Showing posts with label Kedokteran. Show all posts
Showing posts with label Kedokteran. Show all posts

Thursday, 22 August 2013

Sirosis Hepatis



Sirosis hepatis adalah suatu penyakit liver yang bersifat kronis, irreversibel mempunyai hubungan signifikan dengan angka morbiditas dan mortalitas. Istilah sirosis diperoleh dari bahasa Yunani kirrhos yang berarti “orange-colored”, yang mengacu pada warna hati “yellow-orange” yang dilihat oleh ahli patologi atau ahli bedah.

Sirosis terjadi sebagai akibat dari adanya penyakit inflamasi kronis yang terjadi pada hepar (liver = organ hati), yang selanjutnya menyebabkan terjadinya nekrosis difuse dari sel-sel hepar (hepatocyte). Nekrosis pada hepar ini akan merangsang terjadinya regenerasi sel, tetapi sayangnya regenerasi sel ini berupa jaringan fibrous. Jika dalam perkembangannya semakin banyak hepatocyte yang rusak dan digantikan oleh jaringan fibrous, terjadilah apa yang disebut sirosis.

Secara histologi, sirosis digambarkan sebagai suatu proses diffus yang ditandai oleh adanya fibrosis dan suatu konversi struktur hepar yang normal menjadi struktur nodules yang abnormal.

Jaringan fibrous yang menggantikan parenkim hepatik normal ini, akan menimbulkan hambatan aliran darah pada sistem Portal, yang selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya hipertensi portal, varices oesophagus dan ascites. Menurunnya sel-sel hepar (Hepatocyte) yang sehat dan menurnnya aliran darah intrahepatal mengakibatkan menurunnya fungsi metabolisme dan fungsi sintesa oleh sel-sel hepar, yang selanjutnya akan memicu terjadinya encephalopathy hepatic dan coagulopathy.
Penyebab (Etiologi)

-          Kebiasaan minum, minuman berakohol
-          Penyakit Hepatitis B dan C

Pengelolaan

Pasien sirosis hepatis yang disertai dengan hipertensi portal harus dipertimbangkan untuk dilakukan skrining endoscopis. Endoscopy, juga digunakan untuk ligasi atau sclerotherapy dalam manajemen variceal bleeding akut. Sedangkan pasien dengan varices oesophagus yang besar, perlu menerima profilaksis dari penyakit utama dengan terapi  adrenergik α-bloker.

Octreotide adalah agen vasoaktif  yang sangat bermanfaat dalam pengelolaan perdarahan varises eosophagus. Vasopressin tidak lagi direkomendasikan sebagai first-line agen oleh karena profil efeknya yang kurang signifikan.

Kombinasi spironolaktone dan furosemida direkomendasikan sebagai terapi diuretik awal untuk pasien yang disertai dengan ascites. Pasien yang mengalami radang selaput perut (peritonitis) yang disebabkan bakteri, perlu menerima profilaksis antibiotik jangka panjang.

Pada kasus encephalopathy hepatic, tujuan utama terapi adalah untuk menurunkan konsentrasi amoniak darah, antara lain dengan cara terapi diet, lactulose, dan antibiotik tunggal atau kombinasi dengan laktosa.

Pencegahan

Sirosis hepatis akibat penyalahgunaan alkohol dapat  dicegah untuk berkembang lebih parah dengan cara larangan mengkonsumsi minuman beralkohol.

Monday, 20 May 2013

Leptospirosis Pada Manusia


Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira sp. Penyakit ini dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Berikut adalah beberapa nama lain dari penyakit Leptospirosis seperti, Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd's, Demam pesawah (Ricefield fever), Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah, Penyakit Stuttgart, Demam Canicola, penyakit kuning non-virus, penyakit air merah pada anak sapi, dan tifus anjing.

Infeksi dalam bentuk subakut tidak begitu memperlihatkan gejala klinis, sedangkan pada infeksi akut ditandai dengan gejala sepsis, radang ginjal interstisial, anemia hemolitik, peradangan pada liver dan atau keguguran. Leptospirosis pada hewan biasanya subklinis, dan pada fase ini, biasanya tidak menunjukkan gejala klinis yang signifikan..

Leptospira dapat bertahan cukup lama di dalam ginjal hewan, sehingga bakteri tersebut akan banyak dikeluarkan hewan lewat air seni. Leptospirosis pada hewan dapat terjadi berbulan-bulan, sedangkan pada manusia hanya bertahan selama 60 hari. Manusia merupakan induk semang terakhir, sehingga penularan antarmanusia jarang terjadi. 

