Jahe (Zingiber officinale roxb) yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai ginger, merupakan tanaman berumpun, yang tingginya bias mencapai 1 meter. Memiliki batang semu, tidak bercabang, berbentuk bulat, tegak, dan tersusun dari lembaran pelepah daun. Batangnya berwarna hijau dengan pangkal batang berwarna kemerahan. Bunganya berbentuk tabung dan dilindungi oleh daun. Rimpang jahe memiliki cabang yang tidak teratur, kulit rimpang bersisik dan tersusun melingkar berwarna kecoklatan. Daging rimpang berwarna kuning, berserat dan mengandung aroma.
Jahe memiliki berbagai manfaat antara lain sebagai penyedap masakan dan aroma minuman, juga menjadi bahan baku obat tradisional maupun fitofarmaka. Jahe berkhasiat untuk mengatasi berbagai penyakit seperti batuk, demam, asthma, masuk angin, pegal-linu dan rheumatik.
Sebagai contoh, untuk mengatasi batuk, deman, asthma, masuk angin dan pegal-pegal, jahe dikupas, dicuci, kemudian dikeringkan. Selanjutnya rebus dengan air sampai mendidih. Saring airnya dan tambahkan dengan gula secukupnya. Minumlah selagi masih hangat. Berikan 1 jam sebelum makan dan minumlah 2 kali dalam 1 hari.
Jahe merupakan salah satu komoditas ekspor rempah-rempah Indonesia, yang memberikan peranan cukup penting dalam penyerapan tenaga kerja dan penerimaan devisa negara. Sebagai komoditas ekspor dikemas berupa jahe segar, asinan (jahe putih besar), jahe kering (jahe putih besar, kecil dan jahe merah), maupun minyak atsiri dari jahe putih kecil (jahe emprit) dan jahe merah. Volume permintaannya terus meningkat,setiap tahunnya, seiring dengan permintaan produk jahe dunia serta makin berkembangnya industri makanan dan minuman di dalam negeri yang menggunakan bahan baku jahe.
Kondisi ini, di Indonesia, direspon dengan makin berkembangnya areal penanaman dan munculnya berbagai produk jahe. Pengembangan jahe skala luas sampai saat ini perlu didukung dengan upaya pembudidayaannya secara optimal dan berkesinambungan. Untuk mencapai tingkat keberhasilan budidaya yang optimal, diperlukan bahan tanaman dengan jaminan produksi dan mutu yang baik serta stabil dengan cara menerapkan budidaya anjuran.
Adanya penolakan ekspor jahe Indonesia di negara tujuan terutama Jepang, karena tingginya cemaran mikroorganisme, mengakibatkan anjloknya pendapatan petani jahe. Hal ini perlu segera diantisipasi dengan menerapkan budidaya anjuran terbaik, diantaranya dengan penggunaan bahan tanaman sehat yang berasal dari varietas unggul. Selain itu, karena kualitas simplisia bahan baku industri hilir ditentukan oleh proses budidaya dan pascapanennya, maka pembakuan standar prosedur operasional (SPO) budidaya jahe perlu dibuat, guna mendukung GAP (Good Agricultural Practices).
Persyaratan Tumbuh
Untuk budidaya jahe diperlukan lahan, di daerah yang sesuai untuk pertumbuhannya. Untuk pertumbuhan jahe yang optimal diperlukan persyaratan iklim dan lahan sebagai berikut : iklim tipe A, B dan C (Schmidt & ferguson), ketinggian tempat 300 - 900 m dpl., temperatur rata-rata tahunan 25 - 30ยบ C, jumlah bulan basah (> 100 mm/bl) 7 - 9 bulan per tahun, curah hujan per tahun 2 500 – 4 000 mm, intensitas cahaya matahari 70 - 100% atau agak ternaungi sampai terbuka, drainase tanah baik, tekstur tanah lempung sampai lempung liat berpasir, pH tanah 6,8 – 7,4. Pada lahan dengan pH rendah dapat diberikan kapur pertanian (kaptan) 1 - 3 ton/ha atau dolomit 0,5 - 2 ton/ha untuk meningkatkan pH tanah.
