Showing posts with label Candi. Show all posts
Showing posts with label Candi. Show all posts

Thursday, 2 December 2010

Candi Gampingan



Candi Gampingan adalah candi Buddha yang terletak di dusun Gampingan, kelurahan Sitimulyo, kecamatan Piyungan, kabupaten Bantul, selatan kota Yogyakarta. Candi ini ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang pengrajin batu bata, pada tahun 1995. Saat ditemukan, candi ini masih terpendam di bawah tanah. Penggalian guna penyelamatan terhadap situs tersebut telah dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada 1995,1996, dan. 1997.
 
Candi Gampingan diperkirakan dibangun antara tahun 730 - 850 M, pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Hal ini didasarkan pada ciri langgam bangunan candi tersebut, yang sesuai dengan langgam bangunan yang berasal dari abad 8 – 9M, dan juga model dari arca Jambhala serta arca Candra-Lokesvara  yang sezaman dengan periodisasi candi Gampingan. Candi ini diyakini merupakan tempat pemujaan Dewa Jambhala (Dewa Rejeki, anak Dewa Siwa).

Deskripsi

Walaupun sampai sekarang belum sepenuhnya selesai dipugar, kompleks reruntuhan candi ini mempunyai tujuh buah bangunan candi yang sudah tidak utuh dan terbuat dari batu putih. Bangunan utama berbentuk segi empat, berukuran 4,64 m x 4,65 m. Tinggi candi yang masih tersisa, 1,2 meter, terdiri atas delapan lapisan batu putih, yang disusun dengan teknik kait. Selain teknik kait, digunakan juga "teknik las", yaitu penyisipan batu ke dalam rongga-rongga yang menghubungan satu batu dengan batu lainnya. Kondisi enam bangunan yang lain, juga tinggal sisa-sisa saja.

Secara morfologis, bagian-bagian yang tersisa pada candi Gampingan adalah bagian kaki candi yang terdiri atas alas, perbingkaian bawah, tubuh kaki bagian tengah, dan perbingkaian atas. Alas pada bangunan tersebut profilnya rata, di atasnya terdapat perbingkaian bawah kaki yang terdiri atas pelipit bawah, bingkai sisi genta, dan bingkai rata. Tubuh kaki bagian tengah candi Gampingan mempunyai sebelas bidang (panil) sebagai tempat relief dipahatkan. Perbingkaian atas kaki terdiri atas bingkai rata serta satu lapis bingkai di atasnya, yang dihias dengan motif bunga dan untaian manik-manik.

Candi Gampingan memiliki komponen tangga dan perigi. Tangga candi Gampingan terdapat di sisi barat, ini berarti bahwa arah bangunan menghadap ke arah barat, tingginya sejajar dengan tinggi bangunan yang masih tersisa, dan lebarnya 1,28 m. Tangga itu terdiri atas dua lapisan batu sebagai alas tangga, lima anak tangga, dan pipi tangga. Ujung pipi tangga berbentuk lengkung membulat dan polos.

Perigi candi Gampingan terdapat di tengah denah, berbentuk segi empat dengan ukuran 0,98 x 0,99 m., dan kedalamannya 1,54 m. Dindingnya terdiri atas lima lapis batu putih yang dipangkas rata. Dasar perigi yang tampak sekarang, berupa tanah bercampur pasir.

 Relief-relief

Tak semua candi memiliki relief cantik yang khas. Sebab umumnya candi-candi hanya dihias oleh arca dan relief-relief yang bersifat umum. Candi Gampingan, meski ukurannya kecil dan sudah tidak utuh lagi, ternyata memiliki relief yang tidak hanya cantik mempesona tapi juga khas. Relief-relief pada candi Gampingan dipahatkan pada sebelas bidang (panil) di sekeliling tubuh kaki bagian tengah. Masing-masing bidang berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 73 cm. dan lebar 19 cm.

Salah satu relief cantik yang bisa dijumpai di candi ini adalah relief hewan yang ada di kaki candi. Relief hewan di Gampingan begitu natural hingga bisa diketahui jenis hewan yang digambarkan. Cukup jarang candi yang memiliki relief demikian, setidaknya hanya Candi Prambanan dan Mendut yang dikenal memiliki relief serupa. Semua relief itu dihias dengan latar sulur-suluran, yaitu padmamula (akar tanaman teratai), yang diyakini sebagai sumber kehidupan.

