Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Friday, 20 December 2013

Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu-Budha terakhir, yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya pada 1293 dan berpusat di daerah Tarik, Mojokerto, Jawa Timur. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389) yang didampingi oleh Patih Gadjah Mada (1331-1364), kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya. 

Setelah Raja Kertanegara gugur dalam peristiwa penyerangan oleh Raja Jayakatwang dari kerajaan Kediri, berakhirlah riwayat Kerajaan Singasari. Raja Kertanegara beserta petinggi kerajaan lainnya tewas dalam penyerangan tersebut. Raden Wijaya (menantu Raja Kertanegara) segera melarikan diri ke Sumenep, Madura, dan mendapat perlindungan dari Arya Wiraraja, penguasa Sumenep. Karena Raja Jayakatwang sangat menghormati Arya Wiraraja, maka Raden Wijaya pun mendapat pengampunan. Setelah mendapat pengampunan dari Raja Jayakatwang, Raden Wijaya beserta pengikutnya diizinkan untuk membabat hutan Tarik (sekarang menjadi Desa Trowulan, Jawa Timur) untuk dijadikan desa, dan disinilah kemudian berdiri pusat Kerajaan Majapahit.  

Kertarajasa Jayawardhana


Pada 1293 pasukan Kubilai Khan dari Cina datang dengan tujuan untuk menghancurkan Kerajaan Singasari. Mereka tidak tahu bahwa Singasari sebenarnya telah hancur. Hal ini dimanfaatkan oleh Raden Wijava untuk membalas dendam kepada Raja Jayakatwang. 

Pasukan Raden Wijaya, kemudian bekerjasama dengan pasukan Kubilai Khan yang berjumlah sekitar 20.000 orang. Dalam waktu singkat, Kerajaan Kediri dapat dihancurkan dan Raja Jayakatwang terbunuh. Setelah mampu menundukkan Kediri, pasukan Kubilai Khan selanjutnya kembali ke pelabuhan, namun di tengah perjalanan pasukan Raden Wijaya dengan bantuan pasukan Singasari dari Sumatera menyerang pasukan tersebut, sehingga memaksa pasukan Kubilai Khan segera pergi dari tanah Jawa dan Raden Wijaya menjadi raja dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana.

Wilayah Kekuasaan

Menurut Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit meliputi seluruh Jawa (kecuali tanah Sunda), sebagian besar P. Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur hingga Irian Jaya. Perluasan wilayah ini dicapai berkat politik ekspansi yang dilakukan oleh Patih Mangkubumi Gadjah Mada. Pada masa inilah Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya.

Masa Pemerintahan Hayam Wuruk

Pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk, memang Majapahit mengalami masa kejayaan. Meskipun demikian, pada masa pemerintahannya dengan didampingi oleh Mahapatih Gajahmada, terjadi beberapa peperangan yang sebenarnya tidak melulu hanya ditujukan untuk perluasan wilayah kekuasaan Majapahit. Salah satunya adalah perang Bubat. Meski perang ini, ada ahli sejarah yang meragukannya oleh karena sumber rujukan tertuanya, yaitu Serat Pararaton, Kidung Sunda dan Kidung Sundayana dari Bali, yang ada hanya merupakan suatu terjemahan dan tidak diketahui penulis aslinya. Apalagi buku-buku tersebut ditulis beberapa ratus tahun setelah kerajaan majapahit runtuh. Tetapi peristiwa ini setidaknya memberi gambaran bahwa meski merupakan patih yang sangat cemerlang, Mahapatih Gajah Mada pun tetap bisa melakukan suatu kecerobohan.

Perang Bubat

Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada abad ke-14, yaitu di masa pemerintahan raja Majapahit Hayam Wuruk. Perang terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Sunda. 

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut, karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara
Menurut catatan sejarah Pajajaran oleh Saleh Danasasmita serta Naskah Perang Bubat oleh Yoseph Iskandar, niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.


Alasan umum yang dapat diterima adalah Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. 

Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.

Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.

Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Kemudian terjadilah insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. 

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di lapangan Bubat.


Putri Dyah Pitaloka, yang memegang teguh tradisi kerajaan Sunda, akhirnya dengan hati berduka melakukan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Tindakan ini mungkin diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatriya, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

Hayam Wuruk yang meratapi kematian Dyah Pitaloka dan menyesalkan tindakan ini, kemudian mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya. Raja Hayam Wuruk kemudian menikahi sepupunya sendiri, Paduka Sori.
Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Ia dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri. Peristiwa yang penuh kemalangan ini pun menandai mulai turunnya karier Gajah Mada, karena kemudian Hayam Wuruk menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura (kini Probolinggo). 

Meskipun tindakan ini nampak sebagai penganugerahan, tindakan ini dapat ditafsirkan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk pensiun, karena tanah ini letaknya jauh dari ibu kota Majapahit sehingga Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari politik kenegaraan istana Majapahit. Meskipun demikian, menurut Negarakertagama Gajah Mada masih disebutkan nama dan jabatannya, sehingga ditafsirkan Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai akhir hayatnya (1364).

Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar kedua negara dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian, hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala. Pangeran Niskalawastu Kancana — adik Putri Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil — menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana

Kebijakannya antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan ngan estri tlarai luaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.
Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki "Prabu Wangi" (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.
Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama "Gajah Mada" atau "Majapahit". Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.

Hal yang menarik antara lain, meskipun Bali sering kali dianggap sebagai pewaris kebudayaan Majapahit, masyarakat Bali sepertinya cenderung berpihak kepada kerajaan Sunda dalam hal ini, seperti terbukti dalam naskah Bali Kidung Sunda. Penghormatan dan kekaguman pihak Bali atas tindakan keluarga kerajaan Sunda yang dengan gagah berani menghadapi kematian, sangat mungkin karena kesesuaiannya dengan ajaran Hindu mengenai tata perilaku dan nilai-nilai kehormatan kasta ksatriya, bahwa kematian yang utama dan sempurna bagi seorang ksatriya adalah di ujung pedang di tengah medan laga. Nilai-nilai kepahlawanan dan keberanian ini mendapatkan sandingannya dalam kebudayaan Bali, yakni tradisi puputan, pertempuran hingga mati yang dilakukan kaum prianya, disusul ritual bunuh diri yang dilakukan kaum wanitanya. Mereka memilih mati mulia daripada menyerah, tetap hidup, tetapi menanggung malu, kehinaan dan kekalahan.


