Tanjidor (kadang hanya disebut tanji) adalah sebuah kesenian Betawi yang berbentuk orkes. Kesenian ini sudah dimulai sejak abad ke-1 atas rintisan Augustijn Michiels atau lebih dikenal dengan nama Mayor Jantje di daerah Citrap atau Citeureup. Seni musik ini dimainkan oleh masyarakat Betawi yang bekerja, bukan sebagai pemain musik, melainkan hanya untuk kepuasan batin dan kesenangan saja serta kegemaran masyarakat. Kesenian Tanjidor juga terdapat di Kalimantan Barat, sementara di Kalimantan Selatan sudah punah.
Kata Tanjidor berasal dari bahasa Portugis Tangedor, yang berarti "alat-alat musik berdawai (stringed instruments)", meskipun dalam kenyataannya, nama tanjidor tidak sesuai lagi dengan istilah asli dari Portugis itu. Namun yang masih sama adalah sistem musik (tonesystem) dari tangedor, yakni sistem diatonik atau duabelas nada berjarak sama rata (twelve equally spaced tones). Ansambel tanjidor terdiri dari alat-alat musik seperti berikut: klarinet (tiup), piston (tiup), trombon (tiup), saksofon tenor (tiup), saksofon bas (tiup), drum (membranofon), simbal (perkusi), dan side drums (tambur). Alat musik yang biasa ditambahkan antara lain snar drum, tenor drum, bass drum, biola, ring bells dan lain-lain.
Istilah tangedores kemudian berarti brass band yang dimainkan pada dawai militer atau pegawai keagamaan. Sampai sekarang di Portugal tangedores mengikuti pawai-pawai keagamaan pada pesta penghormatan pelindung masyarakat, misal pesta Santo Gregorius, pelindung Kota Lissabon, tangga124 Juni. Alat-alat yang dipakai adalah tambur Turki, tambur sedang, seruling dan aneka macam terompet. Biasanya pawai itu diikuti boneka-boneka besar yang selalu berjalan berpasangan. Satu berupa laki-laki, yang lain perempuan, dibawa oleh dua orang, yang satu duduk di atas bahu orang yang berjalan. Boneka-boneka itu mirip dengan Ondel-ondel Betawi yang mengiringi rombongan tanjidPada awalnya musik Tanjidor dimainkan untuk menghibur tamu-tamu dari para tuan tanah dan para bangsawan. Tapi dalam perkembangannya seni musik ini dimainkan pada musik jalanan tradisional, atau pesta cap gomeh di kalangan Cina Betawi. Musik ini merupakan sisa dari musik baris dan musik tiup zaman Belanda di Indonesia. Juga biasanya kesenian ini digunakan untuk mengarak atau mengiringi pengantin, memeriahkan acara hajatan khitanan atau dalam acara pawai hiburan daerah. Tapi pada umumnya kesenian ini diadakan di suatu tempat yang akan dihadiri oleh masyarakat Betawi secara luas layaknya sebuah orkes.
Musik Tanjidor biasanya dimainkan paling sedikit oleh 7 - 10 orang. Mereka mempergunakan peralatan musik Eropa tersebut, untuk memainkan reportoir laras diatonik maupun lagu-lagu yang berlaras pelog bahkan slendro. Karena dua macam tangga nada yang berlawanan dipaksakan pada peralatan yang khas berisi kemampuan teknis nada-nada diatonik, tentu saja menjadi suatu suguhan yang terdengar dipaksakan, Karena gemuruhnya bahan perkusi, dan keadaan alat-alat itu sendiri sudah tidak sempuma lagi untuk memainkan laras diatonik yang murni, maka adaptasi pendengaran lama kelamaan menerimanya pula.
Meskipun para pemainnya tidak jarang yang tidak dapat membaca not balok maupun not angka, dan lagu-lagunya tidak pula mereka ketahui dan mana asal-usulnya. Namun semua diterimanya secara aural dari orang-orang terdahulu. Ada kemungkinan bahwa orang-orang itu merupakan bekas-bekas serdadu Hindia Belanda, dan bagian musik. Sehingga dapatlah dimaklumi bahwa peralatan musik tanjidor yang ditemui kebanyakan tidak ada yang baru, bahkan tidak jarang ada yang sudah bertambalan pateri dan berwarna kekuningan, karena proses oksidasi.
Pada masa itu, pada saat musim mengerjakan sawah, mereka menggantungkan alat-alat musik tanjidor di rumah yang berdinding gedheg atau papan, begitu saja dan tidak pada kotak pelindungnya. Setelah panen selesai, barulah kelompok pemusik tersebut berkutat kembali dengan alat-alat musiknya lagi, untuk kemudian menunjukkan kebolehannya bermusik dengan berkunjung dari rumah ke rumah, dari restoran ke restoran dalam Kota Jakarta, Cirebon, Apa yang mereka lakukan tersebut kemudian lebih dikenal dengan sebutan ngamen atau mengamen.
Diantara lagu-lagu lain yang sering dibawakan oleh orkes tanjidor, antara lain Kramton, Bananas, Cente Manis, Keramat Karam (Kramat Karem), Merpati Putih, Surilang, dll. Lagu Keramat Karam lahir karena peristiwa meletusnya Gunung Krakatau yang menelan banyak korban. Lagu-lagu tersebut dimainkan atas dasar keinginan masyarakat kota Betawi yang pada tahun 1920-an sangat digemari dan dianggap 'lagu baru' pada masa itu. Adapun Lagu Kramton dan Bananas adalah lagu Belanda berirama mars.
No comments:
Post a Comment