Showing posts with label Biografi. Show all posts
Showing posts with label Biografi. Show all posts

Monday, 30 December 2024

Hypatia, Filsuf, Matematikawan dan Astronom Perempuan Yang Mati Secara Tragis

 

Hypatia dari Alexandria adalah salah seorang dari sedikit wanita akademis pada masa Yunani Kuno.  Hypatia adalah seorang filsuf, astronom, dan matematikawan Helenistik Neoplatonis, yang tinggal di Alexandria, Mesir, yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi Timur. Meskipun didahului oleh Pandrosion, matematikawan wanita Alexandrine lainnya, Hypatia adalah filsuf dan matematikawan wanita pertama yang kehidupannya tercatat dengan cukup baik dalam sejarah. Ia adalah putri dari Theon (sekitar tahun 335 – sekitar tahun 405), seorang cendekiawan, matematikawan dan kepala Perpustakaan di Alexandria, Mesir. Theon sendiri adalah seorang pendidik yang sangat berdedikasi. Ia memperkenalkan Hypatia pada berbagai bidang ilmu pengetahuan dan filsafat sejak dini. Hal itu memberikan akses bagi Hypatia untuk mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan yang jarang diberikan kepada wanita pada masa itu. Hypatia dididik di Athena, tetapi Ia tidak terus mengikuti ajaran ayahnya, dan segera menemukan cara lain untuk memahami apa yang dia minati. 

Ketika terjadi kericuhan yang disebabkan oleh umat Kristiani fanatik, banyak buku-buku yang dibakar di Serapeum atau Kuil Serapi, termasuk karya dari Hypatia sendiri.
Kendati tak satu pun tulisannya yang bertahan, tapi menurut catatan sejarah, tulisan-tulisan orang sezamannya, surat-surat yang ia tulis kepada salah satu muridnya, Syneus dari Cynere, Yunani dan kisah para muridnya tentang karya dan kehidupannya, menggambarkan kualitas dirinya yang membuatnya menjadi cendekiawan terkenal, dan dicintai sebagai guru. Synesius yang juga adalah seorang filsuf Neo-Platonik dan telah menjadi menjadi uskup di Cyrenaica ketika itu. beberapa kali mengirimi gurunya surat, seperti dalam Letter154: On his Own Writing tentang perihal bukunya.
 
Kepada Sang Filsuf
 
"Saya telah menerbitkan dua buku tahun ini. Salah satunya karena saya tergerak oleh Tuhan sendiri, yang lainnya karena fitnah manusia.”
 
Dalam Letter 124: A City in Wartime, Synesius menulis dengan jelas nama Hypatia
 
Kepada Sang Filsuf 
 
Meskipun orang mati akan dilupakan sama sekali di Hades, di sana pun aku akan mengingatmu, Hypatia-ku tersayang. Aku diliputi oleh penderitaan kotaku, dan merasa muak dengannya, karena setiap hari aku melihat pasukan musuh, dan orang-orang dibantai seperti korban di altar. Aku menghirup udara yang tercemar oleh pembusukan mayat. Aku menunggu untuk mengalami nasib yang sama seperti yang telah menimpa banyak orang lain, karena bagaimana seseorang dapat tetap berharap, ketika langit tertutup oleh bayangan burung pemangsa?”
Sayangnya karena kecerdasannya, ia justru mengalami kehancuran dan mati dibunuh secara tragis dan brutal pada tahun 415 M. 

Kehidupan Akademis Hypatia sebagai Wanita

Pada masa itu, khususnya di masyarakat Yunani dan Romawi, kebebasan perempuan sangat terbatas terutama terhadap pendidikan dan kehidupan akademis, meskipun, terdapat pengecualian untuk aturan tersebut. Keluarga-keluarga terpilih, seperti keluarga Hypatia, memiliki kontrol lebih besar atas pendidikan anak-anak mereka, sehingga Hypatia dapat memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih layak.

Hypatia tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang didominasi oleh laki-laki. Sehari-hari ia mengenakan jubah akademisi, sesuatu yang hanya boleh digunakan para pria di masa itu. Meskipun begitu, dia disegani dan dikagumi karena kecerdasannya dan pengetahuannya yang luas. Dia memilih untuk hidup sebagai seorang neoplatonisme, sebuah aliran filsafat yang dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Plato. 

Sebagai seorang wanita terpelajar yang hidup pada masa di mana perempuan memiliki akses terbatas terhadap pendidikan dan kehidupan akademis, Hypatia menghadapi tantangan besar. Akan tetapi, dia terus mengejar minatnya dalam matematika, astronomi, dan filsafat, dan akhirnya menjadi salah satu tokoh perempuan yang paling berpengaruh dalam sejarah ilmu pengetahuan.

Kontribusi dan Peran Hypatia dalam Ilmu Pengetahuan 

Hypatia adalah guru, sekaligus pengajar, mentor dan penasihat yang hebat dan sangat berpengaruh. Ia membuka kelas dan mengajar serta banyak melakukan penelitian di Aleksandria, sebuah pusat kebudayaan dan intelektual di dunia kuno pada abad ke-4 Masehi. Sekitar tahun 400 M, ia menjadi Kapala Sekolah Platonis di Alexandria. ia mengajar pengetahuan filsafat tentang Plato, Plotinus dan Aristoteles kepada para siswanya. Banyak yang ingin masuk kelasnya saat ia mengajar. Dia telah membimbing banyak murid dalam studi matematika dan ilmu pengetahuan lainnya. Mereka berasal dari berbagai tempat dan latar belakang, termasuk orang-orang kafir, Kristen, dan orang asing. Selain itu, Hypatia juga berkontribusi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kontribusinya yang paling berpengaruh adalah perannya dalam bidang filsafat, matematika dan astronomi. 

Kontribusi Hypatia dalam bidang matematika meliputi komentar-komentar tentang karya-karya matematika klasik, seperti "Almagest" karya Ptolemy dan "Arithmetica" karya Diophantus. Dia juga membuat kemajuan signifikan dalam pengembangan dan pemahaman konsep-konsep matematika, termasuk geometri dan aljabar. 