Di sisi utara, timur, dan selatan Candi Gampingan masing-masing terdapat tiga bidang relief, sedangkan di sisi barat hanya terdapat dua bidang relief, masing-masing di kanan dan kiri tangga. Unsur-unsur yang digambarkan pada relief terdiri atas katak, unggas, dan sulur-suluran yang melatarbelakangi adegan dalam setiap bidang. Perbandingan antara luas setiap bidang dengan objek yang digambarkan terlihat seragam, yaitu unsur unggas dan katak memenuhi lebih kurang sepertiga bidang, sisanya diisi dengan motif sulur-suluran.

Pada bidang relief, tampak relief burung gagak yang memiliki paruh besar, tubuh kokoh, sayap mengembang ke atas dan ekor berbentuk kipas. Ada pula relief burung pelatuk yang digambarkan memiliki jambul di atas kepala, paruh yang agak panjang dan runcing serta sayap yang tidak mengembang. Selain itu, ada juga ayam jantan yang memiliki dada membusung dan sayap mengembang ke bawah.

Pembuatan relief burung dalam jumlah banyak di candi ini, berkaitan dengan keyakinan masyarakat saat itu, terhadap kekuatan transedental burung. Diyakini, burung merupakan perwujudan para dewa sekaligus pembawa pesan dari alam para dewa atau nirwana. Burung juga berkaitan dengan kebebasan absolut manusia yang dicapai setelah berhasil meninggalkan kehidupan duniawi, lambang jiwa manusia yang lepas dari raganya.

Relief hewan lain yang juga banyak digambarkan adalah katak. Masyarakat saat itu percaya bahwa katak memiliki kekuatan gaib yang mampu mendatangkan hujan, sehingga katak juga dipercayai mampu meningkatkan produktivitas, karena air hujan yang didatangkan katak bisa meningkatkan hasil panen. Katak yang sering muncul dari air juga melambangkan pembaharuan kehidupan dan kebangkitan menuju arah yang lebih baik.

Meskipun demikian, hingga kini, relief-relief tersebut,  masih menyisakan pertanyaan, apakah merupakan sebuah fabel (cerita hewan yang didongengkan pada anak-anak) seperti di Candi Mendut atau gambaran hewan yang sengaja dibuat untuk menunjukkan maksud tertentu. Pertanyaan itu muncul sebab gambaran hewan seperti di Candi Gampingan tak ditemukan dalam kitab yang memuat fabel, seperti Jataka, Sukasaptati, Pancatantra maupun versi turunannya.

Arca-arca

Pada saat ditemukan, dalam bangunan induk candi ini, terdapat tiga buah arca Dhyani Buddha Vairocana yang terbuat dari perunggu, dua buah arca Jambhala dan arca Candralokesvara yang terbuat dari batu andesit. Selain itu, juga ditemukan framen-fragmen bangunan yang dikenali sebagai bagian dari bangunan stupa, delapan miniatur benda dari emas berbentuk lempengan dan wadah yang diduga berfungsi sebagai peripih, satu cincin emas dan beberapa benda gerabah dari keramik.

Fungsi Candi

Konteks antara arca Jambhala dan Candra-Lokesvara dengan candi Gampingan, dalam dimensi waktu dan landasan konseptualnya sebagai lambang keberadaan dewa pada bangunan candi, menjadikan arca Jambhala dan Candra-Lokesvara sebagai data yang representatif untuk menginterpretasikan fungsi candi Gampingan dan latar belakang pendiriannya.


Hal itu dapat dirunut dari bentuk arca Jambhala yang sesuai dengan konsepsinya dalam ajaran yoga. Keterkaitan antara arca Jambhala di candi Gampingan dengan konsepsinya dalam ajaran yoga, menggambarkan kedudukan Jambhala sebagai dewa utama yang dipuja oleh masyarakat penganutnya. Esensi yang diharapkan melalui pemujaan itu berkaitan, dengan kedudukan Jambhala sebagai dharmapala.

Dalam hal ini, Jambhala berperan sebagai dewa pemberi perlindungan, bimbingan, dan ajaran bagi umat untuk mencapai pencerahan. Pencerahan yang dimaksud dapat dicapai melalui disiplin spiritual yang digambarkan dalam pengarcaannya, yaitu samadhi. Pada arca yang ditemukan,, digambarkan Jambhala sedang dalam keadaan samadhi, tubuhnya duduk bersila sementara matanya terpejam. Bagian tubuhnya dihiasi oleh unsur ikonografis (asana) berupa bunga teratai yang memiliki daun berjumlah 8 helai sebagai lambang cakra dalam tubuh manusia.

