Saturday, 27 November 2010

Jatkaru & Lahirnya Astika


Ada seorang brahmana yang bernama Jaratkaru,  dimana jarat berarti suka mengalah dan karu berarti, suka berbelas kasih, tempat berlindung bagi yang sedang dalam ketakutan, oleh karena itu ia sangat disegani, karena sifatnya tersebut. mengalah.
 
Jaratkaru, adalah putera seorang Bikhu (= pendeta) yang mempunyai tapa yang luar biasa, seorang Bikhu yang suka memungut padi-padi yang terserak dan terbuang di jalan. Padi-padi itu kemudian dibersihkannya. Sampai akhirnya padinya menjadi banyak dan kemudian dimasaknya padi-padi itu, untuk disajikan kepada Bhatara (= dewa-dewa) dan para tamu. Begitulah tapa orang tuanya yang demikian tangguh, tahan akan penderitaan, tidak bergaul dengan perempuan, tahan menderita dalam bertapa.

Jaratkaru juga merupakan seorang pertapa yang besar. Setelah memiliki kekuatan mantra yang sangat hebat, Jaratkaru dapat pergi ke segala alam, dapat mengunjungi segala tempat asing sesuai dengan yang hendak dia datangi dan dapat berjalan di atas air. Setelah semakin jauh perjalanannya, sampailah dia ke Ayatanasthana, yaitu suatu tempat yang terletak diantara surga dan neraka, tempatnya arwah menunggu (untuk) mendapatkan surga-neraka.

Pada saat dia berada di Ayatanasthana, ada satu arwah yang digantung pada sebatang bambu, dengan posisi kepala di bawah dan kaki terikat di atas. Di bawahnya terdapat jurang yang sangat dalam yang menuju ke alam neraka. Jika bambu itu patah, maka ia akan jatuh ke tempat itu (alam neraka).

Pada bambu yang dipergunakan untuk menggantung arwah tersebut terdapat seekor tikus yang tinggal di lobang bambu tersebut. Setiap hari dia menggigiti bambu tersebut. Hal itu terlihat jelas oleh Jaratkaru, sehingga tanpa disadarinya mengalirlah air matanya. Karena besarnya rasa belas kasihnya, ia merasakan betapa hatinya hancur luluh melihat arwah yang digantung terbalik di ujung bambu itu serta diikat kakinya. Arwah tersebut menyerupai seorang Bikhu dengan berambut terjalin serta berpakaian dari kulit pohon. 

Jaratkaru berpendapat, sangatlah tidak pantas bila dia menghadapi kesengsaraan yang sedemikian itu. Arwah itu sangat menderita, tidak makan seperti daun yang tergantung, yang kekeringan karena kemarau, yang berayun-ayun oleh karena angin keras. Demikianlah keadaan arwah itu.

Jaratkaru pun bertanya kepada arwah tersebut: "Siapakah tuan dan mengapa tuan tergantung di sebatang bambu yang hampir patah oleh gigitan tikus, dan hampir jatuh ke jurang yang tidak diterukur dalamnya. Keadaan tuan yang sedemikian itu membuat hati hamba sangat sedih, sehingga hamba menaruh belas kasih dan hendak menolong tuan. Ketahuilah bahwa hamba bertapa sejak masih kanak-kanak serta menimbun beratnya tapa hamba, sehingga menghantar hamba sampai ke sini dan melihat tuanku yang sangat menderita.

Seberapa besarkah pahala dari tapa hamba yang harus hamba berikan, supaya tuan dapat pulang ke surga dan berhenti menghadapi kesengsaraan ini? Seperempatkah atau setengahkah yang harus hamba berikan agar tuanku mendapatkan surga".

Perkataan Jaratkaru tersebut terdengar oleh arwah itu dan menjawablah arwah tersebut dengan sangat dingin bagaikan hati yang disiram oleh air hidup:

"Engkaukah itu, yang bertanya kepadaku? Baiklah akan kuberitahukan semua keadaanku. Itu semua terjadi karena garis keturunankuakan putus. Karena itulah akupun  terputus dari Pitraloka (= alam arwah para leluhur) dan bergantung-gantung pada sebatang bambu yang seolah-olah (hampir) jatuh ke alam neraka. 