Sementara itu, dalam bidang astronomi, Hypatia membuat kontribusi penting dalam pemahaman gerak planet dan bintang. Dia mengajar banyak muridnya tentang teori heliosentris, yang menyatakan bahwa Matahari berada di pusat tata surya, sebuah konsep revolusioner pada masanya. Dia juga terkenal karena merancang alat ilmiah seperti astrolabe, yang digunakan untuk melihat dan memantau gerak benda langit di langit malam. Astralobe juga digunakan untuk menghitung tanggal dan waktu berdasarkan posisi bintang dan planet. Ia juga membuat Hidrometer, alat yang digunakan untuk menentukan massa jenis cairan.

Kontribusi Hypatia dalam bidang Matematika

Sebagai seorang filsuf Neoplatonis, ia termasuk salah satu murid dari Plutarch dan alumni Akademi Matematika Athena. Hypatia menyempurnakan beberapa instrumen ilmiah, menulis buku teks matematika, dan mengembangkan metode pembagian panjang yang lebih efisien. Dialah yang mendorong logika dan studi matematika sebagai pengganti penyelidikan empiris. Hypatia menulis sebuah komentar pada tiga belas volume Arithmetica karya Diophantus yang berisi 100 soal matematika, yang solusinya diajukan menggunakan aljabar. Kemungkin masih ada sebagian, karena telah disisipkan ke dalam teks asli DiophantuIa juga menulis sebuah artikel tentang irisan kerucut, tetapi tulisan-tulisan ini telah hilang ditelan waktu. 

Hypayia juga menulis komentar lain pada risalah Apollonius dari Perga tentang irisan kerucut, yang tidak ada lagi. Banyak sarjana modern juga percaya bahwa Hypatia mungkin juga memberikan komentar-komentar tentang karya-karya matematika klasik, seperti "Almagest" karya Ptolemy.dan juga telah menyunting teks Almagest karya Ptolemeus yang masih ada, berdasarkan judul komentar ayahnya Theon pada Buku III Almagest. Dia juga membuat kemajuan signifikan dalam pengembangan dan pemahaman konsep-konsep matematika, termasuk geometri dan aljabar. 

Tidak jelas apakah ia ikut serta dalam penelitian matematika asli. Akan tetapi, ia membantu ayahnya dalam menghasilkan versi baru dari Elemen-elemen karya Euclid.

Sebagai seorang Neoplatonis, Hypatia percaya bahwa matematika memiliki aspek spiritual, yang terbagi di antara empat cabang ilmu hitung, geometri, astronomi, dan musik. Ia menganggap bahwa angka adalah bahasa suci alam semesta. Bagi para pengikut Plotinus, kehidupan akal budi memiliki tujuan akhir berupa penyatuan mistis dengan yang ilahi. 

Hypatia, Di mata Sejarawan

Kehidupan dan kontribusi yang diberikan Hypatia selama masa hidupnya dicatat oleh berbagai sejarawan. Socrates Scholasticus, ahli sejarah Kristen kontemporer dan sejarawan Bizantium abad ke 5M, mencatat dan menggambarkan kehidupan dan karya Hypatia dalam Ecclesiastical History: “Ada seorang wanita di Alexandria bernama Hypatia, putri filsuf Theon, yang membuat pencapaian seperti itu dalam sastra dan sains, yang jauh melampaui semua filsuf pada masanya sendiri. Socrates juga memberikan deskripsi tentang keahlian matematika dan filosofi Hypatia serta hubungannya dengan para muridnya.

Setelah berhasil masuk ke sekolah Plato dan Plotinus, ia menjelaskan prinsip-prinsip filsafat kepada para pendengarnya, banyak di antaranya datang dari jauh untuk menerima pengajarannya. Karena memiliki ketenangan diri dan ketenangan sikap yang diperolehnya sebagai akibat dari pengembangan pikirannya, ia tidak jarang muncul di depan umum di hadapan para hakim. Ia juga tidak merasa malu pergi ke pertemuan pria, karena semua orang lebih mengaguminya karena martabat dan kebajikannya yang luar biasa. 

Meskipun sumber-sumber kontemporer abad ke-5 mengidentifikasi Hypatia dari Alexandria sebagai seorang praktisi dan guru filsafat Plato dan Plotinus. Dua ratus tahun kemudian, uskup Koptik Mesir abad ke-7 John dari NikiĆ» mengidentifikasinya sebagai seorang pagan Helenistik dan bahwa "ia selalu mengabdikan diri pada ilmu sihir, astrolab, dan alat-alat musik, dan ia menipu banyak orang melalui tipu muslihat Setannya". Akan tetapi, tidak semua orang Kristen bersikap bermusuhan terhadapnya: beberapa orang Kristen bahkan menggunakan Hypatia sebagai simbol Kebajikan.

Johannes dari Nikiu, sejarawan Bizantium abad ke-7 Masehi, juga mencatat kehidupan dan karya Hypatia dalam “Chronicle”-nya. Meskipun referensi ini lebih terfokus pada kisah-kisah legendaris dan konflik politik di Aleksandria pada masa itu, namun masih memberikan beberapa informasi tentang Hypatia. Beberapa filsuf kontemporer, seperti Proclus dan Synesius, juga menyebutkan Hypatia dalam karya-karya mereka.

Status Pernikahan Hypatia

Dari berbagai literatur, Hypatia disebutkan tidak pernah menikah dan menjadi perawan sampai kematiannyaMeskipun Ensiklopedia Suda Bizantium melaporkan bahwa Hypatia adalah "istri Isidore sang Filsuf" dari Alexandria, tetapi Isidore justru lahir cukup lama setelah kematian Hypatia, dan tidak ada filsuf lain dengan nama yang sama yang sezaman dengan Hypatia yang diketahui. Suda juga menyatakan bahwa "dia tetap perawan" dan bahwa dia menolak seorang pelamar dengan kain perca menstruasinya, mengatakan bahwa kain perca itu menunjukkan bahwa "tidak ada yang indah" tentang hasrat duniawi—sebuah contoh sumber Kristen yang menggunakan Hypatia sebagai simbol Kebajikan. Dikutip dari Arkeonews, abad Pertengahan Hypatia dikooptasi sebagai simbol kebajikan Kristen dan bagian dari dasar legenda Saint Catherine dari Alexandria.

