Candi Gampingan adalah candi Buddha yang terletak di dusun Gampingan, kelurahan Sitimulyo, kecamatan Piyungan, kabupaten Bantul, selatan kota Yogyakarta. Candi ini ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang pengrajin batu bata, pada tahun 1995. Saat ditemukan, candi ini masih terpendam di bawah tanah. Penggalian guna penyelamatan terhadap situs tersebut telah dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada 1995,1996, dan. 1997.
Candi Gampingan diperkirakan dibangun antara tahun 730 - 850 M, pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Hal ini didasarkan pada ciri langgam bangunan candi tersebut, yang sesuai dengan langgam bangunan yang berasal dari abad 8 – 9M, dan juga model dari arca Jambhala serta arca Candra-Lokesvara yang sezaman dengan periodisasi candi Gampingan. Candi ini diyakini merupakan tempat pemujaan Dewa Jambhala (Dewa Rejeki, anak Dewa Siwa).
Deskripsi
Walaupun sampai sekarang belum sepenuhnya selesai dipugar, kompleks reruntuhan candi ini mempunyai tujuh buah bangunan candi yang sudah tidak utuh dan terbuat dari batu putih. Bangunan utama berbentuk segi empat, berukuran 4,64 m x 4,65 m. Tinggi candi yang masih tersisa, 1,2 meter, terdiri atas delapan lapisan batu putih, yang disusun dengan teknik kait. Selain teknik kait, digunakan juga "teknik las", yaitu penyisipan batu ke dalam rongga-rongga yang menghubungan satu batu dengan batu lainnya. Kondisi enam bangunan yang lain, juga tinggal sisa-sisa saja.
Secara morfologis, bagian-bagian yang tersisa pada candi Gampingan adalah bagian kaki candi yang terdiri atas alas, perbingkaian bawah, tubuh kaki bagian tengah, dan perbingkaian atas. Alas pada bangunan tersebut profilnya rata, di atasnya terdapat perbingkaian bawah kaki yang terdiri atas pelipit bawah, bingkai sisi genta, dan bingkai rata. Tubuh kaki bagian tengah candi Gampingan mempunyai sebelas bidang (panil) sebagai tempat relief dipahatkan. Perbingkaian atas kaki terdiri atas bingkai rata serta satu lapis bingkai di atasnya, yang dihias dengan motif bunga dan untaian manik-manik.
Candi Gampingan memiliki komponen tangga dan perigi. Tangga candi Gampingan terdapat di sisi barat, ini berarti bahwa arah bangunan menghadap ke arah barat, tingginya sejajar dengan tinggi bangunan yang masih tersisa, dan lebarnya 1,28 m. Tangga itu terdiri atas dua lapisan batu sebagai alas tangga, lima anak tangga, dan pipi tangga. Ujung pipi tangga berbentuk lengkung membulat dan polos.
Perigi candi Gampingan terdapat di tengah denah, berbentuk segi empat dengan ukuran 0,98 x 0,99 m., dan kedalamannya 1,54 m. Dindingnya terdiri atas lima lapis batu putih yang dipangkas rata. Dasar perigi yang tampak sekarang, berupa tanah bercampur pasir.
Relief-relief
Tak semua candi memiliki relief cantik yang khas. Sebab umumnya candi-candi hanya dihias oleh arca dan relief-relief yang bersifat umum. Candi Gampingan, meski ukurannya kecil dan sudah tidak utuh lagi, ternyata memiliki relief yang tidak hanya cantik mempesona tapi juga khas. Relief-relief pada candi Gampingan dipahatkan pada sebelas bidang (panil) di sekeliling tubuh kaki bagian tengah. Masing-masing bidang berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 73 cm. dan lebar 19 cm.
Salah satu relief cantik yang bisa dijumpai di candi ini adalah relief hewan yang ada di kaki candi. Relief hewan di Gampingan begitu natural hingga bisa diketahui jenis hewan yang digambarkan. Cukup jarang candi yang memiliki relief demikian, setidaknya hanya Candi Prambanan dan Mendut yang dikenal memiliki relief serupa. Semua relief itu dihias dengan latar sulur-suluran, yaitu padmamula (akar tanaman teratai), yang diyakini sebagai sumber kehidupan.
