Amiodaron adalah antiaritmia kelas 3 yang memiliki sifat farmakokinetik dan dinamik yang unik. Obat ini banyak digunakan
dan efektif sebagai terapi akut maupun jangka panjang, pada penatalaksanaan aritmia, baik
aritmia ventrikuler, takikardi supraventrikuler maupun fibrilasi atrial.
Amiodaron merupakan senyawa benzofuran, yang strukturnya sangat mirip dengan hormon tiroid. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila pada pemakaian obat ini, didapatkan pula efek terhadap organ tiroid.
Efek yang ditimbulkan terhadap tiroid berupa kelainan disfungsi klinis, baik tirotoksikosis maupun hipotiroidisme, yang terjadi akibat kandungan iodium yang tinggi dalam amiodaron maupun efek toksik obat secara langsung terhadap kelenjar tiroid.
Disfungsi ini terjadi pada kondisi fungsi kelenjar yang normal maupun pada mereka yang memiliki penyakit tiroid sebelumnya.
Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Amiodaron memiliki bioavailabilitas yang sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 22 hingga 95%. Absorpsinya meningkat bila diminum bersamaan dengan makanan. Bahkan bila diminum bersamaan dengan buah jeruk besar (grapefruit) ataupun bentuk jus-nya dapat menghambat metabolisme amiodaron dan menyebabkan peningkatan konsentrasi amiodarone dalam darah.
Karena bersifat larut dalam lemak maka amiodaron ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi di jaringan lemak dan otot, hati, paru dan kulit. Amiodaron juga dapat menembus sawar plasenta dan ditemukan pada air susu ibu. Waktu paruh amiodaron sangat panjang, rata-rata 58 hari.
Secara elektrofisiologis, amiodaron menyebabkan pemanjangan interval QT, melambatkan laju jantung dan konduksi AV node dengan menghambat kanal kalsium dan reseptor beta, lalu dengan menginhibisi kanal kalium dan natrium menyebabkan pemanjangan masa refrakter dan perlambatan konduksi intrakardiak.
Pemberian amiodaron secara intravena harus memperhatikan zat pelarut yang terkandung dalam preparat obat tersebut. Obat ini memakai pelarut yang mengandung polysorbate 80 dan benzyl alkohol. Kedua zat kimia itu diperlukan, karena amiodaron tidak larut dalam air, tetapi keduanya juga diketahui dapat menyebabkan efek inotropik negatif dan hipotensi. Oleh karena itu pemberian secara intravena harus dilakukan secara perlahan agar tidak terjadi hipotensi mendadak. Saat ini sudah tersedia bentuk amodaron intravena yang larut dalam air dan tidak mengandung zat-zat vasoaktif, sehingga pemberian secara cepat tidak menjadi masalah.
Indikasi
Efek Samping
Efek samping yang paling serius adalah keracunan paru, eksaserbasi aritmia dan injuri pada hepar. Umumnya efek samping akan kembali normal dengan penghentian terapi amiodaron. Kebanyakan efek samping terjadi pada pemakaian lebih dari 6 bulan.
Insidens neuropati optik, yaitu efek samping paling serius di mata, berkisar antara 0.36 hingga 2%. Neuropati optik akibat amiodaron terjadi secara perlahan menimbulkan kehilangan penglihatan bilateral dan edema diskus.
Insidens Amiodarone-induced pulmonary toxicity (AIPT), berupa pneumonitis akut dan fibrosis kronis yang bisa mengancam jiwa. Insidens dapat meningkat 10 - 30 lipat pada pemberian 500mg dibanding 200mg per hari. Mekanisme AIPT adalah kerusakan jaringan paru akibat akumulasi fosfolipid. AIPT dapat sembuh bila terdiagnosis dini. AIPT ditandai dengan batuk nonproduktif yang progresif, dispnoe, penurunan berat badan dan mungkin demam.
Amiodarone-induced hypothyroidism lebih sering terjadi di daerah yang cukup asupan yodium-nya dibanding daerah dengan defisiensi yodium. Lebih sering terjadi pada wanita dan orang tua. Manifestasi klinisnya berupa fatig, letargi, bradikardi, dispnu, intoleransi dingin, kulit kering, berat badan naik, konstipasi dan nafsu makan berkurang.
Berbeda dengan hipotiroid, Amiodarone-induced thyrotoxicosis (AIT) lebih sering terjadi di daerah dengan defisiensi yodium dan terutama terjadi pada pria (3:1). AIT ditandai dengan peningkatan signifikan T4 dan/atau T3 serum. Jika AIT terjadi pada pasien dengan disfungsi tiroid sebelumnya maka disebut AIT tipe I, sedangkan tipe II terjadi pada pasien tanpa disfungsi tiroid sebelumnya. Manifestasi klinis AIT berupa palpitasi, SVT, BB turun, berkeringat, kelemahan otot, tremor, insomnia dan mood swings.
Pada AIT tipe I, kadar interleukin-6 serum normal atau sedikit meningkat, uptake iodine radioaktif 24 jam oleh kelenjar tiroid normal atau meningkat dan terdapat peningkaan vaskularisasi. Pada tipe II, kadar interleukin-6 serum meningkat signifikan, dengan uptake iodine radioaktif yang rendah dan vaskularisasi normal.
Interaksi Obat
Pemberian obat-obat yang dapat menimbulkan hipokalemia dan/atau hipomagnesemia harus dihindari karena dapat meingkatkan risiko aritmia ventrikel.
Amiodaron dapat meningkatkan efek warfarin dengan cara inhibisi CYP450 2C9 yang berfungsi untuk metabolisme S-warfarin di hepar. Keadaan yang serupa akan terjadi juga pada antikoagulan oral yang lain sehingga dapat menimbulkan hipoprotrombinemia dan perdarahan. Peningkatan efek antikoagulan terjadi setelah pemberian amiodaron satu minggu atau lebih dan bertahan beberapa bulan setelah amiodaron dihentikan.
Penggunaan bersama amiodarone dengan simvastatin dan lovastatin dosis tinggi dapat meningkatkan risiko myopati. Mekanismenya adalah hambatan CYP450 3A4 di interstinal dan hepar yang menyebabkan bioavalibititi dan menurunkan klirens simvastatin. Resiko miopati ini meningkat pada dosis statin yang lebih tinggi.
Pemberian amiodaron bersama digoksin akan meningkatkan kadar digoksin serum hingga 100% sehingga menyebabkan intoksikasi. Peningkatan ini lebih tinggi lagi pada anak-anak. Amiodaron diduga meningkatkan waktu transit intestinal, menurunkan klirens renal dan distribusi volume, mengubah ikatan protein digoksin, dan induksi hipotiroid ; semuanya itu berkontribusi pada peninghkatan kadar digoksin serum.
Amiodaron merupakan senyawa benzofuran, yang strukturnya sangat mirip dengan hormon tiroid. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila pada pemakaian obat ini, didapatkan pula efek terhadap organ tiroid.
Efek yang ditimbulkan terhadap tiroid berupa kelainan disfungsi klinis, baik tirotoksikosis maupun hipotiroidisme, yang terjadi akibat kandungan iodium yang tinggi dalam amiodaron maupun efek toksik obat secara langsung terhadap kelenjar tiroid.
Disfungsi ini terjadi pada kondisi fungsi kelenjar yang normal maupun pada mereka yang memiliki penyakit tiroid sebelumnya.
Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Amiodaron memiliki bioavailabilitas yang sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 22 hingga 95%. Absorpsinya meningkat bila diminum bersamaan dengan makanan. Bahkan bila diminum bersamaan dengan buah jeruk besar (grapefruit) ataupun bentuk jus-nya dapat menghambat metabolisme amiodaron dan menyebabkan peningkatan konsentrasi amiodarone dalam darah.
Karena bersifat larut dalam lemak maka amiodaron ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi di jaringan lemak dan otot, hati, paru dan kulit. Amiodaron juga dapat menembus sawar plasenta dan ditemukan pada air susu ibu. Waktu paruh amiodaron sangat panjang, rata-rata 58 hari.
Secara elektrofisiologis, amiodaron menyebabkan pemanjangan interval QT, melambatkan laju jantung dan konduksi AV node dengan menghambat kanal kalsium dan reseptor beta, lalu dengan menginhibisi kanal kalium dan natrium menyebabkan pemanjangan masa refrakter dan perlambatan konduksi intrakardiak.
Pemberian amiodaron secara intravena harus memperhatikan zat pelarut yang terkandung dalam preparat obat tersebut. Obat ini memakai pelarut yang mengandung polysorbate 80 dan benzyl alkohol. Kedua zat kimia itu diperlukan, karena amiodaron tidak larut dalam air, tetapi keduanya juga diketahui dapat menyebabkan efek inotropik negatif dan hipotensi. Oleh karena itu pemberian secara intravena harus dilakukan secara perlahan agar tidak terjadi hipotensi mendadak. Saat ini sudah tersedia bentuk amodaron intravena yang larut dalam air dan tidak mengandung zat-zat vasoaktif, sehingga pemberian secara cepat tidak menjadi masalah.
Indikasi
- Aritmia ventrikuler
Mula kerja amiodaron intravena yang sudah terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit sejak pemberian merupakan salah satu alasan efektifitas terapi akut pada aritmia ventrikel. - Takikardia kompleks QRS lebar dengan hemodinamik yang stabil.