Penganut Paganisme

Charles William Mitchell - Hypatia, 1885 (sumber:ttps:/https://picryl.com/)
Namun, keberhasilan Hypatia dan pengaruhnya di kalangan masyarakat tidak disambut dengan baik oleh beberapa kelompok. Terutama bagi mereka yang melihatnya sebagai ancaman terhadap otoritas dan keyakinan mereka. Pada saat itu, Aleksandria dilanda oleh ketegangan politik dan agama antara penganut Kristen dan non-Kristen, serta antara orang-orang Yunani dan Romawi. 

Dalam Ecclesiastical History karya Socrates Scholasticus. ia menceritakan gambaran besar tentang kehidupan Hypatia dengan singkat. Hypatia sendiri mengidentifikasi dirinya sebagai seorang neoplatonis yang menganut ajaran-ajaran filsafat Yunani kuno. Neo-Platonis sendiri merupakan hasil dari pengaruh kebudayaan hellenistik yang disebarkan oleh Alexander yang Agung. Pemikirannya ketika itu dianggap sebagai “pagan” atau “tidak bertuhan” dan Hypatia juga mempraktikkan paganisme, sebuah kepercayaan/praktik spiritual penyembahan terhadap berhala, yang pengikutnya disebut Pagan. Hypatia terus mempraktekkan paganisme dan tidak berusaha menutupinya. Hal ini menjadikan celah bagi para fanatik agama untuk menjatuhkannya. Pada saat bersamaan, agama-agama baru, khususnya Kristen, mulai tumbuh, dan karena takut akan penganiayaan, banyak orang kafir kemudian beralih menjadi Kristen.Akan tetapi, keberaniannya untuk berbicara terbuka tentang keyakinannya malah membuatnya menjadi sasaran tuduhan dan fitnah.

Dalam catatan uskup Jhon of Nikiu, ia mendeskripsikan bahwa Hypatia bukan hanya filsuf, tetapi juga penyihir yang mempraktikan “pesona sihir” yang membuat gubernur Orester terpesona, tetapi sumber dari Jhon of Nikiu ini patut diragukan karena rentang waktu catatan dengan kematian Hypatia cukup jauh

Tragedi dari kehidupan Hypatia bermula ketika Cyril menjadi uskup Alexandria dan berhasil punya pengaruh besar terhadap kondisi perpolitikan di Alexandria. Hypatia ketika itu dianggap sebagai alasan Orestes, seorang pengagumnya yang menjadi gubernur Alexandria untuk tidak mau tunduk pada uskup, padahal Orestes sendiri merupakan seorang Kristen.

Meskipun dia pernah

didukung oleh pemerintah Alexander, perlawanan terhadap agama Kristen membuatnya menjadi sasaran di lingkaran penganut Kristen yang kuat. Hingga akhirnya terjadilah kejadian mengerikan pada musim panas tahun 415 M, segerombolan massa Kristen termasuk para biarawan yang fanatik menangkap Hypatia saat sedang memberi kuliah.

Kematian, Tuduhan dan Kebencian Fanatisme terhadap Hypatia 

Menurut catatan Socrates, Uskup Alexandria saat itu memerintahkan sekelompok massa Kristen fanatik dan biarawan untuk menangkap dan menculik Hypatia serta menyeretnya menuju gereja Kaisareion, sambil menyiksanya secara mengerikan. Di gereja tersebut, Hypatia ditelanjangi, dipukuli dengan batu dan dibunuh. Setelah itu tubuhnya dipotong-potong hingga menjadi beberapa bagian, dan tubuhnya dirontokkan serta kulitnya dikikis dengan cangkang tiram, kemudian mereka membawa bagian-bagian tubuh itu ke tempat yang disebut Cinaron. Sesampai di sana, bagian-bagian tubuh tersebut disiram dengan air dan minyak keras, massa dan para biarawan tersebut kemudian membakarnya. 

Kematian Hypatia di Alexsandria. (Arkeonews)
Kelompok tersebut dipimpin oleh seorang bernama Peter (Petrus), murid dan pendukung keras Uskup Cyril (Sirilius) dari Aleksandria, yang sangat disegani.  Cyril, sebagai Uskup Agung setempat, pada saat itu, memperoleh kekuasaan politik dan memerintahkan untuk melakukan penghancuran kuil-kuil Pagan dan pelecehan terhadap penduduk Yahudi. Terjadi konflik agama yang sengit antara orang Kristen, Yahudi, dan Pagan.

Cyril dianggap telah melanggar wewenang sekuler gubernur Romawi, Orestes, seorang pejabat Romawi yang tidak disukai oleh kelompok Kristen di Alexandria. Hal ini menyebabkan pertengkaran di antara keduanya dan para pengikutnya, yang berkepanjangan. Karena Hypatia dianggap bijaksana dan tidak memihak, Orestes berkonsultasi dengannya, dan dia menasihatinya untuk bertindak dengan adil. Ketika para biarawan Cyril melukai Orestes dengan parah dalam sebuah kerusuhan, ia menyuruh pemimpin mereka disiksa hingga mati. Cyril dan para pengikutnya menyalahkan Hypatia dan menuduhnya sebagai seorang penyihir, sehingga membuat Orestus menentang agama Kristen. Hypatia sempat melawan. Namun sayang, tidak ada satu orang yang berani menolongnya. 

Kematian Hypatia merupakan titik balik dalam politik Alexandria. Setelah pembunuhannya, para filsuf, orang Yunani, dan Romawi meninggalkan kota, dan peran kota sebagai pusat pembelajaran pun menurun. Ia disebut sebagai 'martir filsafat'.

