Showing posts with label Hikayat. Show all posts
Showing posts with label Hikayat. Show all posts

Monday, 28 February 2011

Hikayat Batu dan Pohon Ara

Alkisah pada suatu saat di sebuah negeri di timur tengah sana. Seorang saudagar yang sangat kaya raya tengah mengadakan perjalanan bersama kafilahnya. Diantara debu dan bebatuan, derik kereta diselingi dengus kuda terdengar bergantian. Sesekali terdengar lecutan cambuk sais di udara. Tepat di tengah rombongan itu tampaklah pria berjanggut, berkain panjang dan bersorban ditemani seorang anak usia belasan tahun. Kedua berpakaian indah menawan. Dialah Sang Saudagar bersama anak semata wayang nya. Mereka duduk pada sebuah kereta yang mewah berhiaskan kayu gofir dan permata yaspis. Semerbak harum bau mur tersebar dimana-mana. Sungguh kereta yang mahal.

Iring-iringan barang, orang dan hewan yang panjang itu berjalan perlahan, dalam kawalan ketat para pengawal. Rombongan itu bergerak terus hingga pada suatu saat mereka berada di sebuah tanah lapang berpasir. Bebatuan tampak diletakkan teratur di beberapa tempat. Pemandangan ini menarik bagi sang anak, sehingga ia merasa perlu untuk bertanya pada ayahnya.

"Bapa, mengapa tampak oleh ku bebatuan dengan teratur tersebar di sekitar daerah ini. Apakah gerangan semua itu ?".

"Baik pengamatanmu, anakku", jawab Ayahnya,"bagi orang biasa itu hanyalah batu, tetapi bagi mereka yang memiliki hikmat, semua itu akan tampak berbeda".

"Apakah yang dilihat oleh kaum cerdik cendikia itu, Bapa ?", tanya anaknya kembali.

"Mereka akan melihat itu sebagai mutiara hikmat yang tersebar, memang hikmat berseru-seru di pinggir jalan, mengundang orang untuk singgah, tetapi sedikit dari kita yang menggubris ajakan itu.".

"Apakah Bapa akan menjelaskan perkara itu padaku?"

"Tentu buah hatiku", sahut Sang Saudagar sambil mengelus kepala anaknya.

"Dahulu, ketika aku masih belia, hal ini pun menjadi pertanyaan di hatiku. Dan kakekmu, menerangkan perkara yang sama, seperti saat ini aku menjelaskan kepadamu. Pandanglah batu-batu itu dengan seksama. Di balik batu itu ada sebuah kehidupan. Masing-masing batu yang tampak olehmu sebenarnya
sedang menindih sebuah biji pohon ara."

"Tidakkah benih pohon ara itu akan mati, karena tertindih batu sebesar itu Bapa?"

"Tidak anakku. Sepintas lalu memang batu itu tampak sebagai beban yang akan mematikan benih pohon ara. Tetapi justru batu yang besar itulah yang membuat pohon ara itu sanggup bertahan hidup dan berkembang sebesar yang kau lihat di tepi jalan kemarin".
 
"Bilakah hal itu terjadi Bapa ?"

"Batu yang besar itu sengaja diletakkan oleh penanamnya menindih benih pohon ara. Mereka melakukan itu sehingga benih itu tersembunyi terhadap hembusan angin dan dari mata segala hewan. Samapai beberapa waktu kemudian benih itu akan berakar, semakin banyak dan semakin kuat. Walau tidak tampak kehidupan di atas permukaannya, tetapi dibawah, akarnya terus menjalar. Setelah dirasa cukup barulah tunasnya akan muncul perlahan. Pohon ara itu akan tumbuh semakin besar dan kuat hingga akhirnya akan sanggup menggulingkan batu yang menindihnya.

Demikianlah pohon ara itu hidup. Dan hampir di setiap pohon ara akan kau temui, sebuah batu, seolah menjadi peringatan bahwa batu yang pernah menindih benih pohon ara itu tidak akan membinasakannya. Selanjutnya benih itu menjadi pohon besar yang mampu menaungi segala mahluk yang berlindung dari terik matahari yang membakar."

"Apakah itu semua tentang kehidupan ini Bapa?", tanya anaknya.

Sang Saudagar menatap anaknya lekat-lekat sambil tersenyum, kemudian meneruskan penjelasannya.

"Benar anakku. Jika suatu saat engkau di dalam masa-masa hidupmu, merasakan terhimpit suatu beban yang sangat berat, ingatlah pelajaran tentang batu dan pohon ara itu. Segala kesulitan yang menindihmu, sebenarnya merupakan sebuah kesempatan bagimu untuk berakar, semakin kuat, bertumbuh dan  akhirnya tampil sebagai pemenang.

