Showing posts with label Fabel. Show all posts
Showing posts with label Fabel. Show all posts

Wednesday, 1 June 2011

Semut dan Belalang


Pada siang hari di akhir musim gugur, satu keluarga semut yang telah bekerja keras sepanjang musim panas untuk mengumpulkan makanan, mengeringkan butiran-butiran gandum yang telah mereka kumpulkan selama musim panas. Saat itu seekor belalang yang kelaparan, dengan sebuah biola di tangannya datang dan memohon dengan sangat agar keluarga semut itu memberikan sedikit makan untuk dirinya.

"Apa!" teriak sang Semut dengan terkejut, "tidakkah kamu telah mengumpulkan dan menyiapkan makanan untuk musim dingin yang akan datang ini? Selama ini apa saja yang kamu lakukan sepanjang musim panas?"

"Saya tidak mempunyai waktu untuk mengumpulkan makanan," keluh sang Belalang; "Saya sangat sibuk membuat lagu, dan sebelum saya sadari, musim panas pun telah berlalu."

Semut tersebut kemudian mengangkat bahunya karena merasa gusar.

"Membuat lagu katamu ya?" kata sang Semut, "Baiklah, sekarang setelah lagu tersebut telah kamu selesaikan pada musim panas, sekarang saatnya kamu menari!" Kemudian semut-semut tersebut membalikkan badan dan melanjutkan pekerjaan mereka tanpa memperdulikan sang Belalang lagi.

Ada saatnya untuk bekerja dan ada saatnya untuk bermain.

Kambing dan Kerbau



Seekor kerbau jantan berhasil lolos dari serangan seekor singa dengan cara memasuki sebuah gua dimana gua tersebut sering digunakan oleh kumpulan kambing sebagai tempat berteduh dan menginap saat malam tiba ataupun saat cuaca sedang memburuk. Saat itu hanya satu kambing jantan yang ada di dalam gua tersebut. Saat kerbau masuk kedalam gua, kambing jantan itu menundukkan kepalanya, berlari untuk menabrak kerbau tersebut dengan tanduknya agar kerbau jantan itu keluar dari gua dan dimangsa oleh sang Singa. Kerbau itu hanya tinggal diam melihat tingkah laku sang Kambing. Sedang diluar sana, sang Singa berkeliaran di muka gua mencari mangsanya.

Lalu sang kerbau berkata kepada sang kambing, "Jangan berpikir bahwa saya akan menyerah dan diam saja melihat tingkah lakumu yang pengecut karena saya merasa takut kepadamu. Saat singa itu pergi, saya akan memberi kamu pelajaran yang tidak akan pernah kamu lupakan."

Sangatlah jahat, mengambil keuntungan dari kemalangan orang lain.

Tuesday, 31 May 2011

Kera dan Ayam

Pada jaman dahulu, tersebutlah seekor ayam yang bersahabat dengan seekor kera. Namun persahabatan itu tidak berlangsung lama, karena kelakuan si kera. Pada suatu petang Si Kera mengajak si ayam untuk berjalan-jalan. Ketika hari sudah petang si Kera mulai merasa lapar. Kemudian ia menangkap si Ayam dan mulai mencabuti bulunya. Si Ayam meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Akhirnya, ia dapat meloloskan diri.

Ia lari sekuat tenaga. Untunglah tidak jauh dari tempat itu adalah tempat kediaman si Kepiting. Si Kepiting adalah teman sejati darinya. Dengan tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam lubang kediaman si Kepiting. Disana ia disambut dengan gembira. Lalu Si Kepiting menceritakan semua kejadian yang dialaminya, termasuk penghianatan si Kera.

Mendengar hal itu akhirnya si Kepiting tidak bisa menerima perlakuan si Kera. Ia berkata, "marilah kita beri pelajaran kera yang tahu arti persahabatan itu." Lalu ia menyusun siasat untuk memperdayai si Kera. Mereka akhirnya bersepakat akan mengundang si Kera untuk pergi berlayar ke pulau seberang yang penuh dengan buah-buahan. Tetapi perahu yang akan mereka pakai adalah perahu buatan sendiri dari tanah liat.

Kemudian si Ayam mengundang si Kera untuk berlayar ke pulau seberang. Dengan rakusnya si Kera segera menyetujui ajakan itu. Beberapa hari berselang, mulailah perjalanan mereka. Ketika perahu sampai ditengah laut, mereka lalu berpantun. Si Ayam berkokok "Aku lubangi ho!!!" Si Kepiting menjawab "Tunggu sampai dalam sekali!!"

Setiap kali berkata begitu maka si ayam mencotok-cotok perahu itu. Akhirnya perahu mereka itu pun bocor dan tenggelam. Si Kepiting dengan tangkasnya menyelam ke dasar laut. Si Ayam dengan mudahnya terbang ke darat. Tinggallah Si Kera yang meronta-ronta minta tolong. Karena tidak bisa berenang akhirnya ia pun mati tenggelam.

Kasuari dan Dara Mahkota

Dahulu kala burung kasuari tidak seperti yang kita kenal saat ini. Dia memiliki sayap yang lebar dan kuat sehingga ia bisa mencari makan di atas pohon yang tinggi tapi juga bisa dengan mudah mencari makan di atas tanah. Kelebihannya ini membuat Kasuari menjadi burung yang sombong. Dia sering berbuat curang saat berebut makanan dan tidak peduli jika teman-temannya yang lain kelaparan gara-gara dia. Sayapnya yang lebar biasa dia gunakan untuk menyembunyikan buah-buahan ranum di atas pohon, sehingga burung-burung lainnya tidak bisa melihatnya. Atau dengan sengaja dia menjatuhkan buah-buahan ranum itu ke tanah sehingga cuma ia sendiri yang bisa menikmatinya. “Biar saja!” pikirnya, “Salah sendiri kenapa mereka punya sayap yang pendek dan badan yang kecil. Siapa cepat dia yang dapat.”

Tentu saja kesombongannya tidak disukai burung-burung lainnya. Mereka menganggap Kasuari sudah keterlaluan dan keangkuhannya harus segera dihentikan. Akhirnya para burung berkumpul untuk membahas masalah ini. Setelah berbagai cara diajukan akhirnya mereka sepakat untuk mengadakan perlombaan terbang. 

