Sunday 15 May 2011

Kaleidoskop


Kata Kaleidoskop memiliki arti aneka peristiwa yang telah terjadi, yang disajikan secara singkat. Kaleidoskop dapat menceritakan berbagai hal yang telah terjadi di suatu daerah atau mungkin yang telah dialami oleh seseorang.
Kata kaleidoskop berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari tiga kata, yakni kalos (indah), eidos (bentuk), dan skopos (melihat). Dalam pengertian secara keseluruhan, kaleidoskop adalah instrumen yang menjadikan kita mampu menyaksikan bendabenda apa pun yang berbentuk indah.
Padahal, pengertian awal kaleidoskop bukanlah seperti itu. Kaleidoskop adalah perkakas mainan. Bentuknya berupa tabung cermin, teropong atau keker, dilengkapi dengan dua kaca persegi panjang yang dipasang pada lapisan dalam pada salah satu ujungnya, sehingga dapat memperlihatkan pelbagai gambaran yang indah dan simetris dari kepingan barang berwarna seperti manik-manik atau batu-batu kerikil, atau objek-objek kecil lain yang telah diwarnai, yang diletakkan di antaranya.

Tabung itu harus dibalik untuk memantulkan perubahan pola-pola warna. Perkakas mainan optik ini telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Sir David Brewster dari Skotlandia menemukan perkakas ini pada 1816 ketika melakukan eksperimen polarisasi cahaya dan mematenkannya pada 1817.
Kaleidoskop Menurut Kacamata Media 
Pengertian ini sangat berbeda dengan apa yang dikenal oleh media ketika membuat kaleidoskop. Media mengajak masyarakat untuk membuat refleksi bahwa kita pernah mengalami peristiwa-peristiwa historis baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Proyeksi mengenai masa depan, secara optimistik maupun pesimistik, juga disajikan.

Sebagai contoh, pada kaleidoskop bencana, media menyajikannya secara ilustratif dengan cara menyajikan jenis bencana, wilayah yang diterjang bencana, serta jumlah korban dan kerugian harta benda akibat bencana tersebut.
Dimensi kemewaktuan
Tegasnya, melalui kaleidoskop itu, media memberikan penekanan bahwa kita tidak mungkin terlepas dari dimensi kemewaktuan. Hal ini membuktikan mekanisme kerja media sangat tergantung pada waktu. Tapi, ini bukan berarti media menyikapi waktu dengan sikap fatalistik, semata-mata bergantung nasib. Melalui kaleidoskop itu, sebenarnya media menyajikan panduan yang signifikan bahwa kita yang seharusnya memberikan makna pada waktu, dan bukan waktu yang memaknai kehidupan kita.

Kaleidoskop yang ditampilkan media menyatakan dengan tegas bahwa waktu harus ditempatkan secara subjektif, bukan objektif. Jika waktu objektif yang menguasai kehidupan kita, maka yang terjadi adalah rutinitas tanpa makna sebagaimana layaknya jarum-jarum arloji yang berputar secara mekanistik. Jika kaleidoskop bencana yang ditampilkan media sekadar ditanggapi secara pasif, maka kita pun memperlakukan bencana sebagai gejala rutinitas alam belaka.

Kaleidoskop yang ditampilkan media juga semakin meneguhkan bahwa media merupakan lembaga pemberitaan yang merepresentasikan realitas. Media tidak pernah berpretensi menjadi lembaga yang bertindak sebagai cermin kenyataan sosial. Hal ini disebabkan bahwa seluruh kejadian sosial tidak mungkin ditampilkan media secara utuh.

Berita-berita yang ditampilkan media memang berasal dari realitas masyarakat. Namun, bukankah melalui mekanisme seleksi dalam wujud nilai-nilai berita (news values) menjadikan tidak semua kejadian layak disodorkan kepada khalayak? Sistem representasi yang dipraktikkan media menyadarkan kita bahwa terdapat aspek-aspek tertentu dari realitas yang sengaja ditonjolkan atau ditenggelamkan media. Bencana sengaja ditampilkan media supaya kita selalu bersikap waspada.