Camkanlah, belum ada hingga saat ini benih pohon ara yang tertindih, mati oleh bebatuan itu. Jadi jika benih pohon ara yang demikian kecil saja diberikan kekuatan oleh Sang Khalik untuk dapat menyingkirkan batu diatasnya, bagaimana dengan kita ini. Dzat Yang Maha
Perkasa itu bahkan sudah menanamkan keilahian-Nya pada diri-diri kita. Dan menjadikan kita, manusia ini jauh melebihi segala mahluk di muka bumi ini.

Perhatikanlah kata-kata ini anakku. Pahatkan pada loh-loh batu hatimu, sehingga engkau menjadi bijak dan tidak dipermainkan oleh hidup ini. Karena memang kita ditakdirkan menjadi tuan atas hidup kita."

Hikayat Abunawas

Syahdan, di suatu masa hidup seorang laki-laki yang punya sifat kikir (pelit). Ia mempunyai sebuah rumah yang cukup besar. Di dalam rumah itu dia tinggal bersama seorang istri dan 3 orang anaknya yang masih kecil-kecil. Laki-laki ini merasa rumahnya sudah sangat sempit dengan keberadaannya dan keluarganya, namun untuk memperluas rumahnya, sang lelaki ini merasa sayang untuk mengeluarkan uang. Ia kemudian memutar otaknya, bagaimana caranya agar ia bisa memperluas rumahnya tanpa mengeluarkan banyak uang. Akhirnya, ia mendatangi Abunawas, seorang yang terkenal cerdik di kampungnya. Pergilah ia menuju rumah Abunawas.

Si lelaki : “Salam hai Abunawas, semoga engkau selamat sejahtera.”

Abunawas : “Salam juga untukmu hai orang asing, ada apa gerangan kamu mendatangi kediamanku yang reot ini ?”

Si lelaki lalu menceritakan masalah yang ia hadapi. Abunawas mendengarkannya dengan seksama. Setelah si lelaki selesai bercerita, Abunawas tampak tepekur sesaat, tersenyum, lalu ia berkata :

“Hai Fulan, jika kamu menghendaki kediaman yang lebih luas, belilah sepasang ayam, jantan dan betina, lalu buatkan kandang di dalam rumahmu. Tiga hari lagi kau lapor padaku, bagaimana keadaan rumahmu.”

Si lelaki ini menjadi bingung, apa hubungannya ayam dengan luas rumah, tapi ia tak membantah. Sepulang dari rumah Abunawas, ia membeli sepasang ayam, lalu membuatkan kandang untuk ayamnya di dalam rumah. Tiga hari kemudian, ia kembali ke kediaman Abunawas, dengan wajah berkerut.

Abunawas : “Bagaimana Fulan, sudah bertambah luaskah kediamanmu?”

Si lelaki : “Boro boro ya Abu. Apa kamu yakin idemu ini tidak salah? rumahku tambah kacau dengan adanya kedua ekor ayam itu. Mereka membuat keributan dan kotorannya berbau tak sedap.”

Abu nawas : “( sambil tersenyum ) Kalau begitu tambahkan sepasang bebek dan buatkan kandang di dalam rumahmu, lalu kembalilah kemari tiga hari lagi.”

Si lelaki terperanjat. Kemarin ayam, sekarang bebek, memangnya rumahnya peternakan, apa?, atau si cerdik Abunawas ini sedang kumat jahilnya? Namun seperti saat pertama kali, ia tak berani membantah, karena ingat reputasi Abunawas yang selalu berhasil memecahkan berbagai masalah. Pergilah ia ke pasar, dibelinya sepasang bebek, lalu dibuatkannya kandang di dalam rumahnya. Setelah tiga hari ia kembali menemui Abunawas.

Abunawas : “Bagaimana Fulan, kediamanmu sudah mulai terasa luas atau belum ?”
Si lelaki : “Aduh Abu, ampun, jangan kau mengerjai aku. Saat ini adalah saat paling parah selama aku tinggal di rumah itu. Rumahku sekarang sangat mirip pasar unggas, sempit, padat, dan baunya bukan main.”

Abunawas : “Waah, bagus kalau begitu. Tambahkan seekor kambing lagi. Buatkan ia kandang di dalam rumahmu juga, lalu kembali kesini tiga hari lagi.”

Si lelaki : “Apa kau sudah gila, Abu? Kemarin ayam, bebek dan sekarang kambing. Apa tidak ada cara lain yang lebih normal?”

Abunawas : “Lakukan saja, jangan membantah.”

Lelaki itu tertunduk lesu, bagaimanapun juga yang memberi ide adalah Abunawas, sicerdik pandai yang tersohor, maka dengan pasrah pergilah ia ke pasar dan membeli seekor kambing, lalu ia membuatkan kandang di dalam rumahnya. Tiga hari kemudian dia kembali menemui Abunawas.

