Monday, 30 December 2024

Hypatia, Filsuf, Matematikawan dan Astronom Perempuan Yang Mati Secara Tragis

 

Hypatia dari Alexandria adalah salah seorang dari sedikit wanita akademis pada masa Yunani Kuno.  Hypatia adalah seorang filsuf, astronom, dan matematikawan Helenistik Neoplatonis, yang tinggal di Alexandria, Mesir, yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi Timur. Meskipun didahului oleh Pandrosion, matematikawan wanita Alexandrine lainnya, Hypatia adalah filsuf dan matematikawan wanita pertama yang kehidupannya tercatat dengan cukup baik dalam sejarah. Ia adalah putri dari Theon (sekitar tahun 335 – sekitar tahun 405), seorang cendekiawan, matematikawan dan kepala Perpustakaan di Alexandria, Mesir. Theon sendiri adalah seorang pendidik yang sangat berdedikasi. Ia memperkenalkan Hypatia pada berbagai bidang ilmu pengetahuan dan filsafat sejak dini. Hal itu memberikan akses bagi Hypatia untuk mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan yang jarang diberikan kepada wanita pada masa itu. Hypatia dididik di Athena, tetapi Ia tidak terus mengikuti ajaran ayahnya, dan segera menemukan cara lain untuk memahami apa yang dia minati. 

Ketika terjadi kericuhan yang disebabkan oleh umat Kristiani fanatik, banyak buku-buku yang dibakar di Serapeum atau Kuil Serapi, termasuk karya dari Hypatia sendiri.
Kendati tak satu pun tulisannya yang bertahan, tapi menurut catatan sejarah, tulisan-tulisan orang sezamannya, surat-surat yang ia tulis kepada salah satu muridnya, Syneus dari Cynere, Yunani dan kisah para muridnya tentang karya dan kehidupannya, menggambarkan kualitas dirinya yang membuatnya menjadi cendekiawan terkenal, dan dicintai sebagai guru. Synesius yang juga adalah seorang filsuf Neo-Platonik dan telah menjadi menjadi uskup di Cyrenaica ketika itu. beberapa kali mengirimi gurunya surat, seperti dalam Letter154: On his Own Writing tentang perihal bukunya.
 
Kepada Sang Filsuf
 
"Saya telah menerbitkan dua buku tahun ini. Salah satunya karena saya tergerak oleh Tuhan sendiri, yang lainnya karena fitnah manusia.”
 
Dalam Letter 124: A City in Wartime, Synesius menulis dengan jelas nama Hypatia
 
Kepada Sang Filsuf 
 
Meskipun orang mati akan dilupakan sama sekali di Hades, di sana pun aku akan mengingatmu, Hypatia-ku tersayang. Aku diliputi oleh penderitaan kotaku, dan merasa muak dengannya, karena setiap hari aku melihat pasukan musuh, dan orang-orang dibantai seperti korban di altar. Aku menghirup udara yang tercemar oleh pembusukan mayat. Aku menunggu untuk mengalami nasib yang sama seperti yang telah menimpa banyak orang lain, karena bagaimana seseorang dapat tetap berharap, ketika langit tertutup oleh bayangan burung pemangsa?”
Sayangnya karena kecerdasannya, ia justru mengalami kehancuran dan mati dibunuh secara tragis dan brutal pada tahun 415 M. 

Kehidupan Akademis Hypatia sebagai Wanita

Pada masa itu, khususnya di masyarakat Yunani dan Romawi, kebebasan perempuan sangat terbatas terutama terhadap pendidikan dan kehidupan akademis, meskipun, terdapat pengecualian untuk aturan tersebut. Keluarga-keluarga terpilih, seperti keluarga Hypatia, memiliki kontrol lebih besar atas pendidikan anak-anak mereka, sehingga Hypatia dapat memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih layak.

Hypatia tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang didominasi oleh laki-laki. Sehari-hari ia mengenakan jubah akademisi, sesuatu yang hanya boleh digunakan para pria di masa itu. Meskipun begitu, dia disegani dan dikagumi karena kecerdasannya dan pengetahuannya yang luas. Dia memilih untuk hidup sebagai seorang neoplatonisme, sebuah aliran filsafat yang dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Plato. 

Sebagai seorang wanita terpelajar yang hidup pada masa di mana perempuan memiliki akses terbatas terhadap pendidikan dan kehidupan akademis, Hypatia menghadapi tantangan besar. Akan tetapi, dia terus mengejar minatnya dalam matematika, astronomi, dan filsafat, dan akhirnya menjadi salah satu tokoh perempuan yang paling berpengaruh dalam sejarah ilmu pengetahuan.

Kontribusi dan Peran Hypatia dalam Ilmu Pengetahuan 

Hypatia adalah guru, sekaligus pengajar, mentor dan penasihat yang hebat dan sangat berpengaruh. Ia membuka kelas dan mengajar serta banyak melakukan penelitian di Aleksandria, sebuah pusat kebudayaan dan intelektual di dunia kuno pada abad ke-4 Masehi. Sekitar tahun 400 M, ia menjadi Kapala Sekolah Platonis di Alexandria. ia mengajar pengetahuan filsafat tentang Plato, Plotinus dan Aristoteles kepada para siswanya. Banyak yang ingin masuk kelasnya saat ia mengajar. Dia telah membimbing banyak murid dalam studi matematika dan ilmu pengetahuan lainnya. Mereka berasal dari berbagai tempat dan latar belakang, termasuk orang-orang kafir, Kristen, dan orang asing. Selain itu, Hypatia juga berkontribusi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kontribusinya yang paling berpengaruh adalah perannya dalam bidang filsafat, matematika dan astronomi. 

Kontribusi Hypatia dalam bidang matematika meliputi komentar-komentar tentang karya-karya matematika klasik, seperti "Almagest" karya Ptolemy dan "Arithmetica" karya Diophantus. Dia juga membuat kemajuan signifikan dalam pengembangan dan pemahaman konsep-konsep matematika, termasuk geometri dan aljabar. 

Sementara itu, dalam bidang astronomi, Hypatia membuat kontribusi penting dalam pemahaman gerak planet dan bintang. Dia mengajar banyak muridnya tentang teori heliosentris, yang menyatakan bahwa Matahari berada di pusat tata surya, sebuah konsep revolusioner pada masanya. Dia juga terkenal karena merancang alat ilmiah seperti astrolabe, yang digunakan untuk melihat dan memantau gerak benda langit di langit malam. Astralobe juga digunakan untuk menghitung tanggal dan waktu berdasarkan posisi bintang dan planet. Ia juga membuat Hidrometer, alat yang digunakan untuk menentukan massa jenis cairan.

Kontribusi Hypatia dalam bidang Matematika

Sebagai seorang filsuf Neoplatonis, ia termasuk salah satu murid dari Plutarch dan alumni Akademi Matematika Athena. Hypatia menyempurnakan beberapa instrumen ilmiah, menulis buku teks matematika, dan mengembangkan metode pembagian panjang yang lebih efisien. Dialah yang mendorong logika dan studi matematika sebagai pengganti penyelidikan empiris. Hypatia menulis sebuah komentar pada tiga belas volume Arithmetica karya Diophantus yang berisi 100 soal matematika, yang solusinya diajukan menggunakan aljabar. Kemungkin masih ada sebagian, karena telah disisipkan ke dalam teks asli DiophantuIa juga menulis sebuah artikel tentang irisan kerucut, tetapi tulisan-tulisan ini telah hilang ditelan waktu. 

Hypayia juga menulis komentar lain pada risalah Apollonius dari Perga tentang irisan kerucut, yang tidak ada lagi. Banyak sarjana modern juga percaya bahwa Hypatia mungkin juga memberikan komentar-komentar tentang karya-karya matematika klasik, seperti "Almagest" karya Ptolemy.dan juga telah menyunting teks Almagest karya Ptolemeus yang masih ada, berdasarkan judul komentar ayahnya Theon pada Buku III Almagest. Dia juga membuat kemajuan signifikan dalam pengembangan dan pemahaman konsep-konsep matematika, termasuk geometri dan aljabar. 

Tidak jelas apakah ia ikut serta dalam penelitian matematika asli. Akan tetapi, ia membantu ayahnya dalam menghasilkan versi baru dari Elemen-elemen karya Euclid.

Sebagai seorang Neoplatonis, Hypatia percaya bahwa matematika memiliki aspek spiritual, yang terbagi di antara empat cabang ilmu hitung, geometri, astronomi, dan musik. Ia menganggap bahwa angka adalah bahasa suci alam semesta. Bagi para pengikut Plotinus, kehidupan akal budi memiliki tujuan akhir berupa penyatuan mistis dengan yang ilahi. 

Hypatia, Di mata Sejarawan

Kehidupan dan kontribusi yang diberikan Hypatia selama masa hidupnya dicatat oleh berbagai sejarawan. Socrates Scholasticus, ahli sejarah Kristen kontemporer dan sejarawan Bizantium abad ke 5M, mencatat dan menggambarkan kehidupan dan karya Hypatia dalam Ecclesiastical History: “Ada seorang wanita di Alexandria bernama Hypatia, putri filsuf Theon, yang membuat pencapaian seperti itu dalam sastra dan sains, yang jauh melampaui semua filsuf pada masanya sendiri. Socrates juga memberikan deskripsi tentang keahlian matematika dan filosofi Hypatia serta hubungannya dengan para muridnya.

Setelah berhasil masuk ke sekolah Plato dan Plotinus, ia menjelaskan prinsip-prinsip filsafat kepada para pendengarnya, banyak di antaranya datang dari jauh untuk menerima pengajarannya. Karena memiliki ketenangan diri dan ketenangan sikap yang diperolehnya sebagai akibat dari pengembangan pikirannya, ia tidak jarang muncul di depan umum di hadapan para hakim. Ia juga tidak merasa malu pergi ke pertemuan pria, karena semua orang lebih mengaguminya karena martabat dan kebajikannya yang luar biasa. 

Meskipun sumber-sumber kontemporer abad ke-5 mengidentifikasi Hypatia dari Alexandria sebagai seorang praktisi dan guru filsafat Plato dan Plotinus. Dua ratus tahun kemudian, uskup Koptik Mesir abad ke-7 John dari Nikiû mengidentifikasinya sebagai seorang pagan Helenistik dan bahwa "ia selalu mengabdikan diri pada ilmu sihir, astrolab, dan alat-alat musik, dan ia menipu banyak orang melalui tipu muslihat Setannya". Akan tetapi, tidak semua orang Kristen bersikap bermusuhan terhadapnya: beberapa orang Kristen bahkan menggunakan Hypatia sebagai simbol Kebajikan.

Johannes dari Nikiu, sejarawan Bizantium abad ke-7 Masehi, juga mencatat kehidupan dan karya Hypatia dalam “Chronicle”-nya. Meskipun referensi ini lebih terfokus pada kisah-kisah legendaris dan konflik politik di Aleksandria pada masa itu, namun masih memberikan beberapa informasi tentang Hypatia. Beberapa filsuf kontemporer, seperti Proclus dan Synesius, juga menyebutkan Hypatia dalam karya-karya mereka.

Status Pernikahan Hypatia

Dari berbagai literatur, Hypatia disebutkan tidak pernah menikah dan menjadi perawan sampai kematiannyaMeskipun Ensiklopedia Suda Bizantium melaporkan bahwa Hypatia adalah "istri Isidore sang Filsuf" dari Alexandria, tetapi Isidore justru lahir cukup lama setelah kematian Hypatia, dan tidak ada filsuf lain dengan nama yang sama yang sezaman dengan Hypatia yang diketahui. Suda juga menyatakan bahwa "dia tetap perawan" dan bahwa dia menolak seorang pelamar dengan kain perca menstruasinya, mengatakan bahwa kain perca itu menunjukkan bahwa "tidak ada yang indah" tentang hasrat duniawi—sebuah contoh sumber Kristen yang menggunakan Hypatia sebagai simbol Kebajikan. Dikutip dari Arkeonews, abad Pertengahan Hypatia dikooptasi sebagai simbol kebajikan Kristen dan bagian dari dasar legenda Saint Catherine dari Alexandria.

Penganut Paganisme

Charles William Mitchell - Hypatia, 1885 (sumber:ttps:/https://picryl.com/)
Namun, keberhasilan Hypatia dan pengaruhnya di kalangan masyarakat tidak disambut dengan baik oleh beberapa kelompok. Terutama bagi mereka yang melihatnya sebagai ancaman terhadap otoritas dan keyakinan mereka. Pada saat itu, Aleksandria dilanda oleh ketegangan politik dan agama antara penganut Kristen dan non-Kristen, serta antara orang-orang Yunani dan Romawi. 

Dalam Ecclesiastical History karya Socrates Scholasticus. ia menceritakan gambaran besar tentang kehidupan Hypatia dengan singkat. Hypatia sendiri mengidentifikasi dirinya sebagai seorang neoplatonis yang menganut ajaran-ajaran filsafat Yunani kuno. Neo-Platonis sendiri merupakan hasil dari pengaruh kebudayaan hellenistik yang disebarkan oleh Alexander yang Agung. Pemikirannya ketika itu dianggap sebagai “pagan” atau “tidak bertuhan” dan Hypatia juga mempraktikkan paganisme, sebuah kepercayaan/praktik spiritual penyembahan terhadap berhala, yang pengikutnya disebut Pagan. Hypatia terus mempraktekkan paganisme dan tidak berusaha menutupinya. Hal ini menjadikan celah bagi para fanatik agama untuk menjatuhkannya. Pada saat bersamaan, agama-agama baru, khususnya Kristen, mulai tumbuh, dan karena takut akan penganiayaan, banyak orang kafir kemudian beralih menjadi Kristen.Akan tetapi, keberaniannya untuk berbicara terbuka tentang keyakinannya malah membuatnya menjadi sasaran tuduhan dan fitnah.

Dalam catatan uskup Jhon of Nikiu, ia mendeskripsikan bahwa Hypatia bukan hanya filsuf, tetapi juga penyihir yang mempraktikan “pesona sihir” yang membuat gubernur Orester terpesona, tetapi sumber dari Jhon of Nikiu ini patut diragukan karena rentang waktu catatan dengan kematian Hypatia cukup jauh

Tragedi dari kehidupan Hypatia bermula ketika Cyril menjadi uskup Alexandria dan berhasil punya pengaruh besar terhadap kondisi perpolitikan di Alexandria. Hypatia ketika itu dianggap sebagai alasan Orestes, seorang pengagumnya yang menjadi gubernur Alexandria untuk tidak mau tunduk pada uskup, padahal Orestes sendiri merupakan seorang Kristen.

Meskipun dia pernah

didukung oleh pemerintah Alexander, perlawanan terhadap agama Kristen membuatnya menjadi sasaran di lingkaran penganut Kristen yang kuat. Hingga akhirnya terjadilah kejadian mengerikan pada musim panas tahun 415 M, segerombolan massa Kristen termasuk para biarawan yang fanatik menangkap Hypatia saat sedang memberi kuliah.

Kematian, Tuduhan dan Kebencian Fanatisme terhadap Hypatia 

Menurut catatan Socrates, Uskup Alexandria saat itu memerintahkan sekelompok massa Kristen fanatik dan biarawan untuk menangkap dan menculik Hypatia serta menyeretnya menuju gereja Kaisareion, sambil menyiksanya secara mengerikan. Di gereja tersebut, Hypatia ditelanjangi, dipukuli dengan batu dan dibunuh. Setelah itu tubuhnya dipotong-potong hingga menjadi beberapa bagian, dan tubuhnya dirontokkan serta kulitnya dikikis dengan cangkang tiram, kemudian mereka membawa bagian-bagian tubuh itu ke tempat yang disebut Cinaron. Sesampai di sana, bagian-bagian tubuh tersebut disiram dengan air dan minyak keras, massa dan para biarawan tersebut kemudian membakarnya. 

Kematian Hypatia di Alexsandria. (Arkeonews)
Kelompok tersebut dipimpin oleh seorang bernama Peter (Petrus), murid dan pendukung keras Uskup Cyril (Sirilius) dari Aleksandria, yang sangat disegani.  Cyril, sebagai Uskup Agung setempat, pada saat itu, memperoleh kekuasaan politik dan memerintahkan untuk melakukan penghancuran kuil-kuil Pagan dan pelecehan terhadap penduduk Yahudi. Terjadi konflik agama yang sengit antara orang Kristen, Yahudi, dan Pagan.

Cyril dianggap telah melanggar wewenang sekuler gubernur Romawi, Orestes, seorang pejabat Romawi yang tidak disukai oleh kelompok Kristen di Alexandria. Hal ini menyebabkan pertengkaran di antara keduanya dan para pengikutnya, yang berkepanjangan. Karena Hypatia dianggap bijaksana dan tidak memihak, Orestes berkonsultasi dengannya, dan dia menasihatinya untuk bertindak dengan adil. Ketika para biarawan Cyril melukai Orestes dengan parah dalam sebuah kerusuhan, ia menyuruh pemimpin mereka disiksa hingga mati. Cyril dan para pengikutnya menyalahkan Hypatia dan menuduhnya sebagai seorang penyihir, sehingga membuat Orestus menentang agama Kristen. Hypatia sempat melawan. Namun sayang, tidak ada satu orang yang berani menolongnya. 

Kematian Hypatia merupakan titik balik dalam politik Alexandria. Setelah pembunuhannya, para filsuf, orang Yunani, dan Romawi meninggalkan kota, dan peran kota sebagai pusat pembelajaran pun menurun. Ia disebut sebagai 'martir filsafat'.

Kematian tragis Hypatia yang dipimpin oleh kebencian fanatisme agama menandai akhir dari kehidupan seorang ilmuwan wanita yang inspiratif. Meskipun telah tiada, warisannya tetap hidup dalam karya-karya ilmiahnya. Kematian Hypatia bukan hanya kehilangan bagi dunia ilmiah pada masa itu, tetapi juga menjadi peringatan akan bahaya fanatisme serta intoleransi yang dapat menghancurkan kehidupan dan bakat-bakat yang berharga.


No comments:

Post a Comment