Saturday, 30 November 2024

Sejarah Alkitab

Alkitab adalah kitab suci agama Kristen. Kata Alkitab merupakan kata serapan dari frasa "al-Kitab" (bahasa Arab:) yang secara harfiah berarti "kumpulan buku" atau "kumpulan kitab". Di negera-negera berbahasa Arab sendiri "Alkitab" disebut sebagai "al-Kitab al-Muqaddas" yang berarti "Kitab Suci". Oleh karena itu Alkitab sebenarnya dapat merujuk pada sebutan untuk beberapa kitab suci. Dalam bahasa Inggris, istilah lain untuk Alkitab, adalah Bibel  yang berasal dari kata Latin biblia.

Alkitab yang kita kenal saat ini, pada awalnya merupakan tulisan-tulisan berbahasa Ibrani, Aram dan Yunani, yang ditulis oleh orang-orang yang berbeda secara terpisah-pisah baik tempat, rentang waktu dan jaman penulisannya. Pada awalnya para penulis menggunakan beberapa media untuk menulisnya. Salah satu media yang saat itu dipakai dalam penulisan tersebut adalah perkamen yang berasal dari kulit binatang yang dikeringkan. Media lainnya yang digunakan adalah dari rumput papyrus yang dikeringkan. Tapi juga ada yang menggunakan lempengan keramik dan codex yang sudah seperti kertas. 

Alkitab bertumbuh sebagai bagian dari proses seleksi yang disebut kanonisasi (berasal dari kata “kanon”). Kanon dapat diartikan sebagai standar atau ukuran atau daftar dari tulisan-tulisan berwibawa. Alkitab kanonik bervariasi tergantung pada tradisi ataupun kelompok.

Alkitab terdiri dari:

  • 39 kitab Protokanonika (Perjanjian Lama), yaitu kitab-kitab bahasa Ibrani, karena 97% isinya ditulis dalam bahasa Ibrani dan sisanya dalam bahasa Aramaik.

  • 27 kitab dan surat Perjanjian Baru atau kitab-kitab bahasa Yunani, karena ditulis dalam bahasa Yunani oleh para pengikut Kristus (disebut sebagai orang Kristen).

  • Kitab-kitab Deuterokanonika  Perjanjian Lama, yang umumnya dipandang sebagai Apokrifa oleh Gereja-Gereja Kristen Protestan, tetapi termasuk dalam kanon Gereja Katolik, Gereja Anglikan, gereja Ortohdok dan Gereja-Gereja Timur. Gereja Katolik (biasanya disebut Kristen Katolik) menetapkan Deuterokanonika sebagai bagian dari Perjanjian Lama sejak konsili Kartago (397, 419) dan konsili Trente (1546). Mayoritas Gereja Kristen Protestan mengikuti kanon Luther[29]. Pada umumnya, istilah Kitab Deuterokanonika merujuk pada tujuh kitab, yaitu Kitab Tobit, Kitab Yudit, Kitab 1 Makabe, Kitab 2 Makabe, Kitab Kebijaksanaan Salomo, Kitab Yesus bin Sirakh, Kitab Barukh dan tiga tulisan tambahan, yakni Surat Nabi Yeremia (Barukh 6), Tambahan Kitab Ester, dan Tambahan Kitab Daniel

Bagi umat Yahudi dan Kristiani (Kristen) kitab-kitab yang telah ditulis dalam Alkitab, dipandang sebagai hasil pengilhaman ilahi, dan sebagai catatan otoritatif mengenai hubungan antara Allah dengan manusia. Meskipun demikain, Alkitab tidaklah diturunkan secara harfiah begitu saja dari sorga, tetapi Allah melibatkan manusia secara aktif untuk menuliskan firman-Nya tersebut. 

Alkitab, meskipun dipandang sebagai hasil pengilhaman ilahi, tetapi berbagai kalangan Kristen menyikapi Alkitab secara berbeda. Misalnya, kalangan Kristen Katolik Roma, condong menekankan harmoni serta arti penting Alkitab dan tradisi suci, sementara kalangan Kristen Protestan berfokus pada konsep sola scriptura, atau Kebenarannya hanya tunduk pada ayat-ayat yang tertulis dalam Alkitab. Konsep ini timbul selama Reformasi Protestan, dan banyak denominasi Protestan yang hingga saat ini terus mendukung penggunaan Alkitab sebagai satu-satunya sumber ajaran Kristen.