Namun ternyata sulit menemukan lawan yang sebanding dengan Kasuari. Tiba-tiba burung Dara Mahkota mengajukan diri untuk bertanding terbang dengan Kasuari. Meskipun banyak yang meragukan kemampuannya karena Dara Mahkota hanyalah burung kecil, tapi Dara Mahkota meyakinkan mereka bahwa dia mampu.

Mereka lalu mengirimkan tantangan tersebut kepada Kasuari. Kasuari yang sangat yakin dengan kemampuannya langsung menyanggupi tantangan tersebut tanpa repot-repot bertanya siapa lawannya.
 
“Pertandingannya akan diadakan minggu depan dan akan disaksikan semua warga burung!” kata burung pipit. 

“Yang bisa terbang paling jauh dan lama yang menang.”
 
“Ya ampun…kalo begitu pasti aku yang menang. Di hutan ini tidak ada yang memiliki sayap selebar dan sekuat punyaku. Jadi pasti aku yang menang,” kata Kasuari pongah. “Tapi baiklah aku terima tantangannya, lumayan buat olahrga!”
 
Burung pipit sebal mendengar jawaban Kasuari, tapi dia tahan emosinya. “Tapi ada ketentuannya. Sebelum bertanding, peserta boleh saling mematahkan sayap lawannya,” kata pipit. Kasuari pun menyetujuinya tanpa ragu-ragu.

Seminggu kemudian, warga burung berkumpul untuk meyaksikan pertandingan terbang tersebut. Meski tidak terlalu yakin, mereka semua berharap Dara Mahkota akan memenangkan pertandingan tersebut. Diam-diam Dara Mahkota menyisipkan sebilah ranting di balik sayapnya. Kasuari yang baru mengetahui lawannya tertawa terbahak-bahak, “ini lawanku?” katanya sambil tertawa, “mimpi kali kamu ye…? Hei…burung kecil, sayapmu pendek mana bisa menang melawanku!”. Burng-burung kecil lainnya sebal menyaksikan tingkah Kasuari sementara Dara Mahkota hanya tersenyum menanggapinya.

Kini mereka siap bertanding. Kasuari maju untuk mematahkan sayap Dara Mahkota. KREK! Terdengar bunyi sayap patah. Dara Mahkota pura-pura menjerit kesakitan. Padahal sebenarnya bunyi tadi berasal dari ranting kering di bawah sayap Dara Mahkota yang patah. Kini giliran Dara Mahkota yang akan mematahkan sayap Kasuari. Dengan sekuat tenaga dia menekuk sayap Kasuari hingga terdengar bunyi KREKK yang keras. Kasuari menjerit kesakitan. Sayap Kasuari yang patah tergantung lemas. Tapi Kasuari yang sombong tetap yakin dirinya akan menang. 

Sekarang mereka sudah siap untuk bertanding. Ketika aba-aba dibunyikan, Dara Mahkota dengan ringan melesat ke udara. Sayapnya mengepak dengan mudah membawa tubuhnya yang mungil terbang ke angkasa. Kasuari terkejut dan heran karena tadi dia mengira sayap Dara Mahkota telah patah. Dengan panik dia mencoba mengepakan sayapnya dan mencoba mengangkat tubuhnya ke atas. Tapi bukannya terbang tinggi, tubuhnya malah meluncur ke bawah dan jatuh berdebum di tanah. Semua burung bersorak senang sementara Kasuari terkulai lemas. Dengan perasaan malu dia meninggalkan tempat itu. Sejak saat itu Kasuari tidak pernah bisa terbang. Sayapnya yang dulu lebar dan kuat kini memendek karena sudah patah. Kini meski dia disebut burung namun dia hanya bisa berjalan dan mencari makan di tanah seperti binatang lain yang tidak memiliki sayap.

Burung Bangau dan Ketam

Pada zaman dahulu terdapat sebuah tasik yang sangat indah. Airnya sungguh jernih dan di dalamnya ditumbuhi oleh pokok-pokok teratai yang berbunga sepanjang masa. Suasana di sekitar tasik tersebut sungguh indah. Pokok-pokok yang tumbuh di sekitarnya hidup dengan subur. Banyak burung yang tinggal di kawasan sekitar tasik tersebut. Salah seekornya adalah burung bangau. Manakala di dalam tasih hidup bermacam-macam ikan dan haiwan lain. Ada ikan telapia sepat, kelah, keli, haruan dan bermacam-macam ikan lagi. Selain daripada ikan,terdapat juga ketam dan katak yang turut menghuni tasih tersebut. 

Burung bangau sangat suka tinggal di kawasan tasik tersebut kerana ia senang mencari makan. Ikan-ikan kecil di tasik tersebut sangat jinak dan mudah ditangkap. Setiap hari burung bangau sentiasa menunggu di tepi tasik untuk menagkap ikan yang datang berhampiran dengannya.

Beberapa tahun kemudian burung bangau semakin tua. Ia tidak lagi sekuat dulu untuk menangkap ikan. Kadang- kadang ia tidak memperolehi ikan untuk dimakan menyebabkan ia berlapar seharian. Ia berfikir di dalam hatinya seraya berkata "Kalau beginilah keadaanya, aku akan mati kelaparan kerana tidak lagi berdaya untuk menangkap ikan. Aku mesti mencari jalan supaya aku dapat memperolehi makanan dengan mudah".

Burung bangau mendapat idea dan berpura-pura duduk termenung dengan perasan sedih di tebing tasik. Seekor katak yang kebetulan berada di situ ternampak bangau yang sangat murung dan sedih lalu bertanya "Kenapakah aku lihat akhir-akhir ini kamu asik termenung dan bersedih sahaja wahai bangau?". Bangau menjawab " Aku sedang memikirkan keadaan nasib kita dan semua penghuni tasih ini." "Apa yang memusingkan kamu, sedangkan kita hidup di sini sudah sekian lama tidak menghadapi berbagai masalah." Jawab katak. 

