Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bernama Plasmodium. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi parasit tersebut. Di dalam tubuh manusia, parasit Plasmodium akan berkembang biak di organ hati kemudian menginfeksi sel darah merah.
Pasien yang terinfeksi oleh malaria akan menunjukan gejala awal
menyerupai penyakit influenza, namun bila tidak diobati, maka dapat
terjadi komplikasi yang berujung pada kematian.
Penyakit ini paling banyak terjadi di daerah tropis dan subtropis di mana parasit Plasmodium dapat berkembang baik begitu pula dengan vektor nyamuk Anopheles. Daerah selatan Sahara di Afrika dan Papua Nugini di Oceania merupakan tempat-tempat dengan angka kejadian malaria tertinggi.
Untuk penemuannya atas penyebab malaria, seorang dokter militer Prancis Charles Louis Alphonse Laveran mendapatkan Penghargaan Nobel untuk Fisiologi dan Medis pada 1907.
Insidens
Berdasarkan data di dunia, penyakit malaria membunuh satu anak setiap 30 detik. Sekitar 300-500 juta orang terinfeksi dan sekitar 1 juta orang meninggal karena penyakit ini setiap tahunnya.
Pada tahun 2010 diperkirakan sekitar 219 juta kasus malaria terjadi di seluruh dunia, dan 660.000 orang diantaranya meninggal (diperkirakan 490 000 - 836 000), terutama pada anak-anak. Kematian terbanyak terjadi di daerah Sahara Afrika, Asia, Amerika Latin dan sebagian lainnya Eropa maupun Timur Tengah, meski tidak terlalu banyak.
Gejala Klinis
Setiap orang yang menderita demam setelah pulang dari daerah endemis malaria, hendaknya dicurigai terserang malaria, sampai dari hasil pemeriksaan dinyatakan negatif. Seperti yang disebutkan di atas, gejala awal penyakit malaria, adalah mirip dengan influenza, seperti demam, menggigil, badan terasa sakit semua.
Diagnosis
Diagosa Malaria dapat ditegakkan berdasarkan riwayat perjalanan pasien, gejala dan hasil yang diperoleh baik dari pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, khususnya dengan didapatkannya plasmodium dan komponennya dalam darah pasien.
Tidak dipungkiri, bahwa untuk menegakkan diagnosa malaria ini cukup sulit
Pada penderita malaria yang berat (biasanya disebabkan oleh Plasmodium falciparum), pada pemeriksaan fisik sering didapatkan keluhan (bingung, koma, gejala neurologis focal, anemia berat dan kesulitan bernapas) yang lebih jelas dan akan semakin meningkatkan kecurigaan terhadap penyakit malaria ini. Jika memungkinkan, gejala klinis ini hendaknya selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium untuk tes malaria.
Jika dari hasil tes yang spesifik untuk malaria ini sudah diperoleh, maka pasien tersebut harus segera dikelola dengan baik sambil dilakukan pemeriksaan darah yang lengkap termasuk pemeriksaan kimia darah. Jika hasil tes malaria benar-benar positif, tes-tes tambahan akan sangat berguna untuk menentukan tingkat keparahan penyakit malaria tersebut. Secara spesifik, tes-tes ini dapat mendeteksi adanya anemia berat, hipoglikemia, gagal ginjal, hiperbilirubunemia dan gangguan keseimbangan asam basa.
Diagnosis Mikroskopis
Penyakit malaria ini (khususnya yang disebabkan Plasmodium falciparum) bisa berakibat fatal, sehingga perlu segera dilakukan pengobatan dan pengelolaan yang baik. Untuk suatu serangan malaria falciparum akut dengan parasit yang resisten terhadap klorokuin, bisa diberikan kuinin atau kuinidin secara intravena. Saat ini terapi utama yang dianjurkan adalah artemisinin yang dikombinasi dengan satu atau dua obat antimalaria lainnya, untuk mencegah terjadinya resistensi. Hal ini merupakan rekomendasi dari WHO, yang dikenal sebagai ACT (Artemisinin Combination Therapy), khususnya untuk daerah-daerah yang endemis malaria. Pada malaria lainnya jarang terjadi resistensi terhadap klorokuin, karena itu biasanya diberikan klorokuin dan primakuin.
Pada penderita malaria yang berat dan atau disebabkan oleh Plasmodium falciparum atau yang tidak bisa diberikan obat secara per oral, hendaknya segera diberikan pengobatan secara per infus.