Sejarah Penyakit

Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Adolf Weil, pada tahun 1886, dengan gejala demam tinggi disertai beberapa gejala di persarafan serta pembesaran hati (hepatomegali) dan limpa (splenomegali). Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's Disease. Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae.

Etiologi

Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. Bakteri Leptospira merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat. Bakteri Lepstospira berukuran panjang 6-20 µm dengan diameter 0,1-0,2 µm. Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 µm. Jadi, ukuran bakteri ini relatif kecil dan panjang, sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop cahaya biasa dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras. Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur.

Leptospira mempunyai ±175 serovar, bahkan ada yang mengatakan Leptospira memiliki lebih dari 200 serovar. Infeksi dapat disebabkan oleh satu atau lebih serovar sekaligus. Bila infeksi terjadi, maka pada tubuh penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi. 

Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps menjadi bola berbentuk kubah dan tipis. Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki aktifitas patogenik. Leptospira dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang lembap, tanaman dan lumpur.

Distribusi Penyakit

Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis. Orang-orang yang bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan, dan personel militer, memiliki resiko yang lebih besar untuk terkenan Leptospirosis. Selain itu, air yang terkontaminasi juga menjadi salah satu faktor resiko terjadinya penulatan penyakit ini. Di daerah endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan banjir.

Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis, dimana kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat. Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per tahun.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Oraganization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang setiap tahun. Pada saat wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi.

Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45 persen. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56 persen. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3 persen - 54 persen tergantung sistem organ yang terinfeksi.

Cara Penularan

Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne disease). Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan.. Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama untuk dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru. Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir. Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah induk semang.

Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus yang terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis. karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi. Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus.

Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita dan tidak langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka di kulit, mulut, cairan urin, kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan). Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi.

Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh. Kejadian Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam.

Perjalanan Penyakit

Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan jaringan. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di dalam darah, sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan hati.

Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular (kematian tubuli ginjal). Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer. Pada konsisi ini akan terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi.

Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang pada pembuluh darah. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang. Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan tahun.

Gejala Klinis

Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari. Infeksi Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa. Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat, Hampir 15-40 persen penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif. Sekitar 90 persen penderita jaundis ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil (Weil Disease). 
Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan fase imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik. Selain itu ada Sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi Leptospirosis yang berat.

Fase Septisemik


Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan hati.

Fase Imun


Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal.

Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit bernapas. Gangguan hematologi berupa peradarahan dan pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun.

Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis. Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan. Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen pasien.

Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi. Sebanyak 83 persen penderita infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona. Infeksi L. grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Sedangkam L. pomona atau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis).

Sindrom Weil

 

Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu. Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. 

Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas. Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal. Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang akan meningkat pada lanjut usia. 

Diagnosa

Untuk mendiagnosa Leptospirosis, maka hal yang perlu diperhatikan adalah riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Sebagai pemeriksaan penunjang, antara lain dapat dilakukan pemeriksaan urin dan darah. Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk mendiagnosa Leptospirosis karena bakteri Leptospira terdapat dalam urin sejak awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ketiga. Cairan tubuh lainnya yang mengandung Leptospira adalah darah, serebrospinal, tetapi rentang peluang untuk isolasi bakteri sangat pendek. Selain itu dapat dilakukan isolasi bakteri Leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita, misalnya jaringan hati, otot, kulit dan mata. Namun, isolasi Leptospira termasuk sulit dan membutuhkan waktu beberapa bulan.
Untuk menegakkan diagnosa Leptospirosis biasanya dilakukan pemeriksaan serologis. Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala klinis. Kultur atau pengamatan bakteri Leptospira di bawah mikroskop berlatar gelap umumnya tidak sensitif. Tes serologis untuk mengkonfirmasi infeksi Leptospirosis yaitu Microscopic agglutination test (MAT). Tes ini mengukur kemampuan serum darah pasien untuk mengagglutinasi bakteri Leptospira yang hidup. Namun, MAT tidak dapat digunakan secara spesifik pada kasus yang akut, yakni kasus yang terjadi secara cepat dengan gejala klinis yang parah. Selain itu, diagnosa juga dapat dilakukan melalui pengamatan bakteri Leptospira pada spesimen organ yang terinfeksi menggunakan imunofloresen .

Pengobatan dan Pengendalian

Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik seperti doksisiklin, ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan antibiotik antara lain penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin.

Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus mewaspadai cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan di mana hewan berada.

Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis. Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air. Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber air.