Pada lahan dengan kemiringan > 3% dianjurkan untuk dilakukan pembuatan teras, teras bangku sangat dianjurkan bila kemiringan lereng cukup curam. Hal ini untuk menghindari terjadinya pencucian lahan yang mengakibatkan tanah menjadi tidak subur, dan benih jahe hanyut terbawa arus. Persyaratan lahan lainnya yang juga penting bagi penamaman jahe adalah lahan bukan merupakan daerah endemik penyakit tular tanah (soil borne diseases) terutama bakteri layu dan nematoda. Untuk menjamin kesehatan lahan, sebaiknya lahan yang digunakan bukan bekas jahe, atau tidak ada serangan penyakit bakteri layu dilahan tersebut dan hanya dua kali berturut-turut ditanami jahe. Tahun berikutnya dianjurkan pindah tempat untuk menghindari kegagalan panen karena kendala penyakit dan adanya gejala allelopati.
Bahan Tanaman
Jahe (Zingiber officinale Rosc.; Ginger) adalah tanaman herba tahunan yang tergolong famili Zingiberaceae, dengan daun berpasang-pasangan, dua-dua berbentuk pedang, rimpang seperti tanduk, beraroma.
Jenis-jenis Jahe
Selama ini di Indonesia, berdasarkan pada ukuran, bentuk, warna dan aroma rimpang serta komposisi kimianya, dikenal 3 tipe jahe, yaitu jahe putih besar (jahe badak), jahe putih kecil (jahe emprit) dan jahe merah.
Jahe putih besar (Z. officinale var. officinarum) mempunyai rimpang besar berbuku, berwarna putih kekuningan dengan diameter 8,47 – 8,50 cm, aroma kurang tajam, tinggi dan panjang rimpang 6,20 – 11,30 dan 15,83 – 32,75 cm, warna daun hijau muda, batang hijau muda dengan kadar minyak atsiri didalam rimpang 0,82 – 2,8%.
Jahe putih kecil (Z. officinale var. amarum) mempunyai rimpang kecil berlapis-lapis, aroma tajam, berwarna putih kekuningan dengan diameter 3,27 – 4,05 cm, tinggi dan panjang rimpang 6,38 – 11,10 dan 6,13 – 31,70 cm, warna daun hijau muda, batang hijau muda dengan kadar minyak atsiri 1,50 – 3,50%.
Jahe merah (Z. officanale var. rubrum) mempunyai rimpang kecil berlapis, aroma sangat tajam, berwarna jingga muda sampai merah dengan diameter 4,20 – 4,26 cm, tinggi dan panjang rimpang 5,26 – 10,40 dan 12,33 – 12,60 cm, warna daun hijau muda, batang hijau kemerahan dengan kadar minyak atsiri 2,58 – 3,90%. Balittro telah melepas varietas unggul jahe putih besar (Cimanggu-1) dengan potensi produksi 17 - 37 ton/ha. Karena dalam rimpang terdapat senyawa kimia yang mengandung rasa pedas (gingerol, zingeron, dan shogaol) dan karenanya tubuh terasa hangat setelah meminum rebusan air jahe.
Sedangkan calon varietas unggul jahe putih kecil dan jahe merah rata-rata potensi produksinya masing-masing untuk jahe putih kecil adalah 16 ton/ha dengan kadar minyak atsiri 1,7 – 3,8%, kadar oleoresin 2,39 – 8,87%. Sedangkan jahe merah potensi produksinya 22 ton/ha, kadar minyak atsiri 3,2 – 3,6%, kadar oleoresin 5,86 – 6,36%.
Pembenihan
Benih yang digunakan harus jelas asal usulnya, sehat dan tidak tercampur dengan varietas lain. Benih yang sehat harus berasal dari tanaman yang sehat, tidak terserang penyakit. Beberapa penyakit penting pada tanaman jahe yang umum dijumpai, terutama jahe putih besar, adalah layu bakteri (Ralstonia solanacearum), layu fusarium (Fusarium oxysporum), layu rizoktonia (Rhizoctonia solani), nematoda (Rhodopolus similis) dan lalat rimpang (Mimergralla coeruleifrons, Eumerus figurans) serta kutu perisai (Aspidiella hartii). Rimpang yang telah terinfeksi penyakit tidak dapat digunakan sebagai benih karena akan menjadi sumber penularan penyakit di lapangan. Pemilihan benih harus dilakukan sejak pertanaman masih di lapangan. Apabila terdapat tanaman yang terserang penyakit atau tercampur dengan jenis lain, maka tanaman yang terserang penyakit dan tanaman jenis lain harus dicabut dan dijauhkan dari areal pertanaman. Pemilihan (penyortiran) selanjutnya dilakukan setelah panen, yaitu di gudang penyimpanan. Pemeriksaan dilakukan untuk membuang benih yang terinfeksi hama dan penyakit atau membuang benih dari jenis lain. Rimpang yang akan digunakan untuk benih, harus sudah tua, minimal berumur 10 bulan. Ciri-ciri rimpang tua antara lain kandungan serat tinggi dan kasar, kulit licin dan keras tidak mudah mengelupas, warna kulit mengkilat menampakkan tanda bernas.