Keruntuhan Majapahit

Sepeninggal Raden Wijaya, Kerajaan Majapahit dilanda beberapa pemberontakan. Pemberontakan tersebut antara lain ialah pemberontakan Ranggalawe, Sora, dan Kuti, yang terjadi selama masa pemerintahan Jayanegara (1309-1328), serta pemberontakan Sadeng dan Keta pada masa Tribhuwanatunggadewi (1328-1350). Pemberontakan baru dapat berakhir pada masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Setelah masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk, pamor Kerajaan Majapahit menjadi semakin menurun.

Pada 1522, Kerajaan Majapahit hancur akibat terjadinya perang saudara. Selain itu, faktor yang juga mempengaruhi runtuhnya Kerajaan Majapahit ialah munculnya Kerajaan Malaka dan berkembangnya kebudayaan Islam. 

Para Penguasa Majapahit

Raden Wijaya : (1309)
Jayanegara : (1309-1328)
Tribhuwanatunggaldewi : (1328-1350)
Hayam Wuruk : (1350-1389)
Wikramawardhana : (1389-1429)
Suhita : (1429-1447)
Kertawijaya : (1447-1451)
Rajasawardhana : (1451-1453)
Bhre Wengker : (1456-1466)
Singhawikramawardhana : (1466-1468)
Kertabhumi : (1468-1478)
Ranawijaya/Girindrawardhana : (1478-?)



Friday, 13 December 2013

Wangsa Syailendra

Wangsa Syailendra atau Śailendravamśa adalah nama wangsa atau dinasti raja-raja yang berkuasa di Sriwijaya, pulau Sumatera; dan di Kerajaan Medang, Jawa Tengah, sejak tahun 752. Sebagian besar raja-rajanya adalah penganut dan pelindung agama Buddha Mahayana. Meskipun peninggalan dan manifestasi wangsa ini kebanyakan terdapat di dataran Kedu, Jawa Tengah, asal-usul wangsa ini masih diperdebatkan. Disamping berasal dari Jawa, daerah lain seperti Sumatera atau bahkan India dan Kamboja, sempat diajukan sebagai asal mula wangsa ini.

Di Indonesia nama Śailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam prasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi (Śailendragurubhis; Śailendrawańśatilakasya; Śailendrarajagurubhis). Kemudian nama itu ditemukan di dalam prasasti Kelurak dari tahun 782 Masehi (Śailendrawańśatilakena), dalam prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (dharmmatuńgadewasyaśailendra), prasasti Sojomerto dari sekitar tahun 700 Masehi (selendranamah) dan prasasti Kayumwuńan dari tahun 824 Masehi (śailendrawańśatilaka). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam prasasti Ligor dari tahun 775 Masehi dan prasasti Nalanda.
 
Mengenai asal usul keluarga Śailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarawan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga Śailendra berasal dari Sumatra, dari India, dan dari Funan.

Teori India

Majumdar beranggapan bahwa keluarga Śailendra di Nusantara, baik di Śrīwijaya (Sumatera) maupun di Mdaŋ (Jawa) berasal dari Kalingga (India Selatan). Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga Śailendra berasal dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hyang. Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hyang dengan bala tentaranya.

Teori Funan

George Cœdès lebih condong kepada anggapan bahwa Śailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan (Kamboja). Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di Medang pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama keluarga Śailendra. Namun teori ini tidak terbukti kuat karena beberapa prasasti dan catatan sejarah menyatakan bahwa sebelum bermukim di Jawa, keluarga Sailendra telah bermukim turun-temurun di Sumatera.

Teori Nusantara

Teori Nusantara mengajukan kepulauan Nusantara; terutama pulau Sumatera atau Jawa; sebagai tanah air wangsa ini. Teori ini mengajukan bahwa wangsa Śailendra mungkin berasal dari Sumatera yang kemudian berpindah dan berkuasa di Jawa, atau mungkin wangsa asli dari pulau Jawa tetapi mendapatkan pengaruh kuat dari Sriwijaya.

Menurut beberapa sejarawan, keluarga Śailendra berasal dari Sumatera yang bermigrasi ke Jawa Tengah setelah Sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke-7 Masehi dengan menyerang kerajaan Tarumanagara dan Ho-ling di Jawa. Serangan Sriwijaya atas Jawa berdasarkan atas Prasasti Kota Kapur yang mencanangkan ekspansi atas Bhumi Jawa yang tidak mau berbhakti kepada Sriwijaya. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar Dapunta Selendra pada prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiyaŋ. Prasasti Sojomerto dan prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuna.

Teori Nusantara juga dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama prasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Mdaŋ.
Nama Dapunta Selendra jelas merupakan ejaan Melayu dari kata dalam bahasa Sanskerta Śailendra karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuna. Jika demikian, kalau keluarga Śailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sansekerta di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Śailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.

Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Śyailendra, asli Nusantara yang menganut agama Śiwa. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahāyāna, raja-raja di Matarām menjadi penganut agama Buddha Mahāyāna juga. Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa Rakai Sañjaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban atau Rakai Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya (aliran Saiwa) ditakuti oleh semua orang. Kabar mengenai Rakai Panangkaran yang berpindah agama dari aliran Saiwa menjadi Buddha Mahayana juga sesuai dengan isi Prasasti Raja Sankhara (koleksi Museum Adam Malik yang kini hilang).

Kemudian Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sañjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sañjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sañjaya.

Dari prasasti Sojomerto dan prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Matarām), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya. Raja Sañjaya mulai berkuasa di Mdaŋ pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini berarti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra.

Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahawa Raja Mandimiñak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak.

Karena teori Poerbatjaraka berdasarkan Carita Parahiyangan, maka keluarga Śailendra diduga berasal dari pulau Jawa yang berada dibawah pengaruh Sriwijaya. Tokoh Sanna dan Sanjaya berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Mereka pada awalnya beragama Siwa seperti kebanyakan keluarga kerajaan permulaan di pulau Jawa seperti Tarumanagara dan Holing (Kalingga). Penggunaan bahasa Bahasa Melayu Kuna pada prasasti Sojomerto di Jawa Tengah serta penggunaan gelaran Dapunta menunjukkan bahwa keluarga Sailendra telah dipengaruhi bahasa, budaya, dan sistem politik Sriwijaya, hal ini menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah vasal atau raja bawahan anggota kedatuan Sriwijaya. Hal ini seiring dengan kabar penaklukan Bhumi Jawa oleh Sriwijaya sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kota Kapur.