Wednesday, 1 May 2013

Malaria

Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bernama Plasmodium. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi parasit tersebut. Di dalam tubuh manusia, parasit Plasmodium akan berkembang biak di organ hati kemudian menginfeksi sel darah merah. Pasien yang terinfeksi oleh malaria akan menunjukan gejala awal menyerupai penyakit influenza, namun bila tidak diobati, maka dapat terjadi komplikasi yang berujung pada kematian.

Penyakit ini paling banyak terjadi di daerah tropis dan subtropis di mana parasit Plasmodium dapat berkembang baik begitu pula dengan vektor nyamuk Anopheles. Daerah selatan Sahara di Afrika dan Papua Nugini di Oceania merupakan tempat-tempat dengan angka kejadian malaria tertinggi.

Untuk penemuannya atas penyebab malaria, seorang dokter militer Prancis Charles Louis Alphonse Laveran mendapatkan Penghargaan Nobel untuk Fisiologi dan Medis pada 1907.

Insidens

Berdasarkan data di dunia, penyakit malaria membunuh satu anak setiap 30 detik. Sekitar 300-500 juta orang terinfeksi dan sekitar 1 juta orang meninggal karena penyakit ini setiap tahunnya.
Pada tahun 2010 diperkirakan sekitar 219 juta kasus malaria terjadi di seluruh dunia, dan 660.000 orang diantaranya meninggal (diperkirakan 490 000 - 836 000),  terutama pada anak-anak. Kematian terbanyak terjadi di daerah Sahara Afrika, Asia, Amerika Latin dan sebagian lainnya Eropa maupun Timur Tengah, meski tidak terlalu banyak.

Gejala Klinis

Setiap orang yang menderita demam setelah pulang dari daerah endemis malaria, hendaknya dicurigai terserang malaria, sampai dari hasil pemeriksaan dinyatakan negatif. Seperti yang disebutkan di atas, gejala awal penyakit malaria, adalah mirip dengan influenza, seperti demam, menggigil, badan terasa sakit semua.

Diagnosis

Diagosa Malaria dapat ditegakkan berdasarkan riwayat perjalanan pasien, gejala dan hasil yang diperoleh baik dari pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, khususnya dengan didapatkannya plasmodium dan komponennya dalam darah pasien.
Tidak dipungkiri, bahwa untuk menegakkan diagnosa malaria ini cukup sulit
  • Khususnya di daerah-daerah non endemis malaria, banyak para petugas kesehatan yang tidak familier dengan penyakit ini. Para klinisi di daerah tersebut, mungkin tidak berpikir tentang penyakit ini saat menerima pasien malaria, sehingga baik pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang atau laboratorium yang diminta tidak mengarah untuk diagnosa malaria. Para petugas laboratorium pun mungkin juga tidak berpengalaman sehingga gagal dalam mendeteksi parasit malaria saat memeriksa sediaan darah di bawah mikroskop.
  • Di beberapa daerah endemis, transmisi malaria  begitu intens, sehingga sejumlah orang yang terinfeksi, justru tidak menjadi sakit. Orang-orang yang sedemikian ini, yang sering disebut pembawa atau "carrier", telah mampu mengembangkan immunitas yang mampu melindunginya dari penyakit malaria, tetapi tidak dapat melindunginya terhadap infeksi malaria. Pada keadaan seperti ini, didapatkannya parasit malaria pada orang tersebut tidak begitu penting dan hanya berarti bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh parasit.
Eritrosit yang terinfeksi Plasmodium vivax


Diagnosis Klinis


Diagnosis klinis didasarkan pada gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik. Gejala awal malaria (paling sering adalah demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, nyeri otot, mual, muntah) sering tidak spesifik dan juga dapat ditemukan pada penyakit-penykit lain seperti influenza dan infeksi virus lainnya, yang biasanya timbul 10 - 15 hari setelah digigit nyamuk Anopheles yang terinfeksi plasmodium. Demikian juga halnya denga pemeriksaan fisik, sering kali juga tidak spesifik seperti meningkatnya suhu badan, persirasi dan kelelahan.


Pada penderita malaria yang berat (biasanya disebabkan oleh Plasmodium falciparum), pada pemeriksaan fisik sering didapatkan keluhan (bingung, koma, gejala neurologis focal, anemia berat dan kesulitan bernapas) yang lebih jelas dan akan semakin meningkatkan kecurigaan terhadap penyakit malaria ini. Jika memungkinkan, gejala klinis ini hendaknya selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium untuk tes malaria. 