Rimpang yang terpilih untuk dijadikan benih, sebaiknya berusia 9 – 12 bulan, mempunyai 2 - 3 bakal mata tunas yang baik dengan bobot sekitar 25 - 60 g untuk jahe putih besar, 20 - 40 g untuk jahe putih kecil dan jahe merah. Segera taburi abu gosok pada bekas luka sayatan agar tidak membusuk. Kebutuhan benih per ha untuk jahe merah dan jahe emprit 1 – 1,5 ton, sedangkan jahe putih besar yang dipanen tua membutuhkan benih 2 - 3 ton/ha dan 5 ton/ha untuk jahe putih besar yang dipanen muda. Bagian rimpang yang terbaik dijadikan benih adalah rimpang pada ruas kedua dan ketiga.
Sebelum ditanam rimpang benih ditunaskan terlebih dahulu dengan cara menyemaikan yaitu, menghamparkan rimpang di atas jerami/alang-alang tipis, selama 1 – 3 minggu, di tempat yang teduh atau di dalam gudang penyimpanan dan tidak ditumpuk. Untuk itu biasa digunakan wadah atau rak-rak terbuat dari bambu atau kayu sebagai alas. Selama penyemaian dilakukan penyiraman setiap hari, sesuai kebutuhan, untuk menjaga kelembaban rimpang. Benih rimpang bertunas dengan tinggi tunas yang seragam 1 - 2 cm, siap ditanam di lapangan dan dapat beradaptasi langsung, juga tidak mudah rusak. Rimpang yang sudah bertunas tersebut kemudian diseleksi dan dipotong menurut ukuran. Untuk mencegah infeksi bakteri, dilakukan perendaman didalam larutan antibiotik dengan dosis anjuran. Kemudian dikering anginkan.
Budidaya
Untuk mencapai hasil yang optimal didalam budidaya jahe putih besar, jahe putih kecil maupun jahe merah, selain menggunakan varietas unggul yang jelas asal usulnya, perlu diperhatikan juga cara budidayanya.
Persiapan lahan
Sebelum tanam, dilakukan pengolahan tanah. Tanah diolah sedemikian rupa agar gembur dan dibersihkan dari gulma. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara menggarpu dan mencangkul tanah sedalam 30 cm, dibersihkan dari ranting-ranting dan sisa-sisa tanaman yang sukar lapuk. Untuk tanah dengan lapisan olah tipis, pengolahan tanahnya harus hati-hati disesuaikan dengan lapisan tanah tersebut dan jangan dicangkul atau digarpu terlalu dalam sehingga tercampur antara lapisan olah dengan lapisan tanah bagian bawah, hal ini dapat mengakibatkan tanaman kurang subur tumbuhnya. Setelah tanah diolah dan digemburkan, dibuat bedengan searah lereng (untuk tanah yang miring), sistim guludan atau dengan sistim pris (parit). Pada bedengan atau guludan kemudian dibuat lubang tanam.
Jarak tanam
Benih jahe ditanam sedalam 5 - 7 cm dengan tunas menghadap ke atas, jangan terbalik, karena dapat menghambat pertumbuhan. Jarak tanam yang digunakan untuk penanaman jahe putih besar yang dipanen tua adalah 80 cm x 40 cm atau 60 cm x 40 cm, jahe putih kecil dan jahe merah 60 cm x 40 cm.