Kematian tragis Hypatia yang dipimpin oleh kebencian fanatisme agama menandai akhir dari kehidupan seorang ilmuwan wanita yang inspiratif. Meskipun telah tiada, warisannya tetap hidup dalam karya-karya ilmiahnya. Kematian Hypatia bukan hanya kehilangan bagi dunia ilmiah pada masa itu, tetapi juga menjadi peringatan akan bahaya fanatisme serta intoleransi yang dapat menghancurkan kehidupan dan bakat-bakat yang berharga.


Monday, 20 June 2016

Charles Darwin



 

Charles Robert Darwin adalah seorang naturalis Inggris yang terkenal dengan teori revolusionernya dan  meletakkan landasan bagi teori evolusi modern dan prinsip garis keturunan, dengan mengajukan teori seleksi alam sebagai mekanismenya. 

Darwin lahir pada 12 Februari 1809 di Shrewsbury, Inggris (Britania Raya). Ia meninggal: 19 April 1882, Down House, Inggris dan diimakamkan: 26 April 1882, Westminster Abbey, City of Westminster, Inggris. 

Penghargaan yang dimilikinya antara lain Medali Royal dan salah satu tulisan hasil karyanya adalah Asal-usul Spesies

Darwin menikah dengan sepupunya bernama Emma Wedgwood dan mempunyai 10 orang anak, yang kesemuanya mencantumkan nama Darwin dibelakang nama mereka. Tiga anak diantaranya meninggal pada usia dini, yaitu William Erasmus, Mary Eleanor, dan Henrietta Emma. Sedangkan ketujuh anak lainnya bernama Anne Elizabeth, George Howard, Elizabeth "Bessy", Francis, Leonard, Horace, dan Charles Waring.


Pada umur enam belas tahun, ia masuk Universitas Edinburg belajar kedokteran, tetapi baik kedokteran maupun anatomi dianggapnya ilmu yang bikin jemu. Tak lama kemudian dia pindah ke Cambridge belajar unsur administrasi perkantoran. Walau begitu, berburu dan naik kuda di Cambridge jauh lebih digemarinya ketimbang belajar ilmu itu. Meski demikian, ia masih bisa memikat perhatian salah satu mahagurunya yang mendorongnya supaya ikut dalam pelayaran penyelidikan di atas kapal H.M.S. Beagle sebagai seorang naturalis. Mula-mula ayahnya keberatan dengan penunjukan ini. Pikirnya, perjalanan macam itu hanyalah dalih saja buat Darwin yang enggan dengan pekerjaan serius. Untungnya, belakangan sang ayah bisa dibujuk dan merestui perjalanan itu yang akhirnya ternyata merupakan perjalanan yang paling berharga dalam sejarah ilmu pengetahuan Eropa. 

Darwin mulai berangkat berlayar di atas kapal Beagle tahun 1831. Waktu itu umurnya baru dua puluh dua tahun. Dalam masa pelayaran lima tahun, kapal Beagle mengarungi dunia, menyelusuri pantai Amerika Selatan dalam kecepatan yang mengasyikkan, menyelidiki kepulauan Galapagos yang sunyi terpencil, mengambah pulau-pulau di Pacifik, di Samudera Hindia dan di selatan Samudera Atlantik. 

Dalam perkelanaan itu, Darwin menyaksikan banyak keajaiban-keajaiban alam, mengunjungi suku-suku primitif, menemukan jumlah besar fosil-fosil, meneliti pelbagai macam tetumbuhan dan jenis binatang. Lebih jauh dari itu, dia membuat banyak catatan tentang apa saja yang lewat di depan matanya. Catatan-catatan ini merupakan bahan dasar bagi hampir seluruh karyanya di kemudian hari. Dari catatan-catatan inilah berasal ide-ide pokoknya, dan kejadian-kejadian serta pengalamannya jadi penunjang teori-teorinya.

Darwin kembali ke negerinya tahun 1836 dan dua puluh tahun sesudah itu dia menerbitkan sebarisan buku-buku yang mengangkatnya menjadi seorang biolog kenamaan di Inggris. Terhitung sejak tahun 1837 Darwin yakin betul bahwa binatang dan tetumbuhan tidaklah bersifat tetap, tetapi mengalami perubahan dalam perjalanan sejarah geologi. Pada saat itu dia belum sadar apa yang menjadi sebab-musabab terjadinya evolusi itu.  

Di tahun 1838 dia baca esai "Tentang prinsip-prinsip kependudukan" dari Thomas Malthus. Buku Malthus ini menyuguhkannya fakta-fakta yang mendorongnya lebih yakin adanya seleksi alamiah lewat kompetisi untuk mempertahankan kehidupan. Bahkan sesudah Darwin berhasil merumuskan prinsip-prinsip seleksi alamiahnya, dia tidak tergesa-gesa mencetak dan menerbitkannya. Dia sadar, teorinya akan mengundang tantangan-tantangan. Karena itu, dia memerlukan waktu lama dengan hati-hati menyusun bukti-bukti dan memasang kuda-kuda untuk mempertahankan hipotesanya jika ada serangan.

Garis besar teorinya ditulisnya tahun 1842 dan pada tahun 1844 dia mulai menyusun bukunya yang panjang lebar. Di bulan Juni 1858, tatkala Darwin masih sedang menambah-nambah dan menyempurnakan buku karya besarnya, dia menerima naskah dari Alfred Russel Wallace (seorang naturalis Inggris yang waktu itu berada di Timur) yang menggariskan teorinya sendiri tentang evolusi. 

Dalam tiap masalah dasar, teori Wallace bersamaan dengan teori Darwin! Wallace menyusun teorinya secara betul-betul berdiri di atas pikirannya sendiri dan mengirim naskah tulisannya kepada Darwin untuk minta pendapat dan komentar dari ilmuwan kenamaan itu sebelum masuk percetakan. Situasinya menjadi tidak enak, karena mudah berkembang jadi pertarungan yang tidak dikehendaki untuk perebutan prioritas. Jalan keluarnya, baik naskah Wallace maupun garis-garis besar teori Darwin secara berbarengan dibahas oleh sebuah badan ilmiah pada bulan berikutnya.