Jika dari hasil tes yang spesifik untuk malaria ini sudah diperoleh, maka pasien tersebut harus segera dikelola dengan baik sambil dilakukan pemeriksaan darah yang lengkap termasuk pemeriksaan kimia darah. Jika hasil tes malaria benar-benar positif, tes-tes tambahan akan sangat berguna untuk menentukan tingkat keparahan penyakit malaria tersebut. Secara spesifik, tes-tes ini dapat mendeteksi adanya anemia berat, hipoglikemia, gagal ginjal, hiperbilirubunemia dan gangguan keseimbangan asam basa.

Lekosit (sisi kiri) dan dua eritrosit yang terinfeksi Plasmodium falciparum (sisi kanan)

 Diagnosis Mikroskopis 

Parasit Malaria dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan darah tetes tebal di bawah mikroskop, dan hapusan darah. Sebelum dilakukan pemeriksaan di bawah mikroskop, sediaan tersebut biasanya akan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa. Tehnik ini masih merupakan "gold standard" untuk pemeriksaan laboratorium bagi penyakit malaria. Meskipun demikian, hal ini sangat tergantung pada kuyalitas reagen, mikroskop yang dipakai dan pengalaman petugas laboratoriumnya


Pengobatan

Pengobatan malaria tergantung antara lain pada beratnya penyakit, jenis parasit, daerah dimana pasien itu berada atau terserang, resistensi parasit terhadap obat antimalaria tertentu, usia, berat badan, penyakit dan kondisi yang menyertai dan kehamilan serta ada-tidaknya alergi terhadap obat malaria.

Penyakit malaria ini (khususnya yang disebabkan Plasmodium falciparum) bisa berakibat fatal, sehingga perlu segera dilakukan pengobatan dan pengelolaan yang baik. Untuk suatu serangan malaria falciparum akut dengan parasit yang resisten terhadap klorokuin, bisa diberikan kuinin atau kuinidin secara intravena. Saat ini terapi utama yang dianjurkan adalah artemisinin yang dikombinasi dengan satu atau dua obat antimalaria lainnya, untuk mencegah terjadinya resistensi. Hal ini merupakan rekomendasi dari WHO, yang dikenal sebagai ACT (Artemisinin Combination Therapy), khususnya untuk daerah-daerah yang endemis malaria. Pada malaria lainnya jarang terjadi resistensi terhadap klorokuin, karena itu biasanya diberikan klorokuin dan primakuin.

Pada penderita malaria yang berat dan atau disebabkan oleh Plasmodium falciparum atau yang tidak bisa diberikan obat secara per oral, hendaknya segera diberikan pengobatan  secara per infus.

Beberapa obat yang dapat digunakan untuk pengobatan malaria antara lain
  • chloroquine
  • atovaquone-proguanil (Malarone®)
  • artemether-lumefantrine (Coartem®)
  • mefloquine (Lariam®)
  • quinine
  • quinidine
  • quinacrine
  • doxycycline (diberikan bersama quinine)
  • clindamycin (diberikan bersama quinine)
  • artesunate (artemisinin) (tidak dianjurkan di USA, tetapi terdapat di CDC malaria hotline) Artemisinin termasuk obat termuktahir saat ini, meski dilaporkan sudah ada resistensi, khususnya di perbatasan Thailand - Kamboja.


Sebagai tambahan, primaquine aktif bekerja melawan parasit-parasit yang berada di liver (hypnozoites) dan mencegah terjadinya kekambuhan. Primaquine hendaknya tidak diberikan pada wanita hamil atau penderita yang mengalami kekurangan G6PD (glucose-6-phosphate dehydrogenase). Pada penderita ini, hendaknya tidak diberikan primaquine sampai hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan pasien tersebut tidak menderita defisiensi G6PD.

Tanggal 18 Oktober 2011 tim peneliti melaporkan hasil uji coba klinis Fase III vaksin untuk melawan parasit Plasmodium falciparum disebut RTS, S/AS01 yang didanai GlaxoSmithKline dan Malaria Vaccine Initiative PATH pada ribuan anak-anak di Afrika. Diharapkan pada akhir 2014, data yang diperlukan oleh WHO untuk mengeluarkan rekomendasi aturan penggunaannya sudah tersedia dan pada tahun 2015, diharapkan WHO sudah mngeluarkan rekomendasi aturan tentang penggunaan vaksin ini.

Thursday, 18 April 2013

Cedera Reperfusi (Reperfusion Injury)

Cedera reperfusi darah (Reperfusion Injury) adalah rusaknya jaringan (tissue damage) yang justru disebabkan oleh membaiknya kembali perfusi ke jaringan, setelah jaringan mengalami iskemia atau kekurangan oksigen untuk beberapa saat. Ketiadaan oksigen dan nutrisi dalam darah selama masa iskemia menyebabkan kondisi dimana perbaikan sistem kardiovaskular justru menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi dan kerusakan oksidasi akibat stres oksidatif.

