Sunday, 7 November 2010

Saturnus

Salah satu pemandangan yang mungkin paling indah, dalam tata surya kita adalah pemandangan planet Saturnus dengan cincinnya. Dengan teleskop kecilpun, cincin planet gas ini dapat kita amati dari Bumi. Namun begitu, Saturnus bukanlah satu-satunya planet yang memiliki cincin dalam tata surya kita. Planet Jupiter, Uranus, dan Neptunus ternyata juga memiliki cincin. Namun tidak seperti cincin planet Saturnus, cincin-cincin planet Jupiter, Uranus, dan Neptunus tidak dapat diamati dengan mudah dari Bumi. Akibatnya, keberadaa cincin-cincin Jupiter, Uranus, dan Neptunus baru diketahui pada abad ke-20.

Sejarah Cincin di Tata Surya

Keberadaan cincin Saturnus sebenarnya pertama kali telah diamati oleh Galileo pada tahun 1610. Namun saat itu, Galileo tidak mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia amati, karena keterbatasan resolusi dan kualitas lensa teleskop yang digunakannya. Dengan teleskop sederhananya itu, Galielo mengamati adanya “pendamping” Saturnus yang selalu berada di samping planet tersebut. Galileo lantas menyebut Saturnus sebagai planet kembar tiga, yang hampir bersinggungan, dan yang berada di tengah, ukurannya sekitar tiga kali lebih besar dibandingkan yang lainnya. Saat itu ia meyakini ada dua buah bulan raksasa yang mengorbit planet cantik tersebut. Tapi yang menarik bulan itu tampaknya konfigurasinya seperti ini tidak berubah sepanjang pengamatannya. Ini sangat berbeda dengan ke-4 satelit Jupiter yang ia amati sebelumnya.

Ketika ia kembali mengamati planet Saturnus dua tahun kemudian, kedua “pendamping” Saturnus yang dua tahun sebelumnya selalu berada disamping Saturnus, tidak kelihatan lagi. Saturnus kelihatan hanya sebagai sebuah piringan sebagaimana penampakan Jupiter. Sejak itu ada banyak penjelasan mengapa kedua bulan itu bisa bertumbuh, mengecil, bahkan menghilang setiap 15 tahun.

Kemudian ketika ia mengamati Saturnus tahun 1616, kedua “pendamping” Saturnus tersebut kembali dapat diamati, hanya saja penampakannya berbeda dengan penampakan ketika ia pertama kali mengamati kedua pendamping Saturnus tersebut tahun 1610. Hal ini sempat membingungkan Galileo. Ia menuliskan bahwa pengetahuannya saat itu tidak bisa menjelaskan fenomena tersebut. Galileo sendiri menyebutkan “pendamping” Saturnus itu sebagai “ansae”, yaitu pegangan pada cangkir (telinga cangkir).

Pengamatan oleh astronom lainnya setelah pengamatan pertama Galileo, memberikan berbagai bentuk sketsa Saturnus dan “pendampingnya”. Tentang apa dan bagaimana sebenarnya ansae (mengambil istilah Galileo) tersebut, tidak ada penjelasan yang memuaskan.

Penjelasan yang memuaskan tentang apa dan bagaimana ansae, baru ada tahun 1656. Adalah Christian Huygen, seorang astronom Belanda, yang mengeluarkan teori bahwa apa yang selama ini disebut ansae oleh Galileo adalah sebuah sistem cincin atau piringan materi yang mengelilingi Saturnus dekat ekuatornya. Dan bahwa penampakannya yang berubah-ubah sepanjang waktu disebabkan oleh kemiringan sumbu rotasi Saturnus terhadap bidang edarnya. Piringan mirip cincin tersebut tampak muncul dan kemudian menghilang saat Bumi melewati bidang piringan. Akibatnya, perubahan posisi Saturnus (relatif terhadap pengamat di Bumi) menyebabkan perubahan penampakan sistem cincin tersebut.