Di sisi utara, timur, dan selatan Candi Gampingan masing-masing terdapat tiga bidang relief, sedangkan di sisi barat hanya terdapat dua bidang relief, masing-masing di kanan dan kiri tangga. Unsur-unsur yang digambarkan pada relief terdiri atas katak, unggas, dan sulur-suluran yang melatarbelakangi adegan dalam setiap bidang. Perbandingan antara luas setiap bidang dengan objek yang digambarkan terlihat seragam, yaitu unsur unggas dan katak memenuhi lebih kurang sepertiga bidang, sisanya diisi dengan motif sulur-suluran.
Pada bidang relief, tampak relief burung gagak yang memiliki paruh besar, tubuh kokoh, sayap mengembang ke atas dan ekor berbentuk kipas. Ada pula relief burung pelatuk yang digambarkan memiliki jambul di atas kepala, paruh yang agak panjang dan runcing serta sayap yang tidak mengembang. Selain itu, ada juga ayam jantan yang memiliki dada membusung dan sayap mengembang ke bawah.
Pembuatan relief burung dalam jumlah banyak di candi ini, berkaitan dengan keyakinan masyarakat saat itu, terhadap kekuatan transedental burung. Diyakini, burung merupakan perwujudan para dewa sekaligus pembawa pesan dari alam para dewa atau nirwana. Burung juga berkaitan dengan kebebasan absolut manusia yang dicapai setelah berhasil meninggalkan kehidupan duniawi, lambang jiwa manusia yang lepas dari raganya.
Relief hewan lain yang juga banyak digambarkan adalah katak. Masyarakat saat itu percaya bahwa katak memiliki kekuatan gaib yang mampu mendatangkan hujan, sehingga katak juga dipercayai mampu meningkatkan produktivitas, karena air hujan yang didatangkan katak bisa meningkatkan hasil panen. Katak yang sering muncul dari air juga melambangkan pembaharuan kehidupan dan kebangkitan menuju arah yang lebih baik.
Meskipun demikian, hingga kini, relief-relief tersebut, masih menyisakan pertanyaan, apakah merupakan sebuah fabel (cerita hewan yang didongengkan pada anak-anak) seperti di Candi Mendut atau gambaran hewan yang sengaja dibuat untuk menunjukkan maksud tertentu. Pertanyaan itu muncul sebab gambaran hewan seperti di Candi Gampingan tak ditemukan dalam kitab yang memuat fabel, seperti Jataka, Sukasaptati, Pancatantra maupun versi turunannya.
Arca-arca
Pada saat ditemukan, dalam bangunan induk candi ini, terdapat tiga buah arca Dhyani Buddha Vairocana yang terbuat dari perunggu, dua buah arca Jambhala dan arca Candralokesvara yang terbuat dari batu andesit. Selain itu, juga ditemukan framen-fragmen bangunan yang dikenali sebagai bagian dari bangunan stupa, delapan miniatur benda dari emas berbentuk lempengan dan wadah yang diduga berfungsi sebagai peripih, satu cincin emas dan beberapa benda gerabah dari keramik.
Fungsi Candi
Konteks antara arca Jambhala dan Candra-Lokesvara dengan candi Gampingan, dalam dimensi waktu dan landasan konseptualnya sebagai lambang keberadaan dewa pada bangunan candi, menjadikan arca Jambhala dan Candra-Lokesvara sebagai data yang representatif untuk menginterpretasikan fungsi candi Gampingan dan latar belakang pendiriannya.
Hal itu dapat dirunut dari bentuk arca Jambhala yang sesuai dengan konsepsinya dalam ajaran yoga. Keterkaitan antara arca Jambhala di candi Gampingan dengan konsepsinya dalam ajaran yoga, menggambarkan kedudukan Jambhala sebagai dewa utama yang dipuja oleh masyarakat penganutnya. Esensi yang diharapkan melalui pemujaan itu berkaitan, dengan kedudukan Jambhala sebagai dharmapala.