Mekanisme 

Patofisiologi cedera perfusi (reperfusion injury) sangat kompleks dan melibatkan komponen-komponen seluler dan humoral. Proses peradangan (inflammatory response) dianggap sebagai faktor utama yang menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan akibat cedera reperfusi. Lekosit yang dibawa oleh aliran darah yang baru membaik kembali,  ke daerah dimana jaringan mengalami kerusakan justru memicu keluarnya sejumlah faktor inflamasi seperti Interleukin dan radikal bebas yang mengakibatkan semakin luasnya kerusakan jaringan.

Membaiknya kembali aliran darah yang membawa oksigen ke dalam sel, juga mengakibatkan kerusakan sel protein, DNA, dan membran plasma. Kerusakan membran sel pada akhirnya menyebabkan pelepasan radikal bebas yang lebih banyak lagi.

Cedera reperfusi juga memainkan peranan penting pada terjadinya kaskade iskemia yang terjadi pada otak seperti pada kejadian stroke dan trauma di otak, akibat trauma kepala. Kerusakan otak yang terjadi akibat pulihnya perfusi setelah terjadinya henti jantung, juga melibatkan proses yang sama. Iskemia dan cedera reperfusi, diduga juga berperan penting pada kegagalan dan buruknya proses penyembuhan pada luka kronis, seperti yang terjadi akibat "pressure sores" and "diabetic foot ulcers". Tekanan yang terjadi secara terus menerus, menyebabkan pasokkan aliran darah terhambat dan menyebabkan iskemia dan proses inflamasi akan terjadi saat perfusi kembali membaik. proses ini akan terus berulang dan kerusakan jaringan ini lambat laun akan menyebabkan terjadinya luka borok.

Hipoksia yang berlangsung 60 menit atau lebih, akan menghasilkan hipoxantin sebagai hasil dari metabolisme ATP

Tuesday, 19 March 2013

Trakeostomi

Trakeostomi adalah pembuatan lubang pada dinding anterior trakea untuk mempertahankan jalan nafas atau tindakan membuat stoma agar udara dapat masuk kedalam paru-paru dengan memitas jalan nafas atas untuk mengatasi sumbatan jalan napas. Pada tindakan trakeostomi ini, untuk menjaga lubang stoma ini tidak tertutup kembali,  pada awalnya akan dipasang kanul trakeostomi

Trakeostomi pertama kali dikemukakan oleh Aretacus dan Galen pada abad pertama dan kedua sesudah Masehi. Meskipun tehnik ini telah dikemukakan berulang kali, tetapi orang pertama yang diketahui secara pasti melakukan tindakan itu adalah Antonio Brasavola, pada tahun 1546. 
 
Beberapa istilah yang pernah dikeumukakan untuk menamai prosedur ini, antara lain laringotomi dan bronkotomi sampai istilah trakeotomi diperkenalkan oleh Heister pada tahun 1718. Pipa trakeostomi yang pertama dengan kanul diperkenalkan oleh Gorge Martinedi, Inggris kira-kira tahun 1730 untuk menghindari sumbatan pipa pasca bedah.

Indikasi Trakeostomi
  • Sumbatan jalan napas atas
  • bantuan pernapasan buatan untuk periode yang lama
  • bronchial toilet (pembersihan jalan napas)
  • mencegah aspirasi
  • mengurangi "dead space"
  • mencegah terjadinya stenosis subglotis
  • memungkinkan pasien menelan tanpa reflek apnea, yang sangat penting pada pasien dengan gangguan pernafasan.
  • memungkinkan pemberian obat-obatan dan humidifikasi ke traktus.
  • menjaga patensi jalan napas pada penderita cedera parah pada wajah dan leher  
Kontra Indikasi
Kontra indikasi absolut untuk trakeostomi, tidak ada. Bahkan pada penderita hemofilia sekalipun, trakeostomi masih bisa dilakukan, bila diperlukan. 

Berdasar urgensinya, trakheostomi dibagi menjadi
  • Darurat (slash trach), dilakukan pada penderita gagal napas akut, akibat sumbatan jalan napas atas akut, dengan persiapan dan alat yang sangat terbatas
  • Urgent, dilakukan pada penderita distress napas
  • Elektif, dilakukan pada penderita yang sudah terintubasi
Menurut lama penggunaannya, trakeostomi dibagi menjadi penggunaan permanen dan penggunaan sementara, sedangkan menurut letak insisinya, trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga.  
 