"Awak manalah tahu, aku sering terbang ke sana ke mari dan mendengar manusia sedang berbincang tentang bencana kemarau yang akan menimpa kawasan ini dalam beberapa bulan lagi. Kau lihat sajalah sejak akhir-akhir ini hari panas semacam aje, hujan pun sudah lama tidak turun". Bangau menyambung lagi "Aku khuatir tasik ini akan kering dan semua penghuni di tasik ini akan mati." Katak mengangguk- ngangukkan kepalanya sebagai tanda bersetuju dengan hujah bangau tadi. Tanpa membuang masa katak terus melompat ke dalam tasik untuk memaklumkan kepada kawan-kawan yang lain.

Berita bencana kemarau telah tersebar ke seluruh tasih begitu cepat dan semua penghuni tasik berkumpul ditebing sungai dimana bangau berada. Masing-masing riuh rendah menanyakan bangau akan berita tersebut. Seekor ikan haruan bertanya kepada bangau "Apakah cadangan engkau untuk membantu kami semua?" 

Burung bangau berkata "Aku ada satu cadangan, tetapi aku khuatir kamu semua tidak bersetuju." "Apakah cadangan tersebut" kata haruan seolah-olah tidak sabar lagi mendengarnya. Bangau berkata " Tidak jauh dari sini ada sebuah tasik yang besar dan airnya dalam, aku percaya tasik tersebut tidak akan kering walaupun berlaku kemarau yang panjang." "Bolehkah engkau membawa kami ke sana" sampuk ketam yang berada di situ. "Aku boleh membawa kamu seekor demi seekor kerana aku sudah tua dan tidak berdaya membawa kamu lebih daripada itu" kata burung bangau lagi.. Mereka pun bersetuju dengan cadangan burung bangau.

Burung bangau mula mengangkut seekor demi seekor ikan daripada tasik tersebut, tetapi ikan- ikan tersebut tidak dipindahkan ke tasik yang dikatakannya.Malahan ia membawa ikan-ikan tersebut ke batu besar yang berhampiran dengan tasik dan dimakannya dengan lahap sekali kerana ia sudah tidak makan selama beberapa hari. Setelah ikan yang dibawanya dimakan habis, ia terbang lagi untuk mengangkut ikan yang lain. Begitulah perbuatanya sehingga sampai kepada giliran ketam. 

Oleh kerana ketam mempunyai sepit ia hanya bergantung pada leher burung bangau dengan menggunakan sepitnya. Apabila hampir sampai ke kawasan batu besar tersebut,ketam memandang ke bawah dan melihat tulang-tulang ikan bersepah di atas batu besar. Melihat keadaan tersebut ketam berasa cemas dan berfikir di dalam hatinya "Matilah aku kali ini dimakan oleh bangau." Lalu ia memikirkan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya daripada ratahan bangau yang rakus. 

Setelah tiba di atas batu besar ketam masih lagi berpegang pada leher bangau sambil berkata "Dimanakah tasik yang engkau katakan itu dan kenapa engakau membawa aku di sini?" Bangau pun tergelak dengan terbahak-bahak lalu berkata "Kali ini telah tiba masanya engkau menjadi rezeki aku." Dengan perasaan marah ketam menyepit leher bangau dengan lebih kuat lagi menyebabkan bangau sukar untuk bernafas, sambil merayu minta di lepaskan, ia berjanji akan menghantar ketam kembali ke tasik tersebut. Ketam tidak mempedulikan rayuan bangau malah ia menyepit lebih kuat lagi sehingga leher bangau terputus dua dan bangau mati di situ jua. 

Dengan perasaan gembira kerana terselamat daripada menjadi makanan bangau ia bergerak perlahan-lahan menuju ke tasik sambil membawa kepala bangau. Apabila tiba di tasik, kawan-kawannya masih lagi setia menunggu giliran masing-masing. Setelah melihat ketam sudah kembali dengan membawa kepala bangau mereka kehairanan dan ketam menceritakan kisah yang berlaku. Semua binatang di tasik tersebut berasa gembira kerana mereka terselamat daripada menjadi makanan burung bangau yang tamak dan mementingkan diri sendiri. Mereka mengucakpan terima kasih kepada ketam kerana telah menyelamatkan mereka semua.

Hiu dan Lumba-lumba

Ikan hiu dan ikan lumba-lumba mempunyai perangai yang berbeda, namun mereka tetap bersahabat. Ikan hiu dikenal mempunyai sifat serakah, ganas, dan kejam. Berlawanan dengan sifat ikan lumba-lumba yang penyabar dan bijak. Walaupun demikian mereka selalu bersama bila mencari makan.

Suatu hari, mereka beriringan mencari makan di lautan yang dalam. Ikan lumba-lumba senang memangsa ikan-ikan yang kecil, sedangkan ikan hiu lebih suka memangsa ikan-ikan yang besar. Ikan hiu mempunyai nafsu makan yang luar biasa.

Walaupun telah mendapat ikan yang besar sekalipun, kadang ikan hiu masih suka menangkap mangsa yang lain. Bahkan seringkali ikan hiu tidak menghabiskan mangsanya, karena perutnya sudah tidak muat lagi untuk menampung.

Ketika sampai di sebuah tempat, mereka segera mengejar-ngejar mangsa yang berada di sekitarnya. Ikan hiu dengan buasnya melahap ikan-ikan yang besar, sedang ikan lumba-lumba hanya memangsa ikan-ikan kecil yang berada di dekatnya. Ikan lumba-lumba memang tidak berminat memakan ikan-ikan yang besar, walaupun sebenarnya mudah didapat.

Tanpa sepengetahuan ikan hiu dan ikan lumba-lumba, tiba-tiba saja sebuah perahu nelayan berada tepat di atas mereka. Di atas perahu itu nampak dua orang nelayan yang akan menjaring ikan. Tidak lama kemudian, kedua nelayan menebarkan jaring-jaring perangkapnya.

Ikan hiu yang sedang memangsa ikan, terkejut melihat jaring-jaring yang ditebarkan nelayan itu. Namun dengan gerak cepat, ikan hiu dapat melesat dan menghindari jaring-jaring itu.

"Awas lumba-lumba! Ada jaring perangkap!" teriak ikan hiu memperingatkan ikan lumba-lumba. Tetapi sayang, karena gerakan ikan lumba-lumba tidak cepat, ia terperangkap.

