Friday, 12 November 2010

Candi Borobudur


Candi Borobudur merupakan bangunan suci, peninggalan sejarah agama Buddha mazhab Mahayana yang dibangun di atas bukit. Candi Borobudur adalah bukti sejarah kejayaan dan kemasyuran Agama Buddha khususnya Mazhab Mahayana di Indonesia. Candi-candi Budha lainnya antara lain : Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sewu, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Ngawen, Candi Sari, Candi Sojiwan dan Candi Lumbung. Semua bangunan candi sejarah itu terdapat di propinsi Jawa Tengah bagian Selatan. Selain itu ada pula Candi Muara Takus di Riau-Sumatera dan Candi Gunung Tua di Tapanuli Selatan.

Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria, Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sebenarnya sudah mengenal tata budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa Indonesia membuat makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Salah satunya yang ditemukan di Lebak Sibedug Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat.
 
Bangunan serupa juga terdapat di Candi Sukuh di dekat Solo, juga Candi Borobudur. Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa. Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di Meksiko, Candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida. Piramida Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan negara manapun, termasuk di India. Hal tersebut merupakan salah satu kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Budhis di Indonesia.

Nama Borobudur

Mengenai nama Borobudur, banyak ahli purbakala yang menafsirkannya, di antaranya Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari dua kata Bhoro dan Budur. Bhoro berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Vihara atau kompleks candi atau asrama, sedangkan kata Budur merujuk pada kata yang berasal dari bahasa Bali, Beduhur yang berarti di atas (tinggi). Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr. WF. Stutterheim, yang berpendapat bahwa Borobudur berarti Bihara atau asrama yang berada di atas sebuah bukit.

Teori yang lain menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara), di mana di lereng-lerengnya berbentuk teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur.

Menurut Prof. JG. De Casparis, di prasasti Prasasti Karang Tengah terdapat nama Bhumisambharabhudhara yang berarti tempat pemujaan arwah-arwah leluhurnya (vihara nenek moyang) dari dinasti Syailendra, yang terletak diperbukitan. Bagaimana pergeseran kata itu terjadi menjadi Borobudur? Hal ini terjadi karena faktor pengucapan masyarakat setempat. 

Jadi berdasarkan prasasti tahun 842 tersebut, sejarahwan J.G. de Casparis, menyimpulkan bahwa bangunan candi yang bersejarah ini, sebenarnya bernama Bhumisambharabhuddhara, yang berarti "Gunung himpunan kebajikan sepuluh tingkatan Bodhisattva". Nama Bhumisanbharabudhara juga berarti timbunan tanah, bukit atau bangunan bertingkat-tingkat, yang diidentikan dengan sebutan vihara kamulan.

Lokasi Candi Borobudur

Candi Borobudur terletak di pusat jantung pulau Jawa, tepatnya di Propinsi Jawa Tengah. Candi ini terletak di atas perbukitan, di Desa Borobudur, Mungkid, Kabupaten Magelang, sekitar 42 km sebelah Barat Laut kota Yogyakarta dan sekitar 100 km Barat Daya kota Semarang.

Bangunan candi Borobudur menjulang tinggi dan bersandar pada sebuah bukit menoreh yang membujur dari arah Timur ke Barat, dan dikelilingi oleh gunung-gunung yang membentang disekitarnya. Di sebelah Timur terdapat gunung Merbabu dan Merapi, sebelah Barat terdapat gunung Sumbing serta gunung Sindoro dan sebelah Barat Laut terhampar bukit Menoreh, di sebelah Utara (di daerah Magelang) dikelilingi oleh gunung Telomoyo dan Unggaran. Hal ini melambangkan kebulatan tekad dalam menyembah Ing Gusti (surat dari Dr. Beda Scramm kepada Mamoque).

Sejarah Pembangunan Candi Borobudur

Meskipun tidak kurang dari 500 buah buku telah ditulis oleh para ahli Indonesia maupun mancanegara mengenai Borobudur, tetapi sampai sekarang masih belum ada kesamaan pendapat, diantara para sarjana dan ahli arkeolog, tentang kapan Candi Borobudur didirikan, tahun berapa, oleh siapa, berapa lama bangunan ini digunakan sebagai bukit suci bagi agama Buddha dan kapan menghilang atau dengan sengaja dikubur ataukah ada sebab lain. Semua pertanyaan ini masih terus diteliti untuk memperoleh jawaban yang pasti dengan dukungan melalui bukti-bukti sejarah. 

Dari Prasasti Karangtengah bertahun 824 M maupun Prasasti Sri Kahulungan bertahun 842 M, menyebutkan bahwa ada tiga buah candi yang didirikan untuk mengagungkan kebesaran Buddha, yaitu Candi Mendut, Candi Pawon dan Candi Borobudur. Candi Mendut didirikan oleh Pramudyawardani, Candi Pawon yang didirikan oleh Indra dan Borobudur didirikan oleh raja dari dynasti Syailendra bernama Samaratungga. Meskipun tidak diketahui dengan pasti urutan atau kronologi dibangunnya ketiga candi tersebut, namun ketiganya memiliki keterikatan, satu dengan yang lainnya. 

Dari relief yang ada, Candi Mendhut didirikan untuk memperingati khotbah pertama Sang Buddha. Pada dinding itu jelas ditawarkan alternatif yang boleh dipilih oleh pengikut Sang Buddha, yaitu hidup meninggalkan keduniawian sebagai bhikkhu (pertapa) atau hidup dalam keduniawian demi kesejahteraan sesama menampilkan kemakmuran bagi bangsa dan negara. Buddha mengajarkan pemilihan tersebut dengan konsekwensi yang pasti dan jelas. 