Teks-teks yang tertulis dalam Alkitab, antara lain mencakup catatan-catatan sejarah yang berfokus pada teologi, himne, doa, amsal, perumpamaan, surat (epistola), nasihat, esai, puisi, dan nubuat. Jadi, secara garis besar, Alkitab memuat Firman Tuhan, Sejarah atau Peristiwa dan Silsilah.

Sejarah Alkitab

Mengapa kita perlu tahu tentang sejarah Alkitab? 

Pengetahuan akan sejarah Alkitab akan sangat membantu kita untuk memahami, betapa Agung dan Mulia Karya dan Kuasa Allah bekerja dalam proses terbentuknya Alkitab, karena jika bukan kuasa-Nya, sepertinya tidak mungkin akan hadir Alkitab sebagaimana yang kita kenal saat ini. Selain itu dengan memahami sejarah Alkitab, akan menolong kita agar iman kita tidak mudah goyah dengan adanya berbagai pendapat yang muncul saat ini, yang menyatakan bahwa Kitab Suci orang Kristen sudah banyak yang menyimpang atau melenceng.

Tujuan Penyusuan Alkitab

Alkitab disusun untuk menuntun orang Kristen dapat lebih mengenal dan menyelami kehendak Tuhan dengan lebih baik. Oleh sebab itu, doa yang benar sangat penting sebelum membaca Alkitab, agar dapat memahami apa yang ingin Allah sampaikan.

Itulah sebabnya, penyusunan Alkitab memakan waktu yang lama, supaya kita dapat menelaah kehendak Allah sepenuhnya dan dapat memberikan pandangan yang tepat akan apa yang Allah firmankan. Inilah tujuan dan dasar dari penyusunan Alkitab yang sebaiknya kita pahami, karena pada dasarnya Alkitab disusun untuk memberikan tuntunan yang baik bagi orang Kristen sepenuhnya.

Riwayat Penyusunan Alkitab

Sebelum ditulis, kisah-kisah tentang Allah dan hubungannya dengan manusia, biasanya dikisahkan turun temurun secara lisan, yang disebut sebagai tradisi lisan. Baru, setelah manusia mengenal tulisan sekitar tahun 1800 SM, maka kisah-kisah lisan tadi mulai dituangkan dalam tulisan. Rentang waktu penulisan sehingga menjadi kitab-kitab yang kita kenal sebagai Alkitab pada masa ini, memakan waktu sekitar 1500 tahun, yang diawali tahun 1400SM sampai tahun 100M.  Tulisan paling tua dalam Alkitab Ibrani, mungkin berasal dari tahun 1400 SM – 1300 SM. Disebutkan bahwa Musa adalah penulis pertama Alkitab. Diduga, kitab Kejadian ditulis pada tahun 1400 SM pada jaman Musa. Tetapi ada juga beberapa pendapat yang mengatakan bahwa kitab Kejadian ditulis ulang jauh setelah Musa meninggal. Sementara kitab yang paling muda dalam Alkitab Ibrani ditulis sekitar abad kedua SM, seperti kitab Daniel. Jadi perhatikan bahwa rentang waktu penulisan Akitab Ibrani membutuhkan waktu tidak kurang dari 1500 tahun.

Awal-mula Penerjemahan Alkitab

Pada abad ke-3 SM, diceritakan ada 72 sarjana Yahudi di kota Aleksandria, Mesir, menerjemahkan Alkitab Ibrani ke dalam bahasa Yunani. Memang saat itu bahasa Yunani merupakan bahasa yang dipakai oleh orang Yahudi yang hidup di sekitar wilayah Laut Tengah. Alkitab terjemahan ini dikenal sebagai Septuaginta (biasanya disingkat dengan LXX), yang berarti tujuh puluh. Mereka menyelesaikannya selama 72 hari. Septuaginta ini kemudian dipakai oleh orang Yahudi yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaan Romawi.

