbicara (tapa dengan membisu). Ketika Sang Raja bertanya kemana buruannya pergi, Begawan Samiti hanya diam membisu karena memang sedang pantang berkata-kata. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Begawan Samiti.

Begawan Samiti memiliki seorang putra bernama Sang Srenggi, yang memiliki sifat mudah marah. Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat ada bangkai ular melilit di leher ayahnya. Ia bertanya-tanya siapakah yang berani bersikap kurang ajar kepada Begawan Samiti, ayahnya, dengan melilitkan bangkai ular tersebut ke lehernya? 

Ia kemudian mendapat penjelasan dari Sang Kresa, bahwa yang mengalungkan bangkai ular ke leher ayahnya adalah raja Parikesit. Karena memang sifatnya yang mudah marah, mendengar itu Sang Srenggi menjadi sangat marah. Kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. 

Begawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Begawan Samiti berjanji akan mengakhiri kutukan tersebut. Ia lalu mengutus muridnya untuk memberitahu sang Raja. Namun, karena sang Raja sudah merasa tersinggung dan juga malu untuk menerima pengakhiran kutukan tersebut dari Begawan Samiti, maka ia lebih memilih untuk berlindung.

Raja Parikesit lalu menyuruh untuk mengadakan upacara Sarpayajna guna mengusir semua ular dan berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan ketat oleh para prajurit serta para patihnya. Di sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular.

Sang Sregi kemudian mengutus naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintahnya menggigit raja Parikesit. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Raja berada dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Naga Taksaka pada awalnya mengalami kesulitan untuk menjalankan perintah itu. 

Akhirnya pada hari ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya, naga Taksaka menyamar menjadi ulat dan masuk ke dalam jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Pada saat Raja Parikesit menyantap jambu yang dihidangkan, naga Taksaka menggigitnya dan raja Partikesit wafat setelah digigit Naga Taksaka .

Upacara Sharpahoma (Upacara pengorban ular)

Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan wajah yang tampan. Setelah menginjak dewasa, Raja Janamejaya menikah dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Selama masa pemerntahannya, Raja Janamejaya memerintah Hastinapura dengan adil dan bijaksana, sebagaimana ayahnya, sehingga kerajaan Hastina menjadi kuat, aman dan tenteram.

Pada suatu saat, setelah Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka yang juga berasal dari desa Taksila, datang menghadap Raja Janamejaya. Sang Uttangka menyatakan, bahwa ia sangat membenci Naga Taksaka. Ia juga menceritakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena digigit Naga Taksaka.

Raja Janamejaya kemudian meneliti kebenaran cerita tersebut dan ternyata para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka. Sang Raja kemudian dianjurkan mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga Taksaka. Raja Janamejaya setuju untuk mengadakan upacara pengorbanan ular yang dikenal dengan sebutan Sarpahoma, guna membasmi seluruh ular dari muka bumi. 

Mendengar niat Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Naga Taksaka kemudian mengutus Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja.

Astika yang  menerima tugas tersebut, lalu pergi ke tempat upacara pengorbanan ular dilaksanakan, di tepi sungai Arind, di daerah Bardan. Untuk menandai tempat upacara tersebut, raja Janamejaya, membangun sebuah kolam batu yang disebut Parikshit Kund. Para brahmana sebenarnya tahu bahwa kelak upacara tersebut akan digagalkan oleh seorang brahmana, namun mereka tidak memberitahukannya kepada Sang Raja.

Raja Janamejaya kemudian memerintahkan untuk menyiapkan segala kebutuhan upacara dengan mengundang para brahmana dan ahli mantra untuk membantu persiapan upacara Sarpahoma. Setelah sarana dan prasarana lengkap, Sang Raja memerintahkan untuk segera memulai upacara pengorbanan ular. Api di tungku pengorbanan, berkobar-kobar. Dengan mantra-mantra suci yang dibacakan oleh para brahmana, beribu-ribu ular (naga) yang melayang di langit, bagaikan terhisap dan lenyap ditelan api pengorbanan.
 
Pada saat upacara sedang berlangsung, muncullah seorang brahmana yang bernama Sang Astika. Ia kemudian segera menemui Raja Janamejaya dan setelah menghaturkan sembah sujud kepada Sang Raja, Astika dengan hati tulus mohon kepada Sang Raja untuk menghentikan upacara pengorbanan ular tersebut. Ia mengatakan bahwa upacara tersebut tidak pantas untuk dilakukan. 

Karena merasa terharu akan ketulusan Astika dan digerakkan dengan rasa belas-kasihannya, Maharaja Janamejaya, akhirnya menghentikan upacara tersebut. Setelah upacara tersebut dihentikan, Sang Astika segera mohon diri untuk kembali ke Nagaloka dan Naga Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.

Setelah Astika pulang, Sang Raja merasa kecewa karena upacaranya tidak sempurna. Sebagai gantinya, Resi Wesampayana menuturkan sebuah kisah panjang untuk Sang Raja, yaitu kisah para kakek buyutnya - Pandawa dan Korawa - hingga pertempuran besar di Kurukshetra.

Wesampayana menuturkan Mahabharata

Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Begawan Byasa untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di Kurukshetra. Karena Begawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Begawan Wesampayana diminta untuk mewakilinya. Beliau adalah murid Begawan Byasa.

No comments:

Post a Comment