Showing posts with label Legenda. Show all posts
Showing posts with label Legenda. Show all posts

Sunday, 11 March 2012

Bokor Kuningan (Legenda Kuningan)

Di Sangkanherang, dekat Jalaksana sebelum tahun 1914 ditemukan beberapa patung kecil terbuat dari kuningan. Paling tidak sampai tahun 1950-an barang-barang yang terbuat dari bahan logam kuningan itu sangat disukai oleh masyarakat elit (menak) di daerah Kuningan. Barang-barang yang dimaksud berbentuk alat perkakas rumah tangga dan barang hiasan di dalam rumah. Benda-benda dari bahan kuningan itu juga disukai pula oleh sejumlah masyarakat Sunda, Jawa, Melayu, dan beberapa kelompok masyarakat di Nusantara umumnya.

Di daerah Ciamis dan Kuningan sendiri terdapat cerita legenda yang bertalian dengan bokor (tempat menyimpan sesuatu di dalam rumah dan sekaligus sebagai barang perhiasan) yang terbuat dari logam kuningan[. Kedua cerita legenda dimaksud menuturkan tentang sebuah bokor kuningan yang dijadikan alat untuk menguji tingkat keilmuan seorang tokoh agama.

Di Ciamis - dalam cerita Ciung Wanara - bokor itu digunakan untuk menguji seorang pendeta Galuh (masa pra-Islam) bernama Ajar Sukaresi yang bertapa di Gunung Padang. Pendeta ini diminta oleh Raja Galuh yang ibukota kerajaannya berkedudukan di Bojong Galuh (desa Karangkamulya) sekarang yang terletak sekitar 12 km sebelah timur kota Ciamis, untuk menaksir perut istrinya yang buncit, apakah sedang hamil atau tidak. Kesalahan menaksir akan berakibat pendeta itu kehilangan nyawanya. 

Sesungguhnya buncitnya perut putri tersebut merupakan akal-akalan Sang Raja, dengan memasangkanbokor kuningan pada perut sang putri yang kemudian ditutupi dengan kain sehingga tampak seperti sedang hamil. Perbuatan tersebut dilakukan semata-mata untuk mengelabui dan mencelakakan Sang Pendeta saja.

Pendeta Ajar Sukaresi yang sudah mengetahui akal busuk Sang Raja tetap tenang dalam menebak teka-teki yang diberikan oleh Sang Raja, Sang Pendeta pun berkata bahwa memang perut Sang Putri tersebut sedang hamil. Sang Raja pun merasa gembira mendengar jawaban dari Pendeta tersebut,karena beliau berpikir akal busuknya untuk mengelabui Sang Pendeta berhasil. Sang Raja dengan besar kepala berkatabahwa tebakan Sang Pendeta salah, dan kemudian memerintahkan kepada prajuritnya agar pendeta tersebut dibawa ke penjara dan segera Sang Raja mengeluarkan perintah agar pendeta tersebut di hukum mati.

Teryata tak berapa lama kemudian diketahui bahwa Sang Puteri tersebut benar-benar hamil. Muka Raja tersebut merah padam,hal ini tak mungkin terjadi pikirnya. Dengan gelap mata Sang Raja tersebut marah dan menendang bokor kuningan, kuali dan penjara besi yang berada di dekatnya. Bokor, kuali dan penjara besi itu jatuh di tempat yang berbeda. 

Daerah tempat jatuhnya bokor kuningan, kemudian diberi nama Kuningan yang terus berlaku sampai sekarang. Daerah tempat jatuhnya kuali (bahasa Sunda: kawali) dinamai Kawali (sekarang kota kecamatan yang termasuk ke dalam daerah Kabupaten Ciamis dan terletak antara Kuningan dan Ciamis, sekitar 65 km sebelah selatan kota Kuningan), dan daerah tempat jatuhnya penjara besi dinamai Kandangwesi (kandangwesi merupakan kosakata bahasa Sunda yang artinya penjara besi) terletak di daerah Garut Selatan.

Dalam Babad Cirebon dan tradisi Lisan Legenda Kuningan bokor kuningan itu digunakan untuk menguji tokoh ulama Islam (wali) bernama Sunan Gunung Jati. Jalan ceritanya kurang lebih sama dengan cerita Ciung Wanara, hanya di dalamnya terdapat beberapa hal yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud terletak pada waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tujuan dan akibat pengujian itu, dan tidak ada peristiwa penendangan bokor. Jika cerita Ciung Wanara menuturkan gambaran zaman kerajaan Galuh yang sepenuhnya bersifat kehinduan atau masa pra-Islam, maka Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan mengisahkan tuturan pada zaman peralihan dari masa Hindu menuju masa Islam atau pada masa proses Islamisasi. 

Dengan demikian, isi cerita Ciung Wanara lebih tua daripada isi Babad Cirebon atau tradisi lisan Legenda Kuningan. Cerita Ciung Wanara mengungkapakan tempat peristiwanya di Bojong Galuh, sedangkan Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan mengemukakan bahwa peristiwanya terjadi di Luragung (kota kecamatan yang terletak 19 km sebelah timur Kuningan).

Tidak seperti dalam cerita Ciung Wanara, penaksiran kehamilan Puteri dilatarbelakangi oleh tujuan mencelakakan pendeta Ajar Sukaresi dan berakibat pendeta tersebut dihukum mati, dalam Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan penaksiran kehamilan tersebut dimaksudkan untuk menguji keluhuran ilmu Sunan Gunung Jati semata-mata dan berdampak mempertinggi kedudukan keulamaan wali tersebut. 

Anak yang dilahirkannya adalah seorang bayi laki-laki yang kemudian dipelihara dan dibesarkan oleh Ki Gedeng Luragung, penguasa daerah Luragung. Selajutnya Sunan Gunung Jati menjadi Sultan di Cirebon. Setelah dewasa bayi itu diangkat oleh Sunan Gunung Jati menjadi pemimpin atau kepala daerah Kuningan dengan nama Sang Adipati Kuningan.

Jadi, dari nama jenis logam bahan pembuatan bokor itulah daerah ini dinamakan daerah Kuningan. Itulah sebabnya, bokor kuningan dijadikan sebagai salah satu lambang daerah Kabupaten Kuningan. Lambang lain daerah ini adalah kuda yang berasal dari kuda samberani milik Dipati Ewangga, seorang Panglima perang Kuningan.