Representasi penyampaian ajaran yang terkandung dalam pemujaan Jambhala itu, terdapat pada arca Candra-Lokesvara, berupa penggambaran vyakhyana-mudra dan konsepsi Lokesvara yang berasosiasi dengan prinsip memberi ajaran dan membantu semua makhluk guna mencapai pencerahan.

Figur Jambhala di candi ini berbeda dengan yang ada di candi lainnya. Umumnya, Jambhala di candi lain digambarkan dengan mata lebar yang menatap ke arah pemujanya disertai dengan beragam hiasan yang melambangkan kemakmuran dan kemewahan. Diyakini, penggambaran berbeda ini didasari oleh motivasi pemujaan, bukan untuk memohon kemakmuran tetapi bimbingan agar dapat mencapai kebahagiaan sejati.

Selanjutnya, arca Jambhala dan Candra-Lokesvara yang ditemukan di Situs Candi Gampingan merefleksikan prinsip Buddhisme Mahayana yang beraliran tantrisme. Sifat Tantrisme diketahui dari posisi samadhi yang didasari oleh ajaran yoga. Sifat Buddhisme Candi Gampingan juga ditunjukkan melalui keberadaan fragmen unsur bangunan stupa yang tersisa.

Kesatuan konteks antara Candi Gampingan dengan arca Jambhala dan Candra-Lokesvara, menunjukkan fungsi Candi Gampingan sebagai rumah atau tempat dewa (devagrha, devalaya, atau sthana).
Penempatan arca dewa yang dipuja dalam Candi Gampingan dilatarbelakangi keyakinan bahwa bangunan candi adalah simbol pusat dunia, dunia para dewa, penghubung dunia manusia dengan dunia dewa. Oleh karena itu, candi merupakan tempat yang paling tepat untuk arca yang menjadi lambang kehadiran dewa.

Secara lebih spesifik, fungsi Candi Gampingan dan latar belakang pendiriannya berkaitan dengan makna arca dewa yang menjadi objek pemujaan yang pokok. Candi Gampingan berfungsi sebagai tempat pemujaan (puja-sthana) bagi Jambhala. Berdasarkan hal ini dapat diinterpretasikan bahwa masyarakat pendukung Candi Gampingan terdiri atas individu-individu yang pemahaman keagamaannya tergolong cukup tinggi, sehingga dapat mencapai tahap awal dalam tingkatan disiplin spiritual tertinggi untuk mencapai pencerahan, yaitu samadhi.

Jadi, latar belakang pendirian Candi Gampingan, selaras dengan fungsi Candi Gampingan yaitu sebagai tempat pemujaan bagi dewa utama mereka, Dewa Jambhala. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam praktik pemujaan tersebut adalah pencerahan. Pendirian bangunan candi tersebut, dan didukung dengan bukti keberadaan stupa di Situs Candi Gampingan, dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk mempercepat tercapainya pencerahan melalui pelaksanaan dana-paramita.

Selain itu, dengan mengunjungi Candi Gampingan akan membawa kita merenungkan kembali tentang jalan yang sudah kita tempuh untuk menuju kebahagiaan dan kesejahteraan. Relief yang didominasi bentuk hewan yang hidup di alam sekitarnya, bisa jadi merupakan wujud kearifan masyarakat setempat pada jaman itu dalam merepresentasikan sebuah pesan dari nirwana: untuk hidup sejahtera dan terhindar dari bencana, manusia seharusnya menjaga keselarasan dengan alam.