Beberapa obat yang dapat digunakan untuk pengobatan malaria antara lain
Sebagai tambahan, primaquine aktif bekerja melawan parasit-parasit yang berada di liver (hypnozoites) dan mencegah terjadinya kekambuhan. Primaquine hendaknya tidak diberikan pada wanita hamil atau penderita yang mengalami kekurangan G6PD (glucose-6-phosphate dehydrogenase). Pada penderita ini, hendaknya tidak diberikan primaquine sampai hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan pasien tersebut tidak menderita defisiensi G6PD.
Tanggal 18 Oktober 2011 tim peneliti melaporkan hasil uji coba klinis Fase III vaksin untuk melawan parasit Plasmodium falciparum disebut RTS, S/AS01 yang didanai GlaxoSmithKline dan Malaria Vaccine Initiative PATH pada ribuan anak-anak di Afrika. Diharapkan pada akhir 2014, data yang diperlukan oleh WHO untuk mengeluarkan rekomendasi aturan penggunaannya sudah tersedia dan pada tahun 2015, diharapkan WHO sudah mngeluarkan rekomendasi aturan tentang penggunaan vaksin ini.
Penyakit ini paling banyak terjadi di daerah tropis dan subtropis di mana parasit Plasmodium dapat berkembang baik begitu pula dengan vektor nyamuk Anopheles. Daerah selatan Sahara di Afrika dan Papua Nugini di Oceania merupakan tempat-tempat dengan angka kejadian malaria tertinggi.
Untuk penemuannya atas penyebab malaria, seorang dokter militer Prancis Charles Louis Alphonse Laveran mendapatkan Penghargaan Nobel untuk Fisiologi dan Medis pada 1907.
Insidens
Berdasarkan data di dunia, penyakit malaria membunuh satu anak setiap 30 detik. Sekitar 300-500 juta orang terinfeksi dan sekitar 1 juta orang meninggal karena penyakit ini setiap tahunnya.
Pada tahun 2010 diperkirakan sekitar 219 juta kasus malaria terjadi di seluruh dunia, dan 660.000 orang diantaranya meninggal (diperkirakan 490 000 - 836 000), terutama pada anak-anak. Kematian terbanyak terjadi di daerah Sahara Afrika, Asia, Amerika Latin dan sebagian lainnya Eropa maupun Timur Tengah, meski tidak terlalu banyak.
Gejala Klinis
Setiap orang yang menderita demam setelah pulang dari daerah endemis malaria, hendaknya dicurigai terserang malaria, sampai dari hasil pemeriksaan dinyatakan negatif. Seperti yang disebutkan di atas, gejala awal penyakit malaria, adalah mirip dengan influenza, seperti demam, menggigil, badan terasa sakit semua.
Diagnosis
Diagosa Malaria dapat ditegakkan berdasarkan riwayat perjalanan pasien, gejala dan hasil yang diperoleh baik dari pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, khususnya dengan didapatkannya plasmodium dan komponennya dalam darah pasien.
Tidak dipungkiri, bahwa untuk menegakkan diagnosa malaria ini cukup sulit
- Khususnya di daerah-daerah non endemis malaria, banyak para petugas kesehatan yang tidak familier dengan penyakit ini. Para klinisi di daerah tersebut, mungkin tidak berpikir tentang penyakit ini saat menerima pasien malaria, sehingga baik pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang atau laboratorium yang diminta tidak mengarah untuk diagnosa malaria. Para petugas laboratorium pun mungkin juga tidak berpengalaman sehingga gagal dalam mendeteksi parasit malaria saat memeriksa sediaan darah di bawah mikroskop.
- Di beberapa daerah endemis, transmisi malaria begitu intens, sehingga sejumlah orang yang terinfeksi, justru tidak menjadi sakit. Orang-orang yang sedemikian ini, yang sering disebut pembawa atau "carrier", telah mampu mengembangkan immunitas yang mampu melindunginya dari penyakit malaria, tetapi tidak dapat melindunginya terhadap infeksi malaria. Pada keadaan seperti ini, didapatkannya parasit malaria pada orang tersebut tidak begitu penting dan hanya berarti bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh parasit.
Eritrosit yang terinfeksi Plasmodium vivax |
Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis didasarkan pada gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik. Gejala awal malaria (paling sering adalah demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, nyeri otot, mual, muntah) sering tidak spesifik dan juga dapat ditemukan pada penyakit-penykit lain seperti influenza dan infeksi virus lainnya, yang biasanya timbul 10 - 15 hari setelah digigit nyamuk Anopheles yang terinfeksi plasmodium. Demikian juga halnya denga pemeriksaan fisik, sering kali juga tidak spesifik seperti meningkatnya suhu badan, persirasi dan kelelahan.
