Pak Koen, begitulah panggilan akrabnya, adalah seorang ilmuwan yang berjasa meletakkan dasar-dasar perkembangan ilmu antropologi di Indonesia. Sehingga ia diberi kehormatan sebagai Bapak Antropologi Indonesia. Hampir sepanjang hidupnya disumbangkan untuk pengembangan ilmu antropologi, pendidikan antropologi, dan apsek-aspek kehidupan yang berkaitan dengan kebudayaan dan kesukubangsaan di Indonesia.
Prof Dr Koentjaraningrat tertarik bidang ilmu antropologi sejak menjadi asisten Prof GJ Held, guru besar antropologi di Universitas Indonesia, yang mengadakan penelitian lapangan di Sumbawa. Sarjana Sastra Bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia 1952, ini meraih gelar MA Antropologi dari Yale University, AS, 1956 dan Doktor antropologi dari Universitas Indonesia, 1958.
Pak Koen merintis berdirinya sebelas jurusan antropologi di berbagai universitas di Indonesia. Ilmuwan yang mahir berbahasa Belanda dan Inggris ini juga tekun menulis. Beberapa karya tulisnya telah menjadi rujukan bagi dosen dan mahasiswa di Indonesia. Ia banyak menulis mengenai perkembangan antropologi Indonesia. Sejak tahun 1957 hingga 1999, ia telah menghasilkan puluhan buku serta ratusan artikel.
Melalui tulisannya, ia mengajarkan pentingnya mengenal masyarakat dan budaya bangsa sendiri. Buah-buah pikirannya yang terangkum dalam buku kerap dijadikan acuan penelitian mengenai kondisi sosial, budaya, dan masyarakat Indonesia, baik oleh para ilmuwan Indonesia maupun asing.
Salah satu bukunya yang menjadi pusat pembelajaran para mahasiswanya adalah Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 1963. Dalam buku itu, diceritakan kegiatan Prof Dr Koentjaraningrat dalam menimba ilmu. Juga di dalamnya, dia menjadi tokoh pusat dalam perkembangan antropologi.
Selain itu, bukunya Pengantar Antropologi yang diterbitkan pada tahun 1996 telah menjadi buku pegangan para mahasiswa di berbagai universitas dan berbagai jurusan yang ada di Indonesia.
Buku lainnya yang pernah diterbitkannya adalah hasil penelitian lapangan ke berbagai wilayah di Indonesia seperti Minangkabau, daerah Batak hingga pelosok Irian Jaya. Buku itu berjudul Keseragaman Aneka Warna Masyarakat Irian Barat (1970), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1971), Petani Buah-buahan di Selatan Jakarta (1973), Masyarakat Desa di Indoensia (1984), Kebudayaan Jawa (1984), Masyarakat Terasing di Indonesia (1993), dan sebagainya. Selain itu, ia juga pernah mengadakan penelitian di negara lain seperti Belanda dan Belgia.
Kepribadiannya yang khas, meninggalkan kesan tersendiri dalam ingatan para mahasiswanya. Kesan dan pandangan para mahasiswa, kerabat, sahabat dan koleganya, sepertinya dapat mengungkapkan jati diri seorang tokoh dalam berbagai aspek kehidupannya di kelas, di rumah, dan di dalam kehidupan sehari-hari.
Pada mulanya ia pernah ditugaskan untuk mengembangkan pendidikan dan penelitian dalam antropologi. Dia menyiapkan dan menyediakan bahan untuk pengajaran. Dalam rangka pemenuhan tugas-tugas itu, ia tidak hanya produktif menulis buku-buku acuan pendidikan antropologi, melainkan dia juga menulis buku-buku dan artikel ilmiah lainnya berkenaan dengan kebudayaan, suku bangsa, dan pembangunan nasional di Indonesia.
Profesor bernama lengkap Koentjoroningrat ini dilahirkan di Yogyakarta, 15 Juni 1923, sebagai anak tunggal. Ayahnya, RM Emawan Brotokoesoemo, adalah seorang pamong praja di lingkungan Pakualaman. Sementara ibunya, RA Pratisi Tirtotenojo, sering diundang sebagai penerjemah bahasa Belanda oleh keluarga Sri Paku Alam. Walaupun anak tunggal, didikan ala Belanda yang diterapkan ibunya membuatnya menjadi pribadi yang disiplin dan mandiri sejak kecil.