Wednesday, 24 November 2010

Candi Prambanan


Candi Prambanan merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia, bahkan sampai saat ini diyakini paling besar di Asia Tenggara. Candi Prambanan memiliki arsitektur bangunan yang sangat cantik luar biasa, dibangun pada abad ke-10, pada masa pemerintahan dua raja dari Wangsa Sanjaya, yaitu Rakai Pikatan dan Rakai Balitung. Bangunan candi ini menempati areal seluas 39,5 hektar, menjulang setinggi 47 meter (5 meter lebih tinggi dari Candi Borobudur). Candi Prambanan tampak kokoh dan didirikan untuk menunjukkan kejayaan agama Hindu di tanah Jawa. Sejak tahun 1991, UNESCO memasukkannya sebagai jagar budaya warisan dunia (World Wonder Heritage)

Lokasi

Candi Prambanan terletak di desa Prambanan, yang secara administratif terbagi menjadi dua bagian. Sebagian masuk wilayah administratif Kabupaten Sleman,  Propinsi DI. Yogyakarta dan sebagaian masuk wilayah administratif Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Letaknya yang tepat di tepi jalan antara Jogjakarta dan Solo sangat memudahkan wisatawan untuk mencapai lokasicandi Prambanan. Candi ini terletak 17 kilometer arah Timur dari pusat kota Yogyakarta, di tengah area yang kini sekelilingnya telah dibangun suatu taman yang indah.

Legenda Roro Jonggrang

Candi Prambanan dikenal juga sebagai Candi Roro Jonggrang. Hal ini terkait dengan adanya sebuah legenda yang selalu diceritakan masyarakat Jawa berkaitan dengan candi ini. Alkisah, ada seorang lelaki perkasa putra Raja Pengging, bernama Bandung Bondowoso, yang mencintai seorang putri raja Boko, bernama Roro Jonggrang. Karena tak mencintai, tetapi tidak kuasa untuk menolak, Roro Jonggrang mengajukan syarat dengan meminta Bandung Bondowoso untuk membuat candi dengan 1000 buah arca dalam waktu semalam.

Dengan kesaktian yang dimilikinya, Bandung Bondowosa menyanggupi permintaan Roro Jonggrang. Ia kemudian memanggil dan mengunpulkan para jin untuk membantunya membuatkan seribu candi yang diminta Roro Jonggrang. Mengetahui permintaannya hampir terpenuhi, Roro Jonggrang menjadi panik, padahal pagi masih lama menjelang.

Dengan kecerdikannya, Roro Jonggrang berusaha untuk menggagalkan usaha Bandung Bondowoso. Ia meminta warga desa menumbuk padi dan membakar jerami untuk membuat api yang besar, sehingga  suasana sekitar menjadi sangat terang dan terbentuk suasana seperti pagi hari. Ayam-ayampun mulai berkokok.

Mengetahui suasana seolah-olah sudah menjelang pagi, para jin yang membantu Bandung Bondowoso, berlarian meninggalkan pekerjaannya untuk membuat seribu candi yang diminta Roro Jonggrang. Pada saat itu Bandung Bondowoso baru dapat membuat 999 arca, yang berarti masih kurang satu. Mengetahui bahwa ia dipermainkan dan dicurangi Roro Jonggrang, marahlah Bandung Bondowoso, kemudian mengutuk Jonggrang menjadi arca yang ke-1000 karena merasa dicurangi.

Sendratari Ramayana

Pada saat-saat bulan purnama, selain di pentaskan legenda Roro Jonggrang, di panggung terbuka yang digelar di candi Prambanan, juga digelar Sendratari Ramayana. Pagelaran sendratari ini sudah dimulai sejak tahun 1960. Suatu perpaduan yang sangat apik antara seni tari, drama dan musik tradisional dalam satu kesatuan acara. Epos legendaris karya Walmiki, yang ditulis dalam bahasa Sansekerta.

Kisah Ramayana yang dipentaskan, sebenarnya adalah penerjemahan dari relief yang terpahat di dinding relief. Cerita  Ramayana yang terpahat di dinding mirip dengan cerita yang berkembang dalam tradisi lisan masyarakat India. Jalan cerita yang panjang dan menegangkan dirangkum dalam empat babak atau lakon mulai dari penculikan Shinta, misi Anoman di Alengka, kematian Kumbakarna dan Rahwana, terakhir pertemuan kembali Rama dan Shinta

Trimurti

Candi Prambanan merupakan bukti dari kejayaan peradapan Hindu di tanah Jawa. Hal ini terlihat dari strutur candi yang menggambarkan ini kepercayaan dari agama Hindu, yaitu Trimurti. Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara, di halaman kedua terdapat 224 candi.

Candi Siwa, Wisnu dan Brahma

Memasuki candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan menemui 4 buah ruangan. Satu ruangan utama berisi arca Siwa, sementara 3 ruangan yang lain masing-masing berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda yang diceritakan di atas. Di Candi Wisnu yang terletak di sebelah utara candi Siwa, akan dijumpai satu ruangan yang berisi arca Wisnu. Demikian juga Candi Brahma yang terletak di sebelah selatan Candi Siwa, hanya akan ditemukan satu ruangan berisi arca Brahma.