Sekitar tahun 100 M, sekelompok sarjana Yahudi bertemu di Yamnia, sebuah pusat studi Yahudi di bagian barat Yerusalem. Para sarjana itu mendiskusikan kitab-kitab mana saja yang dapat dimasukan ke dalam Alkitab Ibrani, yang dalam agama Yahudi disebut Tanakh (Perjanjian Lama). Hasilnya, komunitas Yahudi mensepakati bahwa ada 39 kitab yang diterima dalam daftar kitab suci (kanon) mereka. Kitab-kitab ini disebut sebagai kitab “Protokanonika” (daftar pertama)

Dalam perkembangannya, di antara denominasi-denominasi Kristen terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai isi kanon, terutama dalam hal Apokrifa, yakni sejumlah karya yang dipandang dengan beragam tingkat penghormatan, yang kemudian disebut sebagai kitab “Deuterokanonika” (daftar kedua) dan terdiri dari tujuh kitab. 

Saat ini, sebagian besar gereja Protestan menggunakan 39 kitab “protokanonika”, dan menyebutnya sebagai Perjanjian Lama. Sedangkan gereja Roma Katolik, gereja-gereja Anglikan dan gereja-gereja Ortodoks Timur, menambahkan kitab-kitab “Deuteroknonika” ke dalam Perjanjian Lama mereka. Kitab-kitab “Deutorkanonika” yang dimasukkan ke dalam Perjanjian Lama adalah Tobit, Yudit, 1 Makabe, 2 Makabe, Kebijaksanaan Salamo, Sirakh, Ecclesiasticus, Barukh, Tambahan kitab Ester dan DanielKitab Daniel dalam Alkitab Katolik dan Ortodoks Timur dimasukan sebagai tambahan yang kadang-kadang dicetak dengan judul “Doa Azarya dan Nyanyian Tiga Pemuda”, “Susana” dan “Bel dan Sang Naga”.

Struktur dan Pembagian Alkitab

Berdasarkan isinya dan gaya penulisan, Perjanjian Lama dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian utama yaitu:

  1. Kitab-kitab Taurat
  2. Kitab-kitab sejarah
  3. Kitab-kitab hikmat
  4. Kitab-kitab kenabian

Sementara pengelompokan untuk Perjanjian Baru adalah:

  1. Kitab-kitab Injil (4 kitab)
  2. Kitab sejarah apostolik (1 kitab)
  3. Surat-surat (21 kitab) dan
  4. Kitab apokalips (1 kitab).


Pembagian Alkitab menjadi Pasal dan Ayat

Untuk memudahkan pencarian lokasi pernyataan di dalam Alkitab, masing-masing kitab atau buku dibagi atas pasal-pasal. Hal ini dilakukan bersamaan dengan permulaan percetakan dan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa lain. Kitab-kitab yang paling pendek terdiri dari 1 pasal saja, yaitu ada lima: Kitab ObajaSurat FilemonSurat 2 YohanesSurat 3 Yohanes, dan Surat Yudas; sedangkan yang paling panjang adalah Kitab Mazmur yang terdiri dari 150 pasal.

Masing-masing pasal terdiri dari sejumlah ayat. Pembagian ayat (versifikasi) pada Perjanjian Lama dilakukan umumnya bersesuaian dengan tanda titik yang sudah ada pada naskah Ibrani, dengan sedikit perkecualian terpisah. Banyak yang menyebutkan pembagian ini merupakan jasa Rabbi Isaac Nathan ben Kalonymus yang membuat konkordansi Alkitab pertama pada sekitar tahun 1440. 

Orang pertama yang membagi pasal-pasal Perjanjian Baru atas ayat-ayat adalah pakar Alkitab dari ordo Dominikan asal Italia Santi Pagnini (1470–1541), tetapi sistemnya tidak pernah dipakai secara luas. Kemudian Robert Estienne membuat penomoran ayat dalam karyanya, Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani edisi tahun 1551, yang juga diterapkan dalam publikasi Alkitab bahasa Prancis olehnya pada tahun 1553. Sistem yang dibuat Estienne ini diterima luas, dan sekarang digunakan dalam hampir semua Alkitab modern. Pembagian ayat pada Alkitab, yang paling sedikit adalah Mazmur pasal 117 yang terdiri dari 2 ayat; sedangkan yang paling banyak adalah Mazmur pasal 119 yang terdiri dari 176 ayat.

Selanjutnya untuk memudahkan pencarian lokasi ayat di dalam Alkitab, digunakanlah apa yang disebut "Alamat Alkitab". Sebagai contoh Alamat Alkitab Kejadian 1:1, menunjuk pada kitab Kejadian, pasal pertama, ayat pertama.