Cukup mencengangkan, pengedepanan masalah ini tidak begitu diacuhkan orang. Buku Darwin The Origin of Species terbit pada tahun berikutnya, menimbulkan kegemparan. Memang kenyataannya mungkin tak pernah ada diterbitkan buku ilmu pengetahuan yang begitu tersebar luas dan begitu jadi bahan perbincangan yang begitu hangat, baik di lingkungan para ilmuwan maupun awam seperti terjadi pada buku On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or The Preservation of Favoured Races in the Strugle for Life. Saling adu argumen tetap seru di tahun 1871 tatkala Darwin menerbitkan The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex. Buku ini, mengedepankan gagasan bahwa manusia berasal dari makhluk sejenis monyet, makin menambah serunya perdebatan pendapat.

Darwin sendiri tidak ambil bagian dalam perdebatan di muka publik mengenai teori yang dilontarkannya. Bisa jadi lantaran kesehatan karena sehabis perkelanaannya yang begitu parrjang dengan kapal Beagle (besar kemungkinan akibat demam, akibat penyakit Chaga gigitan serangga di Amerika Latin). Dan bisa jadi karena dia merasa cukup punya pendukung gigih semacam Thomas H. Huxley seorang jago debat dan pembela teori Darwin, sebagian terbesar ilmuwan menyetujui dasar-dasar kebenaran teori Darwin tatkala yang bersangkutan niati tahun 1882.

Sebenarnya bukanlah Darwin penemu pertama teori evolusi makhluk. Beberapa orang telah menyuarakannya sebelum dia, termasuk naturalis Perancis Jean Lamarek dan kakek Darwin sendiri, Erasmus Darwin.

Tetapi, hipotesa mereka tidak pernah diterima oleh dunia ilmu pengetahuan, karena tak mampu memberi keyakinan bagaimana dan dengan cara apa evolusi terjadi. Sumbangan Darwin terbesar adalah kesanggupannya bukan saja menyuguhkan mekanisme dari seleksi alamiah yang mengakibatkan terjadinya evolusi alamiah, tetapi dia juga sanggup menyuguhkan banyak bukti-bukti untuk menunjang hipotesanya.

Layak dicatat, teori Darwin dirumuskan tanpa sandaran teori genetik apa pun atau bahkan dia tak tahu-menahu mengenai pengetahuan itu. Di masa Darwin, tak seorang pun faham ihwal khusus bagaimana suatu generasi berikutnya. Meskipun Gregor Mendel sedang merampungkan hukum-hukum keturunan pada tahun-tahun berbarengan dengan saat Darwin menulis dan menerbitkan bukunya yang membikin sejarah, hasil karya Mendel yang menunjang teori Darwin begitu sempurnanya, Mendel nyaris sepenuhnya tak diacuhkan orang sampai tahun 1900, saat teori Darwin sudah begitu mapan dan mantap. 

Jadi, pengertian modern kita perihal evolusi --yang merupakan gabungan antara ilmu genetik keturunan dengan hukum seleksi alamiah-- lebih lengkap ketimbang teori yang disodorkan Darwin.

Pengaruh Darwin terhadap pemikiran manusia dalam sekah. Dalam kaitan dengan ilmu pengetahuan murni, tentu saja, dia sudah melakukan tindak revolusioner semua aspek bidang biologi. Seleksi alamiah betul-betul punya prinsip yang teramat luas serta mendasar, dan pelbagai percobaan sudah dilakukan penerapannya di pelbagai bidang-seperti antropologi, sosiologi, ilmu politik dan ekonomi.

Bahkan barangkali pengaruh Darwin lebih penting terhadap pemikiran agama ketimbang terhadap segi ilmu pengetahuan atau sosiologi. Pada masa Darwin dan bertahun-tahun sesudahnya, banyak penganut setia Nasrani percaya bahwa menerima teori Darwin berarti menurunkan derajat kepercayaan terhadap agama. Kekhawatiran mereka ini barangkali ada dasarnya biarpun jelas banyak sebab faktor lain yang jadi lantaran lunturnya kepercayaan beragama. (Darwin sendiri menjadi seorang sekuler).

Bahkan atas dasar sekuler, teori Darwin mengakibatkan perubahan besar pada cara manusia dalam hal mereka memikirkan ihwal dunia mereka (bangsa manusia itu tampaknya) secara keseluruhan tidak lagi menduduki posisi sentral dalam skema alamiah alam makhluk sebagaimana tadinya mereka akukan. Kini kita harus memandang diri kita sebagai salah satu bagian saja dari sekian banyak makhluk dan kita mengakui adanya kemungkinan bahwa sekali tempo akan tergeser. Akibat dari hasil penyelidikan Darwin, pandangan Heraclitus yang berkata, "Tak ada yang permanen kecuali perubahan" menjadi diterima secara lebih luas. Sukses teori evolusi sebagai penjelasan umum mengenai asal-usul manusia telah lebih mengokohkan kepercayaan terhadap kemampuan ilmu pengetahuan menjawab segala pertanyaan dunia fisik (walaupun tidak semua persoalan manusia dan kemanusiaan). Istilah Darwin, "Yang kuat mengalahkan yang lemah" dan "Pergulatan untuk hidup" telah masuk menjadi bagian kamus kita.

Memang teori Darwin akan  dapat dijelaskan juga walau misalnya Darwin tak pernah hidup di dunia. Apalagi diukur dari apa yang sudah dihasilkan Wallace, hal ini amat mengandung kebenaran, lebih dari ihwal siapa pun yang tertera di dalam daftar buku ini. Namun, adalah tulisan-tulisan Darwin yang telah merevolusionerkan biologi dan antropolgi dan dialah yang telah mengubah pandangan kita tentang kedudukan manusia di dunia.

