Setiap Negara mempunyai masalah di bidang kependudukan. Masalah
kependudukan yang dihadapi suatu negara berbeda dengan negara yang
dihadapi negara lain.
Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia memiliki masalah-masalah kependudukan yang cukup serius dan harus segera diatasi.
Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia memiliki masalah-masalah kependudukan yang cukup serius dan harus segera diatasi.
Masalah-masalah kependudukan di Indonesia yaitu:
1. Jumlah penduduk besar.
2. Pertumbuhan penduduk cepat.
3. Persebaran penduduk tidak merata.
4. Banyaknya pengangguran.
5. Tingkat dan Kualitas Pendidikan yang tidak merata
Masalah Kependudukan dalam kaitannya dengan Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk yang besar dan distribusi yang tidak
merata, khususnya di Indonesia, sering kali akan dibarengi dengan masalah lain yang lebih spesifik,
yaitu angka fertilitas dan angka mortalitas yang relatif tinggi.
Kondisi ini tentulah menjadi faktor yang sangat tidak menguntungkan dari sisi pembangunan
ekonomi.. Hal itu diperkuat dengan kenyataan bahwa kualitas penduduk
masih rendah sehingga penduduk lebih diposisikan sebagai beban daripada
modal pembangunan.
Logika seperti itu secara makro digunakan sebagai
landasan kebijakan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk Secara
mikro hal itu juga digunakan untuk memberikan justifikasi mengenai
pentingnya suatu keluarga melakukan pengaturan pembatasan jumlah anak.
Pada awalnya
masalah fertilitas lebih dipandang sebagai masalah kependudukan, dan
treatment terhadapnya dilakukan dalam rangka untuk mencapai sasaran
kuantitatif. Hal ini sangat jelas dari target atau sasaran di awal
program keluarga berencana dilaksanakan di Indonesia yaitu menurunkan
angka kelahiran total (TFR) menjadi separuhnya sebelum tahun 2000. Oleh
karena itu, tidaklah aneh apabila program keluarga berencana di
Indonesia lebih diwarnai oleh target-target kuantitatif. Dari sisi ini
tidak dapat diragukan lagi keberhasilannya.
Indikasi
keberhasilan tersebut sangat jelas, misalnya terjadinya penurunan TFR
yang signifikan selama periode 1967 – 1970 sampai dengan 1994 – 1997 .
Selama periode tersebut TFR mengalami penurunan dari 5,605 menjadi
2,788 (SDKI 1997). Atau dengan kata lain selama periode tersebut TFR
menurun hingga lima puluh persen. Bahkan pada tahun 1998 angka TFR
tersebut masih menunjukkan penurunan, yaitu menjadi 2,6
Penurunan fertilitas
tersebut terkait dengan (keberhasilan) pembangunan sosial dan ekonomi,
yang juga sering diklaim sebagai salah satu bentuk keberhasilan
kependudukan, khususnya di bidang keluarga berencana di Indonesia.
Namun kritik tajam
yang sering dikemukakan berkaitan dengan program keluarga berencana
adalah masih rendahnya kualitas pelayanan KB (termasuk kesehatan),
khususnya dalam level operasional di lapangan. Kritik terhadap kualitas
pelayanan (salah satunya tercermin dalam hal cara pemerintah
mempopulerkan alat kontrasepsi, misalnya melalui berbagai jenis safari)
sejak awal sudah muncul, tetapi hal itu dapat diredam sehingga tidak
meluas melalui berbagai cara .
Dalam
pespektif yang lebih luas, persoalan fertilitas tidak hanya berhubungan
dengan jumlah anak sebab aspek yang terkait di dalamnya sebenarnya
sangat kompleks dan variatif, misalnya menyangkut perilaku seksual,
kehamilan tak dikehendaki, aborsi, PMS, kekerasan seksual, dan lain
sebagainya yang tercakup di dalam isu kesehatan reproduksi. Respons
terhadap hal ini sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah, khususnya
oleh BKKBN dan Meneg Kependudukan (lihat Country Report, 1998 dan
Wilopo, 1997). Akan tetapi respons tersebut masih belum menyentuh
persoalan mendasar yang ada di dalamnya sehingga isu-isu tersebut belum
sepenuhnya tertangani dengan baik.
Kebijakan kependudukan
pada masa Orde Baru meskipun dari sisi kuantitatif telah menunjukkan
kemajuan yang berarti, namun masih meninggalkan banyak persoalan yang
mempunyai kemungkinan meningkat secara signifikan setelah krisis
ekonomi.
