Thursday, 25 November 2010

Yayati


Yayati (Sanskerta: Yayāti), menurut kisah Mahabharata, mitologi dan sastra Hindu, adalah leluhur Sang Bharata, Maharaja India pada zaman dahulu kala. Ia merupakan putera kedua dari pasangan Nahusa dan Wiraja. Nahusa adalah anak dari raja Ayu. Kakaknya bernama Yati, yang memilih jalan hidupnya untuk menjadi pertapa. Karena Yati tidak mau mewarisi tahta, maka Yayati diangkat menjadi raja, meskipun ia bukan merupakan putera sulung.

Maharaja Yayati merupakan seorang yang tampan, gagah perkasa, dan sakti. Ia tidak pernak kalah dalam setiap peperangan. Ia memerintah negeri Astina dengan adil paramarta, selalu mengikuti petunjuk-petunjuk kitab suci Sastra, menyembah Tuhan dan menghormati nenek moyang dengan pengabdian yang tidak pernah terputus. Ia menjadi masyur karena pemerintahannya ditujukkan untuk kesejahteraan rakyatnya, Sayangnya ia cepat menjadi tua, oleh karena kutuk-pastu Resi Mahaguru Sukra yang diterimanya karena bersikap tidak adil terhadap Dewayani, isterinya. Di kemudian hari, Yayati menikah dengan Dewayani dan Sarmista, dan menurunkan lima putera.

Kisah mengenai Yayati dapat ditemukan dalam kitab Mahabharata, Brahmapurana, Naradapurana, Matsyapurana, Bhagawatapurana dan Purana lainnya. Berbagai kitab tersebut memiliki versi yang berbeda-beda mengenai Yayati, namun inti ceritanya tetap sama.

Pernikahan dengan Dewayani

Pada suatu ketika, Yayati pergi berburu. Karena lelah, ia berhenti di suatu tempat dan mencari air di sebuah sumur. Ketika ia menengok ke dalam sumur, didapatinya seorang wanita yang elok parasnya. Yayati yang merasa iba, mengulurkan tangannya agar sang wanita dapat diselamatkan. Setelah berhasil keluar dari sumur, wanita tersebut mengaku bernama Dewayani, puteri Mahaguru Sukra

Ia jatuh ke sumur karena didorong oleh Sarmista, inangnya sendiri, karena memperebutkan pakaian. Sang Raja dan Dewayani kemudian saling jatuh cinta. Atas jasanya karena telah menolong Dewayani, Mahaguru Sukra memberikan puteri kesayangannya tersebut untuk dinikahi Yayati. Yayati pun menerimanya dengan senang hati. Mahaguru Sukra juga mengajukan syarat bahwa sang raja tidak boleh menikahi Sarmista, yakni inang Dewayani. Demi cintanya kepada Dewayani, maka sang raja pun menyanggupinya.

Keturunan Yayati 

Dari hasil perkawinannya, Yayati dan Dewayani dikaruniai dua orang putera, yang sulung diberi nama Yadu dan yang bungsu diberi nama Turwasu. Amat bahagia Yayati menyambut buah hatinya tersebut. Suatu ketika, Sarmista mendekati Raja Yayati yang sedang duduk sendirian di taman.

Ia membujuk sang raja agar mau mengawininya. Sang raja menolak, namun selalu dirayu oleh Sarmista. Meskipun Sarmista hanya seorang inang, tetapi ia memiliki kecantikan yang tidak kalah dengan Dewayani, apalagi ditambah dengan kegenitannya, mampu membuat orang menelan ludah, dan memang menggiurkan. Bahkan mata dan senyumnya pun mempunyai daya magnet yang kuat, seolah-olah mampu menggerayangi indera setiap orang yang melihatnya.

Tentu saja orang yang tidak teguh imannya, atau memang mata keranjang akan jatuh hati. Tidak terkecuali raja Yayati. Iman raja Yayati pun akhirnya dapat jebol juga. Sarmista berhasil merayu Yayati, sehingga sang raja mengingkari janji pernikahannya.

Syahdan pada suatu malam yang sunyi, Prabu Yayati, dengan diam-diam menemui Sarmista. Apa yang mereka perbuat selanjutnya? Hanya mereka berdua yang tahu. Satu dua kali memang tidak ketahuan, sampai akhirnya Ia menikah diam-diam dengan Sarmista. Dari hasil perkawinannya, sang raja memiliki tiga putera. Yang sulung diberi nama Druhyu, yang tengah diberi nama Anu, yang bungsu diberi nama Puru. Ketiga-tiganya berparas mirip dengan Sang Raja.