Menurut tradisi lisan Lagenda Kuningan yang lain, sebelum bernama Kuningan nama daerah ini adalah Kajene. Kajene katanya mengandung arti warna kuning (jene dalam bahasa Jawa berarti kuning). Secara umum warna kuning melambangkan keagungan dalam masyarakat Nusantara. Berdasarkan bahan bokor kuningan dan warna kuning itulah, kemudian pada masa awal Islamisasi daerah ini dinami Kuningan. Namun keotentikan Kajene sebaga nama pertama daerah ini patut diragukan, karena menurut naskah Carita Parahyangan sumber tertulis yang disusun di daerah Ciamis pada akhir abad ke-16 Masehi, Kuningan sebagai nama daerah (kerajaan) telah dikenal sejak awal kerajaan Galuh, yakni sejak akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi. Sementara itu, wilayah kerajaan Kuningan terletak di daerah Kabupaten Kuningan sekarang.

Adalagi menurut cerita mitologi daerah setempat yang mengemukakan bahwa nama daerah Kuningan itu diambil dari ungkapan dangiang kuning, yaitu nama ilmu kegaiban(ajian) yang bertalian dengan kebenaran hakiki. Ilmu ini dimiliki oleh Demunawan, salah seorang yang pernah menjadi penguasa (raja) di daerah ini pada masa awal kerajaan Galuh.

Dalam tradisi agama Hindu terdapat sistem kalender yang enggambarkan siklus waktu upacara keagamaan seperti yang masih dipakai oleh umat Hindu-Bali sekarang. Kuningan menjadi nama waktu (wuku) ke 12 dari sistem kalender tersebut. Pada periode wuku Kuningan selalu daiadakan upacara keagamaan sebagai hari raya. Mungkinkah, nama wuku Kuningan mengilhami atau mendorong pemberian nama bagi daerah ini?

Yang jelas, menurut Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan, dua naskah yang ditulis sezaman pada daun lontar beraksara dan berbahasa Sunda Kuna, pada abad ke-8 Masehi, Kuningan sudah disebut sebagai nama kerajaan yang terletak tidak jauh dari kerajaan Galuh (Ciamis sekarang) dan kerajaan Galunggung (Tasikmalaya sekarang). Lokasi kerajaan tersebut terletak di daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Kuningan.

Sunday, 20 February 2011

Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari



Dahulu kala, di Desa Tarub, tinggal­lah seorang janda bernama Mbok Randha Tarub. Sejak suaminya meninggal dunia, ia mengangkat seorang bo­­­cah laki-laki sebagai anaknya. Setelah dewa­sa, anak itu dipanggilnya Jaka Tarub.

Jaka Tarub anak yang baik. Tangannya ringan melakukan pekerjaan. Setiap hari, ia membantu Mbok Randha mengerjakan sawah ladangnya. Dari hasil sawah ladang itulah mereka hidup. Mbok Randha amat mengasihi Jaka Tarub, seperti anaknya sendiri. 

Waktu terus berlalu. Jaka Tarub ber­anjak dewasa. Wajahnya tampan, tingkah lakunya pun sopan. Banyak gadis yang men­dambakan untuk menjadi istrinya. Na­mun Jaka Tarub belum ingin beristri. Ia ingin berbakti kepada Mbok Randha yang di­anggap­nya sebagai ibunya sendiri. Ia be­ker­ja se­makin tekun, sehingga hasil sawah ladang­nya melimpah. Mbok Randha yang pe­­murah akan membaginya dengan te­tang­ga­nya yang kekurangan.

“Jaka Tarub, Anakku. Mbok lihat kamu sudah de­wasa. Sudah pantas meminang gadis. Lekaslah me­nikah, Simbok ingin menimang cucu,” kata Mbok Randha suatu hari.

“Tarub belum ingin, Mbok,” jawab Jaka Tarub.

“Tapi jika Simbok tiada kelak, siapa yang akan mengurusmu?” tanya Mbok Randha lagi.

“Sudahlah, Mbok. Semoga saja Sim­bok berumur panjang,” jawab Jaka Tarub singkat.

Suatu pagi Jaka Tarub merasa heran, karena sampai menjelang siang, Simbok belum juga beranjak dari tempat tidurnya. “Hari sudah siang, tetapi Simbok be­lum juga bangun. Kadingaren ...,” gumam Jaka Tarub suatu pagi. 

“Simbok sakit ya?” tanya Jaka Tarub meraba kening simboknya.

“Iya, Le,” jawab Mbok Randha lemah. 

“Badan Simbok panas sekali,” kata Jaka Tarub cemas. Ia segera mencari daun dhadhap serep untuk mengompres simbok­nya. Namun rupanya umur Mbok Randha ha­nya sampai hari itu. Menjelang siang, Mbok Randha menghembuskan napas ter­akhirnya.

Sejak kematian Mbok Randha, Jaka Tarub sering melamun. Kini sawah ladang­nya terbengkalai. “Sia-sia aku bekerja. Un­­tuk siapa hasilnya?” demikian gumam Jaka Tarub.

Suatu malam, Jaka Tarub bermimpi me­makan daging rusa. Saat terbangun dari mimpinya, Jaka Tarub menjadi ber­se­­lera ingin makan daging rusa. Maka pagi itu, Jaka Tarub pergi ke hutan sambil mem­bawa sumpitnya. Ia ingin menyumpit rusa. Hingga siang ia berjalan, namun tak seekor rusa pun dijumpainya. Jangankan rusa, kancil pun tak ada. Padahal Jaka Tarub sudah masuk ke hutan yang jarang diambah manusia. Ia kemudian duduk di bawah pohon dekat telaga melepas lelah. Angin sepoi-sepoi membuatnya tertidur. 

Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar de­rai tawa perempuan yang bersuka ria. Jaka Tarub tergagap. “Suara orangkah itu?” gu­mamnya. Pandangannya ditujukan ke te­la­­­ga. Di telaga tampak tujuh perempuan can­­tik tengah bermain-main air, bercanda, ber­­suka ria.  

Dengan mengendap- ngendap, Jaka Tarub berjalan mendekat. Jaka Tarub menganga melihat ke­­cantikan mereka. Tak jauh dari telaga, ia menemukan pakaian dan selendang wanita-wanita tersebut, yang tergeletak berserakan.
Tergoda ingin punya istri cantik menawan, Tanpa pikir panjang, Jaka tarub nekad mencuri dan diambilnya satu selendang terbang, salah satu dari 7 bidadari yang kebetulan ia pergoki sedang mandi sambil bercanda ria disebuah telaga, ke­mu­di­­an disembunyikannya

 Nimas, ayo cepat naik ke darat. Hari su­dah sore. Kita harus segera kembali ke kah­yangan,” kata Bidadari tertua. 

