Pada jaman dahulu kala, sering terjadi peperangan yang panjang dan lama antara para dewa dengan para raksasa, untuk memperebutkan ke tiga dunia. Para dewata dipimpin oleh Resi Wrihaspati, yang sangat terkenal karena pengetahuannya yang dalam tentang kitab-kitab Weda, sedangkan para raksasa dipimpin oleh seorang resi yang sangat arif dan bijaksana, yaitu Mahaguru Sukracharya.
Wrihaspati dan Mahaguru Sukracharya sama-sama memiliki pengetahuan tentang ilmu perang yang sangat tinggi. Tetapi guru Sukracharya memiliki sedikit keunggulan karena ia memiliki ilmu gaib yang sangat mengerikan yaitu ajian Mritasanjibani. Ajian ini dapat dipergunakan untuk menghidupkan siapa saja yang sudah mati, meskipun orang tersebut sudah menjadi abu, sekalipun. Jadi, setiap ada raksasa yang mati dalam suatu pertempuran, Sukracharya dapat menghidupkannya kembali. Begitu berkali-kali, sehingga jumlah mereka tidak pernah berkurang, dan mereka dapat melanjutkan perang melawan para Dewata. Akibatnya, para Dewa selalu kalah, saat perang dengan para raksasa.
Akhirnya, para Dewata berunding mencari akal, bagaimana untuk dapat mengalahkan para raksasa. Diputuskanlah untuk menemui Kacha, putra Wrihaspati, dan meminta bantuannya. Mereka berharap Kacha bisa memikat hati Mahaguru Sukracharya dan membujuknya untuk menerimanya menjadi salah satu muridnya. Dengan menjadi muridnya, para Dewata berharap, Mahaguru Sukracharya mau menurunkan ilmu gaib ajian Mritasanjibani kepada Kacha, sehingga para Dewata tidak mengalami kekalahan terus menerus.
Dewa Parameswara pun menyuruh Sang Kacha mengabdi kepada Mahaguru Sukracharya agar dapat mewarisi ilmunya. Kacha menyanggupi permintaan itu dan kemudian pergi menghadap Mahaguru Sukracharya yang tinggal di istana Wrishaparwa, raja para raksasa
Sesampainya di hadapan Guru Sukracharya, Kacha memberi salam hormat, lalu berkata, “Hamba adalah cucu Resi Angiras dan anak Resi Wrihaspati. Hamba telah bersumpah untuk menjadi seorang brahmacharin dan ingin menuntut ilmu dibawah asuhan Yang Mulia Mahaguru Sukracharya.”
Sesuai adat, seorang guru yang bijaksana, ia tidak boleh menolak murid yang ingin berguru kepadanya. Maka, Mahaguru Sukracharya berkata, “Kacha, engkau adalah keturunan keluarga baik-baik. Aku sungguh tersanjung, jika engkau mau berguru kepadaku, Aku terima keinginanmu untuk menjadi muridku. Dan ingatlah, aku terima keinginanmu karena aku ingin menunjukkan rasa hormatku pada orang tuamu, Resi Wrihaspati dan kakekmu, Resi Angiras.
Demikianlah, sejak saat itu Kacha menjadi murid Mahaguru Sukracharya. Semua tugas kewajiban yang diberikan Mahaguru Sukracharya dilakukannya dengan sungguh-sungguh. Salah satu tugasnya adalah menghibur Dewayani, anak Mahaguru Sukracharya. Ia adalah putri, Mahaguru Sukracharya, satu-satunya, sehingga tidaklah mengherankan jika kasih sayangnya tercurah sepenuhnya kepada Dewayani. Semua keinginanya selalu dipenuhinya.
Sang Kacha juga sangat setia kepada Mahaguru Sukracharya. Ia hidup berdampingan dengan Dewayani dan Guru Sukracharya. Kacha ditugaskan untuk menghiburnya dengan menyanyi, menari dan mengajaknya bermain. Lama kelamaan, Kacha pun tertarik kepada Dewayani. Tetapi karena ia telah bersumpah untuk menjadi brahmacharin, dimana hidupnya sudah sepenuhnya diperuntukkan untuk mengabdi dan belajar agama, di bawah bimbingan seorang guru dan mengamalkan segala kebajikan hidup tanpa menikah. Ia menahan diri dan berusaha keras untuk tidak melanggar sumpahnya.
Sementara itu, ketika para raksasa mengetahui bahwa guru mereka mengambil seorang murid, anak Wrihaspati, mereka menjadi cemas dan curiga. Jangan-jangan Kacha mempunyai niat buruk dan tidak benar-benar ingin berguru. Jangan-jangan ia hanya ingin membujuk Mahaguru Sukracharya untuk mendapatkan rahasia ilmu gaib, ajian Mritasanjibani. Hal tersebut membuat iri para Detya, murid-murid Guru Sukracharya. Karena itu, mereka berunding dan berusaha untuk melenyapkan Kacha.
Pada suatu hari, seperti biasa, Kacha menggembalakan sapi-sapi milik Mahaguru Sukracharya ke padang rumput. Tiba-tiba datanglah beberapa raksasa, mereka menyergapnya dan kemudian membunuhnya. Mayat Kacha dicincang-cincang dan dibiarkan menjadi makanan serigala.
Sore hari ketika tiba saatnya sapi-sapi ini pulang ke kandang, Dewayani tidak melihat Kacha menyertai sapi-sapinya. Ia menjadi cemas dan segera memberi tahu ayahnya tentang hal itu. Sambil menangis tersedu-sedu, Dewayani mengatakan, ” Ayah ... , matahari sudah terbenam dan api pedupaan untuk pemujaan malam ayah, juga sudah dinyalakan, tetapi Kacha belum juga pulang. Sapi-sapi pun sudah kembali ke kandang. aku khawatir kalau-kalau ada hal buruk yang menimpa Kacha. Tolonglah dia, ayah. aku sangat mencintainya dan tidak dapat hidup tanpa dia."
”Apa yang kau inginkan, akan ayah lakukan, anakku?” kata Sang Guru Sukracharya.
”Carilah dia, ayah! Aku takut ada hal-hal buruk yang menimpa Sang Kacha. Ayah..., aku sangat mencintainya, ayah!” sahut Dewayani.
”Baiklah, mari kita cari dia,” jawab Guru Sukracharya.
Mereka berdua kemudian pergi mencari ke padang rumput, dimana Kacha biasa menggembalakan sapi-sapinya. Sesampainya di sana, mereka kemudian mencarinya untuk beberapa lama, tetapi tidak juga dapat menjumpai Kacha. Setelah seharian mencari dan tetap tidak dapat menemukan Kacha, mereka kemudian beristirahat di bawah pohon rindang, di tepi padang rumput tersebut.
Rasa capai dan lapar menghampiri mereka. Sambil beristirahat mereka menunggu kalau-kalau ada binatang buruan yang dapat digunakan mengisi perut mereka. Setelah menunggu beberapa lama, mereka menjumpai beberapa ekor serigala yang datang bergerombol, tidak jauh dari padang rumput tersebut.
Karena lama tidak mendapat binatang buruan, Sang Guru Sukracharya berinisiatif menangkap salah satu serigala yang dijumpai, untuk dijadikan santapan mereka berdua. Dengan ilmunya, Sang Guru Sukracharya dengan mudah menangkap salah satu serigala tersebut dan kemudian memanggangnya untuk jadi santapan mereka berdua. Pada saat Sang Guru Sukracharya memakannya, ada sesuatu yang bergolak di dalam lambungnya. Dengan ilmu aji Mritasanjibani yang dimilikinya, ia merasakan adanya bagian tubuh manusia yang masuk ke dalam perutnya.
Sang Guru Sukracharya, kemudian menanyakan, “Hai ..., manusia siapakah engkau dan bagaimana engkau bisa masuk ke dalam perut serigala-serigala ini?” Sang Kacha kemudian memberitahukan siapa dirinya dan menceritakan bagaimana ia dibunuh oleh para raksasa, dicincang-cincang dan dagingnya diberikan ke serigala-serigala tadi.
“Baiklah, kalau memang itu kejadiannya. Dewayani, anakku, sangat menginginkan engkau dapat dihidupkan kembali, tetapi saat ini engkau sudah terlanjur berada dalam perutku,” kata Sang Guru Sukracharya. “Aku dapat saja menghidupkanmu lagi, tetapi pada saat engkau keluar dari tubuhku, tubuhku akan hancur. Itu berarti aku akan meninggalkan Dewayani untuk selama-lamanya. Padahal ia tidak ingin kehilangan aku, ayahnya, atau dirimu,” lanjut Guru Sukracharya.
”Sekarang, apa yang kau inginkan. Aku akan menghidupkan engkau kembali, demi Dewayani, tetapi demi dia pula, aku tidak boleh mati. Satu-satunya jalan adalah aku akan mengajarkan ilmu gaib ajian Mritasanjibani kepadamu. Dengan menguasainya engkau akan bisa menghidupkan aku lagi, meskipun tubuhku sudah hancur lebur setelah mengeluarkan engkau. Berjanjilah untuk menggunakan ilmu ini yang akan kuajarkan kepadamu untuk menghidupkan aku kembali, agar Dewayani tidak berduka atas kematian salah satu diantara kita.”