Berita Tiongkok yang berasal dari masa Dinasti Tang memberitakan tentang Kerajaan Ho-ling yang disebut She-po (Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Sima). Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Mdaŋ, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Sima (674-703 Masehi), Mandimiñak (703-710 Masehi), R. Sanna (710-717 Masehi), R. Sañjaya (717-746 Masehi), dan Rakai Paņamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.

Era Kerajaan Medang

Selama ini kerajaan Medang dianggap diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Sailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa, pendapat ini pertama kali diperkenalkan oleh Bosch. Pada awal era Medang atau Mataram Kuno, wangsa Syailendra cukup dominan di Jawa Tengah. 

Menurut para ahli sejarah, wangsa Sanjaya awalnya berada di bawah pengaruh kekuasaan wangsa Sailendra. Mengenai persaingan kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah. Sementara Poerbatjaraka menolak anggapan Bosch mengenai adanya dua wangsa kembar berbeda agama yang saling bersaing ini. Menurutnya hanya ada satu wangsa dan satu kerajaan, yaitu wangsa Sailendra dan Kerajaan Medang. Sanjaya dan keturunannya adalah anggota Sailendra juga. Ditambah menurut Boechari, melalui penafsirannya atas Prasasti Sojomerto bahwa wangsa Sailendra pada mulanya memuja Siwa, sebelum Panangkaran beralih keyakinan menjadi penganut Buddha Mahayana.

Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Sailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih. Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram Kuno dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Budha (Sailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian utara.

Berdasarkan penafsiran atas prasasti Canggal (732 M) Sanjaya memang mendirikan Shivalingga baru (Candi Gunung Wukir), artinya ia membangun dasar pusat pemerintahan baru. Hal ini karena raja Jawa pendahulunya, Raja Sanna wafat dan kerajaannya tercerai-berai diserang musuh. Saudari Sanna adalah Sannaha, ibunda Sanjaya, artinya Sanjaya masih kemenakan Sanna. Sanjaya mempersatukan bekas kerajaan Sanna, memindahkan ibu kota dan naik takhta membangun kraton baru di Mdang i Bhumi Mataram. Hal ini sesuai dengan adat dan kepercayaan Jawa bahwa kraton yang sudah pernah pralaya, diserang, kalah dan diduduki musuh, sudah buruk peruntungannya sehingga harus pindah mencari tempat lain untuk membangun kraton baru. Hal ini serupa dengan zaman kemudian pada masa Mataram Islam yang meninggalkan Kartasura yang sudah pernah diduduki musuh dan berpindah ke Surakarta. Perpindahan pusat pemerintahan ini bukan berarti berakhirnya wangsa yang berkuasa. Hal ini sama dengan Airlangga pada zaman kemudian yang membangun kerajaan baru, tetapi ia masih merupakan keturunan wangsa penguasa terdahulu, kelanjutan Dharmawangsa yang juga anggota wangsa Isyana. Maka disimpulkan meski Sanjaya memindahkan ibu kota ke Mataram, ia tetap merupakan kelanjutan dari wangsa Sailendra yang menurut prasasti Sojomerto didirikan oleh Dapunta Selendra.

Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri Dharmasetu, Maharaja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai Bodhisattva wanita. Pada tahun 790, Sailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja Selatan), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.

Candi Borobudur selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833). Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, Samaratungga memiliki putri bernama Pramodhawardhani dan putra bernama Balaputradewa. Balaputra kemudian memerintah di Sriwijaya, maka selain pernah berkuasa di Medang, wangsa Sailendra juga berkuasa di Sriwijaya.

Runtuhnya Wangsa Syailendra

Berapa sejarahwan berusaha menjelaskan berakhirnya kekuasaan Sailendra di Jawa Tengah mengaitkannya dengan kepindahan Balaputradewa ke Sriwijaya (Sumatera). Selama ini sejarahwan seperti Dr. Bosch dan Munoz menganut paham adanya dua wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; Sanjaya-Sailendra. Mereka beranggapan Sailendra yang penganut Buddha kalah bersaing dan terusir oleh wangsa Sanjaya yang Hindu aliran Siwa. Dimulai dengan adanya ketimpangan perekonomian serta perbedaan keyakinan antara Sailendra sang penguasa yang beragama Buddha dengan rakyat Jawa yang kebanyakan beragama Hindu Siwa, menjadi faktor terjadinya ketidakstabilan di Jawa Tengah. Untuk memantapkan posisinya di Jawa Tengah, raja Samaratungga menikahkan putrinya Pramodhawardhani, dengan anak Garung, Rakai Pikatan yang waktu itu menjadi pangeran wangsa Sanjaya. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa, yang merupakan paman atau saudara Pramodhawardhani. Sejarah wangsa Sailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke Suwarnadwipa yang merupakan negeri asal ibunya. Setelah terusirnya wangsa Sailendra dari Jawa Tengah, Munoz beranggapan berakhir pula kekuasaan Sriwijaya atas Jawa selama satu abad. Munoz beranggapan bahwa orang-orang Jawa pengikut Balaputradewa merasa terancam dan akhirnya menyingkir, mengungsi ke Jawa Barat untuk mendirikan kerajaan Banten Girang. Hal ini berdasarkan temuan arca-arca bergaya Jawa Tengahan abad ke-10 di situs Gunung Pulasari, Banten Girang.

Sementara itu, sejarahwan seperti Poerbatjaraka dan Boechari percaya bahwa hanya ada satu wangsa yaitu Sailendra, dan tidak pernah disebutkan Sanjayavamça dalam prasasti apapun. Sanjaya dan keturunannya dianggap masih masuk dalam wangsa Sailendra. Secara tradisional, selama ini kurun kekuasaan Sailendra dianggap berlangsung antara abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, dan hanya terbatas di Jawa Tengah, tepatnya di Dataran Kedu, dari masa kekuasaan Panangkaran hingga Samaratungga. Hal ini sesuai dengan penafsiran Slamet Muljana yang menganggap Panangkaran sebagai Raja Sailendra pertama yang naik takhta. Akan tetapi penafsiran paling mutakhir berdasarkan temuan Prasasti Sojomerto serta kelanjutan Sailendra di Sriwijaya mengusulkan; bahwa masa kekuasaan wangsa Sailendra berlangsung jauh lebih lama. Dari pertengahan abad ke-7 (perkiraan dituliskannya Prasasti Sojomerto), hingga awal abad ke-11 masehi (jatuhnya wangsa Sailendra di Sriwijaya akibat serangan Cholamandala dari India). Dalam kurun waktu tertentu, wangsa Sailendra berkuasa baik di Jawa Tengah maupun di Sumatra. Persekutuan dan hubungan pernikahan keluarga kerajaan antara Sriwijaya dan Sailendra memungkinkan bergabungnya dua keluarga kerajaan, dengan wangsa Sailendra akhirnya berkuasa baik di Kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah sekaligus di Sriwijaya, Sumatera.

