Upacara Bepelas yaitu upacara adat yang digelar saat malam hari pada
setiap dan selama pelaksanaan Erau. Upacara adat Bepelas bermakna untuk memuja raga dan sukma Sultan HAM Salehoeddin II dari ujung rambut sampai ujung kaki, sehingga dapat memberikan kekuatan kepada Sultan dalam menjalankan pemerintahan atau adat.
Rangkaian Awal Upacara
Bepelas dimulai setelah Kepala Adat mengatur sembah kepada Sultan
untuk memulai kegiatan acara adat malam yang diwujudkan dalam
tari-tarian yang saling berhubungan arti dan maknanya.
Tarian tersebut antara lain Dewa Memuja Ayu, yang bermakna menjaga Tiang
Ayu dari perbuatan roh jahat, dilanjutkan dengan tarian Dewa Memanah
dengan mengelilingi Tiang Ayu bertujuan membersihkan atau mengamankan
sekeliling lingkungan baik dibumi maupun di langit.
Rangkaian upacara ini kemudian dilanjutkan dengan Tarian Dewa Menurunkan Sangiang Sri Gambuh,
Pangeran Sri Ganjur yang bermakna meminta restu kepada yang Maha Kuasa, diteruskan dengan tarian Beganjur sambil mengitari Tiang Ayu yang
bermakna meronda atau menjaga keamanan dan dilanjutkan dengan Tarian Dewa Memulangkan Ganjur, yang
bermakna bahwa keadaan sudah aman dan ditandai dengan Dewa dan Belian
mulai membacakan memang (mantera) di rebak Ayu, memberitahukan bahwa
Bepelas segera dimulai.
Usai beberapa tarian sakral tersebut, maka Dewa, Belian, Penyuling,
Damar Jujagat, serta Aji-Aji Perempuan menjemput dan mengatur sembah
kepada Sultan dari dalam Keraton, dinamakan dengan Sultan didondang (di
sembah) menjelang Bepelas.
Lalu dilakukan puncak ritual tersebut, Sultan Kutai berjalan menuju
Tiang Ayu sambil berpegangan dengan Kain Cinde di kiri dan Tali Juwita
di kanan. Setibanya di depan Tiang Ayu, Sultan Kutai akan meletakkan
kaki kanannnya terlebih dahulu di atas gong.
Lantas, seorang Belian sambil membaca memang (mantera) melakukan
Tempong Tawar dengan memercikkan air kembang ke kaki Sultan. Pada saat
Sultan menjejakkan kaki kanannya di atas gong itulah suara ledakan
menggelegar. Bunyi ledakan itu terdengar begitu kerasdan di ikuti dengan letusan kembang api sekitar lima menit.
Bagi sebagian warga Tenggarong, bunyi ledakan pada malam hari selama berlangsungnya Erau merupakan hal yang lumrah. Pasalnya, suara ledakan itu merupakan salah satu bagian dari upacara adat Bepelas.
Dengan semakin bertambahnya waktu pelaksanaan Erau, semakin bertambah pula suara ledakan yang terdengar. Misalnya malam pertama hanya sekali ledakan, malam kedua ada dua kali ledakan, begitu seterusnya.
Setelah Bepelas dilaksanakan, maka Dewa, Belian Penyuling mengantarkan Sultan kembali kedalam Keraton, lalu dilanjutkan dengan Tarian Dewa Besaong Manok (Tari Dewa Mengadu Ayam), Bekanjar Ketore. Tarian tersebut menggambarkan kegembiraan bahwa Bepelas Sultan telah dilaksanakan, serta ditandai mengambil Air Tuli dari tepian Mahakam.
Bagi sebagian warga Tenggarong, bunyi ledakan pada malam hari selama berlangsungnya Erau merupakan hal yang lumrah. Pasalnya, suara ledakan itu merupakan salah satu bagian dari upacara adat Bepelas.
Dengan semakin bertambahnya waktu pelaksanaan Erau, semakin bertambah pula suara ledakan yang terdengar. Misalnya malam pertama hanya sekali ledakan, malam kedua ada dua kali ledakan, begitu seterusnya.
Setelah Bepelas dilaksanakan, maka Dewa, Belian Penyuling mengantarkan Sultan kembali kedalam Keraton, lalu dilanjutkan dengan Tarian Dewa Besaong Manok (Tari Dewa Mengadu Ayam), Bekanjar Ketore. Tarian tersebut menggambarkan kegembiraan bahwa Bepelas Sultan telah dilaksanakan, serta ditandai mengambil Air Tuli dari tepian Mahakam.
Sebagai penutup upacara Bepelas, seorang Dewa dan Penyuling
menuju balai di teras depan Museum untuk menggoyak (menggoyang) rendu,
lalu ditutup dengan Tari Bekanjar Bini.
No comments:
Post a Comment