Pada penderita malaria yang berat (biasanya disebabkan oleh Plasmodium falciparum), pada pemeriksaan fisik sering didapatkan keluhan (bingung, koma, gejala neurologis focal, anemia berat dan kesulitan bernapas) yang lebih jelas dan akan semakin meningkatkan kecurigaan terhadap penyakit malaria ini. Jika memungkinkan, gejala klinis ini hendaknya selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium untuk tes malaria.
Jika dari hasil tes yang spesifik untuk malaria ini sudah diperoleh, maka pasien tersebut harus segera dikelola dengan baik sambil dilakukan pemeriksaan darah yang lengkap termasuk pemeriksaan kimia darah. Jika hasil tes malaria benar-benar positif, tes-tes tambahan akan sangat berguna untuk menentukan tingkat keparahan penyakit malaria tersebut. Secara spesifik, tes-tes ini dapat mendeteksi adanya anemia berat, hipoglikemia, gagal ginjal, hiperbilirubunemia dan gangguan keseimbangan asam basa.
Lekosit (sisi kiri) dan dua eritrosit yang terinfeksi Plasmodium falciparum (sisi kanan) |
Diagnosis Mikroskopis
Parasit Malaria dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan darah tetes tebal di bawah mikroskop, dan hapusan darah. Sebelum dilakukan pemeriksaan di bawah mikroskop, sediaan tersebut biasanya akan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa. Tehnik ini masih merupakan "gold standard" untuk pemeriksaan laboratorium bagi penyakit malaria. Meskipun demikian, hal ini sangat tergantung pada kuyalitas reagen, mikroskop yang dipakai dan pengalaman petugas laboratoriumnya
Pengobatan
Pengobatan malaria tergantung antara lain pada beratnya penyakit, jenis parasit, daerah dimana pasien itu berada atau terserang, resistensi parasit terhadap obat antimalaria tertentu, usia, berat badan, penyakit dan kondisi yang menyertai dan kehamilan serta ada-tidaknya alergi terhadap obat malaria.
Penyakit malaria ini (khususnya yang disebabkan Plasmodium falciparum) bisa berakibat fatal, sehingga perlu segera dilakukan pengobatan dan pengelolaan yang baik. Untuk suatu serangan malaria falciparum akut dengan parasit yang resisten terhadap klorokuin, bisa diberikan kuinin atau kuinidin secara intravena. Saat ini terapi utama yang dianjurkan adalah artemisinin yang dikombinasi dengan satu atau dua obat antimalaria lainnya, untuk mencegah terjadinya resistensi. Hal ini merupakan rekomendasi dari WHO, yang dikenal sebagai ACT (Artemisinin Combination Therapy), khususnya untuk daerah-daerah yang endemis malaria. Pada malaria lainnya jarang terjadi resistensi terhadap klorokuin, karena itu biasanya diberikan klorokuin dan primakuin.
Pada penderita malaria yang berat dan atau disebabkan oleh Plasmodium falciparum atau yang tidak bisa diberikan obat secara per oral, hendaknya segera diberikan pengobatan secara per infus.
Beberapa obat yang dapat digunakan untuk pengobatan malaria antara lain
- chloroquine
- atovaquone-proguanil (Malarone®)
- artemether-lumefantrine (Coartem®)
- mefloquine (Lariam®)
- quinine
- quinidine
- quinacrine
- doxycycline (diberikan bersama quinine)
- clindamycin (diberikan bersama quinine)
- artesunate (artemisinin) (tidak dianjurkan di USA, tetapi terdapat di CDC malaria hotline) Artemisinin termasuk obat termuktahir saat ini, meski dilaporkan sudah ada resistensi, khususnya di perbatasan Thailand - Kamboja.
Sebagai tambahan, primaquine aktif bekerja melawan parasit-parasit yang berada di liver (hypnozoites) dan mencegah terjadinya kekambuhan. Primaquine hendaknya tidak diberikan pada wanita hamil atau penderita yang mengalami kekurangan G6PD (glucose-6-phosphate dehydrogenase). Pada penderita ini, hendaknya tidak diberikan primaquine sampai hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan pasien tersebut tidak menderita defisiensi G6PD.
Tanggal 18 Oktober 2011 tim peneliti melaporkan hasil uji coba klinis Fase III vaksin untuk melawan parasit Plasmodium falciparum disebut RTS, S/AS01 yang didanai GlaxoSmithKline dan Malaria Vaccine Initiative PATH pada ribuan anak-anak di Afrika. Diharapkan pada akhir 2014, data yang diperlukan oleh WHO untuk mengeluarkan rekomendasi aturan penggunaannya sudah tersedia dan pada tahun 2015, diharapkan WHO sudah mngeluarkan rekomendasi aturan tentang penggunaan vaksin ini.
No comments:
Post a Comment