Daftar raja-raja
 
Beberapa sejarahwan mencoba merekonstruksi kembali urutan daftar silsilah raja-raja Sailendra; meskipun satu sama lain mungkin tidak sepakat. Misalnya, Slamet Muljana, meneruskan teori dinasti kembar Bosch, berpendapat bahwa anggota wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja adalah Rakai Panangkaran. Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa wangsa Sanjaya itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, Wangsa Sanjaya juga merupakan anggota Wangsa Sailendra. Boechari mencoba menyusun tahap awal perkembangan wangsa Sailendra berdasarkan penafsiran atas Prasasti Sojomerto. Sementara Poerbatjaraka mencoba menyusun daftar raja penguasa Sailendra pada periode menengah dan lanjut berdasarkan hubungannya dengan tokoh Sanjaya, beberapa prasasti Sailendra, serta penafsiran atas naskah Carita Parahyangan. Akan tetapi banyak kebingungan yang muncul, karena nampaknya Sailendra berkuasa atas banyak kerajaan; Kalingga, Medang, dan Sriwijaya. Akibatnya nama beberapa raja nampak tumpang tindih dan berkuasa di kerajaan-kerajaan ini secara bersamaan. Tanda tanya (?) menunjukkan keraguan atau dugaan, karena data atau bukti sejarah sahih masih sedikit ditemukan dan belum jelas terungkap.

Kurun Waktu Nama Raja atau Penguasa Ibu Kota Prasasti atau Catatan Bersejarah Peristiwa
sekitar 650 Santanu ? Prasasti Sojomerto (sekitar 670—700) Sebuah keluarga beragama Siwa berbahasa Melayu kuno mulai bermukim di pesisir utara Jawa Tengah, diduga berasal dari Sumatera (?) atau asli dari Jawa tapi di bawah pengaruh Sriwijaya (raja bawahan)
sekitar 674 Dapunta Selendra Batang (pantai utara Jawa Tengah) Prasasti Sojomerto (sekitar 670—700) Dimulainya wangsa keluarga penguasa, pertama kalinya nama 'Selendra' (Sailendra) disebutkan
674—703 Shima (?) Kalingga, di antara Pekalongan dan Jepara Carita Parahyangan, Catatan Tiongkok mengenai kunjungan biksu Hwi-ning di Ho-ling (664) dan pemerintahan Ratu Hsi-mo (674) Menguasai kerajaan Kalingga
703—710 Mandimiñak (?) ? Carita Parahyangan
710—717 Sanna ? Prasasti Canggal (732), Carita Parahyangan Sanna berkuasa di Jawa, tetapi setelah kematiannya kerajaan runtuh dan terpecah-belah akibat pemberontakan atau serangan dari luar
717—760 Sanjaya Mataram, Jawa Tengah Prasasti Canggal (732), Carita Parahyangan Sanjaya, putra Sannaha, keponakan Sanna memulihkan keamanan, mempersatukan kerajaan dan naik takhta, sejarahwan lama menafsirkannya sebagai berdirinya Wangsa Sanjaya, sementara pihak lain menganggap ia sebagai kelanjutan Sailendra
760—775 Rakai Panangkaran Mataram, Jawa Tengah Prasasti Raja Sankhara, Prasasti Kalasan (778), Carita Parahyangan Rakai Panangkaran beralih keyakinan dari memuja Siwa menjadi penganut Buddha Mahayana, pembangunan Candi Kalasan
775—800 Dharanindra Mataram, Jawa Tengah Prasasti Kelurak (782), Prasasti Ligor B (sekitar 787) Juga berkuasa di Sriwijaya (Sumatera), membangun Manjusrigrha, memulai membangun Borobudur (sekitar 770), Jawa menyerang dan menaklukan Ligor dan Kamboja Selatan (Chenla) (790)
800—812 Samaragrawira Mataram, Jawa Tengah Prasasti Ligor B (sekitar 787) Juga berkuasa di Sriwijaya, Kamboja memerdekakan diri (802)
812—833 Samaratungga Mataram, Jawa Tengah Prasasti Karangtengah (824) Juga berkuasa di Sriwijaya, merampungkan Borobudur (825)
833—856 Pramodhawardhani berkuasa mendampingi suaminya Rakai Pikatan Mamrati, Jawa Tengah Prasasti Siwagrha (856) Mengalahkan dan mengusir Balaputradewa yang menyingkir ke Sumatera (Sriwijaya). Membangun Candi Prambanan dan Candi Plaosan. Para raja Medang penerus Pikatan, mulai dari Dyah Lokapala (850—890) hingga Wawa (924—929) dapat dianggap sebagai penerus trah Sailendra, meskipun Dyah Balitung (898—910) dalam Prasasti Mantyasih (907) hanya merunut leluhurnya hingga Sanjaya, akibatnya menumbuhkan teori Wangsa Sanjaya.
833—850 Balaputradewa Sriwijaya, Sumatera Selatan Prasasti Siwagrha (856), Prasasti Nalanda (860) Dikalahkan Pikatan-Pramodhawardhani, terusir dari Jawa Tengah, menyingkir ke Sumatra dan berkuasa di Sriwijaya, mengaku dirinya sebagai pewaris sah wangsa Sailendra dari Jawa, membangun Candi di Nalanda (India)
sekitar 960 Çri Udayadityavarman Sriwijaya, Sumatera Selatan Utusan ke Tiongkok (960 dan 962) Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok
sekitar 980 Haji (Hia-Tche) Sriwijaya, Sumatera Selatan Utusan ke Tiongkok (980–983) Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok
sekitar 988 Sri Culamanivarmadeva Sriwijaya, Sumatera Selatan Utusan ke Tiongkok (988-992-1003), Prasasti Tanjore atau prasasti Leiden (1044) Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok, Raja Jawa Dharmawangsa menyerang Sriwijaya, membangun Candi untuk Kaisar Tiongkok, pemberian desa perdikan oleh Raja-raja I
sekitar 1008 Sri Maravijayottungga Sriwijaya, Sumatera Selatan Utusan ke Tiongkok (1008) Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok (1008)
sekitar 1017 Sumatrabhumi Sriwijaya, Sumatera Selatan Utusan ke Tiongkok(1017) Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok (1017)
sekitar 1025 Sangramavijayottungga Sriwijaya, Sumatera Selatan Prasasti Chola di Candi Rajaraja, Tanjore Serbuan kerajaan Cholamandala atas Sriwijaya, ibu kota ditaklukan oleh Rajendra Chola