Pemupukan
Pupuk kandang dari kotoran domba atau sapi yang sudah masak diberikan sebanyak 20 ton/ha, 2 - 4 minggu sebelum masa tanam. Pemupukan awal dilakukan saat penanaman dengan menggunakan pupuk kandang sebanyak 1 kg per lubang. Kemudian diberikan secara rutin tiap 1,5 – 2 bulan sekali dengan pupuk kompos. Sedangkan dosis pupuk buatan SP-36 300 - 400 kg/ha dan KCl 300 - 400 kg/ha, diberikan pada saat tanam. Pupuk urea diberikan 3 kali, pada umur 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam, sebanyak 400 - 600 kg/ha, masing-masing 1/3 dosis setiap pemberian. Pada umur 4 bulan setelah tanam dapat pula diberikan pupuk kandang ke dua sebanyak 20 ton/ha.
Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik, antara lain:
a. Penyiangan gulma
Siangi gulma yang tumbuh di lahan penanaman pada masa 1 – 3 bulan setelah tanam. Sampai tanaman berumur 6 - 7 bulan, biasanya banyak tumbuh gulma, sehingga penyiangan perlu dilakukan secara intensif dan bersih. Penyiangan setelah umur 4 bulan perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak merusak perakaran yang dapat menyebabkan masuknya benih penyakit. Untuk mengurangi intensitas penyiangan bisa digunakan mulsa tebal dari jerami atau sekam.
b. Penyulaman
Penyulam tanaman yang tidak tumbuh dilakukan pada umur 1 – 1,5 bulan, tapi juga bisa 2 – 3 bulan setelah tanam, dengan memakai benih cadangan yang sudah diseleksi dan disemaikan.
c. Pembumbunan / pendangiran
Pembumbunan mulai dilakukan pada saat telah terbentuk rumpun dengan 4 - 5 anakan, agar rimpang selalu tertutup tanah. Selain itu, dengan dilakukan pembumbunan, drainase akan selalu terpelihara.
d. Pengendalian organisme pengganggu tanaman
Pengendalian hama penyakit dilakukan sesuai dengan keperluan. Penyakit utama pada jahe adalah busuk rimpang yang disebabkan oleh serangan bakteri layu (Ralstonia solanacearum). Sampai saat ini belum ada metode pengendalian yang memadai, kecuali dengan menerapkan tindakan-tindakan untuk mencegah masuknya benih penyakit, seperti penggunaan lahan sehat, penggunaan benih sehat, perlakuan benih sehat (antibiotik), menghindari perlukaan (penggunaan abu sekam), penggiliran tanaman, pembersihan sisa tanaman dan gulma, pembuatan saluran irigasi supaya tidak ada air menggenang dan aliran air tidak melalui petak sehat (sanitasi), inspeksi kebun secara rutin.
Tanaman yang terserang layu bakteri segera dicabut dan dibakar untuk menghindari meluasnya serangan OPT. Hama yang cukup signifikan adalah lalat rimpang Mimergralla coeruleifrons (Diptera, Micropezidae) dan Eumerus figurans (Diptera, Syrpidae), kutu perisai (Aspidiella hartii) yang menyerang rimpang mulai dari pertanaman dan menyebabkan penampilan rimpang kurang baik serta bercak daun yang disebabkan oleh cendawan (Phyllosticta sp.). serangan lalat rimpang biasanya dimulai pada usia ke lima.
Tanaman yang terserang rimpang, menunjukkan gejala layu dan kering., disertai rusaknya kulit rimpang Serangan penyakit ini apabila terjadi pada tanaman muda (sebelum 6 bulan) akan menyebabkan penurunan produksi yang cukup signifikan. Tindakan mencegah perluasan penyakit ini dengan menyemprotkan fungisida segera setelah terlihat ada serangan (diulang setiap minggu sekali), sanitasi tanaman sakit, inspeksi secara rutin. Tetapi akan lebih baik, bila tanaman yang terkena hama ini harus segera dicabut, agar tidak menular pada tanaman yang lain.
Pola Tanam
Untuk meningkatkan produktivitas lahan, jahe dapat ditumpang-sarikan dengan tanaman pangan seperti kacang-kacangan dan tanaman sayuran, sesuai dengan kondisi lahan.
Masa Panen
Panen untuk konsumsi dimulai pada umur 6 sampai 10 bulan, tetapi rimpang untuk benih dipanen pada umur 10 - 12 bulan. Tandanya dapat dilihat dari penampilan daun yang telah mengering dan luruh ke tanah. Namun lebih disadari pada tujuan dan pemanfaatannya. Misalnya, rimpang jahe muda, digunakan untuk asinan. Sedangkan rimpang jahe tua digunakan untuk obat-obat tradisional, rempah makanan dan minuman. Cara panen dilakukan dengan membongkar seluruh rimpangnya menggunakan garpu, cangkul, kemudian tanah yang menempel dibersihkan.