Untuk mengetahui lebih mendalam tentang kehidupan hingga tercapainya Nibbana (Nirvana), maka di Borobudur dijelaskan secara rinci, dari kehidupan penuh nafsu, melalui kelahiran demi kelahiran baik dalam alam binatang, alam dewa atau pun alam manusia hingga akhirnya tidak ada kelahiran lagi yang dinamakan Nibbana itu. Tetapi untuk mengetahui lebih mendalam akan makna yang tercantum pada dinding Borobudur, batin kita hendaknya dimatangkan dulu di Candi Pawon.

Demikianlah makna perjalan ziarah agama Buddha menuju Borobudur. Dari Mendhut, menyinggahi Pawon menuju Borobudur, bukannya sebaliknya dari yang termegah menuju awal mencari dharma. Ini juga dapat diterapkan pada kehidupan kita, mula-mula mencari pegangan hidup, memilih diantara alternatif yang tersedia kemudian melalui pendadaran yang penuh sepi dan keprihatinan untuk mencapai kejayaan. Ketiganya terletak pada satu garis lurus dari timur menuju barat.

Berdasarkan tulisan singkat berbentuk relief dari huruf Pallawa (huruf Jawa kuno), yang di pahatkan di atas pigura pada “kaki asli” Candi Borobudur (Karwa Wibhangga), menunjukan bahwa huruf-huruf yang dipahatkan, sejenis dengan yang di dapatkan di prasati, dimana tertulis akhir abad ke-8 sampai awal abad ke-9. Dari bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa Candi Borobudur didirikan sekitar tahun 800 M.
Sejarah juga mencatat bahwa  candi Borobudur adalah candi Budha terbesar yang pernah dibangun sebagai penghormatan kepada sang Budha. Sejarahwan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950, berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan nenek moyang raja-raja Syailendra, agar nenek moyang mencapai ke-Buddhaan. Sepuluh tingkat Borobudur itu juga melambangkan, bahwa nenek moyang raja Sailendra yang mendirikan Borobudur itu berjumlah 10 orang. Prasasti Cri Kahuluan yang berasal dari abad IX (824 Masehi) yang diteliti oleh Prof Dr J.G. Casparis, mengungkapkan silsilah tiga Wangsa Syailendra yang berturut-turut berkuasa pada masa itu, yakni Raja Indra, Putranya Samaratungga. Kemudian, putrinya yang bernama Dyah Ayu Samaratungga Pramodhawardhani.
Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan, candi Borobudur didirikan oleh penganut Budha Mahayana pada masa pemerintahan raja dari Wangsa Syailendra. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samarotthungga, sekitar tahun 824 M, dan selesai pada masa pemeintahan cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramudhawardhani. Pembangunannya diperkirakan memakan waktu setengah abad.

Arsitektur yang menciptakan candi, berdasarkan tuturan masyarakat bernama Gunadharma. Pembangunan candi itu selesai pada tahun 847 M. Menurut prasasti Kulrak (784 M) pembuatan candi ini dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya, yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman, sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddis Tantra Vajrayana. 

Kesimpulan tersebut di atas, ternyata sesuai benar dengan kerangka sejarah Indonesia pada umumnya dan juga sejarah yang berada di daerah Jawa Tengah pada khususnya, dimana pada periode antara abad ke-8 dan pertengahan abad ke-9, terkenal dengan abad ke-emas-an Wangsa Syailendra. Kejayaan ini di tandai di bangunnya sejumlah besar candi di lereng-lereng gunung, yang kebanyakan berdiri khas bangunan Hindu, sedangkan yang bertebaran di dataran-dataran adalah khas bangunan Budha, tapi ada juga sebagian yang khas Hindu.
Dengan demikian dapat di tarik kesimpulan bahwa Candi Borobudur di bangun oleh wangsa Syailendra, yang terkenal dalam sejarah karena usahanya untuk menjungjung tinggi dan mengagungkan agama Budha Mahayana.

Salah satu pertanyaan yang sampai kini belum terjawab tentang Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur? Beberapa mengatakan, Borobudur, awalnya berdiri dikelilingi rawa kemudian terpendam karena letusan Merapi. Hal tersebut berdasarkan prasasti Kalkutta bertuliskan ‘Amawa’ berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi, kemungkinan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi. 

Sekitar tiga ratus tahun lampau, tempat candi ini berada masih berupa hutan belukar yang oleh penduduk sekitarnya disebut Redi Borobudur. Untuk pertama kalinya, nama Borobudur diketahui dari naskah Negarakertagama karya Mpu Prapanca, pada tahun 1365 M, yang menyebutkan tentang adanya biara di Budur. Kemudian pada Naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710), dikisahkan tentang Mas Dana, seorang pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang tertangkap di Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati. Kemudian pada tahun 1758, tercetus berita tentang seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro, yang berminat melihat arca seorang ksatria yang terkurung dalam sangkar.
 
Dimensi Candi Borobudur

Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di Kamboja. Candi Borobudur berbentuk limas yang berundak-undak, sebanyak 10 tingkat, dengan tangga naik pada keempat sisinya (Utara, Selatan, Timur dan Barat), pada Candi Borobudur tidak ada ruangan di mana orang tak bisa masuk, melainkan hanya bisa naik ke atas saja.

Lebar bangunan Candi Borobudur 123 M, panjang bangunan Candi Borobudur 123 M, dan pada sudut yang membelok, panjangnya 113 M. Jadi luas bangunan candi Borobudur mencapai 15.129 m² dengan ketinggian awal, sebelum direnovasi adalah 42 m. Tetapi setelah direnovasi ketinggiannya hanya tinggal 35,29 m, karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Pada kaki yang asli di tutup oleh batu adhesit sebanyak 12.750 m kubik, sebagai selasar undaknya.

Dibutuhkan tak kurang dari 2 juta balok batu adhesit atau setara dengan 55.000 m kubik, untuk membangun Candi Borobudur ini. Batu-batu adhesit ini rata-rata berukuran 25 x 10 x 15 cm.  Panjang potongan batu ini jika diurutkan, dapat mencapai 500 km. Berat keseluruhan candi mencapai 3,5 juta ton. Seperti umumnya bangunan candi, Bororbudur memiliki 3 bagian bangunan, yaitu kaki, badan dan bagian atas. 