Selain itu setiap terjemahan Alkitab memiliki bagian sub-pasal yang disebut dengan perikop, yaitu yang membahas suatu topik tertentu. Pembagian-pembagian ini bukan merupakan bagian isi Alkitab yang sebenarnya, melainkan hanya sebagai alat bantu untuk memudahkan pembacaan atau pencarian kembali suatu pembacaan bagian tertentu.

Jumlah Pasal dan Jumlah Ayat Alkitab Berbeda?

Pembagian Alkitab ke dalam buku, pasal, dan ayat, dan pengurutannya merupakan hasil dari kanonisasi oleh Bapa Gereja mula-mula. Struktur tersebut tidak berubah selama berabad-abad sejak abad ke-4 M. Namun pembagian pasal dan ayat yang ada pada Alkitab Ibrani (Tanakh) yang dilakukan oleh orang Yahudi, kadang-kadang di beberapa Alkitab mempunyai perbedaan di sejumlah tempat dibandingkan dengan pembagian yang dipakai oleh orang Kristen lainnya, misalnya dalam kitab Mazmur. Pada Alkitab Versi Terjemahan Baru berbahasa Indonesia, cenderung mengikuti penomoran Alkitab Ibrani dimana nama penggubah Mazmur dan judul lagu  dijadikan ayat yang pertama dalam suatu pasal, sedangkan dalam kitab terjemahan bahasa Inggris, tidak. Oleh karena itu pada Alkitab bahasa Indonesia, Kitab Mazmur memiliki beberapa puluh ayat lebih banyak dari bahasa Inggris. Meskipun demikian, ada juga di antara kelompok Kristen yang tetap memakai pembagian seperti yang dipakai orang Yahudi.

Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama juga dibagi dalam sejumlah bagian lebih besar. Orang Israel membagi seluruh Taurat Musa, yang merupakan kumpulan lima kitab, menjadi 154 bagian, sehingga dapat dibacakan dalam ibadah mingguan selama tiga tahun. Di Babel, Taurat dibagi menjadi 53 atau 54 bagian (Parashat ha-Shavua), sehingga dapat dibaca lengkap setiap minggu (dan hari-hati raya tertentu) dalam satu tahun.

Perjanjian Baru juga pernah dibagi atas bagian topik yang dikenal dengan nama kephalaia sampai abad ke-4 M. Eusebius dari Kaisarea membagi keempat kitab Injil menjadi bagian-bagian yang ditulisnya dalam sejumlah tabel atau kanon yang disebut sebagai Kanon Eusebius. Sistem-sistem pembagian tersebut berbeda dengan pembagian pasal modern.

Uskup Agung Stephen Langton dan Kardinal Hugo de Sancto Caro mengembangkan suatu skema pembagian sistematik Alkitab di awal abad ke-13. Sistem yang dibuat oleh Langton ini mendasari pembagian pasal Alkitab pada zaman modern

Metode Penyusunan Alkitab

Kitab-kitab di Alkitab disusun secara semi-kronologis, bukan dari waktu turunnya Wahyu. Digolongkan "Semi-kronologis" karena beberapa kitab tidak diketahui jelas waktu penulisannya dan siapa sesungguhnya penulisnya, sedangkan beberapa kitab lainnya merupakan kumpulan tulisan yang dikelompokkan menurut gaya penulisannya. 

Sebagai contoh, Kitab Amsal yang ditulis oleh raja Salomo, tidak ditempatkan setelah kitab 1 Raja-raja yang membahas riwayat hidup Salomo, namun dikelompokkan bersama-sama dengan kitab-kitab puisi lainnya (Kitab Ayub, Mazmur, Pengkhotbah, Kidung Agung). 

Demikian juga Kitab nabi Yeremia yang hidup pada zaman raja Yosia, tidak ditempatkan setelah kitab 2 Raja-raja yang membahas riwayat raja Yosia, namun bersama-sama dengan kitab-kitab nabi nabi besar lainnya (Kitab Yesaya, Yeremia, Ratapan, Yehezkiel, dan Daniel). 

Kitab-kitab lainnya, terutama kitab-kitab sejarah, disusun secara kronologis dan urutannya memengaruhi cara pembacaan agar tidak membingungkan. Kitab Keluaran, misalnya, lebih mudah dibaca setelah membaca kitab Kejadian karena pembaca akan lebih mengerti latar belakangnya. Demikian juga kitab Kisah Para Rasul lebih cocok dibaca setelah membaca keempat kitab Injil, karena kitab-kitab Injil itu merupakan latar belakang penulisan Kisah Para Rasul. Namun beberapa kitab, seperti Kitab Amsal dan Kitab Pengkhotbah, dapat dibaca secara lepas, walaupun pembaca akan lebih memahaminya jika mengetahui riwayat penulisnya, Salomo, yang dibahas di kitab-kitab sebelumnya (1 & 2 Raja-raja dan 1 & 2 Tawarikh).