Bidadari yang lain pun naik ke darat. Mereka kem­bali mengenakan selendang masing-masing. Na­­­mun salah satu bidadari itu tak mene­­mu­kan selendangnya.

Kakangmbok, selendangku tidak ada,” katanya.

Keenam kakaknya turut membantu men­­cari, namun hingga senja tak ditemu­kan juga. “Nimas Nawang Wulan, kami tak bi­sa menunggumu lama-lama. Mungkin su­­dah nasibmu tinggal di mayapada,” kata Bidadari tertua. “Kami harus segera kembali ke kah­ya­ngan,” tambahnya.

Barulah Jaka Tarub mengerti kalau wanita-wanita itu adalah para bidadari dari khayangan. Namun ada seorang bidadari, Nawang Wulan, nama bidadari itu, yang tertinggal di danau, , karena kehilangan pakaiannya dan ia tidak bisa kembali ke kahyangan. Ia ditinggal pergi oleh saudara-saudaranya yang tak mampu berbuat apa-apa, 

Nawang Wulan yang selendangnya dicuri hanya bisa menangis sendirian meratapi nasibnya. Nawang Wulan kemudian bersumpah dalam hati bahwa “Bila ada yang menemukan pakaian dan kainku, bila laki-laki akan kujadikan suami dan bila perempuan akan kujadikan saudara,” kata sang bidadari.

Beberapa saat kemudian, Jaka Tarub menampakkan dirinya dan menghibur sang bidadari. Ia memberikan selembar kain untuk dipakai bidadari itu, namun tetap menyembunyikan pakaiannya, supaya ia tak bisa terbang ke khayangan, meninggalkannya. Diajaknya Nawang Wulan pulang ke rumah. Kini hidup Jaka Tarub kembali cerah.

Setelah beberapa lama Nawang Wulan tinggal di rumahnya, Jaka tarub yang sejak semula sudah tertarik akan kecantikkan Nawang Wulang, memberanikan diri mengutarakan maksudnya untuk menikahi Nawang Wulan. Karena yang datang menolong dirinya adalah seorang laki-laki, sesuai dengan sumpahnya, Nawang Wulan pun bersedia menikah dengan Jaka Tarub.

Tidak lama berselang, Nawang Wulan telah resmi diperistri oleh Jaka tarub. Dengan ketentuan Jaka Tarub tidak boleh melanggar pantangan-pantangan tertentu yang disyaratkan oleh Nawang Wulan. Keduanya hidup berbahagia.

Sejak menikahi Nawang Wulan, Jaka Tarub hidup berkecukupan. Panennya melimpah dan lumbungnya selalu dipenuhi oleh padi tanpa pernah berkekurangan. Di situlah pakaian Nawang Wulan disembunyikan Jaka Tarub, di dalam lumbung yang selalu penuh padi tersebut. Tak lama kemudian Nawang Wulan melahirkan Nawang Asih, anak mereka, seorang putri yang tak kalah cantik dengan ibunya.

Namun setelah beberapa lama hidup berumah tangga, timbullah kecurigaan-kecurigaan di dalam hati Jaka Tarub, yang tak habis pikir dengan keanehan-keanehan yang sering ia rasakan dalam hidup keseharian mereka. Terusiklah rasa ingin tahu Jaka Tarub. Setiap hari ia dan keluarganya selalu makan nasi, namun lumbung padi miliknya, selalu saja penuh, tidak pernah berkurang, seolah tak ada padi yang dipakai untuk mereka makan.

Suatu hari Nawang Wulan hendak pergi ke sungai. Ia minta suaminya supaya menjaga api tungku di dapur, dan berpesan, Kakang, aku sedang memasak nasi. Tolong jagakan apinya, aku hendak ke sungai. Tapi jangan dibuka tutup tutup periuk itu,” pinta Nawang Wu­lan.

Jaka Tarub melakukan pesan istrinya, namun rasa penasaran yang sudah dipendamnya sejak lama akhirnya membuatnya melanggar larangan yang sudah dipesankan. Dibukanya tutup periuk itu dan betapa terperanjatnya Jaka Tarub, karena di dalam periuk nasi itu ternyata hanya ada satu butir beras.

Rupanya selama ini Nawang Wulan hanya membutuhkan sebutir beras untuk memenuhi kebutuhan nasi mereka sekeluarga dalam sehari. Ketika Nawang Wulan pulang dan membuka tutup periuk, hanya ada sebutir beras di dalamnya. “Pan­tas padi di lumbung tak pernah habis. Rupa­nya istriku dapat memasak sebutir beras menjadi nasi satu periuk penuh,” gumam­nya.

Saat Nawang Wulan pulang, ia mem­buka tutup kukusan. Setangkai padi ma­sih tergolek di dalamnya. Tahulah ia bahwa suaminya telah membuka kukusan hingga hilanglah kesaktiannya. Marahlah Nawang Wulan karena suaminya telah melanggar larangannya, dan ia pun menjadi sedih karena sejak saat itu ia harus memasak nasi seperti manusia biasa. Ia harus bersusah payah menumbuk padi banyak- banyak menjadi beras, sebelum kemudian menanaknya menjadi nasi.

Akibatnya, karena dipakai terus menerus, lama kelamaan persediaan padi di lumbung Jaka Tarub semakin menyusut. Pelan tapi pasti, padi mereka semakin habis, sementara musim panen masih belum tiba. Ketika suatu hari Nawang Wulan kembali mengambil padi untuk ditumbuk, dilihatnya seonggok kain yang tersembul di balik tumpukan padi. 

Ketika ditarik dan diperhatikan, teringatlah Nawang Wulan kalau itu adalah pakaian bidadarinya. Tahulah ia bahwa suaminyalah yang me­­nyem­bu­nyi­kan selendang itu. “Rupanya selama ini Jaka Tarub yang menyembunyikan pakaianku. Dan karena isi lumbung terus berkurang pada akhirnya aku bisa menemukannya kembali. Ini pasti sudah menjadi kehendak Sang Dewata, mungkin inilah saatnya harus kembali ke khayangan,” pikirnya. Dengan se­ge­ra dipakainya selendang itu dan pergi menemui suaminya.
 
Ia menemui Jaka Tarub untuk berpamitan dan memintanya merawat anak mereka baik-baik. Jaka Tarub memohon dengan sangat agar istrinya tidak meninggalkannya, namun sudah suratan takdir bahwa Nawang Wulan harus kembali ke khayangan dan berpisah dengannya.