Kemudian, dari dalam lambung gurunya, Kacha mengucapkan janjinya, ”Guru ..., budi baik, pengorbanan dan kebaikan yang telah guru berikan kepadaku sampai saat ini, rasanya sudah tidak mampu hamba balaskan, apa lagi sekarang guru berkenan untuk menghidupkan aku lagi. Seberapa besar lagi budi baik guru yang harus aku tanggung. Hanya satu yang dapat aku lakukan untuk membalas budi baik guru selama ini, yaitu menuruti segala apa yang guru perintahkan dan aku berjanji untuk memenuhi pesan Bapa Guru.”
Demikianlah Mahaguru Sukracharya memberitahukan rahasia ilmu gaib Mritasanjibani kepada Kacha. Seketika itu juga Kacha keluar dari tubuh gurunya, sementara Sang Resi Sukracharya langsung rubuh, wafat dengan tubuh hancur berkeping-keping. Kacha pun memenuhi janjinya. Ia segera sujud di hadapan gurunya dan mempergunakan ilmu gaib Mritasanjibani. Katanya, ”Guru yang ikhlas membagi ilmunya kepada muridnya ibarat seorang ayah yang mengasihi putranya. Karena aku keluar dari tubuhmu, maka aku adalah anakmu juga.”
Sejak mendapat ilmu gaib Mritasanjibani, meskipun ia berkali-kali dibunuh oleh para Detya, namun dapat dihidupkan kembali atas ajian sakti Guru Sukracharya, yang sudah dimilikinya.
Beberapa tahun lamanya Kacha meneruskan hidupnya menjadi murid Resi Sukracharya, sampai tiba waktunya untuk kembali ke kahyangan, dunia para dewata. Ketika saatnya tiba, ia mohon diri kepada gurunya dan Resi Sukracharya pun merestuinya dan mengijinkannya pergi. Kacha kemudian berpamitan kepada Dewayani., namun dicegah oleh Dewayani karena ia ingin untuk menjadi istri, Sang Kacha.
Putri jelita ini dengan hormat berkata, ”Wahai cucu Angiras, kau telah menawan hatiku sejak lama dengan kesucian hati, hidupmu yang tidak bercacat, kemajuan dalam menuntut ilmu, dan asal-usulmu yang agung. Sejak lama aku mencintaimu dengan sepenuh hati, walaupun engkau tetap teguh menjalankan sumpahmu sebagai brahmacharin. Tetapi sudah selayaknya sekarang engkau menerima cintaku dan sudi membuatku bahagia dengan menikahiku.”
Tetapi karena Sang Kacha merasa tidak enak untuk menikahi anak gurunya sendiri, maka ia menolaknya. Kacha menjawab, ”Oh, Dewayani yang suci, engkau adalah putri Mahaguruku yang selalu kusegani. Aku hidup kembali setelah keluar dari tubuh ayahmu. Karena itu, aku kini aku bukan lagi orang lain, tapi kini aku menjadi saudaramu seayah. Sungguh tidak pantas jika engkau memintaku, saudaramu, agar sudi mengawinimu.”
Dewayani berkata, ”Engkau anak Resi Wrihaspati yang patut kuhormati dan bukan anak ayahku. Aku yang menyebabkan engkau bisa hidup kembali, karena aku mencintaimu dan mengharapkan engkau menjadi suamiku. Tidak pantas engkau meninggalkan aku yang tidak berdosa ini tanpa memberiku kesempatan untuk mengabdi kepadamu.”
Kacha menjawab, ”Jangan mencoba membujukku untuk melakukan hal yang tidak benar. Engkau sungguh jelita, dan semakin jelita dalam keadaan marah seperti sekarang, tetapi aku adalah saudaramu. Abdikanlah hidupmu untuk kebajikan dalam bimbingan ayahmu, Mahaguru Sukracharya. Jalanilah hidupmu seperti dulu. Berdoalah dan biarkanlah aku pergi.” Setelah berkata demikian, dengan lembut Kacha melepaskan diri dari pegangan Dewayani dan kembali ke dunia para dewata.
Dewayani menjadi sangat marah, karena kecewa, malu dan merasa terhina, lalu mengutuk Sang Kacha supaya kelak ilmunya tidak sempurna. Tetapi karena Sang Kacha merupakan seorang murid yang jujur dan setia, maka kutukan yang diberikan Dewayani kepadanya tidak mempan karena diucapkan berdasarkan nafsu. Sang Kacha pun balik mengutuk Dewayani, bahwa suatu saat kelak ia akan dimadu oleh budaknya sendiri.
Sepeninggalan Kacha, Dewayani selalu dalam keadaan murung dan sedih. Tak ada yang bisa menghiburnya, tidak juga Mahaguru Sukracharya, ayahnya.
No comments:
Post a Comment