Struktur Borobudur
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar yang tiap sisinya agak menonjol berliku-liku, sehingga memberi kesan bersudut banyak., tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.
Borobudur yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Pada tahun 1929, Prof. Dr. W.F. Stutterheim telah mengemukakan teorinya, bahwa Candi Borobudur itu hakekatnya merupakan refleksi atau “tiruan” dari alam semesta yang menurut ajaran Buddha terdiri atas 3 bagian besar.

Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan arca Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga unfinished Buddha, yang disalahsangkakan sebagai arca Adibuddha, padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada arca pada stupa utama, arca yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada jaman dahulu. menurut kepercayaan arca yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak arca seperti ini.

Di masa lalu, beberapa arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua arca singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand, Chulalongkorn, yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896, sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.

Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada hanyalah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.

Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala. Struktur Borobudur ini dibangun tanpa menggunakan semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.

1. Bagian kaki disebut Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini menceritakan atau merefleksikan tentang alam bawah atau dunia hasrat dalam dunia ini. Pada tingkat ini, manusia terikat pada hasrat bahkan di kuasai oleh hasrat kemauan, hawa nafsu dan sifat-sifat kebinatangan. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita berbentuk relief-relief, yang terdapat dibagian kaki asli dari candi dan menggambarkan Kammawibhangga yaitu menggambarkan hukum sebab akibat. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.
2. Bagian badan yang disebut Rupadhatu, Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Jadi, menggambarkan tentang alam semesta (dunia rupa), dimana manusia atau dunia sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Bagian ini melambangkan dunia orang suci. Bagian ini terdapat pada lorong satu (lantai satu) sampai lorong empat (lantai empat) dengan dinding berelief di atasnya. Lantainya berbentuk persegi. Pada bagian Rupadhatu ini, arca-arca Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding yang menyerupai jendela, di atas ballustrade atau selasar.
3. Bagian atas disebut Aruphadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Bagian ini menggambarkan alam atas, dunia tanpa rupa atau ketiadaan wujud, yaitu tempat para dewa. Di tingkat ini manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Karena itu bagian Arupadhatu itu digambarkan polos, tidak ber-relief. Hal ini hanya dapat dicapai dengan keinginan dan kekosongan.
Bagian ini dimulai dari lantai atau teras kelima hingga ketujuh yang berbentuk bundar dan dindingnya tidak berelief. Bagian ini juga dilambangkan dalam bentuk stupa induk, yang kosong (stupa yang paling besar) yang terdapat dipuncak candi. Di Stupa Induk ini sebenarnya pernah ditemukan arca Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga unfinished Buddha, yang disalah-sangkakan sebagai arca Adibuddha. Padahal melalui penelitian lebih lanjut, dinyatakan bahwa tidak pernah ada arca pada stupa utama. Arca yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada jaman dahulu. Menurut kepercayaan, arca yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak arca seperti ini. Dari luar arca-arca itu masih tampak samar-samar.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Upacara itu disebut pradaksima Tingkat-10.
Sejarawan Belanda Dr. J.G. Casparis dalam desertasinya untuk mendapat gelar doctor pada tahun 1950 mengemukakan, bahwa Borobudur yang bertingkat 10 itu, secara jelas menggambarkan filsafat Buddha Mahayana yang disebut “Dasabodhisatwabhumi”. Filsafat itu mengajarkan, bahwa setiap orang yang ingin mencapai tingkat kedudukan sebagai Buddha, harus melampaui 10 tingkatan Bodhisatwa. Apabila telah melampaui 10 tingkat itu, maka manusia akan mencapai kesempurnaan dan menjadi seorang Buddha.
Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia. Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.
Arca-arca Dhayani Buddha

Jumlah arcanya ada 505 buah, terdiri dari : -Tingkat ke-1 Rupadhatu ditempat arca-arca Manushi Budha sebanyak 92 buah; -Tiga tingkat selebihnya masing-masing mempunyai 92 buah arca Dhyani Buddha; -Tingkat di atasnya mempunyai 64 arca Dhyani Buddha. Selanjutnya di tingkat Arupadhatu terdapat pula arca-arca Dhyani Buddha yang dikurung dalam stupa, masing-masing tingkat sebanyak : 32, 24 dan 16 jumlah 72 buah. Akhirnya di stupa induk paling atas, dahulunya terdapat pula sebuah arca Sang Adhi Buddha, yaitu Buddha tertinggi dalam agama Buddha Mahaya. Maka jumlah seluruhnya adalah 432 + 64 + 1 = 505 buah. 

Agar lebih jelas susunan-susunan arca Budha yang terdapat pada candi Borobudur adalah sebagai berikut:
1. Langkah I terdapat               : 104 arca Budha
2. Langkah II terdapat              : 104 arca Budha
3. Langkah III terdapat             : 88 arca Budha
4. Langkah IV terdapat             : 22 arca Budha
5. Langkah V terdapat              : 64 arca Budha
6. Teras bundar I terdapat        : 32 arca Budha
7. Teras bundar II terdapat       : 24 arca Budha
8. Teras bundar III terdapat      : 16 arca Budha
Jumlah                                      : 504 arca Budha

Sekilas, arca Budha itu tampak serupa semuanya namun sesunguhnya ada juga perbedaannya. Perbedaan yang sangat jelas dan juga yang membedakan satu dengan lainya adalah dalam sikap tangannya yang di sebut Mudra dan merupakan ciri khas untuk setiap arca. Sikap tangan arca Budha di Candi Borobudur sebenarnya ada 6 macam. Hanya saja, karena macam mudra yang di miliki menghadap ke semua arah (Timur, Selatan, Barat, dan Utara) dan pada bagian Rupadhatu yang terdapat di langkah V maupun pada bagian Arupadhatu, pada umumnya menggambarkan maksud yang sama maka jumlah mudra yang pokok hanya ada lima. Kelima mudra itu adalah Bhumispara Mudra, Wara Mudra, Dhayana Mudra, Abhaya Mudra, Dharma Cakra Mudra.