Perkembangan Terjemahan dan Cetakan Alkitab

Sebelum adanya mesin cetak, bagian-bagian Alkitab disalin dengan tangan oleh para penganutnya dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Terbukti dari salinan-salinan yang ditemukan sampai sekarang (paling tua dari abad ke-10 SM) sama dengan teks yang digunakan secara umum. Di samping itu juga terdapat kutipan-kutipan langsung dari surat-surat komunikasi orang-orang zaman dahulu yang mendukung kebenaran salinan Alkitab tersebut sejak zaman purba hingga zaman modern ini. Pada saat mesin cetak diciptakan pertama kalinya di Eropa, Alkitab adalah buku pertama yang dicetak dengan mesin tipe bergerak (movable) yaitu "Alkitab Latin Vulgata" oleh Percetakan Johannes Gutenberg, pada tahun 1455. Penemuan mesin cetak ini secara drastis mempercepat penyebaran Alkitab di seluruh dunia.

Berdasarkan perhitungan publikasi Scripture Language Report, sebuah panduan otoritatif tentang perkembangan penerjemahan Alkitab global dari tahun ke tahun yang diterbitkan oleh United Bible Societies, dari sekitar 6.600 bahasa di dunia, terdapat lebih dari 2.527 bahasa yang telah memiliki terjemahan Alkitab, sementara 2.000 bahasa lainnya sedang dalam proses menerjemahkan Alkitab.

Alkitab diperkirakan terjual sekitar 25 juta eksemplar setiap tahunnya di Amerika Serikat, belum termasuk yang dicetak dan dibagikan secara cuma-cuma oleh organisasi seperti Gideons International. Ketersediaan dan banyaknya jumlah Alkitab yang pernah dicetak dan dibagikan membuatnya memiliki pengaruh yang sangat besar di dalam sejarah literatur dan sejarah dunia.

Selain itu, sejak abad ke-17, Alkitab atau bagian Alkitab telah diterjemahkan lebih dari 23 kali ke dalam bahasa-bahasa Melayu dan Indonesia, dan lebih dari 30 bahasa daerah di Indonesia. Di seluruh dunia, terjemahan Alkitab dapat diakses oleh 98% penduduk dunia dalam salah satu bahasa yang mereka ketahui. United Bible Society mengumumkan bahwa sampai tanggal 31 Desember 2007 Alkitab tersedia dalam 438 bahasa, 123 di antaranya meliputi material deuterokanonika di samping Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sedangkan secara terpisah tersedia dalam 1168 bahasa, dan dalam bagian-bagian khusus tersedia dalam 848 bahasa lain.

Pada tahun 1514, di Spanyol telah diterbitkan sebuah versi lengkap dari Alkitab berbahasa Yunani, yang merupakan gabungan dari naskah-naskah Alkitab berbahasa Yunani dan Latin. Naskahnya disusun oleh Desiderius Erasmus dan menjadi edisi lengkap yang pertama dari Alkitab. Kemudian, pada tahun 1516, naskah tersebut diterbitkan di Basel. Pelengkapan Alkitab berbahasa Yunani dilakukannya dengan menambahkan naskah yang berasal dari Alkitab yang disusun oleh Hieronimus, yaitu Vulgata.

Edisi kedua Alkitab berbahasa Yunani diterbitkan pada tahun 1519. Alkitab kemudian diterjemahkan oleh Martin Luther dan William Tyndale ke dalam bahasa Jerman dan bahasa Inggris. Alkitab bahasa Jerman diterbitkan pada tahun 1522 dan diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1525. Pada tahun-tahun berikutnya, penerbitan Alkitab bahasa Yunani banyak didasari oleh naskah dari Kekaisaran Romawi Timur. Sekitar 160 versi Alkitab berbahasa Yunani telah diterbitkan antara tahun 1516 hingga 1633. Lalu terdapat pula edisi bahasa Yunani yang dikenal dengan nama Textus Receptus. Penerbitan dan pemopuleran namanya dilakukan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevir. Isinya mirip dengan 160 versi Alkitab berbahasa Yunani sebelumnya.