Candi Pendamping

Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi Wisnu. Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama Garuda. Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu (berarti 'terbit' atau 'bersinar', biasa diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).

Kemampuan menyelamatkan itu yang dikagumi oleh banyak orang sampai sekarang dan digunakan untuk berbagai kepentingan. Indonesia menggunakannya untuk lambang negara. Konon, pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara lain yang juga menggunakannya untuk lambang negara adalah Thailand, dengan alasan sama tapi adaptasi bentuk dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah Krut atau Pha Krut.

Relief

Prambanan juga memiliki relief candi yang memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.

Sama seperti sosok Garuda, Kalpataru kini juga digunakan untuk berbagai kepentingan. Di Indonesia, Kalpataru menjadi lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Bahkan, beberapa ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri Hita Karana untuk pelestarian lingkungan dengan melihat relief Kalpataru di candi ini. Pohon kehidupan itu juga dapat ditemukan pada gunungan yang digunakan untuk membuka kesenian wayang. Sebuah bukti bahwa relief yang ada di Prambanan telah mendunia.

Kalau dicermati, juga bisadilihat berbagai relief burung, kali ini burung yang nyata. Relief-relief burung di Candi Prambanan begitu natural, sehingga para biolog bahkan dapat mengidentifikasinya sampai tingkat genus. Salah satunya relief Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) yang mengundang pertanyaan. Sebabnya, burung itu sebenarnya hanya terdapat di Pulau Masakambing, sebuah pulau di tengah Laut Jawa. Lalu, apakah jenis itu dulu pernah banyak terdapat di Yogyakarta? Hingga kini belum ada satu orang pun yang bisa memecahkan misteri itu.

Friday, 19 November 2010

Candi Tikus



Salah satu peninggalan purbakala di Jawa Timur dari masa pemerintahan kerajaan Majapahit adalah Candi Tikus. Meskipun tidak ada satu sumber pun yang menyebutkan, kapan bangunan candi ini didirikan, tetapi menilik batu merah dan batu andhesit yang dipergunakan untuk membuat saluran air pada candi ini, yang nampak lebih dinamis sebagaimana ada pada masa jaman keemasan kerajaan Mojopahit, maka diperkirakan bangunan ini didirikan sekitar abad ke XIV, dan merupakan peninggalan termuda yang terdapat di Trowulan.

Lokasi

Candi Tikus terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Jaraknya tiga kilometer arah tenggara dari Balai Penyelamatan (Site Museum) atau delapan kilometer arah barat daya dari pusat kota Mojokerto. Sejak ditemukan pertama kali, candi ini telah mengalami pemugaran sekitar tahun 1983 – 1989 dan dibuka kembali tanggal 21 September 1989.

Candi ini juga dikenal sebagai candi pemandian atau petirthaan, karena adanya struktur kolam pemandian (pertirthaan) dan pancuran yang dibangun menjadi satu dengan candinya. Candi ini memiliki keistimewaan antara lain dibangun di bawah permukaan tanah, pada kedalaman kurang lebih 3,5 meter dan tidak terdapat arca dewa maupun arca perwujudan, bahkan tidak ada petunjuk atau tanda adanya arca. Bila hendak masuk atau mencapai lantai candi harus menuruni tangga terlebih dulu. 

Asal Mula Nama Candi Tikus

Konon, nama Candi Tikus diberikan lantaran ketika dilakukan penggalian pada tahun 1914, oleh Bupati Mojokerto R.A.A Kromojoyo Adinegoro, lokasi disekitar candi itu pernah menjadi sarang tikus, dan hama tikus ini telah menggelisahkan masyarakat setempat karena menyerang hasil pertanian di desa sekitarnya. Ketika dilakukan upaya pengejaran dan pembasmian, kawanan tikus itu selalu masuk ke suatu gundukan tanah,. Ketika dilakukan penggalian pada gundukan tanah tersebut, ditemukanlah bagian dari suatu bangunan yang terbuat dari batu merah.