Pada usia delapan tahun, ia mulai bersekolah di Europeesche School. Pada masa-masa itu, ia sering menghabiskan waktu bermain di lingkungan keraton. Kedekatannya dengan lingkup keraton yang kental dengan seni dan kebudayaan Jawa, sedikit banyak memengaruhi pembentukan kepribadiannya sebagai antropologi di kemudian hari.
Selepas dari Europeesche School, remaja yang juga punya bakat melukis ini meneruskan sekolah ke AMS dan mulai mempelajari seni tari di Tejakesuman. Bersama dua sahabatnya, yaitu Koesnadi (fotografer) dan Rosihan Anwar (tokoh pers), Koentjaraningrat rajin menyambangi rumah seorang dokter keturunan Tionghoa untuk membaca, di antaranya disertasi tentang antropologi milik para pakar kenamaan.
Kemudian, ia pun meraih gelar sarjana sastra bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia, pada 1952. Selanjutnya, pada tahun 1956, ia mendapat gelar MA dalam antropologi dari Yale University, AS. Kemudian meraih gelar doktor antropologi dari Universitas Indonesia, 1958.
Karier yang pernah dijabatnya yakni menjadi Guru Besar Antropologi pada Universitas Indonesia. Kemudian menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Universitas Gadjah Mada, dan juga Guru Besar di Akademi Hukum Militer di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Begawan antropologi Indonesia ini juga pernah diundang sebagai guru besar tamu di Universitas Utrecht, Belanda, Universitas Columbia, Universitas Illinois, Universitas Ohio, Universitas Wisconsin, Universitas Malaya, Ecole des Hautes, Etudes en Sciences Sociales di Paris dan Center for South East dan Asian Studies di Kyoto.
Berbagai penghargaan telah dianugerahkan padanya atas pengabdiannya dalam pengembangan ilmu antropologi. Di antaranya, penghargaan ilmiah gelar doctor honoris causa dari Universitas Utrecht, 1976 dan Fukuoka Asian Cultural Price pada tahun 1995. Pak Koen juga mendapat penghargaan Satyalencana Dwidja Sistha dari Menhankam RI (1968 dan 1981).
Tutup Usia
Antropolog pertama Indonesia ini meninggal dunia dalam usia 75 tahun, Selasa 23 Maret 1999 sekitar pukul 16.25, di RS Kramat 128, Jakarta Pusat. Dia telah terkena stroke sejak 1989. Dimakamkan di TPU Karet Bivak, Rabu 24 Maret 1999 sekitar pukul 13.00.
Sebelumnya disemayamkan di rumah duka di Jl Daksinapati Timur IV/C2, Kompleks IKIP Rawamangun. Hadir melayat antara lain ahli filsafat dan budayawan Prof Dr Toeti Herati Nuradi, mantan Mendikbud Prof Dr Fuad Hassan, Direktur Sejarah dan Nilai Tradisional Dr Anhar Gonggong, dan sosiolog Prof Dr Sardjono Jatiman.
Menurut keterangan putri ketiganya, Ny Rina “Maya” Tamara, perintis berdirinya Jurusan Antropologi UI dan sejumlah universitas negeri lainnya ini, memang sudah sejak lama menderita stroke dan terkena serangan mendadak beberapa kali. Serangan stroke pertama kali terjadi selang setahun setelah ia resmi mengakhiri masa dinasnya sebagai pegawai negeri, 15 Juni 1988. Menurut Maya, mendiang ayahnya Senin malam 22 Maret 1999 sekitar pukul 22.10 secara mendadak tak sadarkan diri setelah sebelumnya sempat muntah-muntah, dan segera dilarikan ke RS Kramat 128.
Pak Koen meninggalkan seorang istri, Kustiani yang dikenal sejak kuliah di UI, tiga anak, Sita Damayanti, Rina Tamara, dan Inu Dewanto, dan empat cucu.
No comments:
Post a Comment