Meskipun detail teori dari Huygen ini banyak yang salah, tapi ide dasarnya bisa menjelaskan apa yang disebut ansae oleh Gaileo, dan mengapa penampakannya berubah dari masa ke masa. Dan penjelasan dari Huygen dengan cepat diterima oleh berbagai pihak.

Jean Chapelain , pada tahun 1660 mengajukan pemahamannya bahwa cincin Saturnus bukanlah benda padat, tetapi merupakan kumpulan partikel-partikel yang secara bersama-sama mengelilingi Saturnus. Keberadaan sebuah celah yang memisahkan cincin Saturnus menjadi dua bagian, diamati oleh Jean-Dominique Cassini, pada tahun 1676. Celah yang memisahkan bagian cincin yang lebih terang dengan yang lebih redup ini kemudian dikenal dengan nama Celah Cassini. Dengan penemuan Celah Cassini ini, ide bahwa cincin Saturnus merupakan kumpulan partikel yang bersama-sama mengelilingi Saturnus, mendapat dukungan luas.

Dan akhirnya teori tentang cincin yang terdiri dari kumpulan partikel dan penjelasan bagaiman sistem seperti itu bisa ada, dikemukan oleh James Clerk Maxwell, tahun 1857. Pengamatan-pengamatan berikutnya oleh berbagai astronom mendukung teori Maxwell ini. Bahkan dari pengamatan E. E. Barnard diketahui celah Cassinipun ternyata tidak kosong sama sekali.

Cincin Saturnus terdiri dari partikel berbagai ukuran. Mulai dari ukuran sebesar debu yang biasa kita temui di rumah-rumah, sampai sebesar truk. Kesemuanya bercampur membentuk sistem cincin. Partikel-partikel pembentuk cincin Saturnus ini diselimuti oleh es dan karenanyalah cincin ini mampu memantulkan sebagian besar cahaya yang diterimanya dari Matahari. Karena itu, cincin planet Saturnus kelihatan terang, berbeda dengan cincin planet raksasa gas lainnya.

Sistem cincin Saturnus merentang lebih dari 40.000 km. Sistem cincin ini amat tipis dibandingkan dengan lebarnya, hanya dalam orde puluhan meter. Sebagai ilustrasi, cincin Saturnus ibarat kertas tisu yang selebar lapangan sepak bola. Sebab mengapa cincin Saturnus bisa amat lebar dan sekaligus amat tipis, adalah karena gaya-gaya yang berkerja dalam cincin. Partikel-partikel penyusun cincin, bergerak dengan kecepatan yang berbeda. Semakin dekat partikel-partikel ini dengan planet Saturnus, kecepatan orbitnya semakin besar. Partikel-partikel ini saling mempengaruhi lewat tumbukan, dan dalam prosesnya, terjadi kehilangan energi. Akibatnya terjadi redistribusi momentum sudut yang menyebabkan partikel yang lebih dekat ke Saturnus akan semakin mendekat, sedangkan yang lebih jauh akan semakin menjauh. Dengan kata lain, terjadi proses pemipihan. Apapun bentuk awal sistem cincin, ia akan segera memipih dengan cepat.

Maret 1977, okultasi bintang SAO 158687 mengungkap keberadaan cincin tipis dan buram di Uranus, dan sejak saat itu terjadilah tahun keemasan penemuan cincin di planet-planet Tata Surya. Penemuan berikutnya terjadi tahun 1979 saat pesawat ruang angkasa Voyager I berhasil memotret cincin tipis dan luas di Jupiter. Dan di tahun 1984, saat terjadi okultasi bintang, ditemukan juga cincin Neptunus yang tampak seperti busur yang tak sempurna. Semenjak itu, dengan perkembangan teknologi, citra-citra tajam beresolusi tinggi dari setiap cincin berhasil dipotret dan digunakan dalam penelitian.