Pada bagian Rupadhatu, arca Dhayani Buddha digambarkan terbuka. Arca-arca ini ditempatkan di lubang dinding seperti di jendela terbuka. Tetapi dibagian Arupadhatu arca-arca itu ditempatkan di dalam stupa yang tutupnya berlubang-lubang seperti didalam kurungan. Dari luar masih tampak arca-arca itu samar-samar. Cara penempatan arca-arca tersebut rupanya dimaksudkan oelh penciptanya untuk melukiskan wujud samar-samar “antara ada dan tiada” sebagai suatu peralihan makna antra Rupadhatu dan Arupadhatu.
Arupa yang artinya tidak berupa atau tidak berwujud, sepenuhnya baru tercapai pada puncak dan pusat candi itu yaitu stupa terbesar dan tertinggi yang digambarkan polos (tanpa lubang-lubang), sehingga arca didalamnya sama sekali tidak tampak. Stupa-stupa yang mengurung arca-arca di bagian Arupadhatu, bagian bawahnya bergaris miring, sedang lubang-lubang diatasnya bergaris tegak.

Menurut almarhum Prof. Dr. Sucipta Wirjosaputro, lubang-lubang seperti tersebut merupakan lambang proses lenyapnya sisa nafsu secara bertahap. Lubang-lubang yang bergaris miring (lebih rendah dari lainnya) menggambarkan, bahwa di tingkat itu masih ada sisa-sisa dari nafsu, sedang pada tingkat di atasnya yang bergaris tegak, menggambarkan nafsu itu telah terkikis habis, dan hati pun telah lurus.

Arca Singa

Pada Candi Borobudur selain arca Budha, juga terdapat arca singa jumlah kurang lebih 32 buah arca singa, akan tetapi jiak saat ini di hitung, mungkin sekarang jumlahnya berkurang karena berbagai sebab. Salah satu arca singa yang sangat besar, berada pada halaman sisi barat, yang juga menghadap ke barat, seolah – olah sedang menjaga bangunan Candi Borobudur yang megah dan anggun.

Stupa

Di Candi Borobudur terdapat  tiga jenis stupa, masing-masing:

- Stupa Induk. yang berukuran lebih besar dari stupa-stupa lainya dan terletak di tengah-tengah bagian paling atas. Stupa induk ini merupakan mahkota dari seluruh monumen bangunan Candi Borobudur. Garis tengah Stupa induk berukuran sekitar 9,90 m, tinggi 7 m dan bagian puncak tertinggi di sebut pinakel atau Yasti Cikkara, terletak di atas Padmaganda dan juga terletak di garis Harmika.

- Stupa Berlubang atau Stupa Terawang. Yang dimaksud stupa berlubang atau terawang ialah Stupa yang terdapat pada teras I, II, III di mana di dalamnya terdapat arca Budha. Di Candi Borobudur jumlah stupa berlubang seluruhnya 72 Buah, stupa – stupa tersebut berada pada tingkat Arupadhatu dimana di teras I terdapat 32 Stupa, di teras II terdapat 24 Stupa, dan di teras III terdapat 16 Stupa. Jadi total berjumlah 72 Stupa

- Stupa kecil. Bentuknya hampir sama dengan stupa yang lainya, hanya saja perbedaan yang menonjol adalah ukurannya yang lebih kecil dari stupa yang lainya, seolah-olah menjadi hiasan bangunan Candi Borobudur. Keberadaan stupa ini menempati relung – relung pada langkah ke II saampai langkah ke V sedangkan pada langkah I berupa Keben dan sebagian berupa stupa kecil yang berjumlah 1472 Buah.

Relief
Di setiap tingkatan, dinding-dinding Candi Borobudur dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu rangkaian cerita. Menurut Drs. Moehkardi, relief-relief ini terususun dalam 1.460 panel atau adegan, sedangkan relief yang bersifat dekoratif (hiasan) ada 1212 buah. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jika rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3 km.
Semua relief yang ada pada dinding Candi Borobudur, pembacaan cerita-ceritanya senantiasa dimulai dari Gerbang Timur. Dari situ dapat disimpulkan bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar. 
Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita tentang Ramayanan dan jātaka.Tetapi secara keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha. Pada lantai pertama, segera membelok ke kiri berjalan searah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur.
Sebagai relief pertama dilukiskan ketika Sang Bodhisatta (Bodhisatva) berada di Nirvana Tusita, dibimbing oleh deva ketika akan lahir sebagai manusia. Barulah pada dinding ke 13 dilukiskan ketika Permaisuri Maya bermimpi seekor gajah masuk ke dalam rahimnya sebagai pertanda akan melahirkan putra mahkota pada usia lanjut. Mengelilingi dinding pertama hingga pada ujung Gerbang Timur lagi dilukiskan ketika Sang Buddha membabarkan dhamma (dharma) untuk pertama kali dihadapan lima orang pertapa di Taman Isipatana. Kisah kehidupan ini disebut Lilitavistatara.

Membaca relief lantai kedua sampai dengan lantai keempat secara pradaksina dapat disaksikan penggambaran ketiga Sang Bodhisatta tumimbal lahir sebelum kelahirannya yang teakhir sebagai manusia Siddhattha (Siddhartha). Himpunan cerita ini ada yang melukiskan ketika hidup sebagai kelinci, gajah, manusia bahkan dewa. Cerita ini diambil dari kitab kelima dari Sutta Pitaka, bagian dari Khudaka Nikaya yang disebut Jataka. Cerita dari Jataka ini sangat disukai oleh anak-anak beragama Buddha, dan menjadikannya berkeyakinan akan adanya tumimbal lahir sebelum tercapainya Nibbana.

Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Kalau empat lantai sebelumnya berbentuk bujursangkar, tiga lantai tanpa relief yang disebut Arupa-Datu berbentuk lingkaran. Bagian kesembilan adalah stupa induk. Masih ada lagi satu lantai basement (bawah tanah) yang hanya dibuka sedikit, disebut Kama-Datu, menggambarkan pemenuhan nafsu. Empat lantai berrelief oleh ahli sejarah disebut Rupa-Datu. Itulah sebabnya Borobudur disebut juga “ bangunan suci sepuluh tingkat”. Borobudur yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas filosofi Budhisme sangha Mahayana. Filsafat itu mengajarkan bahwa setiap orang/mahluk yang mengabdikan diri bagi kemanusiaan dan sesama mendapat julukan Bodhisattva, yang menempuh proses 10 tahapan. Apabila telah melampaui semua tingkat itu, manusia akan mencapai kesempurnaan (moksa).
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
Bagan Relief
Tingkat
Posisi/letak
Cerita Relief
Jumlah Pigura
Kaki candi asli
- -----
Karmawibhangga
160 pigura
Tingkat I
- dinding
a. Lalitawistara
120 pigura
-------
- -----
b. jataka/awadana
120 pigura
-------
- langkan
a. jataka/awadana
372 pigura
-------
- -----
b. jataka/awadana
128 pigura
Tingkat II
- dinding
Gandawyuha
128 pigura
--------
- langkan
jataka/awadana
100 pigura
Tingkat III
- dinding
Gandawyuha
88 pigura
--------
- langkan
Gandawyuha
88 pigura
Tingkat IV
- dinding
Gandawyuha
84 pigura
--------
- langkan
Gandawyuha
72 pigura
--------
Jumlah
--------
1460 pigura

Relief pada candi Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda. Isi ceritanya bermacam-macam, antara lain ada relief-relief tentang wiracarita Ramayana, ada pula relief-relief cerita jātaka. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).

Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Bagian kaki candi yang terlihat sekarang ini, sebenarnya bukanlah sebagaimana bangunan aslinya. Sebagian besar dasar candi tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat kontruksi candi atau alasan tehnis lainnya. Hanya sebagian kecil dibuka sehingga orang dapat melihat relief bagian ini.
Relief Karmawibhanga yang terdapat pada bagian Kamadhatu, dan berjumlah 160 buah pigura, yang secara jelas menggambarkan tentang hawa nafsu dan kenikmatan serta akibat perbuatan dosa dan juga hukuman yang di terima, tetapi ada juga perbuatan baik serta pahalanya. Jadi, sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batu yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma.

Deretan relief tersebut bukanlah merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, seperti yang tergambar mengenai mulut-mulut yang usil, orang yang suka mabuk-mabukan, dan perbuatan-perbuatan lain yang mengakibatkan suatu dosa, tetapi juga perbuatan baik manusia beserta dengan pahala yang diterimanya, seperti yang tergambar dalam mengenai orang yang suka menolong, ziarah ke tempat suci, bermurah hati kepada sesama, dan lain-lain, yang mengakibatkan orang mendapat ketentraman hidup dan pahala. Secara keseluruhan relief 

Karmawibhanga, merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa, dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur.
Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.

Permainan Angka Pada Candi Borobudur

Drs. Moehkardi mengemukakan adanya permainan angka dalam Candi Borobudur yang amat mengagumkan, sebagai berikut : Jumlah stupa di tingkat Arupadhatu (stupa puncak tidak di hitung) adalah: 32, 24, 26 yang memiliki perbandingan yang teratur, yaitu 4:3:2, dan semuanya habis dibagi 8. Ukuran tinggi stupa di tiga tingkat tsb. Adalah: 1,9m; 1,8m; masing-masing bebeda 10 cm. 

Begitu juga diameter dari stupa-stupa tersebut, mempunyai ukuran tepat sama pula dengan tingginya : 1,9m; 1,8m; 1,7m. Beberapa bilangan di borobudur, bila dijumlahkan angka-angkanya akan berakhir menjadi angka 1 kembali. Diduga bahwa itu memang dibuat demikian yang dapat ditafsirkan : angka 1 melambangkan ke-Esaan Sang Adhi Buddha. Perhatikan bukti-buktinya dibawah ini : Jumlah tingkatan Borobudur adalah 10, angka-angka dalam 10 bila dijumlahkan hasilnya : 1 + 0 = 1. Jumlah stupa di Arupadhatu yang didalamnya ada arca-arcanya ada : 32 + 24 + 16 + 1 = 73, angka 73 bila dijumlahkan hasilnya: 10 dan seperti diatas 1 + 0 = 10. Jumlah arca-arca di Borobudur seluruhnya ada 505 buah. Bila angka-angka didalamnya dijumlahkan, hasilnya 5 + 0 + 5 = 10 dan juga seperti diatas 1 + 0 = 1. 

Sang Adhi Buddha dalam agama Buddha Mahaya tidak saja dianggap sebagai Buddha tertinggi, tetapi juga dianggap sebagai Asal dari segala Asal, dan juga asal dari keenam Dhyani Buddha, karenanya ia disebut sebagai “Yang Maha Esa”. Demikianlah keindahan Borobudur sebagai yang terlihat dan yang terasakan, mengandung filsafat tinggi seperti yang tersimpan dalam sanubari bangsa Timur, khususnya bangsa kita.
Tahapan pembangunan Borobudur
Tahap pertama
Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan antara 750 dan 850 M). Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya akan dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar.
Tahap kedua
Pondasi Borobudur diperlebar, ditambah dengan dua undak persegi dan satu undak lingkaran yang langsung diberikan stupa induk besar.
Tahap ketiga
Undak atas lingkaran dengan stupa induk besar dibongkar dan dihilangkan dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa dibangun pada puncak undak-undak ini dengan satu stupa besar di tengahnya.
Tahap keempat
Ada perubahan kecil seperti pembuatan relief, perubahan tangga dan lengkung atas pintu.
Penemuan Kembali Candi Borobudur

Candi Borobudur menjulang tinggi di antara dataran rendah di sekelilingnya. Rasanya sungguh tidak akan pernah masuk di akal, jika melihat karya seni yang sedemikian menakjubkan, dapat dibangun pada masa itu. Tetapi, tidak lebih masuk akal lagi bila di katakan Candi Borobudur yang pernah mengalami kerusakan yang sedemikain hebat itu, dapat hilang dari ingatan dan perhatian orang. Tetapi memang demikianlah keadaannya. Candi Borobudur pernah terlupakan selama berabad-abad. Bangunan yang begitu megahnya, di hadapkan pada proses kehancuran. 