- Pasien dengan ICD (Implantable Cardioverter Defibrillation)
Pemberian amiodaron pada pasien yang telah dipasang ICD terbukti mengurangi kejadian syok terapi dan Atrial fibrilasi (AF). Pemberian amiodaron plus penghambat beta secara signifikan menurunkan risiko DC syok. - Atrial Fibrilasi (AF)
Meskipun beberapa ahli menyatakan bahwa Amiodaron dapat digunakan pada AF, tetapi pemakaian obat ini untuk AF, belum mendapatkan rekomendasi dari FDA. Akhir-akhir ini, pemberian amiodaron intravena untuk terapi AF dengan respons ventrikel cepat, semakin sering dipakai. - Pada pasien-pasien dengan gagal jantung kongestif, amiodaron juga menunjukkan hasil yang lebih baik untuk konversi dan mempertahankan irama sinus
- Preoperatif Aritmia
Amiodaron intravena 1 gram perhari yang diberikan selama 2 hari sebelum operasi, efektif menurunkan insidens AF pasca operasi jantung terbuka.
Efek Samping
Efek samping yang paling serius adalah keracunan paru, eksaserbasi aritmia dan injuri pada hepar. Umumnya efek samping akan kembali normal dengan penghentian terapi amiodaron. Kebanyakan efek samping terjadi pada pemakaian lebih dari 6 bulan.
Insidens neuropati optik, yaitu efek samping paling serius di mata, berkisar antara 0.36 hingga 2%. Neuropati optik akibat amiodaron terjadi secara perlahan menimbulkan kehilangan penglihatan bilateral dan edema diskus.
Insidens Amiodarone-induced pulmonary toxicity (AIPT), berupa pneumonitis akut dan fibrosis kronis yang bisa mengancam jiwa. Insidens dapat meningkat 10 - 30 lipat pada pemberian 500mg dibanding 200mg per hari. Mekanisme AIPT adalah kerusakan jaringan paru akibat akumulasi fosfolipid. AIPT dapat sembuh bila terdiagnosis dini. AIPT ditandai dengan batuk nonproduktif yang progresif, dispnoe, penurunan berat badan dan mungkin demam.
Amiodarone-induced hypothyroidism lebih sering terjadi di daerah yang cukup asupan yodium-nya dibanding daerah dengan defisiensi yodium. Lebih sering terjadi pada wanita dan orang tua. Manifestasi klinisnya berupa fatig, letargi, bradikardi, dispnu, intoleransi dingin, kulit kering, berat badan naik, konstipasi dan nafsu makan berkurang.
Berbeda dengan hipotiroid, Amiodarone-induced thyrotoxicosis (AIT) lebih sering terjadi di daerah dengan defisiensi yodium dan terutama terjadi pada pria (3:1). AIT ditandai dengan peningkatan signifikan T4 dan/atau T3 serum. Jika AIT terjadi pada pasien dengan disfungsi tiroid sebelumnya maka disebut AIT tipe I, sedangkan tipe II terjadi pada pasien tanpa disfungsi tiroid sebelumnya. Manifestasi klinis AIT berupa palpitasi, SVT, BB turun, berkeringat, kelemahan otot, tremor, insomnia dan mood swings.
Pada AIT tipe I, kadar interleukin-6 serum normal atau sedikit meningkat, uptake iodine radioaktif 24 jam oleh kelenjar tiroid normal atau meningkat dan terdapat peningkaan vaskularisasi. Pada tipe II, kadar interleukin-6 serum meningkat signifikan, dengan uptake iodine radioaktif yang rendah dan vaskularisasi normal.
Interaksi Obat
Pemberian obat-obat yang dapat menimbulkan hipokalemia dan/atau hipomagnesemia harus dihindari karena dapat meingkatkan risiko aritmia ventrikel.
Amiodaron dapat meningkatkan efek warfarin dengan cara inhibisi CYP450 2C9 yang berfungsi untuk metabolisme S-warfarin di hepar. Keadaan yang serupa akan terjadi juga pada antikoagulan oral yang lain sehingga dapat menimbulkan hipoprotrombinemia dan perdarahan. Peningkatan efek antikoagulan terjadi setelah pemberian amiodaron satu minggu atau lebih dan bertahan beberapa bulan setelah amiodaron dihentikan.
Penggunaan bersama amiodarone dengan simvastatin dan lovastatin dosis tinggi dapat meningkatkan risiko myopati. Mekanismenya adalah hambatan CYP450 3A4 di interstinal dan hepar yang menyebabkan bioavalibititi dan menurunkan klirens simvastatin. Resiko miopati ini meningkat pada dosis statin yang lebih tinggi.
Pemberian amiodaron bersama digoksin akan meningkatkan kadar digoksin serum hingga 100% sehingga menyebabkan intoksikasi. Peningkatan ini lebih tinggi lagi pada anak-anak. Amiodaron diduga meningkatkan waktu transit intestinal, menurunkan klirens renal dan distribusi volume, mengubah ikatan protein digoksin, dan induksi hipotiroid ; semuanya itu berkontribusi pada peninghkatan kadar digoksin serum.
No comments:
Post a Comment