Saturday, 2 March 2013

Rengasdengklok


Peristiwa Rengasdengklok pada dasarnya adalah peristiwa "penculikan" yang dilakukan oleh sejumlah pemuda (a.l. Soekarni, B.M Diah, Yusuf Kunto, Wikana, Sayuti Melik, Adam Malik, dan Chaerul Saleh dari perkumpulan "Menteng 31") terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00. WIB, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sampai dengan terjadinya kesepakatan antara golongan tua yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Moh. Yamin, Dr. Buntaran, Dr. Syamsi dan Mr. Iwa Kusumasumantri dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan.

Menghadapi desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian. Sementara itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut kekuasaan. Tetapi apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena tidak semua anggota PETA mendukung rencana tersebut.

Peristiwa Rengasdengklok diawali dengan menyerahnya Jepang pada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Dengan menyerahnya Jepang berarti situasi telah berubah, Jepang tidak lagi memerintah Indonesia tetapi hanya berfungsi sebagai penjaga “status quo” yakni menjaga situasi dan kondisi seperti pada masa perang dan melarang adanya perubahan-perubahan di Indonesia. Kemerdekaan tidak mungkin bisa didapat dari Jepang. 

Para pemuda beranggapan bahwa tidak mungkin bisa mendapat kemerdekaan dari Jepang, mereka juga khawatir apabila kemerdekaan yang sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia, menjadi seolah-olah merupakan pemberian dari Jepang. Oleh karena itu pada tanggal 15 Agustus 1945 itu juga, sekitar pukul 20.00, para pemuda dipimpin Chaerul Saleh mengadakan rapat di ruang Laboratorium Mikrologi di Pegangsaan Timur untuk membicarakan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan tanpa bantuan Jepang.

Rengasdengklok

Dalam rapat tersebut menhasilkan keputusan bahwa :
  1. Mendesak Bung Karno dan Bung Hatta agar melepaskan ikatannya dengan Jepang dan harus bermusyawarah dengan pemuda.
  2. Mendesak Bung Karno dan Bung Hatta agar dengan atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia malam itu juga atau paling lambat 16 Agustus 1945.
Keputusan rapat pemuda tersebut disampaikan oleh Darwis dan Wikana kepada Bung Karno dan Bung Hatta sekitar pukul 22.00, di rumah kediamannya masing-masing. Akan tetapi Bung Karno dan Bung Hatta menolak dengan alasan bahwa beliau tidak akan memproklamirkan kemerdekaan tanpa perantara PPKI, sebab PPKI merupakan wakil-wakil bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke, sedang golongan pemuda beranggapan bahwa PPKI merupakan butan Jepang.

Karena tidak ada kata sepakat, hari itu juga (15 Agustus 1945) pukul 24.00 di asrama Baperpi jl. Cikini 71 Jakarta (Kebun Binatang Cikini) para pemuda kembali mengadakan rapat dan mereka sepakat untuk menjauhkan Bung Karno dan Bung Hatta dari pengaruh Jepang ke luar kota. Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, pukul 04.00, Sukarni, Yusuf Kunto, dan Singgih membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok (Kabupaten Karawang) yaitu tempat kedudukan sebuah Cudan (Kompi) PETA yang dikomandani Cudanco Subeno.

Tujuan para pemuda menjauhkan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok adalah:
  • agar kedua tokoh tersebut tidak terpengaruh Jepang, dan
  • mendesak keduanya supaya segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia terlepas dari segala ikatan dengan Jepang.
Rapat dengan Soekarno
Pemilihan Rengasdengklok sebagai tempat pengamanan Soekarno Hatta, didasarkan pada perhitungan militer. Antara anggota PETA Daidan Purwakarta dan Daidan Jakarta terdapat hubungan erat sejak keduanya melakukan latihan bersama. Secara geografis, Rengasdengklok letaknya terpencil, sehingga dapat dilakukan deteksi dengan mudah setiap gerakan tentara Jepang yang menuju Rengasdengklok, baik dari arah Jakarta, Bandung, atau Jawa Tengah. 

Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim untuk berunding dengan pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta, Kunto hanya menemui Wikana dan Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati serta Guntur, dan tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.30. Ahmad Subardjo memberikan jaminan bahwa proklamasi segera dikumandangkan paling lambat keesokan harinya, sekaligus mengundang Bung Karno dan Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Barulah Cudanco Subeno, sebagai komandan kompi setempat, bersedia melepaskan Bung Karno dan Bung Hatta. 

Pada hari itu juga Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke Jakarta. Pada tanggal 16 tengah malam, sekitar pukul 23.00, rombongan tersebut sampai di Jakarta dan selanjutnya rombongan meminta ijin kepada Jenderal Nishimura untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Namun Nishimura menolak permintaan tersebut dengan alasan bahwa Indonesia masih dalam status quo, artinya belum ada penyerahan kekuasaan dari Jepang kepada Sekutu. Karena ditolak, maka usaha mempersiapkan proklamasi dilakukan di rumah Laksamana Tadashi Maeda, seorang perwira Angkatan Laut Jepang.

Shahrir-Soekarno-Hatta
Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang "dipinjam" (tepatnya sebetulnya diambil) dari kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. 