"Tolong aku hiu! Aku terperangkap!" jerit ikan lumba-lumba meminta bantuan.

Ikan hiu mencoba memberikan pertolongan. Dengan gigi-giginya yang tajam ia berusaha memutuskan tali jaring-jaring perangkap itu. Tetapi usahanya sia-sia, karena kedua nelayan itu segera menarik jaring perangkapnya.

Saat menarik hasil tangkapannya, kedua nelayan itu merasa keberatan. Dengan sekuat tenaga perlahan-lahan hasil tangkapan itu dapat ditarik.

"Tampaknya hasil tangkapan kita banyak sekali hari ini!" ucap salah seorang nelayan dengan raut wajah gembira.
 
"Ya, kelihatannya begitu. Beratnya dua kali lipat dari biasanya!" ujar nelayan yang satunya lagi.
Lihat! Ada ikan yang besar sekali!" teriak salah seorang nelayan begitu melihat hasil tangkapannya di permukaan air.
 
"Pantas saja berat sekali!" seru nelayan yang satunya lagi. Kemudian mereka mengangkat hasil tangkapannya itu ke atas perahu."Akan kita apakan ikan yang besar ini?" tanya nelayan itu.

"Sebaiknya kita jual saja bersama dengan ikan-ikan yang lain. Mungkin harganya lebih mahal!" jawab nelayan satunya. Mendengar dirinya akan dijual di pasar, ikan lumba-lumba hanya dapat menangis tersedu-sedu. Tubuhnya menggeliat kepanasan karena terik matahari yang mulai menyengat.

Kedua nelayan itu memperhatikan gerak-gerik ikan lumba-lumba yang menggeliat di atas perahu mereka. Kulitnya mulai mengering karena panasnya sinar matahari. Air mata ikan lumba-lumba mulai menetes dan membasahi seluruh tubuhnya.

"Lihatlah! ikan besar itu menangis!" seru seorang nelayan.
 
"Ya, tampaknya ikan itu sedih mendengar dirinya akan dijual di pasar." Jawab nelayan yang satunya. 

"Bagaimana kalau ikan besar itu kita lepaskan kembali ke laut? Aku tidak tega melihat ikan ini menangis terus."

"Baiklah kalau begitu, akupun tidak tega menjual ikan sebesar ini ke pasar. Kalau begitu mari kita lepas ikan ini." Ucap nelayan yang satu dengan hati terharu.

Mereka mengangkat dan melepaskan ikan lumba-lumba ke laut. Ikan lumba-lumba berhenti menangis, hatinya berubah gembira tak terkira karena selamat dan tidak jadi dijual oleh nelayan itu. Sebagai tanda terima kasihnya, ikan lumba-lumba berlompat-lompat di depan perahu mereka, dan bersiul tanda gembira. Kedua nelayan itupun senang dan tersenyum melihat ikan lumba-lumba tidak bersedih lagi. Kemudian nelayan itu pulang.

"Hai hiu! Aku selamat!" sapa ikan lumba-lumba kepada ikan hiu dengan hati gembira.
 
"Bagaimana kau bisa lolos?" tanya ikan hiu keheranan.

"Nelayan-nelayan itu yang melepaskanku. Mereka itu baik hatinya. Mereka tidak sampai hati menjualku ke pasar. Padahal katanya, aku bisa dijual dengan harga mahal." Cerita ikan lumba-lumba pada ikan hiu.

"Ah tidak, nelayan-nelayan itu serakah! Seharusnya aku yang mendapatkan ikan-ikan besar tadi. Karena nelayan itu menjaringnya aku jadi tidak kebagian!" ujar ikan hiu dengan hati kesal.

"Tidak kawan, nelayan itu tidak serakah. Kalau mereka serakah, pasti aku sudah dijualnya tadi." Ucap ikan lumba-lumba menyangkal pendapat ikan hiu.

"Tidak, aku tetap tidak suka dengan nelayan itu. Mereka tangkap semua ikan-ikan yang seharusnya menjadi bagianku. Kelak suatu saat, bila ada perahu nelayan yang hancur diterjang badai, aku akan memangsa mereka sebagai gantinya." Demikian ikan hiu bersumpah.

"Jangan kawan, janganlah kamu berbuat begitu. Kamulah yang sebenarnya serakah. Tidak puaskah kamu memakan ikan-ikan yang ada. Rasa-rasanya kita tidak akan kekurangan makanan, walaupun nelayan-nelayan itu menangkapi ikan-ikan di sini setiap hari." Tutur ikan lumba-lumba menasihati.

"Bila kelak ada manusia yang tertimpa musibah, aku pasti akan menolongya. Sebab aku merasa berhutang budi kepada nelayan yang telah menolongku. Aku tak akan melupakan budi baik mereka. Makanya aku berjanji akan selalu menolong manusia yang kesusahan." Begitulah janji ikan lumba-lumba untuk membalas kebaikan manusia.

Sampai di sinilah kisah ikan hiu dan ikan lumba-lumba, dua tokoh yang berlainan sifatnya. Ikan hiu yang mempunyai sifat buruk merasa dendam dengan manusia, lantas dia membenci manusia. Sedangkan ikan lumba-lumba merasa berhutang budi kepada manusia, sehingga ikan lumba-lumba berjanji akan selalu menolong manusia yang tertimpa musibah.

Anak Pipit dan Kera

Tersebutlah seekor kera yang tinggal sendiri di atas pohon di dekat sebuah tepian. Kera itu ditinggalkan kawan-kawannya karena ia sombong dan mementingkan diri sendiri. Dia menganggap pohon tempat tinggalnya itu miliknya sehingga kera-kera lain tidak diizinkan tinggal di sana. Tepian mandi itu pun dianggap miliknya.

Ada seekor itik yang selalu pergi ke tepian itu. Dia senang mandi sepuas-puasnya di tepian itu setelah selesai mencari makan dan kenyang perutnya.

Pada mulanya, kera membiarkan itik itu mandi di tepian. Akan tetapi, ketika dia melihat air di tepian menjadi keruh setiap itik itu selesai dia pun marah.