Sebenarnya aku mempunyai satu keturunan. Namanya Jaratkaru. Tetapi dia moksa juga. Ia hendak meluputkan segala sesuatu yang membelenggu manusia, tidak beristri, dan menjadi murid brahmana yang suci.  
Karena ia tidak beristri, maka garis keturunanku pun akan terputus. Dan jika hal itu terjadi, maka akibatnya adalah kebinasaanku. Semula aku senang melihat anakku sedemikian, terutama oleh pekerjaan tapa yang istimewa. Tetapi hal yang sedemikianlah yang terjadi saat sekarang ini, yaitu dengan tidak adanya keturunanku, maka, pada dasarnya tidak ada perbedaan antara aku dengan orang yang melakukan perbuatan dosa, sama-sama menghadapi kesengsaraan”.

”Beginilah yang dapat engkau lakukan jika engkau berbelas kasihan kepadaku. Bikhu itu bernama Jaratkaru, mitalah belas kasihan kepadanya. Suruhlah supaya dia beranak, agar supaya aku dapat pulang ke Pitraloka. Beritahukanlah kepadanya bahwa aku mengalami kesengsaraan yang luar biasa, agar supaya hatinya dapat berbelas kasihan".

Pada saat arwah itu berbicara, maka semakin deraslah air mata Jaratkaru mengalir. Hatinya terasa seperti diiris-iris dengan sembilu melihat bapaknya menghadapi keadaan yang sedemikian itu, ia berkata: "Tuan..., Hambalah yang bernama Jaratkaru, keturunanmu yang tamak akan tapa, yang mengingini kedudukan sebagai murid brahmana. Hamba mengira, sekarang ini tapa hamba belum selesai, padahal sebenarnya telah mencapai kesempurnaan. 

Jadi sekarang, mengenai jalan tuan pulang ke surga, janganlah tuanku khawatirkan. Biarlah hamba berhenti sebagai murid brahmana, dan mencari istri, sehingga hamba dapat memperoleh keturunan utnuk meneruskan garis keturunan tuan. Tetapi hamba menghendaki isteri yang senama dengan nama hamba, agar tidak ada halangan bagi perkawinan hamba. Jikalau hamba telah mempunyai anak, biarlah hamba dapat menjadi murid brahmana lagi. Tuan..., tenangkanlah hati tuanku”, demikianlah kata Jaratkaru.

Kemudian berjalanlah dia mencari istri yang senama dengan dirinya. Pada saat dia mengembara mencari istri, Maharaja Janameja baru saja beristrikan Bhamustiman. Setelah sepuluh daerah (= desa) dijelajahinya, dia masih belum mendapatkan istri yang senama dengannya. Dia pun menjadi bingung karena tidak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya untuk mendapatkan seorang istri, agar bapaknya keluar dari kesengsaraan.

Kemudian masuklah dia ke hutan yang sunyi, menangis dan memanggil segala dewa, segala makhluk raksasa, katanya: ”Hai semua raksasa, para makhluk hidup yang menjadi penjelmaanmu, hamba bernama Jaratkaru, seorang brahmana yang hendak mencari istri. Berilah hamba istri yang senama dengan hamba, yaitu yang bernama Jaratkaru, supaya hamba mendapat anak, sehingga orang tuaku dapat memperoleh surga.

Demikianlah tangis Jaratkaru. Tangisan Jaratkaru itu terdengar oleh telinga para naga (= ular), meskipun mereka tidak tahua asal suara tangisan tersebut. Tangisan dan keinginan Jaratkaru kemudian dilaporkan oleh para naga kepada Basuki. Maka disuruhlah para naga ini oleh Basuki untuk mencari seorang brahmana yang bernama Jaratkaru tersebut. 

Karena Basuki memiliki adik peremuan yang bernama sama dengan Jaratkaru agar brahmana itu menikahi adiknya, sang Nagagini (naga perempuan) tersebut dan dapat mempunyai anak dari adiknya yang akan diberikan kepadanya, yang merupakan ular betina yang bernama Jaratkaru. Kelahiran anak tersebut diharapkan akan dapat membebaskan mereka (= ular-ular tadi) dari korban ular. Itulah maksud Basuki (menyuruh ular-ular itu pergi mencari seorang brahmana bernama Jaratkaru).

Jadi, ketika terdengar oleh mereka tangis Jaratkaru, gembiralah mereka dan memberitahukan kepada Basuki supaya mengundang Jaratkaru dan diberikan kepada adiknya. Tertariklah hatinya kepada Jaratkaru. Dibawa pulanglah ia (= Jaratkaru) oleh Basuki, dan dikawinkannyalah dia serta dinikahkanlah dia dengan upacara yang meriah. Selama dia (= Jaratkaru) duduk di tempat duduk, berkatalah Jaratkaru kepada istrinya:

"Saya akan mengadakan perjanjian dengan engkau. Jika engkau mengucapkan kata-kata yang tidak menyenangkan kepadaku, apalagi melakukan perbuatan yang tidak pantas, maka aku akan meninggalkan engkau".