Penelitian Tentang Keotentikan Alkitab

Dalam sejarahnya, banyak orang melakukan penelitian kristis mengenai sejarah dan isi Alkitab, dengan berbagai motivasi. Ada yang meneliti untuk mengetahui lebih mendalam mengenai tujuan dan proses penulisannya, ada pula yang sebenarnya hanya bertujuan untuk menemukan sanggahan keabsahan penggunaan Alkitab sebagai kitab suci. 

Jesus Seminar, misalnya, adalah sekelompok ahli yang mempertanyakan dan memperdebatkan perkataan-perkataan dan tindakan tercatat Yesus dan melakukan pemungutan suara untuk menentukan sejauh apa mereka dapat mempercayai pernyataan-pernyataan di dalam Injil. Kelompok Jesus Seminar berpendapat bahwa Injil-Injil ditulis paling awal tahun 130 hingga 150 oleh penulis yang tidak diketahui (!), jika hal tersebut benar, maka ada kira-kira 100 tahun setelah kematian Yesus (oleh sejarawan diperkirakan antara tahun 30-33). 

Di samping itu, ada sejumlah kritikus Alkitab mengindikasikan bahwa catatan tentang Yesus telah ditambah-tambahi melalui tradisi oral turun-temurun dan tidak dituliskan hingga sepeninggal para rasul, sehingga para kritikus tersebut mempertanyakan keakuratan penggambaran sosok Yesus yang sesungguhnya.

Namun hampir semua sejarawan Kristen lainnya menolak pandangan yang tidak didukung bukti jelas ini. Mereka memberikan bukti-bukti sejarah bahwa Yesus yang digambarkan di dalam Injil dan Alkitab yang ada sekarang ini layak untuk dipercayai. bahkan mereka telah mencapai konsensus bahwa Injil ditulis oleh para rasul pada abad pertama, walaupun masih ada perbedapatan oleh rasul yang mana. Tiga bukti kuat mengenai hal tersebut adalah:

Arkeologis Alkitab William F. Albright menyimpulkan bahwa keseluruhan Perjanjian Baru ditulis "sangat mungkin antara tahun 50 M dan 75 M", sementara skeptis John A. T. Robinson bahkan  memberikan tanggal yang lebih awal daripada kaum konservatif, yaitu sekitar tahun 40 dan 65. Jika benar bahwa Perjanjian Baru ditulis pada pertengahan hingga akhir abad pertama, maka para rasul yang pada saat itu masih hidup dapat membuktikan kebenarannya dan segala kesalahan sejarah akan segera tampak baik oleh para saksi mata maupun penentang orang Kristen.

Bagian terbesar dalam Perjanjian Baru adalah 13 surat Paulus untuk gereja-gereja muda dan beberapa individu. Surat-surat Paulus, yang ditulis sekitar pertengahan tahun 40 hingga pertengahan tahun 60 (12-33 tahun setelah Kristus) merupakan tulisan-tulisan pertama tentang kehidupan dan pengajaran Yesus. Will Durant menulis tentang pentingnya tulisan-tulisan Paulus dari segi sejarah, "Bukti Kristen tentang Kristus dimulai dari surat-surat yang ditulis oleh Santo Paulus. Tidak ada yang pernah mempertanyakan eksistensi Paulus, atau perjumpaannya beberapa kali dengan Petrus, Yakobus, dan Yohanes; dan Paulus mengaku iri, bahwa orang-orang tersebut telah mengenal Yesus secara  langsung." Dari hal tersebut jelas bahwa ada Injil yang ditulis oleh orang yang tidak pernah bertemu Yesus secara langsung (khususnya Injil Lukas), sehingga bias penulisan Kitab Suci bisa terjadi, meskipun dapat saja segera dikoreksi oleh para saksi mata yang masih hidup saat itu.

Tulisan asli para rasul sebenarnya sudah diusahakan untuk disimpan secara saksama oleh para gereja, namun penyimpanan yang paling saksama pun tidak dapat dipertahankan, akibat pendudukan Romawi, rentang perjalanan waktu selama 2000 tahun, dan adanya proses disintegrasi. Saat ini sudah tidak ada yang tersisa dari tulisan-tulisan asli tersebut. Manuskrip asli semuanya hilang, meskipun para ahli masih berharap suatu ketika kejadian Gulungan Laut Mati dapat ditemukan kembali. Namun tidak hanya Alkitab yang bernasib demikian; tidak ada dokumen asli lainnya dari zaman kuno yang selamat hingga saat ini. Meskipun demikian, para sejarawan tidak terganggu dengan hal tersebut asalkan mereka memiliki salinan yang dapat dipercayai.