“Cis tak tahu malu, mandi di tepian orang lain!” maki kera kepada itik yang baru saja selesai mandi. “Bercerminlah dirimu yang buruk rupa itu! Patukmu seperti sudu (paruh yang lebar). Matamu sipit seperti pampijit (kutu busuk)! Sayapmu lebar seperti kajang sebidang (selembar atap dari dawn nipah)! Jari-jarimu berselaput jadi satu! Enyahlah kau, itik jelek!”

Itik malu dan sakit hati dicemooh seperti itu. Ingin sekali dia menantang kera untuk berkelahi. Akan tetapi, dia takut dikalahkan kera besar itu. Dia pun menangis sepanjang jalan menumpahkan kekesalan dan kejengkelannya.

Seekor induk pipit yang sedang memberi makan kepada anak-anaknya terkejut. Dia melongokkan kepala dari sarangnya yang tinggi di atas pohon.

“Hai itik yang baik, mengapa engkau menangis sepanjang jalan? Beri tahu kepadaku apa sebabnya. Mungkin aku dapat menolongmu!”
 
“Kera besar di atas pohon di tepian itu menghinaku!” jawab itik. “Aku malu sekali! Itu sebabnya aku menangis!” Itik itu menangis kembali seperti tadi.
 
“Ooo begitu! Apa saja yang dikatakannya?”

Itik menceritakan kembali semua caci maki yang diucapkan kera. Mendengar penjelasan itik, induk pipit segera berkata, “Berhentilah menangis, itik yang baik! Besok kembalilah ke sana dan mandilah sepuasmu!”

“Aku takut! Aku malu dimaki kera itu lagi!”
 
“Jangan takut, itik yang baik! Kalau kera itu memakimu, balaslah! Sebutlah segala keburukannya!” Induk_pipit pun mengajari itik membalas cemoohan kera.

“Terima kasih, induk pipit yang baik! Besok aku akan mandi lagi ke tepian dan nasihatmu akan kuturuti!” 
Dengan perasaan tenang, itik kembali ke rumah. Kekesalannya agak terhibur dengan nasihat induk pipit.
 
“Esok tahu rasa kau, hai kera yang sombong!” katanya dalam hati sambil tersenyum seorang diri.
 
Keesokan harinya, itik itu mandi sepuas-puasnya di tepian seperti biasa. Bukan main marahnya kera menyaksikan itik mengeruhkan air di tepian itu lagi.
 
“Hei, berhenti! Apakah engkau tetap tak punya rasa malu?” jeritnya dari atas dahan.

Itik pura-pura tidak mendengar jeritan itu. Dia terus mandi dan mengepak-ngepakkan sayapnya. Setelah puas, barulah dia naik ke tebing dan slap pulang ke rumah. Seperti kemarin, kera kembali mencaci maki sepuas-puasnya. Dengan tenang itik mendengarkan. 

Setelah kera puas mengungkapkan keburukan dan kejelekannya, itik pun membalas, “Apakah engkau merasa cantik? Berkacalah di muka air di tepian itu! Tubuhmu ditumbuhi bulu-bulu kasar! Kepalamu seperti buah tandui (sejenis kuini/mempelam yang tumbuh di hutan) dilumu (dimasukkan ke mulut sambil diambil sarinya hingga tersisa biji dan ampasnya). Telapak tanganmu hitam kotor! Kuku-kukumu ….” 

Belum selesai itik membalas caciannya, kera itu segera memotong, “Lancang sekali mulutmu! Tentu ada binatang lain yang memberi tahu kepada kamu!”

“Tentu saja, hai kera angkuh! Tidak jauh dari sini seekor induk pipit membuat sarang. Dialah yang mengajariku!”
 
“Kurang ajar! Aku akan datang ke sarangnya!”

Itik bergegas pulang ke rumahnya. Dia memberitahu induk pipit tentang niat busuk kera sombong itu. “Alangkah bodohnya engkau!” kata induk pipit dengan kesal. “Seharusnya tidak kau sebutkan siapa yang mengajarimu! Rupamu bukan hanya jelek, tetapi engkau pun tolol!”

Belum sempat induk pipit bersiap-siap mengungsi, kera sudah mendatangi sarangnya dan langsung menerkamnya. Akan tetapi, dengan sigap induk pipit itu terbang. Sayang, anak pipit tidak sempat dibawa untuk menyelamatkan diri.

Dengan kejengkelan luar biasa kera memasukkan anak pipit itu ke dalam mulutnya. Sarang pipit diacak-acaknya. Kemudian, dia duduk di atas pohon itu menanti induk pipit kembali ke sarang untuk menjemput anaknya. Pada saat itulah, induk pipit akan diterkamnya.

Anak pipit sedih berada dalam kegelapan karena kera selalu mengatupkan mulutnya. Kera takut anak pipit itu terbang. Dalam keadaan itu, anak pipit mengeluh seorang diri. Setiap keluhannya dijawab kera dengan gumaman.

“Apakah Ibuku sudah datang?”
 
“Mmm-mmm …!”
 
“Apakah Ibuku sudah mandi?”
 
“Mmrn-mmm …!”
 
“Apakah Bapak dan Ibu sudah tidur?”
 
“Ha-ha-ha-ha-ha …!”
 
Kera tidak dapat menahan geli. Dia tertawa mengakak hingga mulutnya terbuka lebar Anak pipit tidak 
melewatkan kesempatan baik itu. Dia terbang mencari induknya.
 
“Kurang ajar!” kera menyumpah sejadi-jadinya.

Dia merasa tertipu. Apalagi anak pipit itu meninggalkan sesuatu di dalam mulutnya. Di daun lidahnya ada kotoran anak pipit. Kera benar-benar merasa kalah. Bukan saja karena ditinggalkan anak-beranak itu, melainkan karena mendapat kotoran anak pipit.

Kera marah bukan main. Akal sehatnya hilang. Dia mencari sembilu yang tajam dan kotoran anak pipit itu bukan dikaisnya dengan sembilu, melainkan lidahnya yang dipotong. Darah pun tak henti-hentinya mengalir dari Iidahnya. Dia menggelepar-gelepar kesakitan, lalu jatuh dari dahan dan mati seketika. Tamatlah riwayat kera besar yang sombong itu.