Perumusan Teks Proklamasi Perumusan teks proklamasi dilaksanakan di Jakarta, di rumah Laksamana Muda Tadasi Maeda, dengan alasan Laksamana Maeda adalah seorang Angkatan Laut Jepang yang bersimpati dengan perjuangan bangsa Indonesia dan wilayah tersebut merupakan hak prerogatif militer Angkatan Laut, sehingga Angkatan Darat tidak dapat mengganggu gugat.. Tokoh yang bertindak sebagai perumus teks proklamasi berasal dari golongan tua yaitu:
  • Ir. Soekarno
  • Drs. Mohammad hatta
  • Ahmad Subardjo
Sedangkan yang bertindak sebagai saksi berasal dari golongan muda yaitu :
  • Buharnudin Muhammad Diah (BM Diah)
  • Sayuti Melik
  • Sukarni
  • Sudiro
Atas dasar musyawarah dan diskusi dihasilkan :
  1. Teks Proklamasi yang Klad: Teks Proklamasi yang ditulis tangan oleh Bung Karno yang sebelumnya didektekan Bung Hatta dan isinya masih bersifat konsep.
  2. Teks Proklamasi yang Otentik: Teks Proklamasi yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang "dipinjam" (tepatnya sebetulnya diambil) dari kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler dan ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta yang kemudian dibacakan pada 17 Agustus 1945.
Ada dinamika yang berkembang dalam musyawarah itu terkait dengan redaksional naskah proklamasi yaitu :
  • Ahmad Subardjo mengusulkan kalimat yang ada di alinea pertama proklamasi yang intinya kemerdekaan Indonesia adalah kemauan  Bangsa  Indonesia  untuk  merdeka dan  menentukan nasib  sendiri 
  • Drs. Muhammad Hatta mengusulkan kalimat untuk alinea kedua yang berkisar pada masalah pengalihan/pemindahan kekuasaan 
  • Oleh Sukarno, kedua usul itu kemudian dirangkai dalam sebuah tulisan tangan yang kemudian diketik oleh Sayuti Melik.
Namun antara tulisan tangan dan ketikan ada sedikit perbedaan yaitu : 
  1. Kata “tempoh” diubah menjadi “tempo” 
  2. Kata “wakil-wakil bangsa indonesia” pada  bagian akhir diganti menjadi “atas nama bangsa indonesia”.
  3. Cara menulis tanggal “djakarta, 17-8-05” diganti menjadi “djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05”
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 di lapangan IKADA(yang sekarang telah menjadi lapangan Monas) atau di rumah Bung Karno di Jl.Pegangsaan Timur 56. Dipilih rumah Bung Karno karena di lapangan IKADA sudah tersebar bahwa ada sebuah acara yang akan diselenggarakan, sehingga tentara-tentara jepang sudah berjaga-jaga, untuk menghindari kericuhan, antara penonton-penonton saat terjadi pembacaan teks proklamasi, dipilihlah rumah Soekarno di jalan Pegangsaan Timur No.56. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok pada Rabu tanggal 16 Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Monday, 6 August 2012

BPUPKI



Kondisi bangsa Indonesia di bawah kekuasaan Jepang yang semakin hari semakin kacau, sementara kepercayaan masyarakat semakin luntur, maka pemerintah Jepang di Indonesia mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk menarik simpati rakyat indonesia. Kebijakan yang dimaksud adalah dibentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Jenderal Kumakichi Harada. Dan, badan BPUPKI ini diresmikan pada tanggal 28 Mei 1945 di gedung Cuo Sangi In di jalan Pejambon.

Dalam Bahasa Jepang, BPUPKI disebut dengan Dokuritsu Junbi Cosakai. Sebenarnya, badan ini merupakan pelaksanaan atau tindak lanjut dari Janji Koiso terkait dengan Kemerdekaan Indonesia.
Tujuan utama dibentuknya BPUPKI adalah untuk menyelidiki dan mempelajari segala sesuatu yang dirasa penting terkait dengan pembentukan negara Indonesia merdeka. Dengan kata lain, BPUPKI bertugas untuk mempersiapkan hal-hal penting terkait dengan tata pemerintahan Indonesia setelah merdeka.

Ada pun keanggotan dari badan BPUPKI berjumlah 67 orang dari Indonesia yang terdiri dari tokoh-tokoh utama pergerakan nasional indonesia dari seluruh daerah dan aliran yang ada di indonesia dan 7 orang dari Jepang. Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) diketuai oleh Radjiman Wediodiningrat.