Candi Borobudur yang sedemikian megahnya itu, digunakan sebagai pusat ziarah, hanya selama 150 tahun. Sungguh waktu yang relatif singkat bila di bandingkan dengan lamanya para pekerja menghiasi / membangun bukit alam Candi Borobudur dengan batu-batu. Memang semenjak berakhirnya kerajaan Mataram tahun 930 M, pusat kehidupan dan kebudayaan Jawa bergeser ke timur.

Demikianlah, karena terbengkalai, tak terurus, maka lama-lama di sana-sini tumbuh macam-macam tumbuhan liar, yang lama kelamaan menjadi rimbun dan menutupi bangunan Candi Borobudur. Candi Borobudur terbengkalai dan terlupakan, kurang lebih selama 10 abad.

Penyelamatan dan Pemugaran Candi Borobudur

1. Penyelamatan

Sebelum dipugar, Candi Borobudur hanya berupa reruntuhan seperti halnya artefak-artefak candi yang baru ditemukan. Pada tahun 1814, Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jendral Inggris, ketika Indonesia di kuasai / di jajah Inggris pada tahun 1811 M – 1816 M, mendapat berita dari bawahannya tentang adanya bukit yang dipenuhi dengan batu-batu berukir. Berdasarkan berita itu, Raffles mengutus Cornelius, seorang pengagum seni dan sejarah, untuk membersihkan bukit itu. Setelah dibersihkan selama dua bulan dengan bantuan 200 orang penduduk, bentuk bangunan candi menjadi semakin jelas dan pemugaran dilanjutkan pada 1825.

Pada 1834 Residen Kedu bernama Hartman yang baru dua tahun menduduki jabatan mengusahakan pembersihan seluruh bangunan candi Borobudur dari segala sesuatu yang menutupi dan mengahalangi pemandangan. Puing-puing yang menutupi candi, disingkirkan. Tanah-tanah yang menutupi lorong-lorong candi juga disingkirkan, sehingga bangunan candi tampak semakin baik.

Stupa yang ternyata puncak candi diketahui sudah menganga, sejak ditangani Cornelius 20 tahun sebelumnya.. Selama kurun waktu 20 tahun itu tidak ada yang bertanggung jawab terhadap kawasan penemuan. Pada tahun 1842 Hartman melakukan penelitian pada stupa induk.

Dalam budaya agama Buddha, stupa didirikan untuk menyimpan relik Buddha atau relik para siswa Buddha yang telah mencapai kesucian. Dalam bahasa agama, relik disebut saririka dhatu, diambil dari sisa jasmani yang berupa kristal selesai dilaksanakan kremasi. Bila belum mencapai kesucian, sisa jasmani tidak berbentuk kristal dan tidak diambil. Bila berupa kristal akan diambil dan ditempatkan di dalam stupa. Diyakini bahwa relik ini mempunyai getaran suci yang mengarahkan pada perbuatan baik.

Pada setiap upacara Waisak, relik ini juga dibawa dalam prosesi dari Mendut ke Borobudur untuk ditempatkan pada altar utama di Pelataran Barat. Relik yang seharusnya berada di dalam stupa induk Borobudur hingga kini tidak diketahui siapa yang mengambil dan di mana disimpan.

Demikianlah, Borobudur yang ditemukan pada tahun 1814 mulai ditangani di bawah perintah Hartman antara lain dengan mendatangkan fotografer, pada tahun 1845 bernama Schaefer, namun hasilnya tidak memuaskan. Itulah sebabnya pada tahun 1849 diambil keputusan untuk menggambar saja bangunan Borobudur. Tugas mana dipercayakan pada FC Wilsen yang berhasilkan menyelesaikan 476 gambar dalam waktu 4 tahun.

Ada seorang lagi yang ditugaskan untuk membuat uraian tentang Borobudur yang masih berupa duga-duga, yaitu Brumund. Hasil Wilson maupun Brumund diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada Leemans pada 1853 yang baru berhasil menyelesaikannya pada 1873 .

Selama penggarapan gambar yang duga-duga itu, oleh Hartman Borobudur dijadikan tempat rekreasi. Pada puncaknya didirikan bangunan untuk melihat keindahan alam sambil minum teh. Pembersihan batu-batuan terus berlangsung, ditempel-tempel asal jadi menurut dugaan asal-asalan saja. Anugerah untuk Raja Borobudur dibersihkan dari hari ke hari, hingga makin menarik. Sungguh fantastis bagi para penguasa Belanda menikmati pemandangan indah di atas bangunan kuno yang sedemikian besar.