Sunday, 15 December 2013

Raja Kertanegara

Sri Maharaja Kertanagara (meninggal tahun 1292), adalah raja terakhir yang memerintah kerajaan Singhasari. Masa pemerintahan Kertanagara dikenal sebagai masa kejayaan Singhasari, dan ia dipandang sebagai penguasa Jawa pertama yang berambisi ingin menyatukan wilayah Nusantara. Menantunya, Raden Wijaya, kemudian mendirikan kerajaan Majapahit sekitar tahun 1293 sebagai penerus dinasti Singhasari.

Kertanagara adalah putera Wisnuwardhana raja Singhasari tahun 1248-1268. Ibunya bernama Waning Hyun yang bergelar Jayawardhani. Waning Hyun adalah putri dari Mahisa Wunga Teleng (putra sulung Ken Arok, pendiri Singhasari, dari Ken Dedes).

Istri Kertanagara bernama Sri Bajradewi. Dari perkawinan mereka lahir beberapa orang putri, yang dinikahkan antara lain dengan Raden Wijaya, putra Lembu Tal, dan Ardharaja putra Jayakatwang. Nama empat orang putri Kertanagara yang dinikahi Raden Wijaya menurut Nagarakretagama adalah Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri.

Peperangan dan Perluasan Kekuasaan

Berdasarkan prasasti Mula Malurung, sebelum menjadi raja Singhasari, Kertanagara lebih dulu diangkat sebagai yuwaraja di Kadiri tahun 1254. Nama gelar abhiseka yang ia pakai ialah Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purusottama Wira Asta Basudewadhipa Aniwariwiryanindita Parakrama Murddhaja Namottunggadewa.

Berdasarkan Prasasti Padang Roco yang bertarikh 1286, Kertanagara bergelar śrī mahārājādhirāja kŗtanagara wikrama dharmmottunggadewa.

Kertanagara naik takhta Singhasari tahun 1268 menggantikan ayahnya, Wisnuwardhana. Menurut Pararaton ia adalah satu-satunya raja Singhasari yang naik takhta secara damai. Kertanagara merupakan sosok raja Jawa pertama yang ingin memperluas kekuasaannya mencakup wilayah Nusantara. Namun diakhir hayatnya, Kertanagara terbunuh dalam pemberontakan Jayakatwang.

Untuk mewujudkan ambisinya, dilaksanakanlah ekspedisi Pamalayu (Pamalayu bermakna perang Malayu) yang bertujuan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatra, sehingga dapat memperkuat pengaruhnya di selat Malaka, yang merupakan jalur ekonomi dan politik penting. Ekspedisi ini juga bertujuan untuk menghadang pengaruh kekuasaan Mongol yang telah menguasai hampir seluruh daratan Asia.

Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa Ekspedisi Pamalayu ini bertujuan untuk menjalin kekuatan untuk menghadapi orang Mongol dari Dinasti Yuan, yang berkedudukan di Khanbalik (Beijing sekarang). Saat itu Dinasti Yuan atau dikenal sebagai Dinasti Mongol yang sedang melakukan ekspansi wilayah bahkan memiliki bentangan yang cukup luas, dari Korea hingga Rusia (Kievan Rus), Timur-Tengah (menghancurkan dinasti Abbasiyah di Baghdad) dan Eropa Timur. Dan pada tahun-tahun itu, Dinasti Mongol berusaha mengadakan perluasan diantaranya ke Jepang dan Jawa. Jadi maksud ekspedisi ini adalah untuk menghadang langsung armada Mongol agar tidak masuk ke perairan Jawa.

Pengiriman pasukan ke Sumatera dilakukan pada tahun 1275 di bawah pimpinan Kebo Anabrang. Pada tahun 1286 Bhumi Malayu dapat ditundukkan. Kemudian Kertanagara mengirim kembali utusan yang dipimpin oleh rakryān mahā-mantri dyah adwayabrahma membawa arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan dan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Dharmasraya yang saat itu rajanya bernama śrī mahārāja śrīmat tribhuwanarāja mauliwarmmadewa.

Pada tahun 1284 Kertanagara juga berhasil menaklukkan Bali, dan membawa rajanya sebagai tawanan menghadap ke Singhasari.

Pada tahun 1289 datang utusan Kubilai Khan yang bernama Meng Khi, meminta agar Kertanagara tunduk kepada kekuasaan Mongol dan menyerahkan upeti setiap tahunnya. Kertanagara menolak permintaan itu, bahkan melukai wajah Meng Khi. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Kertanegara bahkan sampai memotong salah-satu telinga Meng Khi.

Untuk membalas hal itu, beberapa tahun kemudian Kubilai Khan mengirim pasukan yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Singhasari. Pasukan tersebut mendarat di Jawa tahun 1293, di mana saat itu Kertanagara telah lebih dulu meninggal akibat pemberontakan Jayakatwang.

Kehidupan Beragama

Dalam bidang agama, Kertanagara memperkenalkan penyatuan agama Hindu aliran Syiwa dengan agama Buddha aliran Tantrayana. Oleh karena itu dalam Pararaton. Kertanagara sering juga disebut Bhatara Siwa Buda.

Menurut Nagarakretagama, Kertanagara telah menguasai semua ajaran agama Hindu dan Buddha, Itu sebabnya Kertanagara dikisahkan pula dalam naskah-naskah kidung sebagai seorang yang bebas dari segala dosa. Bahkan, salah satu ritual agamanya adalah berpesta minuman keras.

Gelar keagamaan Kertanagara dalam Nagarakretagama adalah Sri Jnanabajreswara, sedangkan dalam prasasti Tumpang ia bergelar Sri Jnaneswarabajra. Kertanagara diwujudkan dalam sebuah patung Jina Mahakshobhya (Buddha) yang kini terdapat di Taman Apsari, Surabaya. Patung yang merupakan simbol penyatuan Syiwa-Buddha itu sebelumnya berasal dari situs Kandang Gajak, Trowulan, yang pada tahun 1817 dipindahkan ke Surabaya oleh Residen Baron A.M. Th. de Salis. Oleh masyarakat patung tersebut dikenal dengan nama Joko Dolog.