Kutukan Dewayani 

Tetapi betapapun rapat disimpannya, toh suatu perbuatan yang menyeleweng, akhirnya terbongkar juga. Pada suatu ketika, Dewayani melihat di taman ada tiga orang anak yang wajahnya mirip dengan suaminya, Raja Yayati. Dewayani pun menanyakan ayah mereka. Ketiga anak tersebut menunjuk ke arah Yayati. Dewayani menjerit, menangis dengan menutup muka sambil lari mencari ayahnya Resi Sukra untuk melaporkan segala perbuatan Prabu Yayati dengan inangnya sendiri (Sarsmita). Dewayani yang merasa sakit hati, mengatakan bahwa sang raja sudah mengingkari janjinya. Suasana menjadi geger dan ribut.

Resi Sukra memang dapat menahan emosi dan tuntutan lahiriahnya. Tetapi suara batinnya tidak demikian, Mahaguru Sukra belum lupa akan janji Yayati pada anaknya dan diriny untuk tidak menikahi Sarmista. Meskipun ia mampu menahan emosinya tidak urung kata-katanya tetap menjadi kutk pasu bagi Yayati. Mahaguru Sukra berkata, ”Wahai Sang Maha Raja tuanku Prabu Yayati, ternyata paduka telah kehilangan kehormatan paduka, kemegahan bahkan keremajaan paduka.”

Bukan main ampuhnya kutuk Resi Sukra. Seketika itu juga Prabu Yayati yang semula tampan dan gagah perkasa, tiba-tiba menjadi seorang tua, keriput dan kempot. Yayati yang menerima kutuk tersebut, jatuh tertelungkup, menangis dan bersujud memohon ampun kepada Resi Sukra. Tetapi apa jawabnya:
Wahai paduka yang mulia, Maha Raja Yayati, Kutuk Pasu itu, tidak bisa dibatalkan, kecuali ada seseorang yang mau menukarkan ketuaanmu dengan kemudaannya. Hal itu bisa terjadi.”

Benar-benar remuk redamlah hati Sang Prabu. Semangat hidupnya hancur. Ia tertimpa perasaan yang cemas, ngeri, malu dan hina. Ia sebenarnya masih menginginkan keberahian, kemewahan dan kekuasaan, tetapi ia tidak mampu lagi mereguk kenikmatan duniawi, padahal gairah nafsunya untuk merasakan madu asmara masih menggebu-gebu. Demikianlah, semenjak ia menerima kutukan dari mertuanya, Yayati berubah menjadi laki-laki tua renta yang kehilangan kegagahan dan keperkasaannya.

Pada suatu hari, Yayati memanggil kelima putranya. Setelah mereka semua menghadap, ia berkata dengan lembut dan meminta mereka untuk sudi menolong ayah mereka.

Kata Yayati, ”Kutuk-pastu telah dijatuhkan oleh kakekmu Mahaguru Sukra, membuatku tiba-tiba menjadi tua renta sebelum waktunya, padahal aku belum puas menikmati kenikmatan duniawi.”

”Ketahuilah hai, putra-putraku, sejak muda aku hidup dengan mengekang hawa nafsuku, menolak semua kesenangan duniawi, walaupun kesenangan itu wajar dan tidak melanggar kitab-kitab suci. Setelah menikah dengan ibu kalian, dan belum lama mengecap kebahagiaan, tahu-tahu aku telah menjadi tua. Sebab itu aku mohon salah seorang dari engkau hendaknya mau menolong dan membagi bebanku ini, dengan mengambil sebagian ketuaanku dan memberikan kemudaanmu. Sebagai gantinya Ia pun berjanji akan mewariskan takhta kerajaannya.

Setelah putra-putranya mendengar permintaan ayahnya, mereka sangat terkejut, bahkan yang tertua, Sang Yadu, langsung menolaknya dan dengan lantang menjawab: ”Oh ayahanda, hambapun masih ingin menikmati keremajaan, kalau wujud hamba menjadi tua, siapa gadis yang mau mendekati hamba? Coba saja tanyakan kepada adik-adik hamba barangkali ada yang lebih mencintai ayahanda dari pada diri hamba”.

Hal itu membuat Yayati marah sehingga ia bersumpah tidak akan mewariskan tahta kerajaan kepada Sang Yadu. Berturut-turut — Turwasu, Druhyu, Anu — semuanya menolak. Oleh karena itu, mereka juga tidak berhak mewarisi kerajaan ayahnya. Hanya Sang Puru yang bersedia menanggung kutukan yang ditimpakan kepada ayahnya. Puru tak sampai hati melihat penderitaan ayahnya, maka sambil bersujud ia berkata: ”Oh ayahanda Raja Agung Binatara di Astina, hamba dengan senang hati memberikan kemudaan hamba, kepada ayah, agar ayahanda terbebas dari penderitaan dan cengkeraman segala kepedihan. Ayahanda, berkuasalah dan berbahagialah memerintah di negeri Astina.”