Monday, 28 February 2011

Burung Gagak dan Rubah

Pada suatu waktu, seekor burung gagak sedang terbang berputar-putar mencari sesuatu untuk dimakan. Ketika ia mendekati sebuah rumah, ia melihat sepotong keju tergeletak di atas ambang jendela. 
Dengan menukik secara cepat, ia menyambar potongan keju tersebut dan membawanya pergi. Ia terbang ke tempat yang sepi dan bertengger di atas dahan pohon untuk memakannya dengan tenang. Pada saat bersamaan, seekor rubah sedang melintas jalan itu. Saat ia melintas, ia melihat burung gagak tersebut dengan potongan keju di paruhnya.
 
Mulutnya mulai meneteskan liur dan ia memutuskan untuk merenggut potongan keju itu dari burung gagak. "Jika saja aku mampu untuk membuat paruhnya terbuka, keju itu akan jatuh. Selanjutnya aku bisa merebutnya dan lari. Aku kira tidak akan sulit untuk membodohinya."
 
Maka, dengan berjalan mendekati pohon tempat burung gagak bertengger, ia berkata, "Hai teman, kau kelihatan gagah hari ini. Apakah ada sesuatu yang istimewa terjadi hari ini?"
 
Burung gagak amat senang mendengar hal itu. "Apakah aku benar-benar kelihatan sedemikian gagah? Belum pernah ada yang memberitahukan hal ini sebelumnya padaku," pikir sang gagak. Namun, ia tetap diam.
 
Namun, rubah tersebut tekun untuk membuatnya bicara. Maka ia berkata, "Aku ingin memberitahumu bahwa kamu amat pandai bernyanyi. Aku tidak menyadari hal ini hingga aku mendengar kau sedang bernyanyi lain hari. Aku harus katakan bahwa kau memiliki suara yang amat merdu."
 
Tetapi burung gagak tersebut tetap tidak berkata sedikitpun. Dengan memutuskan untuk merayunya lagi, rubah berkata,"Benar tuan gagak! Percayalah padaku, aku belum pernah mendengar suara yang indah seperti suaramu. Aku telah menunggu lama untuk mendengarkan nyanyianmu. Sekarang, setelah aku bertemu denganmu, kau harus menyanyikan lagu untukku."
 
Burung gagak tersebut terkejut mendengar pujian sebanyak itu bagi suaranya. "Aku tidak pernah mengira suaraku sedemikian indah. Belum pernah ada yang memberitahuku kalau aku pandai menyanyi. Sebenarnya, aku sendiri juga akan suka mendengar diriku menyanyi. Namun bagaimana aku bisa menyanyi? Aku sedang menggigit keju di paruhku." Dengan cara ini ia tetap diam sekali lagi.
 
Rubah memutuskan untuk mencoba keberuntungannya sekali lagi. Maka ia berkata,"Benar, tuan gagak. Aku benar-benar ingin mendengar suaramu, paling tidak sekali saja. Maukah kau membantuku?"
 
Burung gagak terlalu gembira untuk mengendalikan dirinya lagi. Maka sambil memutuskan untuk akhirnya menyanyikan sebuah lagu, ia membuka mulutnya. Bersamaan dengan itu, keju terjatuh ke tanah.
Rubah langsung merenggutnya dan melarikan diri. Tinggallah burung gagak menyesali kebodohannya. 

Keledai Bodoh dan Serigala

Dahulu ada seekor keledai dan seekor serigala yang berteman baik. Bersama-sama mereka berkelana mencari makanan. "Hari ini aku ingin makan buah semangka," kata Si keledai. "Ayo kita pergi dan mencari ladang semangka."
 
Keledai dan serigala mencari di semua tempat dan pada akhirnya mereka menemukan sebuah ladang penuh dengan buah semangka besar-besar dan masak. Keduanya menunggu malam tiba, sehingga mereka dapat memasukinya tanpa terlihat orang. 
 
"Wah..," kata Si keledai, "Lihatlah semua semangka yang masak itu."
 
Dengan cepat ia memakan buah semangka sebanyak yang dapat ia lakukan. Setelah keledai dan serigala mengisi perutnya, Si serigala berkata,"Ayo kita kembali, nanti terlambat."
 
"Mengapa kita harus kembali buru-buru? Angin bertiup sepoi-sepoi, bintang-bintang berkelip di langit, bulan bersinar cemerlang. Aku belum ingin kembali. Ternyata makan semua buah semangka yang lezat ini membuatku merasa sangat nyaman. Aku merasa ingin menyanyi." Dengan lagak sok jadi penyanyi, Si keledai menyanyikan sebuah lagu,
 
"Hii...haw, hii...haw, hoek, hoekkk!"
 
"Hentikan suara berisik yang sangat memekakkan itu, keledai bodoh!" teriak serigala, "Nanti para petani akan mendengar dan datang ke sini!"
 
"Apa..!? berisik katamu. Kamu sebut nyanyianku yang merdu ini sebagai berisik?" kata keledai dengan marah. "Aku rasa kamu iri padaku, karena kamu tak dapat menyanyi separuh saja dari kemampuanku."
 
"Kalau demikian, kamu menyanyilah terus. Aku lebih baik menunggu di luar kebun," kata serigala cepat-cepat keluar dari kebun.
 
"Hii...haw, hii...haw, hoek, hoekkk!" teriak si keledai. "Hii...haw, hi...haw, hoek,hoekkk." Keledai mengira suaranya amat merdu. Dia bahkan menuduh temannya yaitu serigala sengaja keluar hanya karena tak bisa menyanyi seperti dirinya.
 
Ketika Pak Tani mendengar ringkikan keledai yang melengking itu, dia merasa heran. "Ada apa ya? Siapa yang bersuara di kebunku..? "Kurang ajar! Ada seseorang atau sesuatu yang memasuki kebun semangkaku, awas ya! Tidak akan kuampuni kau!" kata Pak Tani sambil berlari cepat. "Kamu pencuri!" teriak Pak Tani memukul si keledai dengan keras. "Rasakan pentungan ini, karena mencuri semangka kami."
 
"Bak..! Buk..! Bak..! Buk..!" berkali-kali Pak Tani memukuli Si keledai. Si keledai ambruk akibat pukulan Pak Tani. 
 