Tehnik-tehnik trakeostomi
  • Surgical trakeostomi, yaitu tipe ini dapat sementara dan permanen dan dilakukan di dalam ruang operasi. Insisi dibuat di antara cincin trakea kedua dan ketiga sepanjang 4-5 cm.
  • Percutaneous trakeostomi, bersifat sementara dan dilakukan pada unit gawat darurat. Dilakukan pembuatan lubang di antara cincing trakea satu dan dua atau dua dan tiga. Karena lubang yang dibuat lebih kecil, maka penyembuhan lukanya akan lebih cepat dan tidak meninggalkan scar. Selain itu, kejadian timbulnya infeksi juga jauh lebih kecil.

  • Mini trakeostomi, yaitu pada tipe ini dilakukan insisi pada pertengahan membran krikotiroid dan trakeostomi mini ini dimasukan menggunakan kawat dan dilator.
  • Trakeostomi Sadar (Awake tracheostomy), dilakukan pada penderita yang sejak awal sudah diprediksi sulit untuk diintubasi.

Faktor-faktor Penyulit
  • tumor di bagian depan leher, sehingga letak trakea menjadi lebih dalam atau bergeser
  • bendungan pembuluh darah di leher
  • abcess di leher
  • obesitas
  • leher pendek
  • "bull neck"

Monday, 4 February 2013

Badai sitokine (Cytokine Storm / Hypercytokinemia)

Badai sitokine adalah suatu reaksi imun, yang potensial berakibat fatal, yang terdiri dari suatu "positive feedback loop" antara sitokin dan sel-sel imun dan ditandai dengan peningkatan yang sangat tinggi pada berbagai jenis sitokin. Istilah badai sitokine (Cytokine Storm) pertama kali di lontarkan oleh Ferrara dan kawan-kawan, pada suatu jurnal ilmiah kesehatan GVHD, edisi Februari 1993.
Gejala
Gejala utama terjadinya badai sitokin adalah panas tinggi, bengkak dan kemerahan, mual-muntal, dan rasa lelah yang hebat. Pada beberapa kasus, serangan ini dapat berakibat fatal.
Saat sistem imun berperang melawan kuman-kuman patogen, sitokin akan memberi sinyal kepada T-cell dan Macrofag untuk menuju ke tempat infeksi. Selain itu sitokine juga mengaktivasi dan merangsang sel-sel tersebut untuk lebih banyak lagi memproduksi sitokin. Normalnya aliran balik (feedback loop) dihambat oleh mekanisme dalam tubuh. Tetapi pada keadaan-keadaan tertentu, mekanisme ini tidak berkerja dengan baik dan reaksi ini menjadi tidak terkontrol dan sel-sel imun yang teraktivasi menjadi begitu banyak di satu tempat. Mengapa hal ini bisa terjadi, belum bisa dijelaskan, tetapi mungkin disebabkan oleh respon yang berlebihan ketika sistem imun menyerang sel-sel patogen baru atau sel-sel dengan kemampuan patogenik yang tinggi.
Badai sitokine sangat berpotensial menyebabkan kerusakan jaringan dan organ tubuh. Jika badai sitokin ini terjadi di paru, sebagai contoh, maka paru akan dipenuhi oleh cairan dan sel-sel imun seperti makrofag yang pada akhirnya dapat menyebabkan sumbatan jalan napas yang pada gilirannya akan menyebabkan kematian.
Pada saat terjadi badai sitokin, sistem imun akan melepaskan lebih dari 150 mediator inflamasi antara lain sitokin, oksigen radikal bebas  dan faktor-faktor koagulasi. Baik pro inflamatory cytokine, seperti tumor necrosis factor alpha, interleukin-1 dan interleukin- 6, maupun anti inflamatory cytokines, seperti interleukin-10 dan interleukine-1 resceptor antagonist, akan meningkat pada serum penderita badai sitokin.
Badai sitokine dapat terjadi baik oleh karena adanya penyakit-penyakit infeksi maupun penyakit-penyakit non infeksi seperti graft versus host disease (GVHD), Acute Respiratory Disease Syndrome (ARDS), sepsis, flu burung  (Avian Influenza),  smallpox dan Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS). Badai sitokine juga dapat dipicu oelh pemberian obat-obatan.
Badai sitokine diduga sebagai yang bertanggung jawab terhadap banyaknya kematian akibat pandemi influenza tahun 1918. Demikian juga terhadap epidemi SARS di Hongkong tahun 2003. Kematian yang disebabkan oleh Avian Influenza pada manusia, seringkali juga dijumpai adanya badai sitokin.
Terapi
Journal of Experimental Medicine pada tahun 2003 mempublikasikan hasil penelitian  yang dilakukan oleh Imperial College London, yang menunjukkan bahwa badai sitokine mungkin dapat dicegah dengan menghambat atau melumpuhkan respon T-cell. Beberapa hari setelah T-cell diaktivasi, mereka akan memproduksi suatu molekul biologis yang disebut OX40, suatu "survival signal", yang menjaga aktifitas T-cell yang telah teraktivasi pada daerah yang mengalami inflamasi saat terjadi infeksi influenza atau kuman-kuman patogen lainnya. 