Dengan tanpa berkata Prabu Yayati loncat dan memeluk anaknya menciumi sejadi-jadinya. Dan begitu ia menyentuh anaknya, saat itu pul;a ia menjadi muda belia pulih sdeperti sedia kala. Sedangkan putra bungsunya, Puru berubah menjadi seorang tua yang kampong-perot, tak sesuai sama sekali dengan usianya.

Ayahnya sangat senang dan menyatakan kepada Sang Puru bahwa setelah 1000 tahun Sang Puru mengalami usia tua, ia akan dapat menikmati masa mudanya kembali. Sejak itu, Prabu Yayati kembali menikmati hidup keremajaan dan melampiaskan amarah dan hawa nafsunya. Tidak itu saja. Ia membuat juga harem dan berpesta pora hampir setiap malam. Bertahun-tahun ia telah melampiaskan hawa nafsu dan sifat angkara murkanya, namun toh tak dapat mencapai kepuasaan juga.

Sesuai dengan janji Yayati, maka keturunan Sang Puru-lah yang akan menurunkan para raja yang menjadi leluhur Pandawa dan Korawa. Kemudian Yayati menikmati masa mudanya kembali dengan Dewayani dan menurunkan seorang puteri diberi nama Madawi.

Mangkatnya Yayati 

Setelah Sang Puru habis menjalani masa kutukannya, Yayati berubah menjadi tua kembali, sedangkan Puru kembali menjadi muda dan menikmati masa mudanya kembali. Raja Yayati menobatkannya sebagai Maharaja, sedangkan saudaranya yang lain hanya menyandang gelar sebagai Adipati. Puru menjalankan pemerintahannya dengan adil dan bijaksana.

Raja Puru mempunyai putra bernama Dushmanta, yang kelak kawin dengan Sakuntala, putra angkat Resi Kanwa. Dengan Sakuntala, Dushwanta memiliki anak yang bernama Bharata, yang kelak anak keturunan Bharata ini menjadi wangsa yang termashyur. Pada saat Sang Bharata berkuasa, Sang Bharata banyak melakukan peperangan untuk memperluas wilayahnya. Daerah jajahannya kemudian dikenal sebagai Bharatawarsha. Sang Bharata menurunkan Dinasti Bharata. Dalam Dinasti Bharata lahirlah Sang Kuru, yang menyucikan sebuah tempat yang disebut Kurukshetra. Sang Kuru, kemudian menurunkan Kuruwangsa, atau Dinasti Kuru. Setelah beberapa generasi, lahirlah Prabu Santanu, yang mewarisi tahta Hastinapura.

Yayati kemudian berhasil menundukkan beberapa wilayah di muka bumi dan memerintah jagat dengan baik, selama beberapa tahun. Ia juga sering melaksanakan yadnya. Ketika ia telah semakin tua, maka ia membagi bumi kepada lima puteranya. Yadu diberikan wilayah timur, Puru mendapat bagian yang di tengah, Turwasu mendapat bagian di selatan, Druhyu di utara dan Anu di bagian barat.

Setelah mendapatkan ketuaannya kembali, Raja Yayati memutuskan untuk meninggalkan kekuasaan dan menjalani sisa hidup sebagai seorang pertapa. Ia bertapa di tengah hutan dengan teguh, menjalankan ajaran-ajaran suci, tanpa makan dan minum, hanya merapalkan mantra. Karena teguh tapanya maka ia meninggalkan alam fana dan jiwanya mencapai surga.

Setelah mencapai surga, ia ditanya oleh Dewa Indra tentang pertapaannya yang sangat teguh tersebut. Raja Yayati menjawab, "Tapa ini sangat kuat, para kesatria, bahkan para dewa sekalipun belum tentu dapat melakukannya." Mendengar jawaban tersebut, Dewa Indra menjadi tersinggung lalu melempar sang raja dari surga. Pada saat jatuh, sang raja meminta ma'af atas kesalahannya, lalu memohon agar ia jatuh di tempat orang yang sedang melakukan upacara. 

Dewa Indra mengabulkannya kemudian sang raja tertahan di angkasa, melayang-layang tidak sampai jatuh ke tanah. Di bawahnya ada empat orang yang melakukan yadnya, bernama Akara, Prahardhana, Basuman, dan Siwi. Mereka semua putera Madawi, dan merupakan cucu Yayati. Melihat kakeknya tertahan di angkasa, mereka menghaturkan yadnya mereka agar kakeknya dapat mencapai sorga. Atas pengorbanan cucunya yang tulus, datanglah lima buah kereta, menjemput Raja Yayati dan cucunya agar mencapai surga.

No comments:

Post a Comment