Demikianlah kata Jaratkaru kepada istrinya. Mereka pun hidup bersama. Dan setelah beberapa lama mereka hidup bersama, mengandunglah si naga perempuan Jaratkaru. Terlihatlah tanda kehamilan itu oleh si suami. Maka mulailah muncullah dalam kepikirannya, ”inilah saatnya aku akan meninggalkan isteriku”. Maka ia minta kepada istrinya untuk menungguinya saat ia tidur. Ia mohon untuk menaruh kepalanya dan tidur dipangkuan istrinya, katanya: Pangkulah olehmu kepalaku waktu tidur". 

Dengan hati-hati si istri memangku kepada si suami. Sangat lama dia tidur, hingga waktu senja, waktu sembahyang. Teringatlah si naga perempuan Jaratkaru, katanya: "Sekarang adalah waktu sorenya para dewa. Waktu ini tuan brahmana harus membuat doa. Sebaiknya dia dibangunkan. Jikalau menunggu sampai dia terbangun, pastilah dia akan marah, karena dia sangat takut kalau sampai suaminya  terlambat sembahyang karena itu bagi dia merupakan tugas agama kepada para dewa." 

Lalu dibangunnyalah sang suaminya:
"Hai tuanku Maha Brahmana, bangunlah tuanku! Sekarang waktu telah senja, tuanku, waktu untuk mengerjakan tugas agama. Bunga telah tersedia serta bau-bauan dan padi."

Demikianlah katanya sambil mengusap wajah sang suami. Kemudian bangunlah Jaratkaru. Sungguh diluar dugaan, ternyata dari mata Jaratkaru keluar cahaya kemarahan yang luar biasa dan mukanya memerah karena marah.

Katanya: "Cih! Engkau naga perempuan yang sangat jahat, engkau sebagai istri menghinaku.  Sampai hati engkau mengganggu tidurku. Tidak layak lagi tingkah lakumu sebagai istri. Oleh karena itu aku akan meninggalkan engkau sekarang ini."

Demikianlah, Jaratkaru kemudian meninggalkan sang istri. Karena kasihnya yang sangat besar kepada suaminya, ikutlah si naga perempuan, dan lari memeluk si suami:

"Hai tuanku, maafkan hamba tuanku! Bukan maksud hamba menghina tuanku, saat hamba membangunkan tuanku. Hamba hanya mengingatkan saat sembahyang tuan, tiap senja. Salahkah itu, apakah aku harus menyembah tuanku. Seyogyanyalah engkau kembali ... tuan yang terhormat. Karena jika hamba telah melahirkan, anak itu akan menghapuskan korban ular bagi saudara-saudaraku, dan tuanku dapat membuat tapabrata lagi."

Demikianlah kata si naga perempuan meminta belas kasih. Jaratkaru menjawab: "Memang, adalah suatu yang pantas jika engkaumengingatkan hamba untuk memuja dewa ketika senja tiba. Tetapi hal itu tidak dapat mengubah kataku untuk meninggalkan engkau. Aku tidak akan tersesat. Itu kehendakku. Janganlah engkau kuatir. Asti, itulah (nama) anak itu. Anak itu akan menolong engkau kelak dari korban ular. Tenangkanlah hatimu".

Kemudian pergilah Jaratkaru. Dia tidak dapat ditahan lagi. Si naga perempuan memberitahukan kepada Basuki akan kepergian si suami. Dia memberitahukan semua ucapan Jaratkaru dan memberitahukan bahwa perutnya ada isinya. Bersuka citalah Basuki mendengar itu semua. 

Setelah beberapa lama, lahirlah anak laki-laki dengan tubuh sempurna. Dinamailah anak itu Astika, karena si bapak mengucapkan "asti". Anak tersebut dipeliharalah oleh Basuki, dididik serta diasuh menurut segala apa yang diharuskan bagi brahmana, dirawat dan diberi kalung brahmana. Dengan lahirnya Astika, maka arwah yang menggantung di ujung bambu itu dapat melesat pulang ke Pitraloka, menikmati pahala tapanya, yaitu tapa yang luar biasa. Patuhlah Astika, sehingga dapat membaca Weda. Diijinkannyalah dia untuk mempelajari segala sastra, mengikuti ajaran Bhrgu. 

Demikianlah cerita tentang Astika. Dia adalah orang yang membuat naga Taksaka terhindar dari korban ular maharaja Janamejaya.

No comments:

Post a Comment