Pada tahun 1896, Raja Thai, Chulalongkorn datang ke Hindia Belanda. Sebagai penganut agama Buddha tentu tidak akan melewatkan untuk menyaksikan bangunan stupa yang didengung-dengungkan oleh para pejabat pemerintah kolonial. Entah bagaimana ceriteranya, Pemerintah Belanda menawarkan Raja untuk membawa bagian dari batu-batuan Borobudur. Menurut catatan tidak kurang dari 8 gerobak melalui Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Diantara yang diangkut ke Negara Gajah Putih tersebut ada 30 lempeng relief dinding candi, 5 buah arca Buddha, 2 arca singa dan 1 pancuran makara. Bilamana kita berada di istana

Raja Bhumibol Adulyagej kita dapat saksikan batu-batuan Borobudur yang terawat baik hingga kini.
Sebagai negara yang sebagian besar menganut Buddha, rakyat menyampaikan hormat dihadapan arca Buddha asal Borobudur sebagai lambang kebesaran Gurunya. Jadi, jauh sebelum batu-batuan Borobudur ditempatkan sebagaimana mestinya, bagian dari batu-batuan yang berada dalam istana dynasti Cakri telah diperlakukan dengan baik, karena keluarga raja di sana mengerti simbol-simbol yang terkandung dalam bagian kecil peninggalan agama yang dianutnya.

Pemugaran Pada tahun 1882 ada usul untuk membongkar seluruh batu-batuan Borobudur untuk ditempatkan dalam suatu museum. Usul ini tidak disetujui, bahkan mendorong usaha untuk membangun kembali reruntuhan hingga berbentuk candi. Dorongan lain untuk lebih membuka tabir misteri dalah diketemukannya satu lantai lagi dibawah lantai pertama candi oleh Vzerman pada 1885.

2. Pemugaran
Semenjak Candi Borobudur di temukan, mulailah usaha perbaikan dan pemugaran kembali, bangunan Candi Borobudur. Pada awalnya, perbaikan dan pemugaran hanya dilakukan secara kecil-kecilan dan dilakukan pembuatan gambar-gambar serta foto-foto reliafnya.

Pada tahun 1900 dibentuklah Panitia Khusus perencanaan pemugaran Candi Borobudur. Setelah bekerja dua tahun, maka Panitia menyimpulkan bahwa tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pemugaran yaitu:

Pertama : segera diusahakan penaggulangan bahaya runtuh yang sudah mendesak dengan cara memperkokoh sudut-sudut bangunan, menegakkan kembali dinding-dinding yang miring pada tingkat pertama, memperbaiki gapura-gapura, relung serta stupa, termasuk stupa induk.

Kedua : menjaga keadaan yang sudah diperbaiki dengan cara mengadakan pengawasan yang ketat dan tepat, menyempurnakan saluran air dengan jalan memperbaiki lantai-lantai serta lorong-lorong.

Ketiga : menampilkan candi dalam keadaan bersih dan utuh dengan jalan menyingkirkan semua batu-batuan yang lepas untuk dipasang kembali serta menyingkirkan semua bangunan tambahan.

Pada tahun 1905 keluarlah Keputusan Pemerintah Kerajaan Belanda yang menyetujui usul Panitia dengan penyediaan dana sebesar 48.800 gulden dan menunjuk Ir. Theodorus van Erp utnuk memimpin pemugaran tersebut. Pada bulan Agustus 1907, untuk pertama kalinya, dimulailah pemugaran candi Borobudur secara sungguh-sungguh, dibawah pimpinan Theodorur van Erp.Pemugaran ini dimaksudkan untuk menghindari kerusakan-kerusakan yang lebih besar lagi. Van Erp-lah yang membangun kembali susunan bentuk candi dari reruntuhan karena dimakan zaman sampai kepada bentuk sekarang.

Walaupun banyak bagian tembok atau dinding-dinding bangunan Candi Borobudur, terutama tingkat tiga dari bawah sebelah Barat Laut, Utara dan Timur Laut, yang masih tampak miring dan sangat mengkhawatirkan bagi para pengunjung maupun bangunannya sendiri secara keseluruhan, namun melalui pekerjaan Van Erp tersebut, untuk sementara Candi Borobudur dapat diselamatkan dari kerusakan yang lebih besar. Pemugaran berhasil diselesaikan pada tahun 1911. Sejak saat itu, candi Borobudur dapat dinikmati keindahannya secara utuh.

Van Erp sebetulnya seorang ahli teknik bangunan Genie Militer dengan pangkat letnan satu, tetapi kemudian tertarik untuk meneliti dan mempelajari seluk-beluk Candi Borobudur, mulai dari falsafahnya sampai kepada ajaran-ajaran yang dikandungnya. Untuk itu dia mencoba melakukan studi banding selama beberapa tahun di India. Ia juga pergi ke Sri Langka untuk melihat susunan bangunan puncak stupa Sanchi di Kandy, sampai akhirnya van Erp menemukan bentuk Candi Borobudur. Sedangkan mengenai landasan falsafah dan agamanya ditemukan oleh Stutterheim dan NJ. Krom, yakni tentang ajaran Buddha Dharma dengan aliran Mahayana-Yogacara dan ada kecenderungan pula bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana.

Penelitian terhadap susunan bangunan candi dan falsafah yang dibawanya, tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau dihubung-hubungkan dengan bangunan-bangunan candi lainnya yang masih satu rumpun. Seperti halnya antara Candi Borobudur dengan Candi Pawon dan Candi Mendut yang secara geografis berada pada satu jalur.

Mengenai gapura-gapura, hanya beberapa saja yang telah dikerjakan di masa itu, untuk mencoba mengembalikan kejayaan masa silam. Namun juga perlu disadari bahwa tahun-tahun yang dilalui Borobudur selama tersembunyi di semak-semak, sebenarnya secara tidak langsung telah menutupi dan melindungi candi Borobudur dari cuaca buruk yang mungkin dapat merusak bangunan candi ini. Van Erp berpendapat bahwa, miring dan meleseknya dinding-dinding dari bangunan itu, tidaklah sangat membahayakan bangunan itu. Pendapat itu sampai 50 tahun kemudian memang tidak salah. Akan tetapi sejak tahun 1960 M, pendapat Theodorus Van Erf itu mulai di ragukan, dan di khawatirkan akan ada kerusakan yang lebih parah

Setelah proklamasi kemerdekaan, pada tahun 1948 Pemerintah RI yang masih dalam penataan negara, memperhatikan kerusakan Borobudur yang sudah diketahui sejak 1929 dengan mendatangkan dua orang ahli purbakala dari India. Sayang usaha ini tidak ada kelanjutannya.