OX40 akan terikat pada T-cell dan mencegahnya dari kematian, sehingga produksi sitokin akan meningkat. OX40-immunoglobulin (OX40-Ig), suatu protein kombinasi, akan mencegah OX40 untuk mencapai reseptor-reseptor T-cell, sehingga mengurangi respons T-cell. Percobaan pada tikus telah menunjukkan bahwa OX40-Ig sukses mengurangi gejala-gejala akibat terjadinya reaksi berlebihan saat sistem imun memerangi virus. Dengan menghalangi OX40 untuk berikatan dengan T-cell, para peneliti mampu mencegah perkembangan gejala-gejala influenza yang paling serius pada percobaan dengan menggunakan tikus ini.

Sunday, 27 January 2013

Acute Respratory Distress Syndrome (ARDS)

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah kegagalan sistem pernapasan secara acut yang dapat terjadi pada setiap orang dengan penyakit kritis, mulai dari usia 1 tahun. ARDS ditandai dengan pernapasan yang cepat, sulit bernapas dan kadar oksigen darah yang rendah.

ARDS biasanya berkembang pada penderita-penderita dengan kondisi-kondisi yang kritis akibat berbagai penyakit atau karena trauma yang mengakibatkan cedera yang berat. Penderita-penderita ini biasanya mengalami ARDS setelah mereka di rawat di rumah sakit, oleh karena shock, sepsis atau trauma.

ARDS merupakan kondisi yang "life threatening", karena berbagai organ tubuh kita sangat membutuhkan aliran darah yang sangat kaya dengan oksigen agar dapat berfungsi dengan baik. Bersyukurlah bahwa dengan kemajuan terapi pada akhir-akhir ini, banyak penderita dengan kasus ARDS dapat terselamatkan.

Jika seseorang mengalami ARDS, fungsi paru akan menjadi "normal" kembali atau mendekati "normal" membutuhkan waktu beberapa bulan. Tetapi pada beberapa orang, setelah mengalami ARDS, akan mengalami kecacatan pada organ parunya atau mungkin di luar organ paru.

Normalnya, udara yang kita hirup saat bernapas, akan masuk ke paru sampai ke alveoli. Pada dinding-dinding alveoli ini, berjalan pembuluh darah kapiler, yang akan mengambil oksigen dari alveoli dan melepaskan karbon dioksida ke alveoli.

Pada penderita ARDS, terjadi kebocoran pada dinding pembuluh darah di paru, dan alveoli terisi oleh cairan yang melebihi kondisi normal, sehingga menghalangi pertukaran udara, khususnya oksigen, dari alveoli ke pembuluh darah kapiler dan sebaliknya.  Akibatnya berbagai organ tubuh akan mengalami kekurangan oksigen, yang pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan pada fungsi organ tersebut.

Di Amerika angka kejadian ARDS dapat mencapai 190.000 kasus per tahun dan 30% diantaranya berakibat fatal. Bersyukurlah bahwa dengan kemajuan terapi saat ini, angka kematian akibat ARDS sudah sangat menurun dibanding 20 tahun yang lalu, yang saat itu angka kematiannya bisa mencapai 50 - 70% kasus.

Penderita-penderita ARDS, baik akibat trauma maupun infeksi memiliki prognosa yang lebih baik dibanding penderita-penderita yang mengalami sepsis.

Penyebab ARDS:
  • Sepsis
  • Trauma
  • Pneumonia atau infeksi paru lainnya
  • Transfusi darah massive
  • Penggunaan Narkotik atau Sedative yang berlebihan
  • Overdosis antidepressan trisiklik
  • Shock, dll
Gejala dan tanda-tanda
  • Sesak napas
  • Pernapasan cepat
  • Kadar oksigen darah rendah
  • Batuk dan panas tinggi, khususnya bila disebabkan oleh infeksi
  • Tekanan darah menurun
  • Kesadaran menurun
  • Badan lemah
Diagnosis

Diagnosa ARDS didasarkan pada hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan beberapa pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan gas darah, kultur darah untuk mennetukan penyabab infeksi, foto dada, kalau perlu sampai CT Scan. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan suara napas abnormal, akibat adanya caiaran di dalam alveoli yang berlebih, dimana hal ini juga menjadi petunjuk adanya fungsi jantung dan ginjal yang juga tidak bekerja dengan baik.