“Kakang, aku harus kembali ke kah­yangan. Jagalah Nawang Asih. Buatkan da­ngau di sekitar rumah. Setiap malam letak­­kan Nawang Asih di sana. Aku akan datang me­nyusuinya. Namun Kakang ja­nganlah mendekat,” kata Nawang Wulan,

“Kenanglah aku ketika melihat bulan. Aku akan menghiburmu dari atas sana,” kata Nawang Wulan. Ia pun kemudian terbang ke langit menuju khayangan, meninggalkan Jaka Tarub yang hanya bisa menangis menyesali kebodohannya.
 
Jaka Tarub menuruti pesan istrinya. Ia buat dangau di dekat rumahnya. Setiap malam ia memandangi anaknya ber­­­­main-main dengan ibunya. Setelah Na­wang A­sih tertidur, Nawang Wulan kem­bali ke kah­ya­ngan. Demikian hal itu ter­jadi berulang-ulang hingga Nawang Asih besar. Walaupun de­mikian, Jaka Tarub dan Nawang Asih me­­­­­­rasa, Na­wang Wulan selalu menjaga me­reka. Di saat ke­duanya mengalami ke­sulit­­an, ban­­tu­­an akan datang tiba-tiba. Ko­non itu ada­lah bantuan dari Nawang Wulan.  



Thursday, 10 February 2011

Legenda Gunung Batu Bangkai


Zaman dahulu di suatu tempat di Kalimantan Selatan, hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak lakinya yang bernama Andung Kuswara. Selain mencari kayu, Andung juga pandai mengobati penyakit.  Mereka hidup rukun dan saling menyayangi. Setiap hari mereka bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari. Setiap hari Andung mencari kayu bakar atau bambu untuk dijual, sedangkan ibunya mencari buah-buahan atau daun-daun untuk dimasak.

Suatu pagi Andung pergi ke hutan untuk mencari kayu. Tak terasa waktu sudah senja, Ia pun bergegas pulang. Pada saat dalam perjalanan pulang, Andung mendengar jeritan seseorang minta tolong.  Ternyata di dapatinya seorang kakek yang kakinya terjepit pohon.  Andung segera menolong si kakek dan mengobati lukanya. Orang tua itu berterima kasih dan memberikan sebuah benda sebagai tanda terima kasih.  Benda tersebut adalah sebuah kalung

Sesampai di rumah Andung bercerita kepada ibunya. Selesai bercerita, Ia menyerahkan kalung pemberian Kakek tua tadi. Ia ingin ibunya yang menyimpannya baik-baik. Sang ibu merasakan ada sesuatu yang beda dari kalung ini, dia begitu indah. Sang ibu kemudian menyimpan kalung itu di bawah tempat tidurnya.  

Hari berganti hari, Andung mulai merasakan tidak puas dengan yang didapatnya sekarang. Andung termenung dan bertanya pada Tuhan, "Tuhan, apakah kehidupanku akan seperti ini selamanya? Aku ingin hari depanku lebih baik dari hari ini. Tapi bagaimana caranya?". Selintas dibenaknya Ia berpikir, "Kenapa tidak aku merantau?! Dengan bekal ilmu pengobatan yang aku punya dari Ayah, pasti aku bisa berhasil!".

Karena terdorong ingin merubah nasibnya tersebut Andung membulatkan tekadnya ingin merantau.  Dengan berat hati ibunya mengijinkan Andung, anak semata wayangnya, pergi merantau.  Sebelum pergi, Ia mendapat pesan dari Umanya, "Andung, ingatlah Uma! Ingat kampung halaman dan tanah leluhur kita. Jangan pernah melupakan Tuhan yang Mahakuasa. Walau berat, Uma tak bisa melarangmu pergi. Jika takdir menghendaki, kita tentu akan berkumpul kembali". Tidak lupa ibunya memberikan kalung yang diberikan oleh bapak tua. 

Andung meneteskan air mata, Ia memeluk ibunya dan mencium tangannya. Andung berjanji Ia akan segera kembali jika sudah berhasil. Berbulan-bulan sudah Andung meninggalkan kampung halamannya. Ia banyak sekali melewati kampung dan negeri-negeri. Berbagai pengalaman pun telah Ia raih, dan ilmu pengobatan yang dimilikinya benar-benar bermanfaat bagi orang banyak.

Pada suatu hari, Andung bertemu dengan seorang petani yang penuh dengan bisul.  Karena kasihan, Andung berusaha untuk mengobati petani tersebut.  Dan, ternyata Andung berhasil.  Bapakk tua ini bercerita bahwa bukan Ia saja yang memiliki penyakit tersebut, namun hampir semua orang di Negeri Basiang sedang tertimpa malapetaka berupa penyakit kulit. Karena merasa hutang budi, maka Andung diajak bermalam dirumahnya. Petani tua itu pun menceritakan kepada orang-orang di desanya, kalau bisul-bisulnya sudah dapat disembuhkan oleh Andung. Semua penduduk kemudian menjumpai Andung, mohon untuk dapat disembuhkan juga. Andung melayani mereka dengan senang dan mereka semua telah diobati dan menjadi sembuh. Kemampuannya pun telah menyebar keseluruh negeri. Kabar tentang kemampuan Andung dalam mengobati menyebar ke seluruh negeri.

Sementara itu di kerajaan Basiang, sang raja sedang bermuram durja.  Sudah dua minggu putrinya tergolek tak berdaya.  Wajahnya pucat pasi dan tergolek tak berdaya.  Berita kepandaian Andung terdengar hingga ke kerajaan Basiang.  Andung diberi kesempatan untuk mengobati sang putri.  Beragam upaya dilakukan tapi tidak berhasil. Hati Andung tergerak untuk menggunakan hadiah kalung yang pernah di berikan oleh bapak tua di hutan.  Andung pun bersedia untuk mencoba, dan meminta maaf sebelumnya, jika Ia tidak berhasil menyembuhkan sang Puteri.

Puteri tergolek lemah tak berdaya. Mukanya pucat sekali dan bibirnya tertutup rapat, tapi wajahnya tetap memancarkan kecantikan. Andung melihat dan terpesona oleh kecantikannya. Ia pun mulai mengerahkan kemampuannya untuk membangunkan sang Puteri. Namun sayang Puteri tetap tidak bergerak. Hal itu membuatnya hampir putus asa. Seketika itu juga Ia teringat kalung pemberian sang Kakek dulu. Andung segera merendam kalung tersebut, dan air rendamannya diambil dan dibacakan doa, lalu dipercikkan ke mulut sang Puteri. Sesaat setelah itu Puteri pun terbangun. Matanya perlahan-lahan terbuka dan wajahnya segar kembali. Akhirnya Puteri bangkit dan duduk di pembaringan.