Berikut adalah daftar lengkap anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Daftar Anggota BPUPKI dan Jabatannya
No
Nama Sesuai EYD
Nama Sesuai Ejaan Asli
Pekerjaan/Jabatan
1
Abdul Kaffar
Kaffar, Abdoel.
 Bekas Kapten Mantan Barisan Madura.
2
 Abdul Kahar Muzakir.
 Moezakir,  Abdoel Kahar.
 Peg Kantor Kooti Zimu Kyoku Yogya bag Ekonomi
3
 Agus Muhsin Dasaad.
 Dasaad, Agoes Moechsin.
 Pemimpin NV Pabrik Tenun, Wa Ketua Jakarta Tokubetu Si Sangi Kai.
4
 AR Baswedan.
Baswedan, AR.
Angg Tyuuoo Sangi In.
5
Bandoro Pangeran Hario Purubojo.
Poeroebojo, Bandoro Pangeran Hario.
Pembesar Kawedanan Kori Kraton Yogyakarta, Angg Tyuuoo Sangi In
6
Bendoro Kanjeng Pangeran Ario Suryohamijoyo.
Soerjohamidjojo, Bendoro Kanjeng Pangeran Ario.
Ajudan Sri Susuhunan Surakarta
7
Bendoro Pangeran Hario Bintoro.
Bintoro’,  Bendoro Pangeran Hario.
Pejabat di Kesultanan Yogyakarta.
8
Dr. Kanjeng Raden TumenggungRajiman Wedyodiningrat.
Wedyodiningrat, Radjiman,  Kanjeng Raden Tumenggung, Dr.
Angg Tyuuoo Sangi In, Pertanian di Bulak Ngalaran Walikukun Kab Ngawi
9
Dr. Raden BuntaranMartoatmojo.
Martoatmodjo, Boentaran, Raden, Dr.
Ka RSU Negeri Semarang, Wa Ketua Syuu Hookoo Kai Semarang dan Tyuuoo Sangi In.
10
Dr. Raden SuleimanEffendi Kusumaatmaja.
Koesoemaatmadja, Soleiman Effendi,Raden. Dr.
Ketua Tihoo Hooin Semarang, Kendal, Semarang Ken Kooto Hooin Kinmu.
11
Dr. SamsiSastrawidagda.
Sastrawidagda, Samsi, Dr.
Ka Kantor Partikelir Tatausaha dan Pajak Surabaya, Angg Tyuuoo Sangi In
12
Dr. Sukiman Wiryosanjoyo.
Wirjosandjojo, Soekiman, Dr.
Dokter Partikelir di Yogyakarta
13
Drs. Kanjeng Raden Mas Hario Sosrodiningrat.
Sosrodiningrat, Kanjeng Raden Mas Hario, Drs.
Solo Kooti Soomuu Tyookan
14
Drs. Muhammad Hatta.
Hatta, Mohammad,Drs.
Angg Tyuuoo Sangi In, Wa Ketua Hookoo Kaigi Jawa Hookookai.
15
Haji A.A. Sanusi
Sanoesi, A.A., Haji
Angg Bogor Syuu Sangi Kai
16
Haji Abdul Wahid Hasyim.
Hasjim, Abdoel Wachid, Haji.
Berniaga, Penasehat Kantor Penyelidikan Surabaya.
17
Haji Agus Salim.
Salim, Agoes, Haji.
-
18
Ir. Pangeran Muhammad Nur.
Noor, Mohammad, Pangeran, Ir.
Pemimpin Kantor Pengairan Bondowoso
19
Ir. Raden Ashar SutejoMunandar.
Moenandar, Ashar Soetedjo, Raden, Ir.
Ingenieur Seibu Jawa Denki Zidyoo Koosya Bogor [versi: Suisin Taityoo Ngawi]
20
Ir. Raden Mas PanjiSurahman Cokroadisuryo
Tjokroadisoerjo, Soerachman,  Raden Mas Panji, Ir.
Pem Kantor Pusat Kerajinan dan Jawata Tera
21
Ir. Raden RusenoSuryohadikusumo.
Soerjohadikoesoemo, Rooseno, Raden, Ir.
Ingenieur, Pem distrik II Pengairan Jatim Kediri, Angg Tyuuoo Sangi In, Wa Penasehat Syuu Sangi Kai Kediri
22
Ir. Sukarno.
Soekarno, Ir.
Penasehat Tyuuoo Sangi In, Sango Soomubu Jakarta
23
K.H. Abdul Halim(Muhammad Syatari),
Halim, Abdul (Mohammad Sjatari),K.H.
Penasehat Perikatan Umat Islam Majalengka, Angg Tyuuoo Sangi In Jakarta.
24
Kanjeng Raden Mas Tumenggung Ario Wuryaningrat.
Woerjaningrat, Kanjeng Raden Mas Toemenggoeng Ario.
Bupati Nayoko Kaprah Tengan di Kraton Solo
25
Ki Bagus Hadikusumo.
Hadikoesoemo, Bagoes, Ki.
Angg Tyuuoo Sangi In, Ketua Muhammadiyah.
26
Ki Hajar Dewantara.
Dewantara, Hajar, Ki.
Angg Tyuuoo Sangi In Soomu Jawa Hookookai Yogyakarta.
27
Kiai HajiAbdul Fatah Hasan.
Hasan, Abdul Fatah,Kiai Haji.
Angg Banten Syuu Sangi Kai.
28
Kiai Haji Mas Mansur.
Mansoer, Mas, Kiai Haji.
Kamon Shuumubu, Masyumi Jakarta.
29
Kiai Haji Masykur.
Masjkoer, Kiai Haji.
Tokoh NU
30
Liem Koen Hian.
Liem, Koen Hian.
-
31
Mas Aris.
Aris, Mas.
Ketua Pati Syuu Sangi Kai, Angg Tyuuoo Sangi In.
32
Mas SutarjoKartohadikusumo.
Kartohadikoesoemo, Soetardjo. Mas.
Syuutyookan Jakarta.
33
Mr. A. A. Maramis.
Maramis, A. A., Mr.
Advokat Jakarta.
34
Mr. Kanjeng Raden Mas Tumenggung Wongsonagoro.
Wongsonagoro,Kanjeng Raden Mas Toemenggoeng, Mr.
Bupati Sragen
35
Mr. Mas BesarMartokusumo.
Martokoesoemo, Mas Besar, Mr.
Walikota Tegal
36
Mr. Mas SusantoTirtoprojo.
Tirtoprodjo, Soesanto,Mas, Mr.
Madiun Sityoo
37
Mr. Muhammad Yamin
Yamin, Muhammad,Mr.
Penasehat Sendenbu-sendenka (Sanyoo-Sendenbu)
38
Mr. Raden Ahmad Subarjo.
Soebardjo, Ahmad,Raden, Mr.
Pem bag Informasi Gunseikanbu cabang I Jakarta
39
Mr. Raden Hindromartono,
Hindromartono,Raden, Mr.
Shokuin Naimobu Roodo Kyoku
40
Mr. Raden MasSartono.
Sartono, Raden Mas. Mr.
Advokat, Angg Tyuuoo Sangi In
41
Mr. Raden PanjiSinggih.
Singgih, Raden Panji, Mr.
Pembesar Umum Naimuu Koseika Tyoo Jakarta
42
 Mr. Raden Samsudin
 Samsoedin, Raden, Mr.
-
43
Mr. Raden Suwandi.
Soewandi, Raden, Mr.
Sanyo Bunkyoo Kyoku
44
Mr. Raden, Sastromulyono.
Sastromoeljono,Raden, Mr.
Hakim Kootoo Hooin dan Tihoo Hooin Jakarta Tangerang
45
Mr. Yohanes Latuharhary.
Latuharhary, Johanes.Mr.
Peg. Somubu Jakarta.
46
Ny. Mr. Raden AyuMaria Ulfah Santoso.
Santoso, Maria Ulfah,Raden Ayu, Mr.
Peg Syhobu Jakarta
47
Ny. Raden NgantenSiti SukaptinahSunaryo Mangunpuspito.
Mangoenpoespito, Siti Soekaptinah Soenarjo, Raden Nganten.
Kabag Wanita Kantor Pus Jawa Hookoo Kai Jakarta.
48
Oey Tiang Tjoei.
Oey, Tiang Tjoei.
Angg Tyuuoo Sangi In, Presiden Hua Chiao Tong Hui
49
Oey Tjong Hauw.
Oey, Tjong Hauw.
Angg Tyuuoo Sangi In
50
P.F. Dahler,
Dahler, P.F.
-
51
Parada Harahap.
Harahap, Parada,
Direktur Percetakan dan Harian Sinar Baru Semarang.
52
Prof. Dr. Mr. RadenSupomo.
Soepomo, Raden, Prof. Mr. Dr.
Pem. Hooki Kyoku, Angg Saikoo Hooin
53
Prof. Dr. Pangeran ArioHusein Jayadiningrat.
Djajadiningrat, Husein, Pangeran Ario, Prof. Dr.
Syumubutyoo, Angg Tyuuoo Sangi In Jakarta.
54
Prof. Dr. Raden JenalAsikin Wijaya Kusuma.
Koesoema, Djenal Asikin Widjaja, Raden. Prof. Dr.
Wa Pemimpin RSU Negeri, Guru Tinggi Ika Dai Gaku Jakarta.
55
Raden Abdul Kadir.
Kadir, Abdul, Raden.
Opsir PETA.
56
Raden Abdulrahim Pratalykrama.
Pratalykrama, Abdoelrahim, Raden.
Wa Residen Kediri
57
Raden AbikusnoCokrosuyoso.
Tjokrosoejoso, Abikoesno, Raden.
Architectparticulir, Ketua bag Umum kantor pusat Jawa Hookoo Kai
58
Raden Adipati ArioSumitro KolopakingPurbonegoro.
Kolopaking, Poerbonegoro, Soemitro, Raden Adipati Ario.
Bupati Banjarnegara.
59
Raden AdipatiWiranatakusuma.
Wiranatakoesoema, Raden Adipati.
Bupati Bandung
60
Raden Asikin Natanegara.
Natanegara, Asikin,Raden.
Ikyu Keishi pada Keimubu
61
Raden MasMargono Joyohadikusumo.
Djojohadikoesoemo, Margono, Raden Mas.
Penulis Koperasi Kantor Pusat Koperasi Perdagangan Dagri Jakarta.
62
Raden Mas Tumenggung ArioSuryo.
Soerjo, Raden Mas Toemenggoeng Ario.
Residen Bojonegoro
63
Raden Oto Iskandardinata.
Iskandardinata, Oto,Raden
Angg Tyuuoo Sangi In, Zissenkyokutyoo Jawa Hookookai Jakarta.
64
Raden Panji Suroso.
Soeroso, Raden Pandji.
Wa Ketua Syuu Hookoo Kai Malang
65
Raden Ruslan Wongsokusumo.
Wongsokoesoemo, Roeslan, Raden.
Wa Ketua Perseroan Tanggungan Jiwa Bumiputera Jatim, Pembantu kantor cab Asia Raya dan Jawa Shimbun
66
Raden Sudirman.
Soedirman, Raden
Wa Ketua Syuu Hookoo Kai dan Penasehat Surabaya Syuu Sangi Kai
67
Raden SukarjoWiryopranoto.
Wirjopranoto, Soekardjo, Raden.
Pem Surat Kabar Aria Raya
68
Tan Eng Hoa.
Tan, Eng Hoa.
-
69
Itibangase Yosio
Ichibangase Yosio
-
70
Matuura
Matuura
-
71
Myano
Myano
-
72
Tanaka
Tanaka
-
73
Tokonami
Tokonami
-
74
N/A
N/A
-

