Di Sangkanherang, dekat Jalaksana sebelum tahun 1914 ditemukan beberapa patung kecil terbuat dari kuningan. Paling tidak sampai tahun 1950-an barang-barang yang terbuat dari bahan logam kuningan itu sangat disukai oleh masyarakat elit (menak) di daerah Kuningan. Barang-barang yang dimaksud berbentuk alat perkakas rumah tangga dan barang hiasan di dalam rumah. Benda-benda dari bahan kuningan itu juga disukai pula oleh sejumlah masyarakat Sunda, Jawa, Melayu, dan beberapa kelompok masyarakat di Nusantara umumnya.
Di daerah Ciamis dan Kuningan
sendiri terdapat cerita legenda yang bertalian dengan bokor (tempat
menyimpan sesuatu di dalam rumah dan sekaligus sebagai barang
perhiasan) yang terbuat dari logam kuningan[. Kedua cerita legenda dimaksud menuturkan tentang sebuah bokor kuningan yang dijadikan alat untuk menguji tingkat keilmuan seorang tokoh agama.
Di Ciamis - dalam cerita Ciung Wanara - bokor itu digunakan untuk menguji seorang pendeta Galuh (masa pra-Islam)
bernama Ajar Sukaresi yang bertapa di Gunung Padang. Pendeta ini
diminta oleh Raja Galuh yang ibukota kerajaannya berkedudukan di Bojong
Galuh (desa Karangkamulya) sekarang yang terletak sekitar 12 km sebelah
timur kota Ciamis,
untuk menaksir perut istrinya yang buncit, apakah sedang hamil atau
tidak. Kesalahan menaksir akan berakibat pendeta itu kehilangan
nyawanya.
Sesungguhnya buncitnya perut putri tersebut merupakan
akal-akalan Sang Raja, dengan memasangkanbokor kuningan pada perut sang
putri yang kemudian ditutupi dengan kain sehingga tampak seperti sedang
hamil. Perbuatan tersebut dilakukan semata-mata untuk mengelabui dan
mencelakakan Sang Pendeta saja.
Pendeta Ajar Sukaresi yang sudah mengetahui akal busuk Sang Raja
tetap tenang dalam menebak teka-teki yang diberikan oleh Sang Raja,
Sang Pendeta pun berkata bahwa memang perut Sang Putri tersebut sedang
hamil. Sang Raja pun merasa gembira mendengar jawaban dari Pendeta
tersebut,karena beliau berpikir akal busuknya untuk mengelabui Sang
Pendeta berhasil. Sang Raja dengan besar kepala berkatabahwa tebakan
Sang Pendeta salah, dan kemudian memerintahkan kepada prajuritnya agar
pendeta tersebut dibawa ke penjara dan segera Sang Raja mengeluarkan
perintah agar pendeta tersebut di hukum mati.
Teryata tak berapa lama kemudian diketahui bahwa Sang Puteri
tersebut benar-benar hamil. Muka Raja tersebut merah padam,hal ini tak
mungkin terjadi pikirnya. Dengan gelap mata Sang Raja tersebut marah
dan menendang bokor kuningan, kuali dan penjara besi yang berada di
dekatnya. Bokor, kuali dan penjara besi itu jatuh di tempat yang
berbeda.
Daerah tempat jatuhnya bokor kuningan, kemudian diberi nama Kuningan
yang terus berlaku sampai sekarang. Daerah tempat jatuhnya kuali
(bahasa Sunda: kawali) dinamai Kawali (sekarang kota kecamatan yang
termasuk ke dalam daerah Kabupaten Ciamis dan terletak antara Kuningan dan Ciamis,
sekitar 65 km sebelah selatan kota Kuningan), dan daerah tempat
jatuhnya penjara besi dinamai Kandangwesi (kandangwesi merupakan
kosakata bahasa Sunda yang artinya penjara besi) terletak di daerah Garut Selatan.
Dalam Babad Cirebon dan tradisi Lisan Legenda Kuningan bokor kuningan itu digunakan untuk menguji tokoh ulama Islam
(wali) bernama Sunan Gunung Jati. Jalan ceritanya kurang lebih sama
dengan cerita Ciung Wanara, hanya di dalamnya terdapat beberapa hal
yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud terletak pada waktu dan tempat
terjadinya peristiwa, tujuan dan akibat pengujian itu, dan tidak ada
peristiwa penendangan bokor. Jika cerita Ciung Wanara menuturkan
gambaran zaman kerajaan Galuh yang sepenuhnya bersifat kehinduan atau
masa pra-Islam, maka Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan mengisahkan tuturan pada zaman peralihan dari masa Hindu menuju masa Islam atau pada masa proses Islamisasi.