Berbagai Pemberontakan

Dalam Pararaton dikisahkan, Kertanagara memecat para pejabat yang berani menentang cita-citanya. Antara lain Mpu Raganata diturunkan dari jabatan rakryan patih menjadi ramadhyaksa. Penggantinya bernama Kebo Anengah dan Panji Angragani. Sedangkan Arya Wiraraja dimutasi dari jabatan rakryan demung menjadi bupati Sumenep.

Menurut Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama, perombakan susunan kabinet tersebut mengundang ketidakpuasan antara lain dari Kalana Bhayangkara yang memberontak pada tahun 1270 (dalam Nagarakretagama ia disebut dengan nama Cayaraja). Selain itu Nagarakretagama juga menyebutkan adanya pemberontakan Mahisa Rangkah tahun 1280. Disebutkan kalau Mahisa Rangkah adalah tokoh yang dibenci penduduk Singhasari.

Kertanagara tewas akibat pemberontakan Jayakatwang, bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besannya sendiri. Dikisahkan dalam Pararaton, Kidung Harsawijaya, dan Kidung Panji Wijayakrama, Jayakatwang dipengaruhi Arya Wiraraja supaya memberontak. Jayakatwang merupakan keturunan Kertajaya raja terakhir Kadiri yang dikalahkan Ken Arok, leluhur Kertanagara tahun 1222. Sedangkan Arya Wiraraja adalah mantan pejabat Singhasari yang sakit hati, karena telah dimutasi ke Sumenep.

Pasukan Jayakatwang dipimpin Jaran Guyang bergerak menyerang Singhasari dari utara. Kertanagara mengirim kedua menantunya, yaitu Raden Wijaya putra Lembu Tal dan Ardharaja putra Jayakatwang untuk melawan. Tetapi Ardharaja kemudian bergabung ke dalam pasukan ayahnya.

Pasukan Jaran Guyang hanyalah pancingan supaya pertahanan ibu kota kosong. Pasukan kedua Jayakatwang menyerang dari selatan dipimpin Patih Kebo Mundarang. Saat itu Kertanagara sedang mengadakan pesta minuman keras sebagai salah satu ritual agamanya. Ia lalu keluar menghadapi serangan musuh. Kertanagara akhirnya tewas dibunuh tentara pemberontak bersama Mpu Raganata, Patih Kebo Anengah, Panji Angragani, dan Wirakreti.

Menurut Nagarakretagama, Kertanagara dicandikan bersama istrinya di Sagala sebagai Wairocana dan Locana, dengan lambang arca tunggal Ardhanareswari.

Kedua pemberontakan tersebut dapat dipadamkan. Namun pemberontak yang paling berbahaya adalah Jayakatwang bupati Gelang-Gelang yang menewaskan Kertanagara pada tahun 1292.

Tuesday, 10 December 2013

Prabu Airlangga

Airlangga (Bali, 990 - Belahan, 1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. 

Nama Airlangga berarti "Air yang melompat". Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Pada masa itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.

Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.

Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora), yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7

Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.

Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Wwatan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.

Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan Pulau Jawa.

Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena menurut prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).

Pada tahun 1030, Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala, dan membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita pada akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.

Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).

Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
  • Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
  • Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
  • Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
  • Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
  • Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
  • Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.
Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.

Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.

Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.

Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.

Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.

Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.

Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.

Ken Arok

Ken Arok atau sering pula ditulis Ken Angrok (lahir di Jawa Timur pada tahun 1182, wafat di Jawa Timur pada tahun 1247 atau 1227), adalah pendiri Kerajaan Tumapel (yang kemudian terkenal dengan nama Singhasari). Ia memerintah sebagai raja pertama bergelar Rajasa pada tahun 1222 - 1227 (atau 1247).

Ken Arok adalah putra Gajah Para dari desa Campara (Bacem, Sutojayan, Blitar) dengan seorang wanita desa Pangkur (Jiwut, Nglegok, Blitar) bernama Ken Ndok. "Gajah" adalah nama jabatan setara "wedana" (pembantu adipati) pada era kerajaan Kediri. Sebelum Ken Arok lahir ayahnya telah meninggal dunia saat ia dalam kandungan, dan saat itu Ken Ndok telah direbut oleh raja Kediri. Oleh ibunya, bayi Ken Arok dibuang di sebuah pemakaman, hingga kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong.

Ken Arok tumbuh menjadi berandalan yang lihai mencuri dan gemar berjudi, sehingga membebani Lembong dengan banyak hutang. Lembong pun mengusirnya. Ia kemudian diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi dari desa Karuman (sekarang Garum, Blitar) yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan.

Ken Arok tidak betah hidup menjadi anak angkat Genukbuntu, istri tua Bango Samparan. Ia kemudian bersahabat dengan Tita, anak kepala desa Siganggeng, sekarang Senggreng, Sumberpucung, Malang. Keduanya pun menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri.

Akhirnya, Ken Arok bertemu seorang brahmana dari India bernama Lohgawe, yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Dari ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang dicarinya
Tumapel Direbut

Tumapel merupakan salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjadi akuwu (setara camat zaman sekarang) Tumapel saat itu bernama Tunggul Ametung. Atas bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung.

Ken Arok kemudian tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung yang cantik. Apalagi Lohgawe juga meramalkan kalau Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu semakin membuat Ken Arok berhasrat untuk merebut Ken Dedes, meskipun tidak direstui Lohgawe.

Ken Arok membutuhkan sebilah keris ampuh untuk membunuh Tunggul Ametung yang terkenal sakti. Bango Samparan pun memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring dari desa Lulumbang, sekarang Plumbangan, Doko, Blitar (Sukatman, 2012), yaitu seorang ahli pembuat pusaka ampuh.

Mpu Gandring sanggup membuatkan sebilah keris ampuh dalam waktu setahun. Ken Arok tidak sabar. Lima bulan kemudian ia datang mengambil pesanan. Keris yang belum sempurna itu direbut dan ditusukkan ke dada Mpu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Mpu Gandring mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh 7 orang, termasuk Ken Arok sendiri.