Semua penghuni istana sangat bergembira dan mereka merayakan kesembuhan sang Puteri. Paduka Raja sangat berterimakasih padanya. Atas jasanya, Paduka Raja memberikan Puterinya kepada Andung untuk dinikahi. Alangkah senangnya Andung! Pesta perkawinan digelar tujuh hari tujuh malam. Mereka pun larut dalam romantisme cinta mereka dan hidup bahagia, di kerajaan Basiang.

Beberapa bulan kemudian, Istri Andung pun mengandung. Ketika sang putri hamil, ia ingin makan buah kasturi yang hanya tumbuh di Pulau Kalimantan. Karena cintanya, Andung pun berlayarlah Ia beserta para hulubalang dan berburu buah kasturi hingga ke Pulau Kalimantan.

Tak disangka Pohon Kasturi yang telah ditemukannya berada tepat di depan rumahnya dahulu, di kawasan Loksado. Ibunya yang berada di dalam rumah mendengar ada keributan kecil di halaman. Ibu Andung kemudian berjalan dengan tertatih-tatih menengok keluar. Alangkah terkejutnya Andung, karena yang Ia lihat adalah Ibu kandungnya. Betapa malu Andung melihat ibunya yang sudah tua dan miskin.  Ia tidak mau mengakui ibunya.

Seraya berjalan, ibunya memanggil, "Andung... anakku.. Andung !!" suara serak ini terus memanggil dan mengejar rombongan Andung. Andung menoleh ke arah ibunya dan berkata dengan kasarnya, "Hai nenek tua, aku adalah Raja keturunan Bangsawan, aku tidak mengenalmu. Bagaimana mungkin engkau nenek renta dan dekil mengaku sebagai Ibuku!". Ia kemudian memalingkan muka dan pergi.


Sedihlah hati ibu Andung. Nenek tua itupun berdoa, "Ya Tuhan, tunjukkanlah kekuasaan dan keadilan-Mu". Dengan menangis dan dengan bibir yang bergetar, sang ibu berdoa mohon kekuatan, tiba tiba petir dan halilintar mulai menyambar membelah bumi, bagaikan alam sedang menampakkan kemarahan yang begitu dahsyat. Langit mendadak gelap gulita, badai bertiup kencang, hujan lebat pun merajalela.

Andung tersadar, dan dia berteriak, "Maafkan aku Ibuuuu ..!". Namun semuanya sudah terlambat. Seketika itu Andung berubah menjadi batu berbentuk bangkai manusia

Karena kemiripan tersebut, maka penduduk sekitar gunung itu menamainya dengan sebutan Gunung Batu Bangkai. Gunung Batu Bangkai dapat di jumpai di Kecamatan Loksadu, hulu sungai selatan Kalimantan Selatan.

Asal-usul Nama Kota Surabaya


Dahulu, di lautan luas sering terjadi perkelahian antara ikan hiu Sura dengan Buaya. Mereka berkelahi hanya karena berebut mangsa. Keduanya sama-sama kuat, sama-sama tangkas, sama-sama cerdik, sama-sama ganas, dan sama-sama rakus. Sudah berkali-kali mereka berkelahi belum pernah ada yang menang atau pun yang kalah. Akhimya mereka mengadakan kesepakatan.

“Aku bosan terus-menerus berkelahi, Buaya,” kata ikan Sura.

“Aku juga, Sura. Apa yang harus kita lakukan agar kita tidak lagi berkelahi?” tanya Buaya.

Ikan Hiu Sura yang sudah memiliki rencana untuk menghentikan perkelahiannya dengan Buaya segera menerangkan.

“Untuk mencegah perkelahian di antara kita, sebaiknya kita membagi daerah kekuasaan menjadi dua. Aku berkuasa sepenuhnya di dalam air dan harus mencari mangsa di dalam air, sedangkan kamu berkuasa di daratan dan mangsamu harus yang berada di daratan. Sebagai batas antara daratan dan air, kita tentukan batasnya, yaitu tempat yang dicapai oleh air laut pada waktu pasang surut!”

“Baik aku setujui gagasanmu itu!” kata Buaya.

Dengan adanya pembagian wilayah kekuasaan, maka tidak ada perkelahian lagi antara Sura dan Buaya. Keduanya telah sepakat untuk menghormati wilayah masing-masing.
Tetapi pada suatu hari, Ikan Hiu Sura mencari mangsa di sungai. Hal ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar Buaya tidak mengetahui. Mula-mula hal ini memarig tidak ketahuan. Tetapi pada suatu hari Buaya memergoki perbuatan Ikan Hiu Sura ini. Tentu saja Buaya sangat marah melihat Ikan Hiu Sura melanggar janjinya.

“Hai Sura, mengapa kamu melanggar peraturan yang telah kita sepakati berdua? Mengapa kamu berani memasuki sungai yang merupakan wilayah kekuasaanku?” tanya Buaya.

Ikan Hiu Sura yang tak merasa bersalah tenang-tenang saja. “Aku melanggar kesepakatan? Bukankah sungai ini berair. Bukankah aku sudah bilang bahwa aku adalah penguasa di air? Nah, sungai ini ‘kan ada airnya, jadi juga termasuk daerah kekuasaanku,” kata Ikan Hiu Sura.

“Apa? Sungai itu ‘khan tempatnya di darat, sedangkan daerah kekuasaanmu ada di laut, berarti sungai itu adalah daerah kekuasaanku!” Buaya ngotot.

“Tidak bisa. Aku “kan tidak pernah bilang kalau di air hanya air laut, tetapi juga air sungai,” jawab Ikan Hiu Sura.

“Kau sengaja mencari gara-gara, Sura?”

“Tidak! Kukira alasanku cukup kuat dan aku memang di pihak yang benar!” kata Sura.

“Kau sengaja mengakaliku. Aku tidak sebodoh yang kau kira!” kata Buaya mulai marah.

“Aku tak peduli kau bodoh atau pintar, yang penting air sungai dan air laut adalah kekuasaanku!” Sura tetap tak mau kalah.

“Kalau begitu kamu memang bermaksud membohongiku ? Dengan demikian perjanjian kita batal! Siapa yang memiliki kekuatan yang paling hebat, dialah yang akan menjadi penguasa tunggal!” kata Buaya.

“Berkelahi lagi, siapa takuuut!” tantang Sura dengan pongahnya.

Pertarungan sengit antara Ikan Hiu Sura dan Buaya terjadi lagi. Pertarungan kali ini semakin seru dan dahsyat. Saling menerjang dan menerkam, saling menggigit dan memukul. Dalam waktu sekejap, air di sekitarnya menjadi merah oleh darah yang keluar dari luka-luka kedua binatang itu.  Darah mereka juga memercik kemana-mana, tidak terkecuali ke jembatan yang melintasi sungai tempat mereka berkelahi. Itulah sebabnya jembatan di atas sungai tersebut dinamakan Jembatan Merah.
 
Mereka terus bertarung mati-matian tanpa istirahat sama sekali. Dalam pertarungan dahsyat ini, Buaya mendapat gigitan Ikan Hiu Sura di pangkal ekornya sebelah kanan. Selanjutnya, ekornya itu terpaksa selalu membelok ke kiri. Sementara ikan Sura juga tergigiut ekornya hingga hampir putus lalu ikan Sura kembali ke lautan. Buaya puas telah dapat mempertahankan daerahnya.

Pertarungan antara Ikan Hiu yang bernama Sura dengan Buaya ini sangat berkesan di hati masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, nama Surabaya selalu dikait-kaitkan dengan peristiwa ini. Dari peristiwa inilah kemudian dibuat lambang Kota Madya Surabaya yaitu gambar ikan sura dan buaya.

Batu Menangis


Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah seorang janda tua dengan seorang putrinya yang cantik jelita bernama Darmi. Bagaikan bulan yang elok, tubuh laksana pualam, rumput terurai seperti mayang… itulah umpama yang pantas untuk, Darmi, si gadis cantik yang tinggal bersama ibunya yang sederhana di sebuah desa terpencil itu. Semua orang akan mengakui kecantikannya saat memandang gadis itu. Tak henti-hentinya ia merias dirinya. Cermin di dinding rumahnya tak jemu meski gadis nan elok itu terus memandanginya.

Namun karena terbius kecantikan itulah si gadis ini jadi angkuh dan malas. Ia tak sadar bahwa keelokan yang dikaruniakan Tuhan itu adalah berkah yang harus disyukuri dengan kerendahan hati.Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terletak di ujung desa.

Sejak ayah Darmi meninggal, kehidupan mereka menjadi susah. Ayah Darmi tidak meninggalkan harta warisan sedikit pun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ibu Darmi bekerja di sawah atau ladang orang lain sebagai buruh upahan.

Sementara putrinya, Darmi, seorang gadis yang manja. Apapun yang dimintanya harus dikabulkan. Selain manja, ia juga seorang gadis yang malas. Kerjanya hanya bersolek dan mengagumi kecantikannya di depan cermin.

Setiap sore ia selalu hilir-mudik di kampungnya tanpa tujuan yang jelas, kecuali hanya untuk mempertontonkan kecantikannya. Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah, ia selalu menolak.

”Nak! Ayo bantu Ibu bekerja di sawah,” ajak sang Ibu.

”Tidak, Bu! Aku tidak mau pergi ke sawah. Nanti kuku dan kulitku kotor terkena lumpur,” jawab Darmi menolak.

”Apakah kamu tidak kasihan melihat Ibu, Nak?” tanya sang Ibu mengiba.

”Tidak! Ibu saja yang sudah tua bekerja di sawah, karena tidak mungkin lagi ada laki-laki yang tertarik pada wajah Ibu yang sudah keriput itu,” jawab Darmi dengan ketus.

Mendegar jawaban anaknya itu, sang Ibu tidak dapat berkata-kata lagi. Dengan perasaan sedih, ia pun berangkat ke sawah untuk bekerja. Sementara si Darmi tetap saja tinggal di gubuk, terus bersolek untuk mempecantik dirinya. Setelah ibunya pulang dari sawah, Darmi meminta uang upah yang diperoleh Ibunya untuk dibelikan alat-alat kecantikan.

”Bu! Mana uang upahnya itu!” seru Darmi kepada Ibunya.

”Jangan, Nak! Uang ini untuk membeli kebutuhan hidup kita hari ini,” ujar sang Ibu.

”Tapi, Bu! Bedakku sudah habis. Saya harus beli yang baru,” kata Darmi.

”Kamu memang anak tidak tahu diri! Tahunya menghabiskan uang, tapi tidak mau bekerja,” kata sang Ibu kesal.

Meskipun marah, sang Ibu tetap memberikan uang itu kepada Darmi. Keesokan harinya, ketika ibunya pulang dari bekerja, si Darmi meminta lagi uang upah yang diperoleh ibunya untuk membeli alat kecantikannya yang lain. Keadaan demikian terjadi hampir setiap hari.

Ibu gadis ini adalah ibu yang lembut, baik hati dan bijak. Ia dengan sabar menemani gadis ini. Ia hanya berharap suatu ketika anak gadisnya menyadari betapa keelokan parasnya tak ada guna apabila hatinya angkuh. Makin sedih juga sang ibu melihat anaknya yang cantik itu juga pemalas, dan kemauannya harus selalu dituruti meskipun kadang tidak masuk akal. Tetapi sang ibu terus berusaha menuruti apa yang dikehendaki anak gadisnya itu.

Di dalam hatinya ia berdoa, semoga Tuhan menolong dia menyadarkan anak gadisnya itu. Ibu itu tak punya daya untuk mengubahnya.Pada suatu hari, ketika ibunya hendak ke pasar, Darmi berpesan agar dibelikan sebuah alat kecantikan. Tapi, ibunya tidak tahu alat kecantikan yang dia maksud. Kemudian ibunya mengajaknya ikut ke pasar.

”Kalau begitu, ayo temani Ibu ke pasar!” ajak Ibunya.

”Aku tidak mau pergi ke pasar bersama Ibu!” jawab Darmi menolak ajakan Ibunya.

”Tapi, Ibu tidak tahu alat kecantikan yang kamu maksud itu, Nak!” seru Ibunya.

Namun setelah didesak, Darmi pun bersedia menemani Ibunya ke pasar.

”Aku mau ikut Ibu ke pasar, tapi dengan syarat Ibu harus berjalan di belakangku,” kata Darmi kepada Ibunya.

”Memang kenapa, Nak!” tanya Ibunya penasaran.

”Aku malu kepada orang-orang kampung jika berjalan berdampingan dengan Ibu,” jawab Darmi.