Namun ternyata, cincin tak hanya dimiliki oleh planet. Satelit pun bisa memilikinya. Tahun 2005, saat Cassini melakukan "fly-by", ia berhasil menemukan cincin di salah satu satelit Saturnus, yakni Rhea. Tidak mengherankan, karena Saturnus beserta satelit-satelitnya memang bisa digambarkan sebagai representasi Tata Surya mini di dalam tata Surya kita. Pada akhirnya kita bisa mengetahui struktur dan kondisi di setiap cincin. Sesuatu yang mungkin jadi misteri di masa berabad-abad lampau.

Salah satu loncatan pengetahuan kita tentang cincin Saturnus terjadi pada era penjelajahan angkasa, ketika wahana luar angkasa mengamati Saturnus dari jarak dekat. Wahana yang mempelajari Saturnus dari jarak dekat adalah Pioneer 11, dan wahana kembar Voyager 1 dan Voyager 2. Dengan pengamatan dari jarak dekat ini, berbagai hal tentang cincin Saturnus bisa dikonfirmasi. Dan pengetahuan kita tentang cincin ini semakin banyak bertambah setelah sempat terhenti beberapa lama. Tapi dengan banyaknya hal-hal baru yang kita ketahui lewat wahana-wahana tersebut, semakin banyak juga misteri baru timbul sehingga menambah menarik pembicaraan tentang cincin ini.

Pada tahun 2004, wahana Cassini tiba di Saturnus dan memulai petualangan 4 tahun mengorbit Saturnus. Salah satu misi yang diemban oleh Cassini adalah mempelajari cincin Saturnus. Berkaitan dengan misinya mempelajari cincin Saturnus, Cassini akan mempelajari konfigurasi dan dinamika cincin, mempelajari lebih detail partikel-partikel penyusun cincin dan interaksinya dengan satelit-satelit Saturnus.

Cassini Menemukan Cincin Yang Tak Kelihatan

Awal tahun 2008, kita dikejutkan dengan hasil perjalanan Cassini yang menemukan adanya gap dalam sup partikel energi tinggi di dekat orbit dua buah satelit kecil Saturnus. Penemuan ini mengindikasikan keberadaan sebagian cincin yang mengelilingi Saturnus. Namun yang menarik, cincin tersebut belum diketahui, bahkan tidak terlihat oleh Cassini. Penemuan ini menunjukan kalau materi yang membentuk cincin Saturnus tidak hanya berasal dari satelit-satelit besar di Saturnus, tapi juga dikontribusikan oleh satelit-satelit kecil.

Sekelompok tim peneliti baru saja mendeteksi 2 pecahan aneh di dekat hujan elektron energi tinggi yang membombardir Cassini saat berada di dekat Saturnus. Penemuan ini dilakukan menggunakan Low Energy Magnetospheric Measurement System milik Cassini, bagian dari instrumen "imaging magnetosfer". Lubang gap ini terlihat berada di antara 2 satelit yang baru ditemukan, Methone dan Anthe. Methone ditemukan Cassini tahun 2004 dengan diameter 3 km, sedangkan Anthe ditemukan dari foto yang diambil Cassini tahun 2007, dengan diameter sekitar 2 km. Kedua satelit ini berada di orbit Mimas dan Enceladus.

Hasil observasi menunjukan, bahwa satelit terkecil di Saturnus pun bisa menjadi sumber debu, dalam sistem Saturnus. Nah, jika satelit kecil ini benar-benar memberi kontribusi terhadap adanya debu dalam cincin Saturnus, maka observasi lanjutan terhadap cincin perlu dilakukan. Dengan demikian, informasi yang didapat dari debu di cincin akan bisa memberikan pengetahuan tentang permukaan Methone dan Anthe yang sulit diamati karena ukurannya yang kecil.