Semua prosedur representasi yang dijalankan media tidak berarti dimaksudkan bahwa media dengan seenaknya sendiri melakukan distorsi. Sebab, media memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan sektor-sektor industrial lain. Media mempunyai kekuatan informatif yang tidak sekadar menyajikan berita, namun problem yang lebih penting adalah media membentuk pengetahuan.

Media memiliki kekuatan edukatif yang berarti menyajikan gagasan-gagasan untuk mengembangkan kecerdasan. Pada akhirnya, media memiliki kekuatan integratif yang bermakna bahwa meskipun media selalu bersikap kritis terhadap kekuasaan (terutama para pejabat negara), namun hal yang hendak dicapai adalah keutuhan sosial. Jika media menonjolkan ketidak-becusan pemerintah dalam mengatasi bencana, dimaksudkan agar pihak pemegang kekuasaan itu lebih tanggap dengan penderitaan rakyat.

Peristiwa historis
Aspek informatif, edukatif, dan integratif yang dimiliki media menunjukkan bahwa media harus berkedudukan sebagai subjek dalam peristiwa- peristiwa historis. Perhitungan terhadap waktu yang ditunjukkan media juga menyadarkan kita bahwa waktu tidak mungkin dapat diulang. 
Pola-pola peristiwa sejarah menunjukkan repetisi. Namun, yang hendak dihadirkan media adalah waktu selalu berjalan layaknya gerigi-gerigi mesin yang mustahil dihentikan. Waktu tidak mungkin diajak berkompromi. Melalui kalkulasi waktu yang dilakukan media secara cermat ini membuktikan bahwa media adalah institusi modernitas.

Apalagi ketika kita berhadapan dengan berbagai peristiwa bencana, kekuatan media sebagai institusi modernitas itu semakin menonjol.

Mengapa media dapat dianggap sebagai institusi masyarakat modern? Sebagai bentuk kesadaran, sebagaimana dikemukakan oleh F Budi Hardiman (dalam Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, 2004: 3-5), modernitas dicirikan oleh tiga hal, yakni: 
  1. subjektivitas, yang berarti bahwa manusia menjadi pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu; 
  2. kritik, yang bermakna bahwa akal bukan hanya menjadi sumber pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari otoritas tradisi dan prasangka-prasangka yang menyesatkan; 
  3. kemajuan, yang memiliki pengertian manusia menyadari bahwa waktu sebagai sumber langka yang tidak mungkin mampu diulang.
Ketika media menampilkan kaleidoskop bencana yang sebenarnya terjadi adalah media mencoba secara konsisten mendorong kita untuk selalu menengok masa lalu. Media tidak bermaksud menjebak masyarakat untuk terperangkap kelampauan yang menimbulkan kemurungan atau kesukacitaan berlebihan. Serentak dengan itu, media juga memberikan sinyalemen bagi masyarakat tentang masa depan penuh risiko yang harus dihadapi secara tegar.

Dalam domain semacam ini, media bertumpu pada perhitungan saranatujuan (means-ends), dalam wujud pengetahuan, gagasan, dan dorongan integrasi, yang secara realistis dapat dijalankan agen-agen sosial, terlebih lagi ketika ”musim bencana telah tiba”.

Kaleidoskop bencana yang disajikan media menunjukkan media mengerahkan imajinasi historis. Sebagaimana diungkapkan Bambang Sugiharto (”Sejarah, Ruang, dan Imajinasi”, Esei-Esei Bentara, 2002: 125), dalam imajinasi historis kita memberi bentuk pada dimensi masa lalu dan menjadikannya tolok ukur untuk mengintip masa depan. Kejadian- kejadian yang seakan-akan tidak berpola disusun rapi oleh media menjadi sejumlah kategori yang mudah dimengerti.

Itulah kaleidoskop bencana dalam logika media massa, yakni ajakan merenungkan masa silam dan meneropong masa depan. Namun, renungan tentang bencana tidak perlu kita tunggu hingga akhir tahun. Bukankah media pada awal tahun sudah menyajikan kaleidoskop bencana yang sama? Bukan waktunya lagi bagi kita untuk terus merenung. Tidakkah kita ingin mengakhiri kaleidoskop bencana?

2 comments: