Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir di Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 dan wafat di Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645). Sultan Agung adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Kebesaran Sultan Agung terlihat dari luasnya wilayah Mataram, kemampuannya mempertahankan dominasi politik Mataram secara internal maupun hubungannya dengan kerajaan-kerajaan di luar Jawa. Kebesaran nama Sultan Agung juga terbukti pada kegigihannya menggempur VOC di Batavia sebanyak dua kali meskipun mengalami kegagalan.
Kebesaran namanya ditunjang oleh kepribadian sebagi seorang raja yang memegang teguh doktrin keagungbinataraan. Raja yang baik adalah raja yang menjalankan kekuasaannya dalam keseimbangan antara kewenangannya yang besar dengan kewajibannya yang besar pula. Begitulah konsep keagungbinataraan. Ditambah lagi berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta. Sifat ini tidak mengurangi besarnya kekuasaan raja, tetapi mengimbanginya.
Orang yang besar akan berpikir besar pula. Hal inilah yang membawa Sultan Agung pada kejayaannya menjadi seorang Raja. Tidak hanya berbekal pada keturunan darah birunya tetapi juga cara berpikirnya yang jauh ke depan.
Menurutnya Mataram akan menjadi sebuah kerajaan besar jika berada ditangan seorang raja yang kuat dan siap memikul tanggung jawab besar. Sultan Agung telah memperhitungkan tantangan yang kelak akan dihadapi Mataram. Tantangan dari dalam yang berupa gejolak daerah-daerah bawahan yang tidak taat maupun tantangan dari bangsa asing, terutama VOC yang mulai mencengkeramkan kekuasannya di Jawa.
Keluasan wawasan politik Sultan Agung membuat ia bertekad mempersatukan seluruh Jawa dibawah Mataram sebagai wujud kekuasaan raja yang utuh dan bulat. Sejarah mencatat kekuasaan Sultan Agung meliputi seluruh wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat sampai dengan Kerawang, Jawa Timur sampai dengan Jember dan Madura. Meskipun dalam perjalanannya Sultan Agung belum berhasil menaklukan Banten dan Blambangan. Dibawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram menjalin kerjasama dengan siapa saja, baik dari kalangan bangsa sendiri maupun bangsa asing. Sultan Agung selalu cermat dan sangat hati-hati saat melakukan hubungan kerjasama. Dia memperhitungkan untung rugi yang akan diperoleh Mataram dengan kerjasama yang terjalin.
Sultan Agung dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan keras, terutama dalam menegakkan hukum. Sebagai contoh ketika putera mahkota berbuat serong dengan istri Tumenggung Wiraguna seorang panglima perang Mataram, Sultan Agung menghukum putranya dengan mengusirnya keluar keraton. Sultan juga menerapkan hukuman yang keras kepada para tahanan dan siapapun yang dianggap bersalah. Sehingga Sultan Agung menimbulkan rasa takut bagi rakyatnya, meskipun menurut dia pengawasan yang keras lebih baik daripada menimbulkan rasa takut. Bahkan ia menerapkan dua pilihan hukuman bagi tawanan Belanda, dibunuh atau disunat. Sunat/khitan merupakan hal yang sangat asing bagi orang Belanda sehingga tampak mengerikan. Meskipun demikian, Sultan Agung tidak segan-segan memberikan maaf jika terbukti tidak bersalah.
Sikap tegas dan keras tentang gambaran pribadi Sultan Agung terlihat dari apa yang dinyatakan oleh saudagar Balthasarvan Eyndhoven, dari Eropa, ketika datang ke Mataram pada tahun 1614 bersama dengan Van Surck untuk memberikan ucapan selamat atas pengangkatannya sebagai seorang pemangku pemerintahan. Ia menyatakan “ Wajahnya kejam, Raja dengan dewan penasehatnya, memerintah dengan keras, sebagaimana sebuah negara besar”. Begitulah kesaksian.
Kecerdasan Sultan agung tergambar dari sifatnya yang selalu ingin tahu. Sultan Agung pernah menanyakan kepada de Haen dimana letak negeri Belanda, Inggris, dan Spanyol. Kadang-kadang ia menanyakan nama- nama Gubernur Jenderal VOC. Sultan Agung juga bernafsu belajar huruf latin dan bahasa Belanda. Dengan wawasan yang ia miliki, menjadikan Sultan Agung sebagai sosok yang berkharisma.
Masa Kehidupan
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa, raja Pajang.
Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadi Ratu Wetan adalah putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I)
Gelar
Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma" atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma".
Setelah 1640-an beliau menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di Makkah,
Masa Pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan adiknya (beda ibu), Adipati Martapura, yang masih berusia 8 tahun dan hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama, namun ditolak mentah-mentah.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram, namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC. Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah ke kota itu.
Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan. Setelah Jayakarta jatuh ke tangan Belanda (VOC), Sultan Agung akhirnya menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut. Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.
Pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terp
utus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng.
Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.
Meski telah menaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya.
Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang sangat mahal.
Perang Dengan VOC
Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu oleh Mataram.
Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC, sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.
Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya.
Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.
Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.
Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.
Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung, putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sisi Lain
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.
Kebesaran Sultan Agung juga ditunjukkan pada perhatiannya yang besar terhadap kesenian dan kebudayaan Mataram. Pada masanya, seni sastra mengalami perkembangan yang pesat. Banyak buku-buku sastra yang dihasilkan pada waktu itu, seperti Nitisruti, Nitipraja, dan naskah yang berbau mistik, Sastra Gending. Seni bangunan juga mengalami perkembangan. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.
Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.
Kisah Kesaktian Sultan Agung
Kerajaan-kerajaan zaman dulu di tanah air mempunyai ensiklopedia klenik yang menarik. Seperti kisah Sultan Agung dengan Ki Juru Taman, abdinya yang berwujud raksasa siluman. Karena kesaktiannya, Juru Taman selalu mendapat kepercayaan dari Sultan Agung untuk melaksanakan tugas-tugas yang penting dan berat. Tugas-tugas ini adalah tugas negara yang rahasia. Juru Taman itu dulunya abdi Kanjeng Panembahan Senapati, kakek Sultan Agung. Ketika terjadi peperangan di Pajang, Juru Taman berhasil membunuh sultan Pajang. Itulah sebabnya Panembahan Senapati sangat senang kepadanya. Sultan Agung menerima Juru Taman sebagai suatu wasiat yang diwariskan kakeknya almarhum.
Suatu ketika Sultan Agung bermaksud akan pergi ke Banten, jajahannya yang belum takluk. Ia ingin melihat dari dekat wilayah bakal medan perangnya ini. Karena itu, kepergiannya haruslah diam-diam, tidak diketahui orang. Sultan Agung memanggil Juru Taman dan bermaksud menggunakan kesaktian abdi setianya ini untuk tugas rahasia Itu. Setelah sembah hormat, dengan cekatan Juru Taman mengangkat singgasana lalu membumbungkannya ke angkasa, sementara Sultan Agung masih duduk di atasnya. Dengan masih berada di singgasana ini, Sultan Agung melesat ke angkasa secepat kilat menuju kerajaan Banten.
Sungguh takjub Sultan Agung dengan kesaktian abdi gaibnya ini karena dalam waktu sekejap saja telah sampai ia di angkasa kerajaan Banten. Dari atas, Sultan Agung dapat dengan jelas melihat keadaan kerajaan di jauh sebelah barat Mataram ini, dengan tanpa diketahui oleh siapapun. Ketika itu di istana Banten sedang berlangsung pertunjukan wayang kulit dengan meriahnya. "Turunkan aku ke bawah, Ki Juru Taman," perintah Sultan Agung tiba-tiba. "Aku ingin melihat wayang Banten apakah sama dengan wayang Mataram," begitu titah raja yang agung ini.
Kemudian Sultan Agung diturunkan oleh Ki Juru Taman di pendapa istana itu. Sultan Agung masih tetap duduk di singgasananya. Sementara Juru Taman dengan wujud gaibnya berjaga demi keselamatan sang raja junjungannya.
Mendapati seorang priyayi yang hadir tiba-tiba di tengah pertunjukan wayang, orang-orang yang ada di pendapa itu terkejut dibuatnya. Mereka heran bagaimana cara datangnya priyayi ini. Apalagi kedatangannya disertai bau harum bagai wangi gunung bunga. Dan yang lebih mengherankan lagi, priyayi ini masih duduk di singgasananya dengan segala kebesaran seorang raja.
Serta merta yang hadir menundukkan muka kena pengaruh wibawa dari wajah Sultan Agung yang bersinar bak rembulan. Raja Banten pun datang dengan sikap sangat hormat dan serta merta menyatakan baktinya. Sultan Agung menaklukan kerajaan Banten tanpa peperangan.
Karena merasa rajanya akan aman di tempat itu, Juru Taman pergi menemui teman-temannya, bangsa siluman di negeri Banten. Sepeninggal Juru Taman, Sultan Agung berpamitan kepada raja Banten. Segera Sultan Agung turun dari singgasananya dan memangil Juru Taman. Yang dipanggil tentu saja tidak datang karena memang sudah tidak ada di tempat itu. Sultan Agung merasa khawatir, sudah ia putari pendapa itu tapi tetap tidak dapat ia temukan abdinya.
Sesudah menemui teman-temannya, Juru Taman segera kembali ke pendapa. Juru Taman terkejut melihat junjungannya tidak berada di tempatnya lagi, kecuali tinggal singgasananya saja. Ia mengira Sultan Agung telah kembali ke Mataram seorang diri dengan cepat. Segera saja Juru Taman menyusul rajanya ke Mataram dengan menjunjung singgasana itu.
Melihat singgasana Sultan Agung yang tiba-tiba hilang lenyap dalam tempo sekejap mata, sultan Banten beserta rakyatnya melongo. Tidak habis rasa heran mereka bagaimana seorang raja yang mampu datang secara tiba-tiba, masih dengan singgasananya pula, dan ketika pulang singgasannya bisa hilang pula dalam sekejap.
Tanda Jasa
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
No comments:
Post a Comment