Pada tahun 1955 pemerintah RI mengajukan permintaan bantuan kepada Unesco untuk menyelamatkan berbagai candi di Jawa, tidak terkecuali Borobudur . Usaha lebih mantap baru dimulai pada tahun 1960 yang terhenti karena pemberontakan G.30.S/PKI ketika bangsa dan negara mengkonsentrasikan diri menyelematkan masa depan yang hampir saja dikoyak komunis.

Pemugaran candi secara serius baru terlaksana pada masa Orde Baru, melalui SK Presiden RI No.217 tahun 1968. Pada konferensi ke 15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberikan bantuan guna menyelamatkan candi Borobudur. Pada 4 Juli 1968 dibentuk Panitia Nasional yang bertugas mengumpulkan dana dan melaksanakan pemugaran. Tahun berikutnya Presiden membubarkan Panitia tersebut dan membebankan tugas pemugaran kepada Menteri Perhubungan.

Pemugaran dan perbaikan Candi Borobudur berikutnya, dimulai tanggal 10 Agustus 1973 dan selesai pada tanggal 23 Februari 1983. Prasasti dimulainya pekerjaan pemugaran Candi Borobudur terletak di sebelah Barat Laut Menghadap ke timur. Tidak kurang dari 600 orang pekerja, diantaranya ada tenaga-tenaga muda lulusan SMA dan STM bangunan, yang memang sengaja diberikan pendidikan khusus mengenai teori dan praktek dalam bidang Chemika Arkeologi ( CA ) dan Teknologi Arkeologi ( TA ).

Teknologi Arkeologi bertugas membongkar dan memasang batu-batu Candi Borobudur, sedangkan Chemika Arkeologi bertugas membersihkan serta memperbaiki batu-batu yang sudah retak dan pecah. Pekerjaan-pekerjan di atas bersifat arkeologi semua, di tangani oleh badan pemugaran Candi Borobudur, sedangkan pekerjaan yang bersifat teknis seperti penyediaan transportasi pengadaaan bahan-bahan bangunan, di tangani oleh kontraktor ( P.T. Nidya Karya dan The Construction & Development Corporation of The Philipine).

Bagian-bagian Candi Borobudur yang di pugar ialah bagian Rupadhatu yaitu tempat tingkat dari bawah yang berbentuk bujur sangkar. Kaki Candi Borobudur serta teras I, II, III dan stupa induk, ikut di pugar dan pemugaran selesai pada tanggal 23 Februari 1983 M di bawah pimpinan Dr. Soekmono, dengan di tandai sebuah batu prasasti seberat lebih dari 20 Ton.

Prasasti peresmian selesainya pemugaran terletak di halaman barat, dan berbentuk batu yang sangat besar, seberat 20  ton dan di buat dengan satu bagian menghadap ke utara satu bagian lagi menghadap ke timur. Penulisan dalam prasasti tersebut di tangani langsung oleh tenaga yang ahli dan terampil dari Yogyakarta, yang bekerja pada proyek pemugaran Candi Borobudur. Usaha penyelamatan ini adalah yang paling mantap dalam sejarah perawatan Borobudur.
Ikhtisar waktu proses pemugaran Candi Borobudur
  • 1814 - Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar adanya penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.
  • 1873 - monografi pertama tentang candi diterbitkan. Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi.
  • 1900 - pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan candi Borobudur.
  • 1907 - Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911.
  • 1926 - Borobudur dipugar kembali, tapi terhenti pada tahun 1940 akibat krisis malaise dan Perang Dunia II.
  • 1956 - pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang ke Indonesia dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab kerusakan Borobudur.
  • 1963 - pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan untuk memugar Borobudur, tapi berantakan setelah terjadi peristiwa G-30-S.
  • 1968 - pada konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberi bantuan untuk menyelamatkan Borobudur.
  • 1971 - pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai Prof.Ir.Roosseno.
  • 1972 - International Consultative Committee dibentuk dengan melibatkan berbagai negara dan Roosseno sebagai ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO menyediakan 5 juta dolar Amerika Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta dolar Amerika Serikat. Sisanya ditanggung Indonesia.
  • 10 Agustus 1973 - Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran Borobudur; pemugaran selesai pada tahun 1984
  • 21 Januari 1985 - terjadi serangan bom yang merusakkan beberapa stupa pada Candi Borobudur yang kemudian segera diperbaiki kembali. Serangan dilakukan oleh kelompok Islam ekstrem yang dipimpin Habib Husein Ali Alhabsyi
  • 1991 – Borobudur ditetapkan sebagai Warisan Budaya oleh UNESCO
Misteri seputar Candi Borobudur

Sampai saat ini ada beberapa hal yang masih menjadi bahan misteri seputar berdirinya Candi Borobudur, misalnya dalam hal susunan batu, cara mengangkut batu dari daerah asal sampai ke tempat tujuan, apakah batu-batu itu sudah dalam ukuran yang dikehendaki atau masih berupa bentuk asli batu gunung, berapa lama proses pemotongan batu-batu itu sampai pada ukuran yang dikehendaki, bagaimana cara menaikan batu-batu itu dari dasar halaman candi sampai ke puncak, alat derek apakah yang dipergunakan?.

Gambar relief, apakah batu-batu itu sesudah bergambar lalu dipasang, atau batu dalam keadaan polos baru dipahat untuk digambar. Dan mulai dari bagian mana gambar itu dipahat, dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas? masih banyak lagi misteri yang belum terungkap secara ilmiah, terutama tentang ruang yang ditemukan pada stupa induk candi dan arca Budha, di pusat atau zenith candi dalam stupa terbesar, diduga dulu ada sebuah arca penggambaran Adibuddha yang tidak sempurna yang hingga kini masih menjadi misteri.

No comments:

Post a Comment