Indikasi kehamilan
tak dikehendaki menjadi isu yang penting dalam fertilitas. Sebagai
contoh, ketika angka fertiliitas mencapai angka yang rendah sebagai
akibat internalisasi norma keluarga kecil di dalam masyarakat, maka
setiap kehamilan besar kemungkinannya adalah kehamilan yang tidak
diinginkan. Biasanya kehamilan tersebut berkaitan dengan kegagalan
kontrasepsi. Oleh karena itu, tidak mustahil bahwa insiden kehamilan
yang tidak dikehendaki berkaitan dengan pencapaian keluarga berencana.
Dalam konteks inilah isu mengenai kualitas pelayanan menjadi penting,
khususnya berkaitan dengan pertanyaan siapakah yang bertanggung jawab
terhadap kegagalan alat kontrasepsi dan bagaimana menangani hal
tersebut.
Penanganan
kehamilan yang tidak dikehendaki bukanlah hal yang mudah sebab
kehamilan tak dikehendaki juga berkaitan dengan isu aborsi. Hal ini
terjadi khususnya apabila kehamilan yang tidak dikehendaki tersebut
hanya mistiming dan terjadi pada wanita yang sudah menikah. Akan tetapi
banyak kasus menunjukkan bahwa kehamilan yang tidak dikehendaki sering
terjadi pada wanita yang belum menikah sebagai akibat dari hubungan
seks pranikah. Dalam kasus ini maka solusi yang sering muncul adalah
yang kedua yaitu aborsi. Apabila solusi ini yang dipilih oleh si
wanita, penyelesaiannya dihadapkan pada undang-undang kesehatan yang
tidak membolehkan aborsi kecuali dengan alasan untuk menyelamatkan
nyawa ibu.
Banyak kasus menunjukkan bahwa aborsi masih menjadi pilihan
untuk menyelesaikan kasus kehamilan yang tidak dikehendaki, terutama
bagi wanita lajang, meskipun hal itu bertentangan dengan undang-undang
yang berlaku. Akibatnya adalah bahwa terjadi aborsi illegal yang
seringkali membahayakan nyawa ibu karena dilakukan oleh orang yang
tidak mempunyai kompetensi. Hal ini menjadi agenda penting yang perlu
dicari pemecahannya dalam isu
Kesehatan Reproduksi.
Sementara itu, isu
lain yang terkait dengan kesehatan reproduksi adalah kasus pemerkosaan
yang tidak hanya menjadi isu internal, tetapi juga internasional,
misalnya pemerkosaan yang menimpa TKI perempuan di luar negeri. Selain
isu mengenai marital rape juga sudah muncul isu lain mengenai jumlah
penderita HIV/AIDS, yang cenderung meningkat secara tajam Situasi
HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan jumlah penderita HIV/AIDS pada tahun
1987 hanya 9 orang, namun pada akhir tahun 2005 meningkat tajam menjadi
9.370 orang (Sumber : Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional).
Illustrasi ini sekedar memberikan pemahaman bahwa ada banyak masalah
yang terkait dengan kesehatan reproduksi yang belum tertangani dengan
baik.
Pergeseran masalah
fertilitas dari sekedar masalah kuantitatif ke masalah yang lebih
mendasar sekaligus merupakan cerminan dari pergeseran pemahaman
terhadap fertilitas itu sendiri. Ketika orang mendiskusikan fertilitas
semata-mata mengenai jumlah anak, maka banyak aspek yang berkaitan,
dengan hasil dari perilaku reproduksi yang mempresentasikan lebih
kepada faktor internal daripada faktor eksternal. Sebab
persoalan-persoalan yang muncul kemudian adalah lebih banyak ke
perilaku reproduksi itu sendiri, bukan pada hasil dari perilaku.
Pada
saat membicarakan perilaku reproduksi maka di dalamnya bekerja faktor
eksternal dan internal secara bersama-sama. Faktor eksternal yang
dimaksud adalah faktor yang berada di luar individu, termasuk di
dalamnya faktor-faktor ekonomi sosial dan politik yang dalam skala
tertentu bahkan telah melewati batas ruang dan waktu. Sebagai contoh,
masalah berkembangnya kasus HIV/AIDS tidak semata-mata hanya dapat
dijelaskan dari perilaku individu, tetapi sudah menyangkut liberalisasi
pasar yang tercermin dengan semakin bebasnya arus barang dan manusia
antar negara.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap usaha untuk
mengatasi persoalan tersebut harus memperhatikan faktor eksternal
(masalah struktural) Keterkaitan antara masalah kependudukan dengan
pembangunan sosial ekonomi terasa lebih kental ketika krisis ekonomi
mulai melanda negara-negara Asia. Krisis ekonomi yang telah menyebabkan
kenaikan harga barang dan menurunkan daya beli penduduk telah menggeser
skala prioritas bagi rumahtangga dalam membelanjakan uang.
Sebelum
krisis karena proses internalisasi nilai (value) mengenai keluarga
berencana sudah sangat mendalam, kebutuhan alat kontrasepsi sudah masuk
kedalam prioritas dalam rumah tangga. Akan tetapi ketika krisis terjadi
prioritas tersebut bergeser karena harga alat kontrasepsi meningkat
dengan tajam. Hal ini akan menyebabkan dua kemungkinan, pertama adalah
terjadinya peningkatan kasus drop out pemakai alat kontrasepsi, dan
kedua adalah perubahan penggunaan alat kontrasepsi dari yang efektif ke
kurang efektif.
Hal ini ditunjang oleh ketidakmampuan pemerintah untuk
memberikan subsidi terhadap harga kontrasepsi karena keterbatasan dana,
atau yang lebih kritis lagi adalah berkurangnya persediaan alat
kontrasepsi. Dalam jangka panjang hal ini bermuara pada efek yang sama,
yaitu peningkatan angka kelahiran. Dengan demikian, krisis ekonomi
dikhawatirkan akan mengganggu kesuksesan program keluarga berencana.
Bahasan tersebut
menjelaskan bahwa krisis ekonomi telah menyebabkan keterbatasan akses
masyarakat terhadap alat kontrasepsi, padahal peningkatan akses
tersebut merupakan salah satu kesepakatan Konferensi Internasional
mengenai Kependudukan dan Pembangunan di Cairo ((ICPD) tahun 1994, dan
Indonesia bersungguh-sungguh untuk melaksanakannya. Artinya usaha
Indonesia untuk memperluas akses masyarakat, salah satunya terhadap
alat kontrasepsi, akan terhambat.
Penjelasan tersebut
hanya menyentuh salah satu sisi akibat dari krisis ekonomi, padahal
akibat menurunnya daya beli masyarakat juga telah menyebabkan begitu
banyak anak yang kekurangan gizi, yang dalam jangka panjang
dikhawatirkan akan mempengaruhi kualitas penduduk Indonesia. Tidak
tertutup kemungkinan bahwa hal ini juga akan berdampak pada
meningkatnya risiko kematian, khususnya bayi dan anak.
Sementara itu
kombinasi antara ketidakinginan mempunyai anak disertai ketidakmampuan
membeli alat kontrasepsi tidak mustahil akan menghasilkan lebih banyak
lagi kasus kehamilan yang tidak dikehendaki, pada umumnya kasus
kehamilan yang tidak dikehendaki terjadi pada ibu yang berstatus sosial
ekonomi rendah. Ini akan menimbulkan masalah tersendiri yang cukup
rumit. Sementara itu, sebagaimana telah disebutkan diatas, kasus
kehamilan yang tidak dikehendaki tidak hanya terbatas terjadi pada
perempuan dengan status menikah, tetapi juga perempuan yang tidak
menikah. Untuk kasus terakhir ini besar kemungkinan menghasilkan kasus
aborsi. Hal ini akan menambah persoalan aborsi yang pada dasarnya sudah
sangat serius di Indonesia.
Aborsi merupakan
problem yang serius karena di satu pihak aborsi adalah illegal, tetapi
di pihak lain demand terhadap aborsi cenderung meningkat. Akibatnya,
banyak aborsi dilakukan secara illegal di tempat-tempat yang (mungkin)
mengandung risiko tinggi terhadap keselamatan ibu dan anak. Bayi yang
dilahirkan dari kehamilan yang tidak dikehendaki akan mengalami masalah
psikologis dalam perkembangannya, dan hal itu tidak hanya menjadi
tanggung jawab keluarga/orang tua, tetapi juga menjadi tanggung jawab
seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah..
Jumlah penduduk yang banyak otomatis memerlukan lapangan pekerjaan yang
banyak, sedangkan di Indonesia lapangan pekerjaan terbatas sehingga
menimbulkan banyaknya pengangguran di mana-mana. Untuk mengatasinya pemerintah harus bekerja sama dengan pihak swasta
untuk menyediakan lapangan pekerjaan sehingga dapat mengurangi masalah
pengangguran di Indonesia.
No comments:
Post a Comment