Satelit dikenal sebagai objek yang menyerap partikel energi tinggi. Fakta adanya kehilangan partikel diketahui Cassini dengan cara yang sama, ketika sesaat lamanya tidak terjadi hujan di "windshield", saat Cassini bergerak dibawah jembatan. Gap aliran elektron menunjukan ada sesuatu yang lebih luas yang menyerap partikel yang sudah terisi (fully charged). Sayangnya, gap yang dilihat Cassini di Methone dan Anthe sangat luas (1000 km - 3000 km), dan tidak dapat dijelaskan oleh keberadaan satelit-satelit kecil tersebut. Hasil perhitungan mengindikasikan kalau kedua satelit kehilangan debu dari permukaannya, dan debu tersebut membentuk beberapa garis lengkung di sepanjang orbitnya. Masing-masing cincin diperkirakan memiliki lebar beberapa ribu kilometer yang diisi butiran debu yang besar atau gumpalan debu.

Materi yang terlepas ini akan membentuk cincin, akibat adanya pertarungan gaya gravitasi antara satelit-satelit besar di Saturnus seperti Mimas. Proses serupa juga ditemukan pada lengkungan cincin G Saturnus.

Bagaimana materi-materi tersebut bisa lepas? Diperkirakan tabrakan meteorlah yang menyebabkan terlepasnya materi debu dari permukaan Menthone dan Anthe. Proses yang sama juga diperkirakan terjadi pada pembentukan cincin Jupiter di orbit satelit Almathea, Thebe, Metis dan Adrastea. Situasi yang sama juga mungkin terjadi di Saturnus. Faktanya, cincin dengan asal muasal yang mirip juga dideteksi dalam foto yang diambil Cassini disepanjang orbit satelit Saturnus, Janus, Epimethus dan Pallene.

Yang aneh adalah, lengkungan cincin ini masih belum bisa dideteksi dalam foto yang diambil Cassini. Sementara yang ada di orbit Janus, Epimethus dan Pallene yang juga diperkirakan berasal dari proses yang sama, sudah bisa dilihat dalam foto yang diambil Cassini. Artinya, debu yang membentuk 2 kelas cincin ini memiliki karakteristik dan ukuran yang juga berbeda. Tapi, yang pasti, alasan di balik semua perkiraan ini masih sebuah misteri.

Saat Bulan dan Cincin Saturnus Bertabrakan

Satelit Prometheus perlahan-lahan bertabrakan dengan tepi dalam cincin F Saturnus. Satelit lonjong ini menarik aliran materi dari cincin dan kemudian meninggalkannya di balik kegelapan. Sekali dalam perjalanan 14,7 jam-nya mengorbit Saturnus, Prometheus (diameter 102 km) akan mencapai titik paling lonjong yang disebut apoapse dan berada jauh dari Saturnus, atau tepatnya berada dekat cincin F. Pada titik ini, gravitasi Prometheus cukup kuat untuk membuat aliran materi keluar dari area inti cincin F.

Pada awalnya, materi serukuran debu, ditarik menjauh dari cincin hingga tampak membentuk aliran yang menuju orbit Prometheus. Setelah beberapa waktu, aliran ini akan runtuh lebih cepat dan tertinggal jauh di belakang Prometheus karena materi di cincin F mengorbit Saturnus lebih lambat dari satelit tersebut. Aliran tersebut akan tampak lebih panjang dan membentuk terusan gelap.

Pembentukan aliran dan terusan ini terjadi dalam siklus berulang saat Prometheus mencapai apoapse. Setiap kali Prometheus mendekati cincin F, ia akan membentuk aliran materi dari cincin F, namun dari lokasi yang berbeda. Hal ini terjadi karena perbedaan periode orbit antara cincin dan Prometheus. Cincin F mengorbit Saturnus lebih lambat dari satelit tersebut, menyebabkan terjadinya perbedaan garis bujur 3,2 derajat antara lokasi aliran materi satu dengan lainnya yang ditarik dari cincin saat satelit itu mendekat.

No comments:

Post a Comment