Terapi

Penderita ARDS hendaknya di rawat di ruang rawat intensif. Tidak ada terapi yang spesifik untuk ARDS, meski demikian terapi yang ditujukan pada penyebab terjadinya ARDS, akan sangat membantu. Kadang penderita membutuhkan bantuan dari alat bantu napas (mesin ventilator) dan terapi oksigen.
Pemberian cairan dan vasopressor perlu dipertimbangkan pada penderita yang mengalami shock. Antibiotik diberikan pada penderita yang mengalami infeksi. Pemberian steroid sampai saat ini masih menjadi pertentangan.

Thursday, 5 April 2012

Myasthenia Gravis

Myasthenia Gravis adalah salah satu kelainan immun bawaan yang cukup langka. Di Amerika prevalensi penyakit ini adalah 2 dari setiap 1.000.000 penduduk. 
Penyakit ini biasanya menunjukkan karakteristik yang khas, yaitu kelemahan pada otot rangka yang biasanya juga disertai nyeri ketika menggerakkan otot. Dicurigai kondisi ini disebabkan karena kelainan immunologis yang menyerang otot.
Untuk memahami lebih lanjut tentang Myasthenia Gravis pemahaman yang cukup tentang anatomi dan fungsi dari Neuro Muscular Junction (NMJ).
Anatomi dan Fisiologi Neuro Muscular Junction
Di bagian terminal dari saraf motorik terdapat sebuah pembesaran yang biasa disebut bouton terminale atau terminal bulb. Terminal Bulb ini memiliki membran yang disebut juga membran pre-synaptic, struktu ini bersama dengan membran post-synpatic (pada sel otot) dan  celah synaptic (celah antara 2 membran)membentuk Neuro Muscular Junction.
Membran Pre-Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium. Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah synaptic.
ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan-lekukan pada membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang siap untuk mengikat ACh.
Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi.
ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi terus menerus.
Patofisiologi Myasthenia Gravis
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan  Acetyl Choline(ACh)  yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien. 
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun 2006, anti-AChR bodies ditemukan pada 80%-90% pasien Myasthenia Gravis. Percobaan lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G (IgG) dari pasien penderita Myasthenia Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala Myasthenic pada mencit tersebut, ini menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan penting dalam etiology penyakit ini.
Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui. Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-AChR bodies. Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penderita Myasthenic mengalami hiperplasia thymic dan thymoma.
Gejala Klinis Myasthenia Gravis 
Myasthenia Gravis ditandai dengan kelemahan pada otot, yang memburuk ketika digerakkan dan membaik ketika beristirahat. Karakteristik yang lain adalah sebagai berikut :
Kelemahan otot ekstra okular (Extra Ocular Muscle) atau biasa disebut Ptosis. Kondisi ini terjadi pada lebih dari 50% pasien. Gejala ini seringkali menjadi gejala awal dr Myasthenia Gravis, walaupun hal ini masih belum diketahui penyebabnya.
Kelemahan otot menjalar ke otot-otot okular, fascial dan otot-otot bulbar dalam rentang minggu sampai bulan.
Pada kasus tertentu kelemahan EOM bisa tetap bertahan selama bertahun-tahun
Sebagian besar mengalami kelemahan
Perbaikan secara spontan sangat jarang terjadi, sedangkan perbaikan total hampir tidak pernah ditemukan.
Berikut adalah klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :
Class I
Kelemahan otot okular
Gangguan menutup mata
Otot lain masih normal
Class II
Kelemahan ringan pada otot selain okular
Otot okular meningkat kelemahannya
Class IIa
Mempengaruhi ekstrimitas
Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
Class IIb
Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan
Juga mempengaruhi ekstrimitas
Class III
Kelemahan sedang pada otot selain okuler
Meningkatnya kelemahan pada otot okuler
Class IIIa
Mempengaruhi ektrimitas
Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
Class IIIb
Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan
Juga mempengaruhi ekstrimitas
Class IV
Kelemahan berat pada selain otot okuler
Kelemahan berat pada otot okuler
Class IVa
Mempengaruhi ekstrimitas
Sedikit pengaruh pada otot-otot oropharyngeal
Class IVb
Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal
Juga mempengruhi otot-otot ekstrimitas
Class V
Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative)