Monday, 22 November 2010

Abimanyu


Abimanyu (Parthasuta atau Partha Atmaja) dalam kisah Mahabharata adalah putera Arjuna dari salah satu istrinya yang bernama Subadra. Abimanyu sebenarnya adalah inkarnasi dari putera Dewa bulan. Ketika Sang Dewa bulan ditanya oleh dewa yang lain mengenai kepergian puteranya ke bumi, ia mengatakan bahwa puteranya hanya akan tinggal di dunia mayapada selama 16 tahun. Karena, ia sendiri tidak tahan jika berpisah terlalu lama dengan puteranya.

Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam pertempuran di medan laga Bharatayudha. Sebenarnya Abimanyu-lah yang ditetapkan sebagai penerus tahta Yudistira. Tetapi sayangnya Ia tewas secara tragis dalam pertempuran besar di Kurukshetra dan menjadi pahlawan serta kesatria termuda dari pihak Pandawa, karena waktu itu ia baru berusia enam belas tahun.

Abimanyu menikah, dalam usia yang juga masih sangat muda, dengan puteri Raja Wirata yang bernama Utara. Dari hasil pernikahannya ini, ia memiliki seorang putera bernama Parikesit. Abimanyu tidak sempat melihat wajah putranya karena Parikesit lahir setelah Abimanyu gugur.

Parikesit menjadi satu-satunya kesatria Keluarga Kuru yang selamat setelah perang Bharatayuddha berakhir. Parikesitlah yang akhirnya melanjutkan garis keturunan Pandawa. Abimanyu seringkali dianggap sebagai kesatria yang terberani dari pihak Pandawa, yang sudi melepaskan hidupnya dalam suatu peperangan, meskipun usianya masih sangat muda.

Arti nama

Abimanyu dalam bahasa Sanskerta, berarti abhi (berani) dan man'yu (tabiat). Jadi menurut bahasa Sansekerta, kata Abhiman'yu secara harfiah berarti "orang yang memiliki sifat pemberani, tidak kenal takut" atau "yang memili sifat kepahlawanan". Abimanyu mempunyai sikap yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, tetapi memiliki hati atau kemauan yang keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani.

Kelahiran dan pendidikan

Dalam kisah Mahabharata, Abimanyu diceritakan bahwa ia telah mempelajari formasi perang Chakrawyuha, suatu formasi perang yang sulit untuk ditembus. Abimanyu mempelajari formasi tersebut tatkala ia masih berada di dalam kandungan rahim ibunya. Abimanyu mempelajari taktik perang tersebut dengan cara menguping pembicaraan Kresna yang sedang membahas hal tersebut dengan ibunya, Subadra. Kresna membicarakan mengenai bagaimana cara memasuki formasi Chakrawyuha. 

Tetapi ketika Kresna membicarakan cara meloloskan diri dari formasi mematikan tersebut, Subadra, ibu Abimanyu, sudah tidak kuat lagi menahan kantuk yang menyerangnya dan jatuh tertidur sehingga sang bayi tidak memiliki kesempatan untuk mengetahui bagaimana cara meloloskan diri dari formasi itu.

Masa Kecil

Abimanyu menghabiskan masa kecilnya di Dwaraka, kota tempat tinggal ibunya. Ia dilatih oleh ayahnya, Arjuna, yang juga merupakan seorang ksatria besar dan diasuh di bawah bimbingan Kresna. Ayahnya menikahkan Abimanyu dengan Uttara, puteri Raja Wirata, untuk mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata dan sebagai persiapan  guna menghadapi pertempuran Bharatayuddha yang akan datang. Pada saat itu Pandawa sedang menyamar untuk menuntaskan masa pembuangannnya di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya.

Sebagai cucu Dewa Indra, Dewa senjata ajaib sekaligus Dewa peperangan, Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani dan ganas. Karena kemampuannya yang kurang lebih setara dengan ayahnya, Abimanyu pun mampu melawan ksatria-ksatria besar seperti Drona, Karna, Duryodana dan Dursasana. Ia dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayahnya, pamannya, dan segala keinginan mereka. 

Abimanyu gugur

Ketika perang Bharatayudha memasuki hari ketiga belas, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi perang, termasuk formasi Chakrawyuha tersebut.

Karena pihak Korawa tahu bahwa yang bisa mematahkan formasi tersebut adalah Arjuna dan Kresna, maka sejak pagi mereka mencoba untuk menyerang dan menahan Arjuna dan Kresna agar jangan sampai memasuki formasi Chakrawyuha. Kresna dan Arjuna dibuat sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka.

Oleh karena Pandawa sudah menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan kecuali mengutus Abimanyu yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha.

Namun sayang Abimanyu masih terlalu muda dan belum tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya. Untuk menjaga dan melindungi Abimanyu agar tidak terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan ikut masuk dalam formasi itu bersama Abimanyu sekaligus agar dapat membantu sang pemuda, keluar dari formasi tersebut.

Pada hari yang sudah ditentukan, Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. Pandawa bersaudara dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu. Jayadrata memang mendapat anugerah Siwa untuk dapat menahan para Pandawa selama perang Bharatayudha, kecuali Arjuna, meskipun hanya untuk satu hari.

Pasukan Pandawa pun dibuat kocar-kacir oleh Jayadrana. Banyak ksatria dari pasukan Pandawa yang gugur dan menjadi korban Jayadrana, termasuk ketiga saudaranya, putra Arjuna dari ibu yang lain. Ketika tahu bahwa saudara-saudaranya banyak yang sudah gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur formasi perang, dia maju sendiri ketengah barisan Korawa untuk menangkis serangan pasukan Korawa. Tapi sayang ia terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan pasukan Korawa tersebut.

Meskipun demikian, Abimanyu berperang dengan gagah berani dan berhasil membunuh beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana, yaitu Laksmana. Abimanyu membunuh Laksmana dengan cara melemparkan keris Pulanggeni miliknya, dimana sebelumnya keris ini terlebih dahulu menembus tubuh empat prajurit lainnya.

Setelah mendengar dan menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana menjadi marah besar dan menyuruh pasukan Korawa untuk secara bersama-sama menyerang Abimanyu. Upaya pasukan Korawa untuk membunuh Abimanyu mengalami kesulitan dengan adanya baju zirah yang dikenakan Abimanyu.

Karena gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya pun dihancurkan, sehingga seluruh senjatanya terbuang. Kusir dan kudanya pun dibunuh, sedangkan Abimanyu jatuh terjerembab dari kereta kudanya. Melihat hal itu, putera Dursasana mencoba untuk bertarung dengan Abimanyu menggunakan tangan kosong.

Tetapi pasukan Korawa tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.  Tanpa menghiraukan aturan perang, mereka mengeroyok Abimanyu secara serentak. Mereka tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu, mereka terlebih dahulu harus berhasil melepas baju ziarah (Langsang), yang menempel di dada Abimanyu.  Mereka kemudian menghujani tubuh Abimanyu dengan berbagai macam senjata. Abimanyu mencoba untuk bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping.

Abimanyu menjadi tampak seperti landak, karena berbagai senjata yang menancap di tubuhnya. Ia tidak lagi bisa berjalan, karena luka di tubuhnya sangat banyak, dalam pewayangan digambarkan lukanya arang kranjang = banyak sekali. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu terbunuh oleh putera Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada milik Jayadrata.  

Arjuna membalas dendam

Berita kematian Abimanyu membuat hati Arjuna tersentak. Ia menjadi sangat sedih dan marah. Ia sadar, bahwa seandainya Jayadrata tidak menghalangi para Pandawa memasuki formasi Chakrawyuha, Abimanyu pasti akan mendapat bantuan. Ia kemudian bersumpah dengan suara nyaring,sehingga semua orang mendengar, bahwa ia akan membunuh Jayadrata pada hari berikutnya, sebelum matahari tenggelam.

Mendengar hal itu, keesokan harinya, pihak Korawa menempatkan Jayadrata sangat jauh dari Arjuna. Ribuan prajurit dan ksatria diperintahkan untuk mengelilingi dan melindungi Jayadrata. Sedang Arjuna tetap berusaha menjangkau Jayadrata, namun ribuan pasukan Korawa mengahalanginya. Hingga matahari hampir terbenam, Jayadrata masih jauh dari jangkauan Arjuna.

Melihat hal ini, Kresna menggunakan kecerdikannya. Ia membuat gerhana matahari, sehingga suasana tampak menjadi gelap, seolah-olah matahari sudah tenggelam. Pihak Korawa maupun Pandawa mengira hari sudah menjelang malam, dan sesuai aturan, mereka menghentikan peperangan dan kembali ke kubu masing-masing. Dengan demikian, pihak Korawa tidak melanjutkan pertarungan dan mengendorkan penjagaan serta perlindungan mereka terhadap Jayadrata.

Saat itulah Kresna mengarahkan kereta Arjuna untuk mendekati kereta Jayadrata. Setelah kereta Arjuna yang dikusiri Kresna sampai di dekat kereta Jayadrata, matahari muncul lagi dan Kresna menyuruh Arjuna agar menggunakan kesempatan tersebut untuk membunuh Jayadrata. Arjuna mengangkat busurnya dan meluncurkan panah, memutus leher Jayadrata. Tepat pada saat tersebut, hari sudah sore, matahari sudah tenggelam dan Arjuna berhasil menuntaskan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata. 

Abimanyu dalam kisah pewayangan

1. Nama Lain
- Angkawijaya                - Jaya Murcita
- Jaka Pangalasan          - Partasuta 
- Sumbadraatmaja          - Wanudara
- Wirabatana.                 - Kirityatmaja


Abimanyu merupakan putra
Arjuna dengan Dewi Subadra, putri Prabu Basudewa Raja Mandura. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada.

Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan, ia telah mendapat "Wahyu Hidayat", yang membuatnya mampu untuk mengerti segala hal. Dalam salah satu kisahnya diceritakan bahwa setelah dewasa, oleh karena kuat tapa bratanya Abimanyu mendapatkan "Wahyu Cakraningrat" (Wahyu Makutha Raja), wahyu yang menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta para Raja Hastina.

Dalam olah keprajuritan dan seni perang, ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa. Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita.

Ia mempunyai dua orang istri, yaitu:
  • Dewi Siti Sundari, puteri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi;
  • Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputera Parikesit. yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan Hastina, menggantikan Yudistira. Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuda oleh gada Kyai Glinggang milik Jayadrata, satria Banakeling.
2. Cerita Abimanyu Gendong

Pada suatu saat, Arjuna ingin pergi meninggalkan Kasatrian Madukara. Hal ini menyebabkan para Pandawa sedih, karena Dewi Subadra masih menyusui Abimanyu yang saat itu masih bayi. Tetapi tiba-tiba Prabu Baladewa, kakak Dewi Subadra, yang saat itu menjadi utusan Duryudana, datang ingin memboyong Abimanyu beserta Dewi Subadra ke Kerajaan Astina. Nampaknya Abimanyu tidak mau untuk diboyong ke Hastina, sehingga ia selalu menangis dan minta bunga Tunjungseta. Mendengar permintaan bayi itu, Drona berjanji untuk mengusahakannya.

Akhirnya Dewi Subadra dan Abimanyu diboyong Prabu Baladewa ke Astina. Mengingat akan keselamatan Abimanyu, maka Dewi Srikandi mengutarakan niatnya untuk ikut menyertai mereka. Tetapi Prabu Baladewa melarangnya sehingga terjadilah pertengkaran.

Setelah mereka sampai di tengah hutan, Patih Pragota diperintahkan Prabu Baladewa untuk membawa Abimanyu ke tengah hutan bersama keris Baladewa. Pragota tanggap akan apa yang dimaksud Prabu Baladewa, yaitu untuk membunuh Abimanyu. Tetapi karena tidak sampai hati, Abimanyu ditinggal sendirian di tengah hutan, dengan harapan, biarlah Abimanu mati dimakan binatang buas, asal bukan ia yang membunuh. Atas kehendak Dewata, di hutan itu justru Abimanyu dilindungi oleh seekor gajah, burung, dan ular.

Pada saat sudah tumbuh menjadi besar, Abimanyu yang tinggal sendirian di tengah hutan dan ia ingin buang hajad, tanpa sengaja, kotorannya mengenai Jaka Prayitna yang saat itu sedang bertapa. Karena rasa marah, Jaka Prayitna kemudian membunuh Abimanyu . Peristiwa itu membuat marah sang Gajah yang mengawal Abimanyu. Jaka Prayitna dikejar gajah, burung, dan ular, sampai akhirnya mereka bertemu dengan Arjuna, maka terjadilah peperangan.

Gajah kemudian berubah kembali kewujudnya yang sebenarnya yaitu Bima, sedangkan burung garuda menjadi Gatotkaca dan ular menjadi Antareja. Abimanyu yang sudah mati kemudian dihidupkan kembali oleh Arjuna, dan diminta pergi ke Astina bersama Jaka Prayitna untuk menemui Baladewa. Terjadilah peperangan antara Kurawa dengan Jaka Prayitna dan akhirnya Dewi Subadra dikembalikan kepada Arjuna.

3. Abimanyu Gugur

Dalam lakon Abimanyu gugur atau terkadang disebut Angkawijaya Gugur, yang tergolong lakon pakem, dan menjadi bagian dari serial lakon-lakon Baratayuda. Diceritakan tentang kegundahan Abimanyu karena ia tidak diijinkan turun ke gelanggang Baratayuda. Baru pada hari ke tigabelas, Abimanyu diperkenankan ikut berperang dan ia gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya gugur mendahuluinya. 

Ketika tahu bahwa ketiga saudaranya, putra Arjuna lainnya, yakni Brantalaras, Bambang Sumitra, dan Wilugangga sudah gugur, Abimanyu tidak mampu mengontrol diri dan menjadi lupa untuk mengatur formasi perang. Ketiganya gugur terkena panah Begawan Drona. Inilah yang terutama membuat Abimanyu mengamuk, kehilangan kewaspadaan, dan akhirnya terjebak dalam perangkap siasat perang Kurawa.

Dalam pewayangan diceritakan, konon gugurnya Abimanyu oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, ksatria Banakeli, juga disebabkan termakan oleh sumpahnya sendiri ketika melamar Dewi Utari. Dulu, sebelum menikah dengan Dewi Utari, untuk meyakinkan bahwa ia masih belum punya istri atau perjaka, Abimanyu berkata: “Aku masih perjaka. Jika aku berkata tidak benar, biarlah kelak aku akan mati dengan tubuh penuh anak panah, ketika perang Bharatayudha.” Abimanyu berbohong, karena ketika itu ia sudah beristrikan Dewi Siti Sundari.

Pada hari itu, Arjuna dan Bima terpancing mengejar lawan-lawannya sampai keluar gelanggang, sehingga Abimanyu harus maju sendiri ketengah barisan Korawa dan akhirnya terperangkap dalam formasi mematikan yang sudah disiapkan pasukan Korawa, sehingga Abimanyu menjadi pusat sasaran musuh.

Malapetaka itu terjadi ketika satria Plengkawati itu hendak menolong pasukan pandawa yang terkepung rapat balatentara Korawa di Tegal Kuru Setra Dengan keberanian yang luar biasa ditunjang semangat yang menyala-nyala, diterjangnya barikade musuh hingga porak poranda dan pasukan Pandawa pun terbebas dari malapetaka yang nyaris menghancurkannya.

Namun rupanya si anak muda itu belum merasa puas, darah mudanya bergejolak, ia terus menghajar musuh seorang diri, meski sempat diperingatkan para Pandawa agar tidak meneruskan maksudnya, tapi peringatan itu tak digubrisnya. Ia malah terus memacu kereta kudanya melaju menggempur musuh hingga jauh menusuk jantung pertahanan Korawa. Akibatnya, perbuatan berani yang tidak disertai sikap kehati-hatian itu, berakibat fatal baginya.

Balatentara Korawa yang moralnya sudah bejat, tak berperikemanusiaan, curang telah menyalahi aturan perang. Pihak Kurawa yang lebih unggul dalam pengalaman taktik strategi perang, telah memasang perangkap yang disebut Durgamarungsit, yaitu sebuah perangkap semacam bubu yang apabila orang masuk ke dalamnya tak akan bisa keluar lagi. Siasat itu ditambah lagi dengan perangkap yang lebih berbahaya lagi yaitu perangkap Gelar Maha Digua semacam pintu jebakan. Di setiap balik pintu telah bersembunyi sebagai algojo.

Di situlah si anak muda belia itu dibantai, dibokong dari belakang, dihimpit dari pinggir, dihadang dari depan serta dihujani berbagai rupa senjata hingga badannya menjadi arang kerancang. Anak yang masih ingusan itu diperlakukan bak binatang buruan, dikepung dan dibantai oleh orang-orang yang sebenarnya tidak layak untuk menjadi lawannya.

Akibatnya, anak muda itu tewas secara tragis, setelah kepalanya dihantam gada Kyai Glinggang milik Jayadrata dari belakang, dengan tubuh penuh luka. Namun gugurnya Abimanyu disertai keberhasilannya membunuh Lesmana Mandrakumara, alias Sarojakusuma, putra mahkota Astina. Putra Mahkota Astina itu mati ketika hendak mencoba menjadi pahlawan dengan membunuh Abimanyu yang telah terkepung.

Arjuna sangat terpukul jiwanya, mendengar berita kematian Abimanyu. Ia tampak lesu dan tak bergairah lagi, hingga membuat para Pandawa prihatin, mengingat Arjuna adalah andalan dalam perang itu. Menyadari situasi yang tidak menguntungkan, Kresna memberi wejangan: “Adikku, sedih, nelangsa, sakit hati sudah lumrah dalam hidup ini. Itu pertanda kita masih memiliki perasaan. Tetapi janganlah kesedihan itu berlarut-larut hingga menghambat perjuangan yang sedang kita hadapi. Tabahkanlah hati adinda menghadapi cobaan ini. Gugurnya Abimanyu tidaklah sia-sia, dia telah membuktikan dirinya sebagai pejuang muda yang gagah perkasa pantang menyerah. Dia gugur sebagai kusuma bangsa yang akan dikenang sepanjang masa,” ujarnya.

Wejangan Kresna itu memberi pengertian, bahwa apa pun yang terjadi walau pahit dirasakannya, hendaknya diterima dengan kebesaran jiwa sebagai tolak ukur atas kelebihan dan kekurangan manusia. hati Arjuna terusik mendengar wejangan itu lalu berkata: “Duh kanda Batara. hamba bukan sedih karena kematian anak. Hamba hanya tak rela mendengar ‘cara’ kematian anak hamba. Hamba yakin dia pun tak rela mati dengan cara sedemikian. Dia seolah tersentak diperlakukan bagai binatang buruan, dikepung dan dibantai oleh orang-orang yang hanya pantas menjadi lawan hamba. Mereka orang-orang sakti tapi tak manusiawi. Dimana moral mereka? 
Karena itu hamba akan menuntut balas,” ujarnya penuh rasa dendam.

Di saat itu pula emosinya sudah tak terbendung lagi dan tidak seorang pun menduga, ketika dengan tiba-tiba Arjuna berdiri tegak mengangkat senjata tinggi-tinggi seraya berkata: “Wahai bumi dan langit, wahai semua yang hidup, aku bersumpah dan minta kesaksianmu, bahwa esok hari sebelum matahari terbenam aku sudah harus membunuh si kelana Jayadrata. Jika aku gagal, aku akan masuk ke dalam Pancaka.” (Pancaka api unggun yang sengaja dibuat untul lebih geni). Usai sumpah, seketika terdengar suara dari empat penjuru disertai angin kencang bergemuruh, kilat-kilat menggelegar, pertanda sumpah Arjuna telah didengar dan bumi langit menjadi saksinya. Gegerlah para Pandawa disertai keprihatinan menyaksikan peristiwa yang tak diduga itu.

Mengkaji sumpah Arjuna berawal dari perasaan dendam yang mendalam, memprotes perlakuan Kurawa yang di luar batas kemanusiaan, telah mendorong sifat keakuannya untuk berbuat sesuatu yang di luar batas kemampuannya, membunuh seseorang dalam waktu yang relatif singkat sebelum matahari terbenam di ufuk barat. Itu adalah suatu kesanggupan yang tidak normal dan pasti akan menjadi beban moril yang amat berat. Akal dan pikiran sehat sudah tidak berfungsi. 