"Bagaimana? Kapok tidak kamu? Kukira keledai ini telah mati, hem...aku masih banyak pekerjaan, terpaksa kau kutinggalkan saja di sini!" kata PakTani.
 
Setelah Pak Tani meninggalkannya, Sang serigala mendekati Si keledai dan berkata,"Bukankah aku telah memperingatkanmu?"
 
"Yah.., karena kebodohanku sendirilah menyebabkan aku dipukuli," rintih Si keledai menahan sakit sambil berusaha berdiri. "Lain kali aku akan mendengarkan nasihat baik yang diberikan kepadaku secara lebih cermat." 

Balas Budi Serigala Kecil

Di tengah hutan ada sepasang Serigala yang mempunyai anak. Mereka hidup tenang dan bahagia. Selalu bercanda dengan anak laki-laki mereka. Kalau malam mereka bernyanyi dengan suara yang keras. Sehingga penghuni hutan lainnya terganggu.
 
Pak Harimau Si Raja Hutan tak tahan mendengar suara bising dari keluarga Serigala. Pak Harimau mengamuk, sepasang suami istri Serigala itu diserangnya. Pak Serigala mengadakan perlawanan, sebelum terbunuh Pak Serigala menyuruh anaknya yang masih kecil itu melarikan diri agar selamat.
 
Dengan penuh ketakutan Serigala kecil melompat dan berlari sekuat tenaganya. Sementara ayah dan ibunya berjuang keras melawan Pak Harimau yang ganas. Walau bagaimana akhirnya kedua Serigala itu tak sanggup mengalahkan Pak Harimau, mereka berdua tewas. Sementara Pak Harimau menderita luka-luka yang cukup parah.
 
Serigala kecil terus berlari dan berlari hingga akhirnya tenaganya terkuras habis dan ia terjatuh ke tanah, kakinya terkilir. Pada saat itu lewatlah sepasang Rusa, mereka kasihan melihat Serigala kecil yang kelelahan dan kakinya terkilir, Serigala itu ditolongnya.
 
"Bu, mari kita bawa pulang saja Serigala kecil ini," kata Pak Rusa.
 
"Iya Pak, nampaknya ia tidak buas!" jawab Bu Rusa.
 
Serigala kecil itu dibawa pulang dan dirawat hingga sembuh. Kebetulan keluarga Rusa belum mempunyai anak. Keluarga Rusa mengangkat Serigala itu sebagai anak mereka.
 
Hari berganti, tahun berlalu, Serigala kecil sekarang sudah menjadi besar, ia juga rajin membantu kedua orang tua angkatnya, sehingga keluarga Rusa semakin menyayanginya.
 
"Ah, tidak sia-sia kita dulu menolongnya. Ternyata dia menjadi anak yang berbakti," kata Bu Rusa kepada suaminya. 
 
Setelah hidup damai selama bertahun-tahun, Bu Rusa akhirnya melahirkan bayi Rusa kecil yang sehat. Bukan main senangnya keluarga Rusa, Serigala yang menjadi anak angkat mereka pun turut bergembira mendapat seekor adik.
 
Beberapa bulan kemudian, Bu Rusa sudah harus membantu suaminya menanam padi di sawah. Hari itu mereka menitipkan bayi Rusa yang masih kecil kepada Serigala anak angkat mereka untuk ditunggui. Dengan penuh setia Serigala itu menunggui adik angkatnya. Jangankan diganggu hewan besar, nyamuk dan lalat yang mendekati bayi Rusa itu pasti dihalaunya. Sehingga bayi Rusa bisa istirahat dan tidur dengan nyenyak.
 
Menjelang tengah hari sepasang Rusa berjalan pulang dari sawah mereka. Mereka kaget melihat Serigala anak angkat mereka berlari-lari dengan keringat bercucuran.
 
"Pak...Bapaaaaak! Cepat pulang!" teriak Serigala keras-keras.
 
"Ada apa ini?" tanya Pak Rusa dengan hati penuh curiga ketika melihat darah belepotan di sekitar mulut dan hidung Serigala. "Mengapa kau berlari-lari ke sawah? Bukankah aku menyuruhmu menunggui adikmu di rumah. Jangan-jangan...hah! Apakah kau telah memakan adikmu sendiri? Kurangajar...!"
 
"Tid...tidak Pak...!"
"Pak, mulutnya penuh darah, jangan-jangan bayi kita memang telah dimakannya. Hajar saja dia Pak, dasar Serigala tak tahu balas budi!" kata Bu Rusa.
 
Tanpa menunggu penjelasan anak angkatnya, Pak Rusa menghajar Serigala itu dengan pentungan, hingga Serigala itu terkapar pingsan di tanah. Lalu dengan penuh amarah yang meluap-luap, Serigala itu mereka lemparkan ke sungai.
 
"Pak cepat tengok bayi kita!" Bu Rusa mengingatkan suaminya. Mereka segera lari ke rumah. Ternyata bayi mereka masih tertidur di atas ayunan. Selamat tanpa kurang suatu apa. Di bawah ayunan nampak bangkai seekor ular besar yang putus lehernya.
 
"Astaga...jadi Serigala tadi sebenarnya telah menyelamatkan anak kita dari terkaman ular besar ini," kata Bu Rusa.
 
"Oalah Bu...bu...kita telah bertindak gegabah." ucap Pak Rusa dengan penuh sesal.
 
Mereka segera menyusuri sungai tempat Serigala dihanyutkan, namun usahanya sia-sia belaka. Serigala yang malang itu tak pernah ditemukan lagi, entah sudah mati tenggelam atau dimakan buaya. 

Burung Gagak, Rusa dan Srigala


Di dalam sebuah hutan yang besar, hidup seekor rusa dan seekor burung gagak. Mereka adalah teman yang sangat akrab.

Rusa telah menjadi gemuk dan suka mengembara di hutan tanpa khawatir tentang apapun di dunia ini.
Pada suatu hari, seekor serigala kebetulan melihat rusa kecil yang gemuk itu.
“Hmmm,” kata serigala. “Daging empuk rusa yang muda ini akan merupakan hidangan yang sangat lezat. Ah, sebagai permulaan, saya akan mencoba untuk memperoleh kepercayaannnya.”
Serigala berpikir tentang hal ini lalu kemudian pergi ke si rusa kecil.
“Halo” katanya, “apa kabar?”