Kromojoyo Adinegoro, kemudian memerintahkan penggalian lebih lanjut dan  mendapatkan adanya miniatur candi. Penemuan ini kemudian dilaporkan pada ahli sejarah dan sejak itulah banyak ahli sejarah kuno dan arkeolog mulai mengadakan penelitian mengenai candi ini untuk menentukan makna dan fungsi bangunan ini, baik dari segi arsitektur maupun ditinjau dari segi religious.

Penggalian selanjutnya menemukan sebuah bangunan terbuat dari bahan bata merah dan denah persegi empat dengan ukuran 29,5 m x 28,25 m dan tinggi keseluruhan dari lantai sampai menara candi induk adalah 5,2 meter.
Batu bata yang dipergunakan pada bangunan candi ini memiliki dua ukuran, yang besar berukuran 8 x 21 x 36 cm, dan satu lagi berukuran lebih kecil. Candi ini memiliki jaladwara (pancuran air) yang terbuat dari batu andesit. Jaladwara yang terdapat di Candi Tikus ini berjumlah 46 dengan bentuk makara dan padma, selain itu juga terdapat saluran-saluran air baik saluran air masuk maupun saluran untuk pembuangan air.

Masa Pendirian Candi Tikus

Meskipun tidak ada sumber sejarah yang memberitakan tentang kapan candi ini didirikan, tetapi menilik batu merah dan batu andhesit yang dipergunakan untuk membuat saluran air pada candi ini, yang nampak lebih dinamis sebagaimana ada pada masa jaman keemasan kerajaan Mojopahit,dibawah pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1380), maka diperkirakan bangunan ini didirikan sekitar abad ke XIV.

Dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365 M (yang telah diakui oleh para pakar sebagai suatu sumber sejarah yang cukup lengkap memuat tentang kerajaan Majapahit, khususnya pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk), juga tidak disebutkan tentang eksistensi candi ini.

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa serangkaian penelitian yang ditujukan guna mencari dan menentukan saat dibangunnya candi Tikus ini lantas manjadi tidak bisa dilaksanakan. Setidaknya, berdasarkan kajian arsitektur, diperoleh gambaran perbedaan dalam hal penggunaan bahan baku candi, yaitu bata merah.

Adanya perbedaan penggunaan bata merah (baik perbedaan kualitas maupun kuantitasnya), memberikan indikasi tentang tahapan pembangunan candi Tikus. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para arkeolog, terbukti bahwa bata merah yang berukuran lebih besar berusia lebih tua dibandingkan dengan bata merah yang berukuran lebih kecil. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selama masa berdiri dan berfungsinya, candi Tikus pernah mengalami dua tahap pembangunan.

N.J. Krom dalam bukunya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst II (Pengantar Kesenian Hindu Jawa), memberikan pandangan yang sama. Dengan memperhatikan bahan dan gaya seni dari saluran air yang ada, pakar sejarah kesenian Jawa kuno berkebangsaan Belanda itu berasumsi bahwa ada dua tahap pembangunan candi Tikus.

Pembangunan tahap pertama dilakukan dengan mempergunakan batu bata merah yang berukuran lebih besar sebagai bahan bakunya, sedangkan pembangunan tahap kedua dilakukan dengan menggunakan bata merah yang berukuran lebih kecil.

Tahap pertama, saluran airnya terbuat dari bata merah dan memperlihatkan bentuknya yang kaku. Sedangkan tahap kedua saluran airnya terbuat dari batu andesit dan memperlihatkan bentuknya yang lebih dinamis serta dibuat pada masa keemasan Majapahit. Atas dasar itulah, Krom sekali lagi menegaskan asumsinya bahwa candi Tikus telah berdiri, sebelum kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya, yaitu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1380).

Ketika dilakukan pemugaran pada tahun 1984/1985, sisi tenggara bangunan candi Tikus berhasil disingkap. Kaki bangunan yang terdapat di sisi tersebut, menunjukan perbedaan ukuran bata merah yang dipergunakan sebagai bahan bakunya. Hal ini semakin memperkuat dugaan mengenai dua tahap pembangunan candi tersebut. Kaki bangunan tahap pertama yang tersusun dari bata merah yang berukuran besar, tampak ditutup oleh kaki bangunan tahap kedua yang tersusun dari bata merah yang berukuran lebih kecil. Kapan secara pasti pembangunan tahap pertama dan kedua ini dilakukan, juga belum jelas benar.

Deskripsi

Dari sudut arsitektur, bangunan candi terbagi menjadi enam bagian, yaitu bangunan induk, kolam (dua buah), dinding teras (tiga tingkat), tangga utama, lantai dasar dan pagar.