Dengan demikian, isi cerita Ciung Wanara lebih tua daripada isi Babad Cirebon atau tradisi lisan Legenda Kuningan. Cerita Ciung Wanara mengungkapakan tempat peristiwanya di Bojong Galuh, sedangkan Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan mengemukakan bahwa peristiwanya terjadi di Luragung (kota kecamatan yang terletak 19 km sebelah timur Kuningan).
Tidak seperti dalam cerita Ciung Wanara, penaksiran kehamilan Puteri
dilatarbelakangi oleh tujuan mencelakakan pendeta Ajar Sukaresi dan
berakibat pendeta tersebut dihukum mati, dalam Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan
penaksiran kehamilan tersebut dimaksudkan untuk menguji keluhuran ilmu
Sunan Gunung Jati semata-mata dan berdampak mempertinggi kedudukan
keulamaan wali tersebut.
Anak yang dilahirkannya adalah seorang bayi
laki-laki yang kemudian dipelihara dan dibesarkan oleh Ki Gedeng
Luragung, penguasa daerah Luragung. Selajutnya Sunan Gunung Jati
menjadi Sultan di Cirebon. Setelah dewasa bayi itu diangkat oleh Sunan Gunung Jati menjadi pemimpin atau kepala daerah Kuningan dengan nama Sang Adipati Kuningan.
Jadi, dari nama jenis logam bahan pembuatan bokor itulah daerah ini dinamakan daerah Kuningan. Itulah sebabnya, bokor kuningan dijadikan sebagai salah satu lambang daerah Kabupaten Kuningan. Lambang lain daerah ini adalah kuda yang berasal dari kuda samberani milik Dipati Ewangga, seorang Panglima perang Kuningan.
Menurut tradisi lisan Lagenda Kuningan yang lain, sebelum bernama Kuningan nama daerah ini adalah Kajene. Kajene katanya mengandung arti warna kuning (jene dalam bahasa Jawa berarti kuning). Secara umum warna kuning melambangkan keagungan dalam masyarakat Nusantara. Berdasarkan bahan bokor kuningan dan warna kuning itulah, kemudian pada masa awal Islamisasi daerah ini dinami Kuningan. Namun keotentikan Kajene sebaga nama pertama daerah ini patut diragukan, karena menurut naskah Carita Parahyangan sumber tertulis yang disusun di daerah Ciamis pada akhir abad ke-16 Masehi, Kuningan
sebagai nama daerah (kerajaan) telah dikenal sejak awal kerajaan Galuh,
yakni sejak akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi. Sementara itu,
wilayah kerajaan Kuningan terletak di daerah Kabupaten Kuningan sekarang.
Adalagi menurut cerita mitologi daerah setempat yang mengemukakan bahwa nama daerah Kuningan
itu diambil dari ungkapan dangiang kuning, yaitu nama ilmu
kegaiban(ajian) yang bertalian dengan kebenaran hakiki. Ilmu ini
dimiliki oleh Demunawan, salah seorang yang pernah menjadi penguasa
(raja) di daerah ini pada masa awal kerajaan Galuh.
Dalam tradisi agama Hindu terdapat sistem kalender yang enggambarkan siklus waktu upacara keagamaan seperti yang masih dipakai oleh umat Hindu-Bali sekarang. Kuningan
menjadi nama waktu (wuku) ke 12 dari sistem kalender tersebut. Pada
periode wuku Kuningan selalu daiadakan upacara keagamaan sebagai hari
raya. Mungkinkah, nama wuku Kuningan mengilhami atau mendorong
pemberian nama bagi daerah ini?
Yang jelas, menurut Carita Parahyangan dan Fragmen Carita
Parahyangan, dua naskah yang ditulis sezaman pada daun lontar beraksara
dan berbahasa Sunda Kuna, pada abad ke-8 Masehi, Kuningan sudah disebut sebagai nama kerajaan yang terletak tidak jauh dari kerajaan Galuh (Ciamis sekarang) dan kerajaan Galunggung (Tasikmalaya sekarang). Lokasi kerajaan tersebut terletak di daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Kuningan.
No comments:
Post a Comment