BPUPKI mulai bersidang untuk pertama kalinya sejak tanggal 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945. Tujuan dari sidang yang pertama ini adalah untuk merumuskan undang-undang dasar. UUD ini harus dirumuskan terlebih dahulu sebelum merumuskan konstitusi negara.

Untuk mendapatakan rumusan dasar negara tersebut, maka acara sidang adalah mendengarkan pidato dari beberapa tokoh pergerakan seperti:
  1. Sidang tanggal 29 Mei 1945, Muh Yamin mengumumkan rumusan Lima azas dasar negara kebangsaan Republik Indonesia, yaitu : Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.
  2. Sidang tanggal 31 Mei 1945, Dr. Supomo mengemukakan lima prinsip dasar dasar negara yang dinamakan Dasar Negara Indonesia Merdeka, yaitu Persatuan, Kekeluargaan, Mufakat dan Demokrasi, Musyawarah, dan Keadilan Sosial.
  3. Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Sukarno, mengemukakan lima dasar dasar negara Indonesia yang dinamakan PANCASILA, yaitu Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme/ Peri Kemanusiaan, Mufakat/ Demokrasi, Kesejahteraan sosial, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Rumusan lima dasar negera Indonesia yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno kemudian dikenal dengan nama PANCASILA, yang kemudian kemudian ditetapkan sebagaikan dasar Negara Republik Indonesia. Untuk itu, tanggal 1 Juni di kenal sebagai hari lahirnya Pancasila.

Acara mendengarkan pidato dari tokoh-tokoh penting tersebut sekaligus sebagai penanda berakhirnya masa sidang pertama BPUPKI. Setelah itu, BPUPKI mengalami masa rehat alias istirahat alias masa reses selama satu bulan lebih.

Pada masa reses itulah, kemudian dibentuk kepanitaan kecil (Panitia Sembilan) dengan Ir. Sukarno ditunjuk sebagai ketua. Kepanitiaan ini bertugas untuk mengolah usul dari konsep dasar negara Indonesia.

Tanggal 22 Juni 1945, Ir. Sukarno melaporkan hasil kerja panitia sembilan kepada anggota BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan Indonesia merdeka. Dokumen inilah yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.

Menurut dokumen ini, lima dasar negara Indonesia adalah sebagai berikut.
  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya,
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
  3. Persatuan Indonesia,
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan
  5. Keadailan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rancangan yang diusulkan oleh panitia sembilan ini diterima untuk kemudian dimatangkan kembali dalam sidang kedua BPUPKI yang akan diselenggarakan mulai 10 Juli 1945.

Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan karena dianggap telah dapat menyelesaikan tugasnya menyusun rancangan UUD negara Indonesia merdeka. Pembubaran ini kemudian diganti Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Iinkai dengan Ir. Sukarno sebagai ketua.
PPKI kemudian meresmikan pembukaan serta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tugas selanjutnya adalah melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan mempersiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada bangsa Indonesia.

Adapun anggota dari PPKI ini terdiri dari 21 orang Indonesia diketuai oleh Sukarno dan Hatta sebagai wakilnya.

Panitia Persiapakan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) secara resmi dilantik oleh Jendral Terauchi pada tanggal 9 Agustus 1945. Peresmian ini ditandai dengan mengundang Ir. Soekarno, Muhammad Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat ke Saigon.

Pada saat yang sama, Terauchi menyampaikan keputusan bahwa kemerdekaan Indonesia akan diserahkan pada tanggal 24 Agustus 1945. dan, seluruh pelaksanaan kemerdekaan Indonesia diserahkan kepada PPKI.