Dalam hal ini, Jambhala berperan sebagai dewa pemberi perlindungan, bimbingan, dan ajaran bagi umat untuk mencapai pencerahan. Pencerahan yang dimaksud dapat dicapai melalui disiplin spiritual yang digambarkan dalam pengarcaannya, yaitu samadhi. Pada arca yang ditemukan,, digambarkan Jambhala sedang dalam keadaan samadhi, tubuhnya duduk bersila sementara matanya terpejam. Bagian tubuhnya dihiasi oleh unsur ikonografis (asana) berupa bunga teratai yang memiliki daun berjumlah 8 helai sebagai lambang cakra dalam tubuh manusia.
Representasi penyampaian ajaran yang terkandung dalam pemujaan Jambhala itu, terdapat pada arca Candra-Lokesvara, berupa penggambaran vyakhyana-mudra dan konsepsi Lokesvara yang berasosiasi dengan prinsip memberi ajaran dan membantu semua makhluk guna mencapai pencerahan.
Figur Jambhala di candi ini berbeda dengan yang ada di candi lainnya. Umumnya, Jambhala di candi lain digambarkan dengan mata lebar yang menatap ke arah pemujanya disertai dengan beragam hiasan yang melambangkan kemakmuran dan kemewahan. Diyakini, penggambaran berbeda ini didasari oleh motivasi pemujaan, bukan untuk memohon kemakmuran tetapi bimbingan agar dapat mencapai kebahagiaan sejati.
Selanjutnya, arca Jambhala dan Candra-Lokesvara yang ditemukan di Situs Candi Gampingan merefleksikan prinsip Buddhisme Mahayana yang beraliran tantrisme. Sifat Tantrisme diketahui dari posisi samadhi yang didasari oleh ajaran yoga. Sifat Buddhisme Candi Gampingan juga ditunjukkan melalui keberadaan fragmen unsur bangunan stupa yang tersisa.
Kesatuan konteks antara Candi Gampingan dengan arca Jambhala dan Candra-Lokesvara, menunjukkan fungsi Candi Gampingan sebagai rumah atau tempat dewa (devagrha, devalaya, atau sthana).
Penempatan arca dewa yang dipuja dalam Candi Gampingan dilatarbelakangi keyakinan bahwa bangunan candi adalah simbol pusat dunia, dunia para dewa, penghubung dunia manusia dengan dunia dewa. Oleh karena itu, candi merupakan tempat yang paling tepat untuk arca yang menjadi lambang kehadiran dewa.
Secara lebih spesifik, fungsi Candi Gampingan dan latar belakang pendiriannya berkaitan dengan makna arca dewa yang menjadi objek pemujaan yang pokok. Candi Gampingan berfungsi sebagai tempat pemujaan (puja-sthana) bagi Jambhala. Berdasarkan hal ini dapat diinterpretasikan bahwa masyarakat pendukung Candi Gampingan terdiri atas individu-individu yang pemahaman keagamaannya tergolong cukup tinggi, sehingga dapat mencapai tahap awal dalam tingkatan disiplin spiritual tertinggi untuk mencapai pencerahan, yaitu samadhi.
Jadi, latar belakang pendirian Candi Gampingan, selaras dengan fungsi Candi Gampingan yaitu sebagai tempat pemujaan bagi dewa utama mereka, Dewa Jambhala. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam praktik pemujaan tersebut adalah pencerahan. Pendirian bangunan candi tersebut, dan didukung dengan bukti keberadaan stupa di Situs Candi Gampingan, dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk mempercepat tercapainya pencerahan melalui pelaksanaan dana-paramita.
Selain itu, dengan mengunjungi Candi Gampingan akan membawa kita merenungkan kembali tentang jalan yang sudah kita tempuh untuk menuju kebahagiaan dan kesejahteraan. Relief yang didominasi bentuk hewan yang hidup di alam sekitarnya, bisa jadi merupakan wujud kearifan masyarakat setempat pada jaman itu dalam merepresentasikan sebuah pesan dari nirwana: untuk hidup sejahtera dan terhindar dari bencana, manusia seharusnya menjaga keselarasan dengan alam.
makasi gan, info menarik tentang peninggalan para leluhur kita, semoga kita bisa belajar dari keluhuran masa lalu. Agan-agan yang mau tuker link silakan http://untai.wordpress.com
ReplyDelete