Pada awal sejarah kekristenan, jumlah gereja yang semakin bertambah, juga menghasilkan salinan yang semakin banyak yang ditulis di bawah pengawasan ketat oleh para pemimpin gereja. Mengikuti tradisi Yahudi dalam menyalin Perjanjian Lama, setiap kata dengan hati-hati disalin dan apabila ada satu kata yang salah, maka seluruh perkamen atau papirus tersebut harus dimusnahkan. Jadi sekarang ini para ahli dapat mempelajari tulisan asli para rasul dari salinan yang disalin dengan hati-hati, untuk menentukan keotentikan sehingga tiba pada sebuah perkiraan yang sangat dekat dengan dokumen aslinya. Tes yang digunakan untuk menentukan keabsahan salinan yang selamat antara lain:

  1. Bibliografis
    Tes ini membandingkan dengan dokumen kuno lain dari periode yang sama. Yang dibandingkan adalah jumlah salinan yang eksis saat ini, jarak waktu antara tulisan asli dan salinan paling awal yang selamat, dan perbandingan sejarah dengan dokumen kuno yang lain. Lebih dari 5000 manuskrip salinan dalam bahasa Yunani telah ditemukan, dan jika dihitung dalam bahasa-bahasa lain, jumlah tersebut menjadi 24000, semuanya berasal dari abad kedua hingga abad keempat. Selain itu selisih waktu tulisan asli dan salinan paling awal juga tidak begitu jauh. Codex Vaticanus dan Codex Sinaiticus merupakan dua salinan Alkitab yang hampir lengkap dari abad ketiga hingga abad keempat.

  2. Tes bukti internal.

    Tes ini mempertanyakan konsistensi saksi mata, detail nama orang, nama tempat, dan nama kejadian, surat kepada individu atau kelompok kecil, kejadian yang memalukan sang penulis, kehadiran materi yang tidak relevan atau kontra-produktif, dan tidak adanya materi yang relevan. Jika keempat Injil menulis hal yang sama persis, maka hal itu menjadi patut dicurigai. Para saksi mata yang menuliskan Injil menceritakan kisah Yesus dari perspektif yang berbeda-beda, namun catatan mereka tetap konsisten satu dengan yang lain, sehingga secara keseluruhan, keempat Injil memberikan gambaran yang jelas dan utuh tentang Yesus. Sejarawan juga menyukai detail karena hal tersebut mempermudah pelacakan kebenaran. Surat-surat Paulus dan keempat Injil penuh dengan detail nama orang, nama tempat, dan kejadian dan banyak di antaranya telah dibuktikan oleh sejarawan dan arkeologis. Nama-nama yang dikarang oleh penulis Injil akan dengan mudah ditemukan oleh orang-orang yang menentang mereka, para imam Yahudi dan tentara Romawi.

    Ahli sejarah Louis Gottschalk berpendapat bahwa surat yang tidak dipublikasikan secara umum dan ditujukan pada seseorang atau sekelompok kecil orang memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk dapat dipercaya, sedangkan sejarawan lain mengemukakan bahwa kebanyakan penulis tidak ingin mempublikasikan sesuatu yang memalukan mereka sendiri, oleh karena itu dokumen yang menuliskan hal yang memalukan para penulisnya secara umum lebih dapat dipercayai. Penyangkalan Petrus, kejahatan Paulus, dan banyak contoh yang lain tidak akan dicantumkan kecuali jika mereka benar-benar ingin memberikan laporan mengenai kejadian yang sesungguhnya.