”Kenapa harus malu, Nak? Bukankah aku ini Ibu kandungmu?” tanya sang Ibu.

”Ibu seharusnya berkaca. Lihat wajah Ibu yang sudah keriput dan pakaian ibu sangat kotor itu! Aku malu punya Ibu berantakan seperti itu!” seru Darmi dengan nada merendahkan Ibunya.

Walaupun sedih, sang Ibu pun menuruti permintaan putrinya. Setelah itu, berangkatlah mereka ke pasar secara beriringan. Si Darmi berjalan di depan, sedangkan Ibunya mengikuti dari berlakang dengan membawa keranjang. Meskipun keduanya ibu dan anak, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda. Seolah-olah mereka bukan keluarga yang sama. Sang Anak terlihat cantik dengan pakaian yang bagus, sedangkan sang Ibu kelihatan sangat tua dengan pakaian yang sangat kotor dan penuh tambalan.

Di tengah perjalanan, Darmi bertemu dengan temannya yang tinggal di kampung lain.

”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya temannya itu.

”Ke pasar!” jawab Darmi dengan pelan.

”Lalu, siapa orang di belakangmu itu? Apakah dia ibumu?” tanya lagi temannya sambil menunjuk orang tua yang membawa keranjang.

”Tentu saja bukan ibuku! Dia adalah pembantuku,” jawab Darmi dengan nada sinis.

Laksana disambar petir orang tua itu mendengar ucapan putrinya. Tapi dia hanya terdiam sambil menahan rasa sedih. Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju ke pasar. Tidak berapa lama berjalan, mereka bertemu lagi dengan seseorang.

”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya orang itu.

”Hendak ke pasar,” jawab Darmi singkat.

”Siapa yang di belakangmu itu?” tanya lagi orang itu.

”Dia pembantuku,” jawab Darmi mulai kesal dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

Jawaban yang dilontarkan Darmi itu membuat hati ibunya semakin sedih. Tapi, sang Ibu masih kuat menahan rasa sedihnya. Begitulah yang terjadi terus-menerus selama dalam perjalanan menuju ke pasar. Akhirnya, sang Ibu berhenti, lalu duduk di pinggir jalan.

”Bu! Kenapa berhenti?” tanya Darmi heran.

Beberapa kali Darmi bertanya, namun sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian, Darmi melihat mulut ibunya komat-komit sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.

”Hei, Ibu sedang apa?” tanya Darmi dengan nada membentak.

Sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaan anaknya. Ia tetap berdoa kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka itu.

”Ya, Tuhan! Ampunilah hambamu yang lemah ini. Hamba sudah tidak sanggup lagi menghadapi sikap anak hamba yang durhaka ini. Berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!” doa sang Ibu.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras pun turun. Pelan-pelan, kaki Darmi berubah menjadi batu. Darmi pun mulai panik.

”Ibu...! Ibu... ! Apa yang terjadi dengan kakiku, Bu?” tanya Darmi sambil berteriak.

”Maafkan Darmi! Maafkan Darmi, Bu! Darmi tidak akan mengulanginya lagi, Bu!” seru Darmi semakin panik.

Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak dapat lagi dihindari. Perlahan-lahan, seluruh tubuh Darmi berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki, badan, hingga ke kepala. Gadis durhaka itu hanya bisa menangis dan menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah menjadi batu, sang Ibu masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya.

Semua orang yang lewat di tempat itu juga ikut menyaksikan peristiwa itu. Tidak berapa lama, cuaca pun kembali terang seperti sedia kala. Seluruh tubuh Darmi telah menjelma menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan bersandar ke tebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu mereka beri nama Batu Menangis. Batu itu masih tetap dipelihara dengan baik, sehingga masih dapat kita saksikan hingga sekarang.

Tuesday, 1 February 2011

Serkah

Pada suatu masa, hiduplah Pak Serkah dan keluarganya. Pak Serkah hanya bekerja sebagai pedagang keliling. Hidupnya serba kecukupan. Dia mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Nana. Barang-barang yang dijualnya ada ember, gayung, tempat minum, tempat makan, dan lain-lain. Semua barang dagangannya itu dimasukkan-nya kedalam sebuah gerobak tua pemberian Kakeknya yang sudah meninggal. Itulah hadiah terakhir Pak Serkah dari Kakeknya.

Pada suatu hari, seperti biasa, Pak Serkah berkeliling menjual dagangannya. Namun, apa yang terjadi? Dagangan Pak Serkah tidak laku sama sekali. Pak Serkah duduk di taman kota sambil termenung. “Oh… sungguh malang nasibku ini…”, gumam Pak Serkah dalam hati.

Tiba-tiba seorang Kakek tua yang berwajah mirip sekali dengan Kakek Pak Serkah datang. Dia berpakaian kumal, penuh tambalan, dan membawa sebuah topi berisi beberapa keping uang receh. Ternyata dia adalah seorang pengemis.

“Maaf, Pak, jujur, saya ingin membantu. Tapi dagangan saya hari ini tidak laku sama sekali. Jadi, saya tidak memiliki uang…”, kata Pak Serkah. “Oh… terima kasih,”, kata Pengemis itu, lalu berbalik arah. “Tunggu dulu, Kek! Tapi Kakek boleh mengambil salah satu dari barang saya ini. Saya ikhlas, kok!”, ujar Pak Serkah.

Kakek Pengemis itu lalu berbalik arah lagi, lalu mengambil salah satu barang dari gerobak Pak Serkah. “Terima kasih, Nak! Semoga Allah memberimu balasan yang lebih besar. Tapi ingat, setelah kau menjadi kaya, sisihkanlah sebagian uangmu dan gunakanlah untuk beramal,”, kata Pengemis itu.

Pengemis itu pun pergi. Tak berapa lama setelah Pengemis itu pergi, sebuah bus berhenti di situ. Semua penumpang turun dan mengerubungi Pak Serkah. Ada yang membeli ember, gayung, topi, dan lain-lain. Semuanya laku terjual. Bahkan tempat minum bocor pun laku.

Pak Serkah melongo. “Bagaimana ini bisa terjadi?”, gumam Pak Serkah bingung. Sudahlah… ini kan rejeki, rejeki patut disyukuri… Pak Serkah menenangkan diri.

Saat Pak Serkah menengok ke gerobaknya, Pak Serkah melihat tempat makannya dan topi yang robek pun laku terbeli. Pak Serkah mulai sadar, kalau segala barang yang dimasukkannya ke dalam gerobak itu pasti akan laku terjual.