Tujuan akan menghabisi Jayadrata dalam waktu sehari sebelum matahari tenggelam ke peraduannya hanya merupakan impian belaka. Selain memiliki taktik perang yang sangat baik, banyak pula para guru di pihak Korawa yang sangat terkenal, utamanya Danghyang Dorna yang juga melindunginya. Terlalu sulit untuk dapat ditembus hanya oleh keberanian dan kekuatan fisik semata.

Mendengar hal ini, Dorna telah membuat sebuah benteng yang kuat bagai baja, terdiri dari ribuan balatentara Korawa dan di situlah Jayadrata disembunyikan. Meskipun seandainya dari beberapa lapis benteng ini dapat dihancurkan, namun beratus lapis lagi masih berdiri dengan kokohnya.

Sementara sang surya sudah semakin condong ke arah barat mendekati peraduannya. Untunglah Arjuna memiliki seseorang yang mampu mengubah suasana alam. Kresna segera menutup sinar matahari dengan senjata andalannya, Cakra, hingga suasana alam seakan sedang petang. Bersoraklah kaum Kurawa kegirangan, karena Arjuna telah gagal membunuh Jayadrata dalam waktu sehari sebelum matahari terbenam.

Kegembiraan semakin menjadi tatkala dilihatnya api unggun telah menyala berkobar menerangi alam sekelilingnya. Mereka ingin menyaksikan Arjuna terjun ke dalam api unggun memenuhi sumpahnya. Tetapi tidak seorang pun yang tahu, bahwa Arjuna telah berada di atas bukit yang tak jauh dari benteng tempat Jayadrata bersembunyi dan telah siap sedia dengan senjata panahnya.

Mendengar sorak sorai dan berkobarnya api unggun bagaikan api neraka yang akan melumat habis Arjuna, Jayadrata tertarik ingin ikut menyaksikan. Kemudian tanpa rasa curiga, ia pun memperlihatkan diri. Tetapi baru saja kepalanya menyembul, sebuah anak panah melesat bagai kilat dan… craaasss ..., terpangkaslah kepalanya, terpisah dari badannya larut terbawa angin dan lenyap ditelan awan. Seiring dengan itu, alam petang berubah menjadi terang benderang kembali, setelah senjata Cakra diambil oleh pemiliknya.

Gegerlah kaum Korawa menyaksikan kejadian yang tak masuk di akal itu. Hanya Dorna yang tanggap dan mengerti seraya berucap: “Hemmm, memang segala-galanya ada di pihak Pandawa. Kemenangan akhir pun akan diraih oleh mereka,” gumannya

4. Abimanyu Grogol

Dalam suatu kisah diceritakan bahwa pada saat Abimanyu berada di Tegalkuru, ia membuat sebuah pesanggarahan. Ulah Abimanyu itu membuat marah Duryudana, penguasa Astina. Atas bantuan Begawan Pramanasejati, Abimanyu dikutuk menjadi arca. Sementara di Kasatrian Madukara, Dewi Subadra meminta kepada Arjuna untuk mencari Abimanyu.

Pada saat yang sama, Wisanggeni dari Kahyangan Argadahana dan Prabangkara dari Kaindran ingin mencari ayahnya. Di tengah jalan mereka bertemu Gatotkaca yang meminta bantuannya untuk menolong Abimanyu yang telah menjadi arca, karena kutukan Begawan Pramanasejati. Wisanggeni kemudian memoleskan minyak Candusekti pada arca itu dan Abimanyu menjadi hidup kembali. Selanjutnya mereka menuju ke Kerajaan Astina dan bertemu dengan Arjuna.

Arjuna kemudian berperang tanding melawan Begawan Pramanasejati tetapi tidak dapat mengalahkan. Akhirnya Kresna minta bantuan Semar untuk mengalahkan Pramanasejati, sehingga kembali berubah menjadi wujudnya yang semula yaitu Batari Durga dan pulang ke Setra Gandamayit. 