Bangunan Induk

Bangunan candi dibuat dari bahan bata dengan ukuran 8 x 21 x 36 cm, sedangkan untuk jaladwara (pancuran air) dibuat dari batu andesit. Jaladwara yang terdapat di Candi Tikus ini berjumlah 46 dengan bentuk makara dan padma, selain itu juga terdapat saluran-saluran air baik saluran air masuk maupun saluran untuk pembuangan air.
Pada sisi selatan teras terbawah, terdapat sebuah bangunan berbentuk persegi empat dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m, dengan ketinggian 5,2 m. Bangunan ini dianggap sebagai bangunan utama dari candi Tikus. Pada dindingnya dilengkapi dengan 17 buah pancuran air yang berbentuk bunga padma dan makara. Pada bangunan induk tersebut, terdapat sebuah menara dan dikelilingi oleh 8 buah menara yang berukuran lebih kecil.
Bentuk bangunan ini makin ke atas makin kecil dan dikelilingi oleh delapan candi yang lebih kecil bagaikan puncak gunung yang dikelilingi delapan puncak yang lebih kecil. 

Secara horizontal bangunan induk dibagi menjadi tiga bagian mencakup kaki, tubuh dan atap.
Kaki bangunan berbentuk segi empat, dengan profil kaki berpelipit. Pada lantai atas kaki bangunan terdapat saluran air dengan ukuran 17 cm dan tinggi 54 cm serta mengelilingi tubuh, sedangkan pada sisi luar terdapat jaladwara. Selain jaladwara terdapat pula menara-menara yang disebut menara kaki bangunan karena terdapat pada bagian kaki bangunan.

Ukuran menara 80 x 80 cm. Pada lantai atas kaki bangunan ini berdiri tubuh bangunan dengan denah segi empat, sedangkan di bawah susunan batanya terdapat pula kaki tubuh tempat berdiri menara yang disebut menara tubuh pada keempat sudut dan ukurannya sama dengan menara kaki.

Selain itu di bagian tengah setiap dinding tubuh terdapat bangunan menara yang lebih besar dan berukuran 100 x 140 cm, tinggi 2,78 meter. Salah satu dari menara itu ada yang menempel pada dinding tubuh.

Susunan menara yang demikian itu telah menarik perhatian arekeolog Belanda yang bernama A.J. Bernet Kempers yang mengaitkannya dengan konsepsi religi. Dalam bukunya yang berjudul Ancient Indonesia Art, ia yang telah banyak berjasa dalam menyingkap masa pengaruh agama Hindu - Budha di Indonesia lewat kajian candi-candi, mengatakan bahwa candi Tikus merupakan replika dari gunung Mahameru.

Hal ini dikarenakan adanya empat buah minatur candi yang dianggap melambangkan gunung Mahameru, tempat para dewa bersemayam. Menurut kepercayaan Hindu, Gunung Mahameru juga merupakan tempat sumber air suci (Tirta Amerta) bagi segala makhluk hidup, yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran- pancuran / jaladwara, yang terdapat di sepanjang kaki candi. Air ini dipercaya mempunyai kekuatan magis dan dapat dipergunakan untuk memberi kesejahteraan bagi umat manusia..

Gunung Mahameru merupakan gunung suci yang dianggap sebagai pusat alam semesta yang mempunyai suatu landasan kosmogoni yaitu kepercayaan akan adanya suatu keserasian antara dunia (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos).

Menurut konsepsi Hindu, alam semesta terdiri atas suatu benua pusat yang bernama Jambudwipa, dikelilingi oleh tujuh lautan dan tujuh daratan yang kesemuanya dibatasi oleh suatu pegunungan tinggi. Jadi sangat mungkin Candi Tikus merupakan sebuah petirtaan yang disucikan oleh pemeluk Hindu dan Budha, dan juga sebagai pengatur debit air di jaman Majapahit, bukan sebagai tempat pemujaan seperti candi-candi pada umumnya..

Selain berfungsi sebagai pengatur debit air di kota, letaknya yang diluar kota itu memberi kesan bahwa sebelum masuk kota, air harus disucikan terlebih dahulu di candi Tikus. Dalam hal ini, jika bentuk bangunan candi Tikus dianggap sebagai manifestasi dari gunung Mahameru, maka setiap air yang keluar dari bangunan induk ini dipercaya sebagai air suci (amerta). Tak heran, bila kemudian air yang keluar dari candi Tikus juga dipercaya memiliki kekuatan magis untuk memenuhi harapan rakyat agar hasil pertanian mereka berlipat ganda dan terhindar dari kesulitan-kesulitan yang merugikan.