Dengan menggunakan varietas unggul jahe putih besar (Cimanggu-1) dihasilkan rata-rata 27 ton rimpang segar, calon varietas unggul jahe putih kecil (JPK 3; JPK 6) dengan cara budidaya yang direkomendasikan, dihasilkan rata-rata 16 ton/ha rimpang segar dengan kadar minyak atsiri 1,7 – 3,8%, kadar oleoresin 2,39 – 8,87%.
Sedangkan jahe merah 22 ton/ha dengan kadar minyak atsiri 3,2 – 3,6%, kadar oleoresin 5,86 – 6,36%. Mutu rimpang dari varietas unggul Cimanggu-1 dan calon varietas unggul jahe putih kecil dan jahe merah, memenuhi standar Materia Medika Indonesia (MMI).
Berdasarkan standar perdagangan, mutu rimpang jahe segar dikatagorikan sebagai berikut:
Mutu I : bobot 250 g/rimpang, kulitnya tidak terkelupas, tidak mengandung benda asing dan kapang;
Mutu II : bobot 150 - 249 g/rimpang, kulitnya tidak terkelupas, tidak mengandung benda asing dan kapang;
Mutu III : bobot sesuai hasil analisis, kulit yang terkelupas maksimum 10%, benda asing maksimum 3%, kapang maksimum 10%
Pasca Panen
Tahapan pengolahan jahe meliputi penyortiran, pencucian, pengirisan, pengeringan, pengemasan dan penyimpanan. Setelah panen, rimpang harus secepatnya dibersihkan untuk menghindari kotoran yang berlebihan serta mikroorganisme yang tidak diinginkan. Rimpang dibersihkan dengan disemprot air yang bertekanan tinggi, atau dicuci dengan tangan. Setelah pencucian, rimpang diangin-anginkan untuk mengeringkan air pencucian. Untuk penjualan segar, jahe dapat langsung dikemas. Tetapi bila diinginkan dalam bentuk kering atau simplisia, maka perlu dilakukan pengirisan rimpang setebal 1 – 4 mm. Untuk mendapatkan simplisia dengan tekstur menarik, sebelum diiris rimpang direbus beberapa menit sampai terjadi proses gelatinisasi. Rimpang yang sudah diiris, selanjutnya dikeringkan dengan energi surya atau dengan pengering buatan/oven pada suhu 36 – 46° C. Bila kadar air telah mencapai sekitar 8 - 10%, yaitu bila rimpang bisa dipatahkan, pengeringan telah dianggap cukup. Selain itu, dikenal jahe kering gelondong (jahe putih kecil dan jahe merah) yang diproses dengan cara rimpang jahe utuh ditusuk-tusuk agar air keluar sebagian, kemudian dijemur dengan energi matahari atau dioven sampai kering atau kadar air mencapai 8 - 10%. Rimpang kering dapat dikemas dalam peti, karung atau plastik yang kedap udara, dan dapat disimpan dengan aman, apabila kadar airnya rendah. Ruang penyimpan harus diperhatikan sanitasinya, berventilasi baik, dengan suhu ruangan yang rendah dan kering untuk mencegah pencemaran oleh mikroba dan hama gudang.
Penganeka-ragaman Produk
Selain simplisia, dari rimpang jahe dapat diperoleh minyak atsiri, oleoresin, bubuk, jahe asinan, jahe dalam sirup, manisan jahe, jahe kristal dan anggur jahe. Asinan jahe merupakan bahan ekspor yang potensial, dibuat dari jahe putih besar yang dipanen muda (3 bulan), dengan kadar serat rendah. Sedangkan permen jahe, manisan, sirup, instant, serbat dan sekoteng berasal dari jahe putih kecil yang dipanen tua. Selain untuk bahan baku obat tradisional (jamu), jahe sudah mulai digunakan untuk obat fitofarmaka karena kandungan gingerolnya. Bahan aktif ini diisolasi dari ekstrak jahe yang bermanfaat untuk mengatasi rasa nyeri pada tulang, otot dan sendi.
No comments:
Post a Comment