Kakawin Bharatayuddha

Kutipan di bawah ini diambil dari Kakawin Bharatayuddha, yang menceritakan pertempuran terakhir Sang Abimanyu.
Sloka
Terjemahan
Ngkā Sang Dharmasutā təgəg mulati tingkahi gəlarira nātha Korawa, āpan tan hana Sang Wrəkodara Dhanañjaya wənanga rumāmpakang gəlar. Nghing Sang Pārthasutābhimanyu makusāra rumusaka gəlar mahā dwija, manggəh wruh lingirāng rusak mwang umasuk tuhu i wijili rāddha tan tama


Pada saat itu Yudistira tercengang melihat formasi perang Raja Korawa, sebab Bima dan Arjuna tak ada padahal merekalah yang dapat menghancurkannya. Hanya Putera Arjuna, yaitu Abimanyu yang bersedia merusak formasi yang disusun pendeta Drona itu. Ia berkata bahwa ia yakin dapat menggempur dan memasuki formasi tersebut, hanya saja ia belum tahu bagaimana cara keluar dari formasi tersebut.
 
Sāmpun mangkana çighra sāhasa masuk marawaça ri gəlar mahā dwija. Sang Pārthātmaja çūra sāra rumusuk sakəkəsika linañcaran panah, çira ngwyuha lilang təkap Sang Abhimanyu təka ri kahanan Suyodhana. ang Hyang Droa Krəpāpulih karaa Sang Kurupati malayū marīnusi.


Setelah demikian, mereka segera membelah dan menyerang formasi pendeta Drona tersebut dengan dahsyat. Sang Abimanyu merupakan kekuatan yang membinasakan formasi tersebut dengan tembakan panah. Sebagai akibat serangan Abimanyu, formasi tersebut hancur sampai ke pertahanan Duryodana. Dengan ini Dona dan Krepa mengadakan serangan balasan, sehingga Duryodana dapat melarikan diri dan tidak dikejar lagi.
 
da tan dwālwang i çatru çakti mangaran Krətasuta sawatək Wrəhadbala. Mwang Satyaçrawa çūra mānta kəna tan panguili pinanah linañcaran. Lāwan wīra wiçesha putra Kurunātha mati malara kokalan panah. Kyāti ng Korawa wangça Lakshmanakumāra ngaranika kaish Suyodhana.


Dengan ini tak dapat dipungkiri lagi musuh yang sakti mulai berkurang seperti Kretasuta dan keluarga Wrehadbala. Juga Satyaswara yang berani dan gila bertarung tertembak sebelum dapat menimbulkan kerusakan sedikit pun karena dihujani panah. Putera Raja Korawa yang berani juga gugur setelah ia tertusuk panah. Putera tersebut sangat terkenal di antara keluarga Korawa, yaitu Laksmanakumara, yang disayangi Suyodhana.

Ngkā ta krodha sakorawālana manah panahira lawan açwa sarathi. Tan wāktān tang awak tangan suku gigir aa wadana linaksha kinrəpan. Mangkin Pārthasutajwalāmurək anyakra makapalaga punggəling laras. Dhīramūk mangusir ỵaçānggətəm atễn pəjaha makiwuling Suyodhana.


Pada waktu itu seluruh keluarga Korawa menjadi marah, dan dengan tiada hentinya mereka memanahkan senjatanya. Baik kuda maupun kusirnya, badan, tangan, kaki, punggung, dada, dan muka Abimanyu terkena ratusan panah. Dengan ini Abimanyu makin semangat. Ia memegang cakramnya dan dengan panah yang patah ia mengadakan serangan. Dengan ketetapan hati ia mengamuk untuk mencari keharuman nama. Dengan hati yang penuh dendam, ia gugur di tangan Suyodhana.

Ri pati Sang Abhimanyu ring raāngga. Tənyuh araras kadi çéwaling tahas mas. Hanana ngaraga kālaning pajang lèk. Çinaçah alindi sahantimun ginintən.

Ketika Abimanyu terbunuh dalam pertempuran, badannya hancur. Indah untuk dilihat bagaikan lumut dalam periuk emas. Mayatnya terlihat dalam sinar bulan dan telah tercabik-cabik, sehingga menjadi halus seperti mentimun.

No comments:

Post a Comment