Kembali ke Tumapel, Ken Arok menjalankan rencananya untuk merebut kekuasaan Tunggul Ametung. Mula-mula ia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal. Kebo Hijo dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik Kebo Hijo. Dengan demikian, siasat Ken Arok berhasil.


Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya. Namun hatinya luluh oleh rayuan Ken Arok. Lagi pula, Ken Dedes menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.

Pagi harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung. Ken Arok lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai akuwu baru di Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Tidak seorang pun yang berani menentang kepustusan itu. Ken Dedes sendiri saat itu sedang mengandung anak Tunggul Ametung.

Pada tahun 1222 terjadi perselisihan antara Kertajaya raja Kadiri dengan para brahmana. Para brahmana itu memilih pindah ke Tumapel meminta perlindungan Ken Arok yang kebetulan sedang mempersiapkan pemberontakan terhadap Kadiri. Setelah mendapat dukungan mereka, Ken Arok pun menyatakan Tumapel sebagai kerajaan merdeka yang lepas dari Kadiri. Sebagai raja pertama ia bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi

Kertajaya (dalam Pararaton disebut Dhandhang Gendis) tidak takut menghadapi pemberontakan Tumapel. Ia mengaku hanya dapat dikalahkan oleh Bhatara Siwa. Mendengar sesumbar itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Siwa dan siap memerangi Kertajaya.

Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi di dekat desa Ganter. Pihak Kadiri kalah. Kertajaya diberitakan naik ke alam dewa, yang mungkin merupakan bahasa kiasan untuk mati.
Keturunan Ken Arok

Ken Dedes telah melahirkan empat orang anak Ken Arok, yaitu Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Selain itu, Ken Dedes juga memiliki putra dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati. Ken Arok juga memiliki selir bernama Ken Umang, yang telah memberinya empat orang anak pula, yaitu Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wergola dan Dewi Rambi.

Anusapati sering merasa heran pada sikap Ken Arok yang seolah menganaktirikan dirinya, padahal ia merasa sebagai putra tertua. Setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya Anusapati mengetahui kalau dirinya memang benar-benar anak tiri. Bahkan, ia juga mengetahui kalau ayah kandungnya bernama Tunggul Ametung telah mati dibunuh Ken Arok.

Anusapati berhasil mendapatkan Keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes. Ia kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok. Ken Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan sore hari. Anusapati ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak.
 
Peristiwa kematian Ken Arok dalam naskah Pararaton terjadi pada tahun 1247.

Ken Arok dikenal sebagai pendiri Dinasti Rajasa, yakni dinasti yang menurunkan raja-raja Singhasari dan Majapahit hingga abad ke-16. Para raja Demak, Pajang, dan Mataram Islam, juga merupakan keturunan Dinasti Rajasa.

Nama Ken Arok ternyata tidak terdapat dalam Nagarakretagama (1365). Naskah tersebut hanya memberitakan bahwa pendiri Kerajaan Tumapel merupakan putra Bhatara Girinatha yang lahir tanpa ibu pada tahun 1182.
Pada tahun 1222 Sang Girinathaputra mengalahkan Kertajaya raja Kadiri. Ia kemudian menjadi raja pertama di Tumapel bergelar Sri Ranggah Rajasa. Ibu kota kerajaannya disebut Kutaraja (pada tahun 1254 diganti menjadi Singasari oleh Wisnuwardhana).

Sri Ranggah Rajasa meninggal dunia pada tahun 1227 (selisih 20 tahun dibandingkan berita dalam Pararaton). Untuk memuliakan arwahnya didirikan candi di Kagenengan, di mana ia dipuja sebagai Siwa, dan di Usana, di mana ia dipuja sebagai Buddha.

Kematian Sang Rajasa dalam Nagarakretagama terkesan wajar tanpa pembunuhan. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah tersebut merupakan sastra pujian untuk keluarga besar Hayam Wuruk, sehingga peristiwa pembunuhan terhadap leluhur raja-raja Majapahit dianggap aib.

Adanya peristiwa pembunuhan terhadap Sang Rajasa dalam Pararaton diperkuat oleh prasasti Mula Malurung (1255). Disebutkan dalam prasasti itu, nama pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang meninggal di atas takhta kencana. Berita dalam prasasti ini menunjukkan kalau kematian Sang Rajasa memang tidak sewajarnya.

Nama Rajasa selain dijumpai dalam kedua naskah sastra di atas, juga dijumpai dalam prasasti Balawi yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit tahun 1305. Dalam prasasti itu Raden Wijaya mengaku sebagai anggota Wangsa Rajasa. Raden Wijaya memang adalah keturunan Ken Arok.
Nama Ken Arok memang hanya dijumpai dalam Pararaton, sehingga diduga kuat merupakan ciptaan si pengarang sebagai nama asli Rajasa. Arok diduga berasal dari kata rok yang artinya "berkelahi". Tokoh Ken Arok memang dikisahkan nakal dan gemar berkelahi.

Pengarang Pararaton sengaja menciptakan tokoh Ken Arok sebagai masa muda Sang Rajasa dengan penuh keistimewaan. Kasus yang sama terjadi pula pada Babad Tanah Jawi di mana leluhur raja-raja Kesultanan Mataram dikisahkan sebagai manusia-manusia pilihan yang penuh dengan keistimewaan. Ken Arok sendiri diberitakan sebagai putra Brahma, titisan Wisnu, serta penjelmaan Siwa, sehingga seolah-olah kekuatan Trimurti berkumpul dalam dirinya.

Terlepas dari benar atau tidaknya kisah Ken Arok, dapat ditarik kesimpulan kalau pendiri Kerajaan Tumapel merupakan perkawinan seorang bangsawan yang dipercaya sebagai titisan Dewa Brahma dengan seorang rakyat jelata, namun memiliki keberanian dan kecerdasan di atas rata-rata sehingga dapat mengantarkan dirinya sebagai pembangun suatu dinasti baru yang menggantikan dominasi keturunan Airlangga dalam memerintah pulau Jawa.