Kolam

Di sebelah timur laut dan barat laut bangunan induk, terdapat dua buah kolam yang disebut kolam barat dan kolam timur. Kolam ini terletak di kanan dan kiri, mengapit tangga masuk. Masing-masing kolam berukuran panjang 3,50 meter, lebar 2 meter, kedalaman 1,50 meter dan tebal dinding 0,80 meter. Masing-masing kolam juga dilengkapi dengan tiga buah pancuran air yang berbentuk bunga padma (teratai) dan terbuat dari bahan batu andesit.

Pada sisi utara dinding kolam bagian dalam terdapat tiga jaladwara dengan ketinggian kurang lebih 80 cm dari lantai kolam. Bagian luar kolam sisi selatan terdapat tangga masuk ke bilik kolam, lebar 1,20 meter, sedangkan bagian dalamnya terdapat semacam pelipit setebal 3,50 cm. Di atas dan bawah tangga masuk sisi timur ada dua saluran air.

Dinding Teras

Bangunan dinding ini terdiri atas tiga teras yang mengelilingi bangunan induk dan kolam. Fungsi teras sebagai penahan desakan air dari sekitarnya karena bangunan ada di bawah permukaan tanah, juga sebagai penahan longsor.

Dinding teras pertama berukuran 13,50 x 15,50 meter, sedangkan lebar lantai teras 1,89 meter. Kaki teras ini berpelipit dan di bagian atas susunan batanya, terdapat pancuran air berbentuk padma dan makara, sedangkan di bawah lantai teras terdapat saluran air berukuran 0,20 meter dan tinggi 0,46 meter. Saluran ini berhubungan dengan saluran yang ada pada bangunan induk dan diperkirakan bahwa saluran tersebut dipergunakan untuk mengalirkan air yang berasal dari bangunan induk tersebut, keluar melalui pancuran yang terdapat di bagian dalam dinding kolam sisi utara.

Dinding teras tingkat dua berukuran 17,75 x 19,50 meter. Lebar lantai 1,50 meter dan tingginya 1,42 meter serta tebal dinding teras tersebut sebanyak 17 lapis bata.

Dinding teras tingkat tiga mempunyai ukuran 21,25 x 22,75 meter dengan lebar lantai 1,30 meter, tinggi dinding 1,24 meter, sedangkan tebal tinding 10 lapis bata.

Tangga utama

Adanya tangga yang menurun di sebelah utara, memberi kesan bahwa bangunan candi Tikus ini memang sengaja dibangun dibawah permukaan tanah. Tangga menurun disebelah utara itu, sekaligus merupakan petunjuk bahwa bangunan candi ini menghadap ke utara, dengan Tangga utama ini merupakan tangga menuju ke bangunan induk dan bilik kolam. Panjang tangga 9,50 meter, lebar 3,50 meter dan tinggi 3,50 meter.

Pada sisi timur dan barat tangga teras satu dan teras dua terdapat pipi tangga yang menutupi jalan masuk ke teras satu dan dua.

Lantai dasar

Lantai dasar terdiri dari susunan bata yang mempunyai permukaan atau bidang datar di bagian atasnya, tersusun dari dua lapis bata dengan luas kurang lebih 100 meter persegi. Lantai ini tempat berdiri bangunan induk, kolam, dinding teras dan tangga utama.

Pagar tembok luar

Tembok ini ditemukan di sisi utara dan berjarak kurang lebih 0,80 meter dari dinding teras tiga dan menjadi satu dengan pintu gerbang yang terdapat di tangga masuk.

Pelestarian

Untuk kelestarian warisan budaya bangsa yang berupa bangunan candi, perlu adanya penanganan secara berkesinambungan. Salah satu caranya ialah mengadakan pemugaran. Pemugaran ini sangat berguna selain untuk objek pariwisata juga bermanfaat bagi pengembangan kebudayaan. Selain itu Candi Tikus ini dapat berfungsi sebagai barometer air guna mengetahui debit air di saluran-saluran atau waduuk dan dipakai sebagai perbandingan besarnya air yang mengalir.