Abunawas : “Bagaimana Fulan ? Sudah membesarkah kediamanmu ?”
Si lelaki : “Rumahku sekarang benar-benar sudah jadi neraka. Istriku mengomel sepanjang hari, anak-anak menangis, semua hewan-hewn berkotek dan mengembik, bau, panas, sumpek, betul-betul parah. Ya Abu, tolong aku, Abu, jangan suruh aku beli sapi dan mengandangkannya di rumahku, aku tak sanggup ya Abu.”

Abunawas : “Baiklah, kalau begitu, pulanglah kamu, lalu juallah kambingmu kepasar, besok kau kembali untuk menceritakan keadaan rumahmu.”

Si lelaki pulang sambil bertanya-tanya dalam hatinya, kemarin disuruh beli, sekarang disuruh jual, apa maunya si Abunawas. Namun, ia tetap menjual kambingnya ke pasar. Keesokan harinya ia kembali ke rumah Abunawas.

Abu nawas : “Bagaimana kondisi rumahmu hari ini ?”
Si lelaki :”Yah, lumayan lah Abu, paling tidak bau dari kambing dan suara embikannya yang berisik sudah tak kudengar lagi.”

Abu nawas : “Kalau begitu juallah bebek-bebekmu hari ini, besok kau kembali kemari”

Si lelaki pulang ke rumahnya dan menjual bebek-bebeknya ke pasar. Esok harinya ia kembali ke rumah Abunawas.

Abunawas : “Jadi, bagaimana kondisi rumahmu hari ini?”

Si lelaki : “Syukurlah Abu, dengan perginya bebek-bebek itu, rumahku jadi jauh lebih tenang dan tidak terlalu sumpek dan bau lagi. Anak-anakku juga sudah mulai berhenti menangis.”

Abunawas. "Bagus. Kini juallah ayam-ayammu ke pasar dan kembali besok ”

Si lelaki pulang dan menjual ayam-ayamnya ke pasar. Keesokan harinya ia kembali dengan wajah yang berseri-seri ke rumah Abunawas.

Abunawas : “Kulihat wajahmu cerah hai Fulan, bagaimana kondisi rumahmu saat ini?”

Si lelaki :”Alhamdulillah ya Abu, sekarang rasanya rumahku sangat lega karena ayam dan kandangnya sudah tidak ada. Kini istriku sudah tidak marah-marah lagi, anak-anakku juga sudah tidak rewel.”

Abunawas : “(sambil tersenyum) nah nah, kau lihat kan, sekarang rumahmu sudah menjadi luas padahal kau tidak menambah bangunan apapun atau memperluas tanah banguanmu. Sesungguhnya rumahmu itu cukup luas, hanya hatimu sempit, sehingga kau tak melihat betapa luasnya rumahmu.

Mulai sekarang kau harus lebih banyak bersyukur, karena masih banyak orang yang rumahnya lebih sempit darimu. Sekarang pulanglah kamu, dan atur rumah tanggamu, dan banyak-banyaklah bersyukur atas apa yang dirizkikan Tuhan padamu, dan jangan banyak mengeluh.”

Si lelaki pun termenung sadar atas segala kekeliruannya, ia terpana akan kecendikiaan sang tokoh dan mengucapkan terima kasih pada Abunawas.

Hikayat Seorang Kakek dan Seekor Ular

Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.

Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat.

“Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini.”

“Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya.”

Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk.

Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi.

Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.”

Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati.”

“Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.” Kontan ular itu mengancam.

“La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan.

Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku.”

Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, “Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku.”

Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular: “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.”

Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:
“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu.”

Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?”

Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu.”

Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.”

Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:
“Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat.”

Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.

Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.

Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman.

Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.

Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.

Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.

Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.

Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.

Hikayat


Sebuah hikayat dibacakan sebagai hiburan, pelipur lara atau untuk membangkitkan semangat juang. Hikayat berasal dari India dan Arab, yaitu bentuk sastra lama yang berisikan kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan, kepahlawanan dan kehidupan para dewa-dewi, peri, pangeran, putri kerajaan, serta raja-raja yang memiliki kekuatan gaib. 

Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang dimiliki seseorang yang menjadi tokoh utamanya, yang diceritakan dalam hikayat, kadang tidak masuk akal. Namun cerita dalam hikayat banyak mengambil tokoh-tokoh  sejarah. Hikayat seringkali ditulis dalam bahasa Melayu.
 
Contoh: Hikayat Hang Tuah, Kabayan, Si Pitung, Hikayat Si Miskin, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Sang Boma, Hikayat Panji Semirang, Hikayat Raja Budiman.