Pak Serkah lalu pulang ke rumahnya dengan wajah yang berseri-seri. “Kenapa Bapak terlihat begitu bahagia, Pak?”, tegur Nana. “Mungkin semua dagangannya laku terjual,”, kata Bu Tiauw, istri Pak Serkah. “Benarkah, Bapak?”, Tanya Nana. Pak Serkah mengangguk. 

Keesokan harinya, Pak Serkah mulai memasukkan barang dagangannya ke dalam gerobak kesayangannya itu. Dan…. seperti kemarin, semua barang yang ditaruh di situ laku semua!
“Alhamdulillah…”, gumam Pak Serkah bangga. 

Semakin lama, Pak Serkah menjadi kaya. Rumah nya yang terbuat dari gedek’ (anyaman), sekarang sudah dibangun menjadi dinding dari beton, dia sekarang sudah memiliki sawah yang berhektar-hektar luasnya, kebunnya sangatlah luas, dan dia juga sudah memiliki kios tersendiri. Semua barang dagangannya ditaruh di gerobak ajaibnya, supaya cepat laku. Semakin lama, Pak Serkah memang menjadi kaya. 

Namun, semakin lama, Pak Serkah membagi uangnya menjadi tiga bagian. Satu itu keperluan keluarga, satu untuk membeli barang dagangan, dan satu untuk beramal. Pak Serkah semakin lama berpikir kalau semuanya itu adalah kenikmatan yang patut disyukuri.

Tapi, Pak Serkah malah tidak begitu mensyukurinya. Uang yang disisihkannya untuk beramal kini semakin menipis, bahkan sekarang tidak ada lagi beramal. Dia hanya membagi uangnya menjadi dua. Satu untuk keluarga, dan satunya lagi untuk membeli barang.

Pak Serkah merasa ingin membeli traktor untuk sawahnya, lalu ingin membangun kolam ikan di kebun yang harganya mahal, membuat peternakan, dan bahkan, Pak Serkah ingin membeli sawah lagi!

“Pak… kenapa Bapak sekarang tidak pernah beramal lagi?”, tegur Nana suatu saat, saat mereka makan malam bersama. “Eeee…. Mmm…. sebenarnya Bapak juga ingin memberi mereka sedekah, Nak. Bapak jujur….”, kata Pak Serkah. “Kalau begitu, kenapa sekarang Bapak tidak menyisihkan uang untuk beramal lagi?”, Tanya Bu Tiauw.

“Begini, Bu, semakin lama kebutuhan kita semakin banyak saja. Kalau saja kebutuhan kita tidak sebanyak ini, Bapak pasti akan bersedekah.”, Pak Serkah memberi alasan. “Ah, itu cuma alasanmu saja, Pak. Pokoknya, aku ingin kita bersedekah.”, kata Bu Tiauw. “Jangan memaksa, Bu…”, kata Pak Serkah. “Bapak, kalau Bapak tidak mau beramal, nanti, di akhirat nanti, Bapak pasti akan dihukum oleh Allah SWT.”, kata Nana.

“Kalian berdua sama saja. Pokoknya aku nggak mau. Aku merasa sekarang kebutuhan kita semakin bertambah, jadi, uang yang kita butuhkan semakin banyak juga,”, kata Pak Serkah. “Bapak ngomongnya kok diulang-ulang terus, sih? Kayak kaset rusak aja, deh!”, ledek Nana. “Gggrrrhhh….. kamu ini anak kecil kok!!!”, marah Pak Serkah. 

Pak Serkah tidak peduli dengan apa yang dikatakan Bu Tiauw dan Nana, akhirnya, Pak Serkah tidak mau beramal. Tidak mau beramal meski hanya sedikit.
Namun, disamping itu, Bu Tiauw dan Nana selalu beramal dan berinfaq. Diam-diam, kadang, Bu Tiauw mengambil sebagian uang Pak Serkah untuk diinfaqkan. Bu Tiauw dan Nana memang berhati mulia.

Pada suatu hari, saat Pak Serkah melihat dompetnya, Pak Serkah kebingungan, uang sebesar Rp. 200.000,00 nya hilang. Pak Serkah tidak tahu kalau Bu Tiauw mengambilnya.

“Bu, tadi ada pencuri yang mengubek-ubek dompetku, nggak?”, Tanya Pak Serkah pada Bu Tiauw. “Nggak ada, kok! Tapi cuma aku dan Nana yang masuk. Dan kami berdua pastinya bukan pencuri, kan?”, jawab Bu Tiauw, pura-pura tidak tahu.

“Ya Allah…. apakah ini hukumanmu bagi hambamu yang kurang bertaqwa ini?”, gumam Pak Serkah dalam hati. Mulai dari hari itu juga, Pak Serkah rajin beramal dan berinfaq lagi. Uangnya dibagi menjadi tiga bagian lagi.

“Bu, apakah Bapak sudah insyaf?”, Tanya Nana suatu saat. “Bukannya insaf Nana… Tapi Bapak-mu itu sudah menyadari kesalahannya. Jadi, dia berusaha menghapus kesalahannya itu,”, jelas Bu Tiauw. “Oh…”, kata Nana mengerti.

Tiba-tiba Pak Serkah datang. “Bu… semua amalan sudah saya berikan. Saya sudah meminta maaf kepada Allah yang maha esa. Sekarang, tidak ada lagi pencuri yang mengambil uangku. Mungkin Allah sudah mau mengampuniku,”, kata Pak Serkah. “Pak… sebenarnya ini rahsia. Tapi yang namanya keluarga tidak boleh ada rahasia-rahasiaan.”, kata Bu Tiauw. “Ok!” “Tidak ada pencuri yang datang. Semuanya aman. Akulah yang mengambilnya untuk beramal. Tapi maaf kalau aku tidak bilang,”, jelas Bu Tiauw. Hahaha… Mereka bertiga pun tertawa terbahak-bahak. 

“Aku tidak akan sombong lagi, dan kau juga tidak boleh mengambil uang orang tanpa ijin ya, Bu…”, kata Pak Serkah. “Aku senang Bapak menjadi orang yang baik lagi, Pak…”, kata Bu Tiauw.

Perlu diketahui, orang yang pelit akan mempersempit rejekinya. Dan suka beramal bukan membuat orang yang beramal menjadi miskin. Akan tetapi, di akhirat nanti, Allah pasti akan membalas kebaikan dengan kebaikan. Dan begitu pula sebaliknya.