    Selain tes-tes di atas, sejarawan juga mencari materi-materi kontraproduktif dan tidak relevan. Hasil yang tidak sesuai dengan yang diharapkan (Yesus mati disalib padahal dianggap akan menyelamatkan Israel, kubur Yesus yang kosong ditemukan oleh wanita padahal zaman itu kesaksian wanita tidak dianggap sama sekali) dan detail-detail yang tidak berhubungan dengan cerita utama dan hanya disinggung sekali saja dianggap sebagai tanda bahwa materi-materi tersebut memang benar-benar terjadi atau mereka tidak akan dituliskan. Demikian pula dengan isu-isu yang dihadapi oleh gereja abad pertama ─ pengabaran Injil kepada non-Yahudi, karunia Roh Kudus, sakramen baptis, kepemimpinan gereja ─ sedikit sekali disinggung oleh Yesus. Adalah masuk akal jika para rasul hanya ingin menyelesaikan masalah tersebut dengan menambahkan materi-materi ke dalam Injil yang ditulis. Dalam satu masalah, Paulus dengan terus terang berkata, "Untuk mereka aku tidak mendapat perintah dari Tuhan"

  3. Tes bukti eksternal.

    Tes ini mengukur reliabilitas suatu dokumen dengan membandingkan dengan catatan sejarah yang lain. Dalam hal ini yaitu catatan sejarah non-Kristen tentang Yesus. Paling tidak ada tujuh belas tulisan non-Kristen yang mencatat lebih dari lima puluh detail tentang kehidupan, pengajaran, kematian, dan kebangkitan Yesus, ditambah dengan detail gereja mula-mula. Lebih jauh lagi, reliabilitas Perjanjian Baru didukung oleh lebih dari 36.000 dokumen non-Alkitab (kutipan dari pemimpin gereja tiga abad pertama) sehingga jika seluruh salinan Perjanjian Baru hilang, maka para ahli dapat merekonstruksi ulang menggunakan dokumen-dokumen tersebut dengan perkecualian beberapa ayat saja.

Perjanjian lama

Perjanjian Lama menceritakan Kisah para tokoh dan nabi jauh sebelum Yesus Kristus lahir, dari Adam sampai Maleakhi. Perjanjian Lama diperkirakan berasal dari tahun 300 SM dan dimulai dengan penciptaan dunia, Adam, Hawa dan pengusiran mereka dari Taman Eden, karena melanggar perintah Allah dengan memakan buah pengetahuan baik-jahat, akibat bujukan si ular (iblis).  

Perjanjian Baru

Selama hampir 300 tahun (100 – 400 M), para pemimpin jemaat dan konsili – konsili perdana berdiskusi tentang kitab-kitab mana saja yang diakui sebagai kitab suci dalam Perjanjian Baru dan setara dengan Alkitab Ibrani. Sampai akhirnya pada tahun 367 M, Uskup Atanasius yang merupakan Uskup di kota Aleksandria, mengusulkan 27 kitab, yang menurutnya harus diakui berwibawa oleh jemaat-jemaat Kristen. Kitab-kitab yang diusulkan tersebut, saat ini kita kenal sebagai kitab-kitab Perjanjian Baru dalam Alkitab kita.

Berbeda dengan Perjanjian Lama, gereja-gereja Protestan, Roma Katolik dan Ortodoks Timur, menerima ke-27 kitab tersebut ke dalam kitab Perjanjian Baru, baik secara urutan maupun nama-namanya.

Perjanjian Baru merupakan sekumpulan tulisan karya para rasul yang diyakini sebagai para murid Yesus Kristus, yang pertama dan berisi tentang sejarah kehidupan Yesus sejak kelahiran-Nya sampai Kenaikan-Nya ke Surga dan pengajaran-Nya. Kitab-kitab terdapat dalam 4 kitab yang berbeda dan dikenal sebagai Kitab Injil (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes). Perjanjian Baru juga berisi tulisan beberapa murid Yesus dan surat-surat tulisan Rasul Paulus..Alkitab awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Yunani Koine abad pertama. Tulisan-tulisan Yunani Kristen awal ini terdiri dari berbagai narasi, surat, dan tulisan apokaliptik.

Yesus dan para murid adalah orang Yahudi yang menggunakan bahasa Aram dan memakai Alkitab Ibrani. Sedangkan Rasul Paulus dan jemaat Kristen awal, menggunakan bahasa Yunani. Keduapuluh tujuh kitab yang sekarang ada dalam Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani yang merupakan bahasa resmi kekaisaran Romawi saat itu. Kitab-kitab yang ditulis rasul Paulus merupakan kitab-kitab paling tua dalam Perjanjian Baru. Yang paling tua, adalah kitab I Tesalonika, yang diperkirakan ditulis pada tahun 50 M. Kitab – kitab Injil (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes) ditulis antara tahun 60 M sampai dengan tahun 100 M.

No comments:

Post a Comment