“Kamu siapa?” tanya rusa.

“Saya adalah seekor serigala dan saya tinggal sendirian di hutan ini. Saya tidak mempunyai teman. Sekarang, karena saya telah bertemu denganmu, saya ingin menjadi temanmu dan akan melakukan apapun yang kamu inginkan untuk membuat kamu bahagia,”jawab serigala.
 
“Wah, baik kalau begitu,” kata rusa.

Kemudian, ketika matahari sudah terbenam, keduanya bersama-sama pulang ke rumah rusa. Teman rusa, burung gagak, hidup berdekatan di cabang sebuah pohon.

Ketika ia melihat serigala, dia berseru, “Rusa temanku, siapa itu yang bersama kamu?”

“Ini adalah seekor serigala. Dia ingin menjadi teman kita. Oleh karena itu , dia ikut dengan saya,” jawab rusa.

“Apakah kamu kira adalah bijaksana untuk berteman begitu cepat dengan seseorang yang kamu tidak tahu apa-apa tentangnya?” kata burung gagak.
Kamu tidak tahu tentang keluarganya atau bagaimana sifatnya. Bagaimana kamu bisa mengundang dia untuk tinggal dengan kamu tanpa mengetahui semua ini?”

“Burung gagak” teriak serigala dengan marah. “Waktu kamu pertama bertemu rusa, apakah kamu tahu apapun tentang dia, saudaranya atau kelakuannya? Kalau begitu, bagaimana kalian telah menjadi teman akrab hari ini?”

“Aduh, tolong jangan berdebat,” kata rusa. “Marilah kita semua berteman. Kamu hanya bisa tahu seorang teman dari seorang musuh setelah mengamati kelakuannya.”

“Baik, kalau begitu,” kata burung gagak. “Terserah kamulah.”
Dan kemudian mereka pun semua hidup bersama-sama.
Waktupun berlalu.

Pada satu hari, serigala membawa rusa ke samping lalu berbisik, “Teman, di bagian lain hutan ini, ada ladang penuh jagung. Saya akan membawa kamu ke sana dan menunjukkan kepada kamu tempatnya.”

Serigala itu membawa rusa dan menunjukkan ladang itu. Semenjak itu, rusa mulai pergi ke sana setiap hari dan makan sampai puas. Ketika pemilik ladang menyadari bahwa ada seseorang sedang makan jagungnya, dia kemudian memasang sebuah perangkap dan akhirnya rusa itu tertangkap.

“Aduh! Saya sekarang perlu bantuan temanku. Dia pasti akan membebaskan saya dari perangkap ini”, pikir rusa.

Sementara itu, serigala sampai disana dan berpikir, “inilah yang sedang aku tunggu-tunggu. Kalau dia dibunuh oleh pemilik ladang, dagingnya akan menjadi makananku selama berhari-hari.”

Pada waktu rusa kebetulan melihat serigala, dia menjerit, “Oh, teman, tolong. Bantu saya. Hanya teman seperti kamu yang bisa menyelamatkan saya dari keadaan yang mengerikan ini.’

“Tapi teman”, kata serigala, “jerat ini dibuat dari kulit, jadi mana bisa saya menyentuhnya hari ini, sebab hari ini saya puasa. Tolong jangan salah mengerti terhadap saya. Saya akan menggigit jerat ini di awal pagi besok..”

Ketika matahari terbenam dan rusa masih belum kembali, burung gagak merasa cemas. Dia langsung berangkat untuk mencari rusa dan akhirnya sampai di ladang jagung.Seketika itu juga , dia melihat rusa temannya.

“Rusa temanku! Apa yang terjadi padamu?” kata burung gagak dengan suara penuh belas kasihan.

“Inilah yang terjadi jika seseorang tidak mendengar nasihat temannya”, jawab rusa.

Lalu dia menceritakan kepada burung gagak bagaimana serigala menunjukkan ladang jagung untuk menangkap dia.
” Di mana penjahat itu?” Tanya burung gagak dengan marah.

“Dia sedang bersembunyi di sekitar sini, sambil menunggu kesempatan untuk membunuh saya untuk dimakan”. Jawab rusa.

“Saya sudah memperingati kamu untuk tidak pernah mempercayai orang asing, tetapi kamu tidak memperhatikannya”, kata burung gagak.

Sambil mengeluh, burung gagak kemudian berteriak, “Serigala, penipu! Pendusta ! Apa yang kamu lakukan? Bagaimana bisa kamu menipu seseorang yang mempercayaimu? Ah, kalau seseorang berteman dengan seorang penipu, pastilah dia harus menerima akibatnya”.

Burung gagak kemudian memutuskan untuk tinggal, menemani temannya.
Pada pagi hari, petani kembali dengan sepotong kayu di tangannya.
Begitu burung gagak melihat dia datang, dia berkata kepada rusa, “Cepat! Lakukan seperti yang saya katakan! Berbaringlah tanpa bergerak seakan-akan kamu sudah mati. Kalau aku memberi kode dengan bersuara, meloncatlah dan langsung lari untuk keselamatan dirimu”.

Maka rusa pun berbaring tanpa bergerak di tanah seolah-olah dia sudah mati.

Tatkala petani sudah berada dekat sekali dengan rusa, dengan muka yang menyala-nyala dia merasa senang sekali dan berkata, “Bagus sekali, rusa ini sudah mati!”
Kemudian petani membebaskan dia dan mengambil jerat itu. Pada saat yang sama, burung gagak memberi tanda kepada rusa yang kemudian meloncat dan lari secepat mungkin.

Petani terkejut, lalu langsung melempar kayunya ke rusa tetapi lemparan kayu tersebut tidak mengenai rusa melainkan mengenai serigala yang sedang bersembunyi di dekat sana. Akibat terkena lemparan kayu tersebut, serigala itu langsung mati.

Rusa menyadari bahwa lebih baik memiliki satu musuh yang jelas daripada teman yang menusuk dari belakang.