Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Ia dikenal sebagai, tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Indonesia. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
"Soewardi" atau ("KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah.
Aktivis Pergerakan
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit.
Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Bersama dengan EFE Douwes Dekker, ia mengelola De Expres. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik, sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik, seperti Sarikat Islam. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo (BO) untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa), pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Tiga Serangkai |
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD).
Selanjutnya bersama Cipto Mangun Kusumo dan EFE Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) — dijuluki ”Tiga Serangkai” — ia mendirikan Indische Partij, sebuah organisasi politik pertama di Indonesia yang beraliran nasionalisme Indonesia, pada tanggal 25 Desember 1912, dan dengan tegas menuntut Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini, dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij, ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis, pada tahun 1913, dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres, tahun 1913, milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij, ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis, pada tahun 1913, dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres, tahun 1913, milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Kala itu Soewardi baru berusia 24 tahun.
Douwes
Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan
tidak adil. mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi.
Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasul rakyat untuk memusuhi dan
memberontak pada pemerintah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman
internering. Doues Dekker, dibuang ke Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo, dibuang
di Banda.
Namun
mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda, karena di sana mereka bisa
mempelajari
banyak hal, daripada di daerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke negeri
Belanda, sejak Agustus 1913, sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Dalam
pengasingan
Dalam
pengasingan di Belanda, kesempatan itu dipergunakan Soewardi untuk aktif dalam
organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging
(Perhimpunan Hindia). Soewardi juga aktif mendalami masalah pendidikan dan
pengajaran. Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi
dengan belajar ilmu pendidikan, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat
berhasil memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang
bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang
didirikannya.
Dalam
studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat,
seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India,
Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya
dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri. Selain itu, Soewardi juga
aktifni Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti
Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh
keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan
sistem pendidikannya sendiri. Selain itu, Soewardi juga aktif dalam organisasi
para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918.
Di
tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari
alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Taman Siswa
Setelah
pulang dari pengasingan, pada bulan September 1919, bersama rekan-rekan
seperjuangannya. ia pun bergabung dalam sekolah binaan saudaranya, mendirikan
sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa), pada 3 Juli 1922. Pengalaman
mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi
sekolah , pada Perguruan Taman Siswa. Perguruan ini sangat menekankan
pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa
dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Semboyan
dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan
pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing
ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di
depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang
mendukung"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan
rakyat Indonesia, terlebih dh sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan, dan peran Ki Hadjar tetap menonjol. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Mereka berempat, kemudian dikenal sebagai “empat serangkai”.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan Hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan, dan peran Ki Hadjar tetap menonjol. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Mereka berempat, kemudian dikenal sebagai “empat serangkai”.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan Hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.
Dalam
museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri
Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa
karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat
semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai
seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan
Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
Ing
Ngarso Sun Tulodo,
Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani
Ajaran
kepemimpinan Ki Hadjar Dewantoro yang sangat poluler di kalangan masyarakat
adalah Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut
Wuri Handayani. Yang pada intinya bahwa seorang pemimpin harus memiliki
ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi bawahan atau anak
buahnya.
Ing
Ngarso Sun Tulodo
artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang
artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah
menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi bawahan atau
anak buahnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seorang pemimpin adalah
kata suri tauladan.
Sebagai
seorang pemimpin atau komandan harus memiliki sikap dan perilaku yang baik
dalam segala langkah dan tindakannya agar dapat menjadi panutan bagi anak buah
atau bawahannya. Banyak pimpinan saat ini yang sikap dan perilakunya
kurang mencerminkan sebagai figur seorang pemimpin, sehingga tidak dapat
digunakan sebagai panutan bagi anak buahnya.
Ing
Madyo Mbangun Karso,
Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mbangun berarti membangkitan atau menggugah
dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu
adalah seorang peminpin ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan
atau menggugah semangat kerja anggota bawahanya. Karena itu seorang pemimpin
juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungan tugasnya dengan
menciptakan suasana kerja yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan
kerja.
Tut
Wuri Handayani,
Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikan
dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani
ialah seorang komandan atau pimpinan harus memberikan dorongan moral dan
semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh
bawahan, karena paling tidak hal ini dapat menumbuhkan motivasi dan semangat
kerja.
No comments:
Post a Comment