Friday 25 March 2011

Nyeri (Pain)

Update : 08/03/12


Nyeri, menurut International Association for Study of Pain (IASP), adalah merupakan pengalaman sensoris subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan, yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan yang nyata, berpotensi rusak, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. 

Nyeri akibat kerusakan jaringan misalnya terjadi pada nyeri akibat luka operasi. Berpotensi rusak misalnya pada nyeri dada karena penyakit jantung (Angina Pectoris), dimana timbul nyeri sebagai pertanda akan terjadi kerusakan atau berpotensi terjadi kerusakan pada otot- otot jantung bila tidak ditangani secara benar. Menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan, misalnya nyeri yang timbul setelah sembuh dari penyakit herpes (Neuralgia Pasca Herpetica), dimana terjadi nyeri meskipun tidak ada kerusakan jaringan.

Rasa nyeri adalah anugerah dari Tuhan dan merupakan masalah unik, karena sebagai suatu tanda mekanisme perlindungan diri, contoh sederhana bila tangan menyentuh bara api maka pada orang normal akan merasakan panasnya bara api kemudian secara spontan akan menjauhkan tangan dari sumber panas tersebut. Bisa dibayangkan seandainya kita tidak bisa merasakan panas atau nyeri maka akan terbakarlah tangan oleh bara api tersebut.

Bila nyeri tidak ditangani secara benar maka dapat menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut, contohnya nyeri setelah operasi, nyeri setelah sembuh dari penyakit herpes, bila tidak ditangani secara benar, maka akan menjadi nyeri kronis yang merupakan permasalahan besar dan sulit ditangani, karena terjadi perubahan ekspresi dari saraf-saraf. Nyeri seperti inilah yang diklasifikasikan sebagai nyeri kronis yang ditandai dengan adanya persepsi nyeri tanpa kerusakan jaringan.

Mekanisme Nyeri

Seseorang baru merasakan sensasi nyeri rangsangan nyeri yang timbul mengalami proses transduksi, transmisi, modulasi dan kemudian dipersepsikan sebagai nyeri. Transduksi adalah rangsang nyeri diubah menjadi depolarisasi membran reseptor yang kemudian menjadi impuls saraf. Transmisi, saraf sensoris perifir yang melanjutkan rangsang ke terminal di medula spinalis disebut sebagai neuron aferen primer, jaringan saraf yang naik dari medula spinalis ke batang otak dan talamus disebut neuron penerima kedua, neuron yang menghubungkan dari talamus ke kortek serebri disebut neuron penerima ketiga. Modulasi nyeri dapat timbul di nosiseptor perifer, medula spinalis atau supraspinal. Modulasi ini dapat menghambat atau memberi fasilitasi. Persepsi, nyeri sangat dipengaruhi oleh faktor subyektif, walaupun mekanismenya belum jelas

Fisiologi perjalanan nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas, yang berada di dalam kulit, yang berespon hanya terhadap stimulus kuat, yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor (nosiceptor), secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (cutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral. Karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det), yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det), yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik dalam, meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral. Reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamari.

Alur Nyeri

Reseptor nyeri yang jumlahnya jutaan di tubuh, akan menerima rangsangan nyeri yang kemudian dibawa ke spinal cord yaitu pada daerah kelabu dilanjutkan ke traktus spinothalamikus selanjutnya ke korteks serebri. Mekanismenya sebagai berikut ;
  • Alur nyeri dari tangan yang terbakar mengeluarkan zat kimia bradykinin, prostaglandin, kemudian merangsang ujung reseptor saraf yang kemudian membantu transmisi nyeri dari tangan yang terbakar ke otak.
  • Impuls disampaikan ke otak melalui nervus ke kornu dorsalis  pada spinal cord.
  • Pesan diterima oleh thalamus sebagai pusat sensori pada otak.
  • Impuls dikirim ke korteks, dimana intensitas dan lokasi nyeri dirasakan.
  • Penurunan nyeri dimulai sebagai signal dari otak, turun melalui spinal cord.
  • Pada kornu dorsalis zat kimia seperti endorfin dikeluarkan untuk menurunkan intensitas nyeri.

Teori  “Gate Control 

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, meskipun demikian, teori gerbang kendali nyeri (Gate Control Teory) dianggap paling relevan.

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) menyatakan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak akan mengatur proses pertahanan ini. Neuron delta-A dan C akan melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentransmisikan impuls melalui mekanisme pertahanan. 

Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. 

Diyakini, mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. 

Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden akan melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin.

Jadi secara singkat, teori ini menyatakan bahwa : saraf berdiameter kecil menghantarkan stimulus nyeri ke otak, sedangkan saraf berdiameter besar, berusaha menghambat transmisi impuls nyeri dari spinal cord ke otak. Mekanisme ini terjadi pada sel-sel substancia gelatinosa pada kornu dorsalis di spinal cord.

Zat- zat penghasil nyeri

Pembedahan akan menyebabkan kerusakan sel. Sebagai konsekuensinya, sel-sel akan mengeluarkan zat- zat kimia bersifat algesik yang berkumpul di  sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. Zat mediator inflamasi tersebut diantaranya: bradikinin, histamin, katekolamin, sitokinin, serotonin, lekotrien, prostaglandin dan substansi-P. Nyeri dapat berlangsung berjam-jam sampai berhari-hari.

Mekanisme Nyeri Pada Trauma dan Pasca Bedah


Respons Stress (Stress Responds) 

Respons tubuh terhadap suatu pembedahan atau nyeri akan menghasilkan reaksi endokrin dan immonologik, yang secara umum disebut sebagai respons stress. Respons stress ini sangat merugikan penderita karena selain akan menurunkan cadangan dan daya tahan tubuh, meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung, mengganggu fungsi respirasi dengan segala konsekuensinya, juga akan mengundang resiko terjadinya tromboemboli yang pada gilirannya meningkatkan morbiditas dan mortalitas.  

Meskipun berbagai tehnik pengelolaan nyeri telah banyak dikembangkan, namun mengontrol nyeri pascabedah per-se, tidak selalu menjadi jaminan untuk tidak terjadinya respons stress yang turut berperan dalam prognosis penderita pasca bedah.

Hipersensitifitas dan plastisitas Susunan Saraf. 

Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa menyusul suatu trauma atau operasi maka input nyeri dari perifer ke sentral akan mengubah ambang reseptor nyeri baik di perifer maupun di sentral (kornu posterior medulla spinalis). Kedua reseptor nyeri tersebut di atas akan menurunkan ambang nyerinya, sesaat setelah terjadi input nyeri.

Perubahan ini akan menghasilkan suatu keadaan yang disebut sebagai hipersensitifitas baik perifer maupun sentral. Perubahan ini dalam klinik dapat dilihat, dimana daerah perlukaan dan sekitarnya akan berubah menjadi hiperalgesia. Daerah tepat pada perlukaan akan berubah menjadi allodini, artinya dengan stimulasi lemah, yang normal tidak menimbulkan rasa nyeri, kini dapat menimbulkan rasa nyeri, daerah ini disebut juga sebagai hiperalgesia primer.  

Di lain pihak daerah di sekitar perlukaan yang masih nampak normal juga berubah menjadi hiperalgesia, artinya dengan suatu stimuli yang kuat, untuk cukup menimbulkan rasa nyeri, kini dirasakan sebagai nyeri yang lebih hebat dan berlangsung lebih lama, daerah ini juga disebut sebagai hiperalgesia sekunder.

Kedua perubahan tersebut di atas, baik hiperalgesia primer maupun hiperalgesia sekunder merupakan konsekuensi terjadinya hipersensitifitas perifer dan sentral menyusul suatu input nyeri akibat suatu trauma atau operasi. Ini berarti bahwa susunan saraf kita, baik susunan saraf perifer maupun susunan saraf sentral dapat berubah sifatnya menyusul suatu input nyeri yang kontinyu. Dengan kata lain, susunan saraf kita dapat disamakan sebagai suatu kabel yang kaku (rigid wire), tapi mampu berubah sesuai dengan fungsinya sebagai alat proteksi.

Kemampuan sususnan saraf kita yang dapat berubah mirip dengan plastik disebut sebagia plastisitas susunan saraf (plasticity of the nervous system). Analgesia Preemptif (Preemptive analgesia) Sekali susunan saraf mengalami plastisitas, berarti akan menjadi hipersensitif terhadap suatu stimuli dan penderita akan mengeluh dengan nyeri yang lebih hebat sehingga dibutuhkan dosis obat analgesik yang tinggi untuk mengontrolnya. 

Atas dasar itulah maka untuk mengurangi keluhan nyeri pasca bedah, dilakukan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya plastisitas susunan saraf. Salah satu cara untuk mengurangi plastisitas tersebut pada suatu pembedahan elektif adalah dengan menggunakan blok saraf (epidural/spinal), sebab dengan demikian input nyeri dari perifer akan terblok untuk masuk ke kornu posterior medulla spinal. 

Dilain pihak jika trauma terjadi sebelum operasi, maka pemberian opioid secara sistemik dapat mengembalikan perubahan plastisitas susunan saraf kembali menjadi normal. Upaya-upaya mencegah terjadinya plastisitas ini disebut sebagai analgesia preemptif (preemptive analgesia), artinya mengobati nyeri sebelum terjadi (to treat pain before it occurs). 

 Dengan cara demikian keluhan nyeri pascabedah akan sangat menurun dibandingkan dengan keluhan nyeri pascabedah penderita yang dioperasi dengan fasilitas anastesi umum. Hal ini telah banyak dibuktikan melalui penelitian-penelitian klinik. Analgesia Balans (Balanced Analgesia) Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa konsep analgesia balans adalah upaya mengintervensi nyeri pada proses perjalanannya yakni pada proses transduksi, transmisi dan proses modulasi. 

Jadi merupakan intervensi nyeri yang bersifat terpadu dan berkelanjutan, yang diilhami oleh konsep plastisitas dan analgesia preemptif seperti disebutkan di atas.Pengalaman menunjukkan bahwa dengan menggunakan analgesia preemptif, pada awalnya akan diperoleh hasil yang cukup baik, tapi cara ini mempunyai keterbatasan waktu. Tidak mungkin analgesia preemptif dapat dipertahankan beberapa hari sampai proses penyembuhan usai. Selain iti epidural kontinyu dengan menggunakan anastesi lokal, juga memiliki keterbatasan seperti disebutkan sebelumnya.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa analgesia preemptif, walaupun hasilnya sangat baik terutama dalam mencegah terjadinya plastisitas pada kornu posterior, namun memiliki keterbatasan, yakni sulitnya dipertahankan selama proses penyembuhan pascabedah. Disinilah keunggulan dari analgesia balans dimana intervensi nyeri dilakukan secara multimodal dan berkelanjutan. Multimodal, dimaksudkan bahwa intervensi dilakukan pada ketiga proses perjalanan nyeri yakni pada proses transduksi dengan menggunakan NSAID, pada proses transmisi dengan anastetik lokal, dan pada proses modulasi dengan opioid.

Dengan cara ini terjadi penekanan pada proses transduksi dan peningkatan proses modulasi, guna mencegah terjadinya proses hipersensitivitas baik di perifer maupun di central. Dengan kata lain, analgesia balans dapat menghasilkan selain pain free juga stress responses free. Dengan regimen analgesia balans ini akan menghasilkan suatu analgesia pascabedah yang secara rasional akan menghasilkan analgesia yang optimal bukan saja waktu istirahat, tapi juga dalam keadaan mobilisasi.
 
Nyeri dapat dibedakan berdasarkan :
·          
1. Berdasarkan kualitasnya, 

Berdasarkan kualitasnya, nyeri dapat dibagi menjadi: nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri berat. Pada nyeri ringan, biasanya pasien secara obyektif dapat berkomunikasi dengan baik. Pada nyeri sedang, secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. Pada nyeri berat, secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang.
 
Nyeri memiliki suatu ambang / “treshold” dan ambang ini dicapai secara berbeda. Ambang dicapai oleh karena adanya hambatan transmisi impuls nyeri dari spinal cord ke otak. Mekanisme ini terjadi pada sel-sel substansia gelatinosa pada kornu dorsalis di spinal cord.

2. Berdasarkan sumbernya
  • Cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit/ jaringan subkutan. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar), contoh: terkena ujung pisau atau gunting.
  •  Deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari lapisan dinding tubuh, seperti ligament, pembuluh darah, tendon dan syaraf, nyeri menyebar dan lebih lama daripada cutaneus, contoh: sprain sendi.
  • Visceral (pada organ dalam), stimtlasi reseptor nyeri dalam rongga perut (abdomen), kepala (cranium) dan dada (thorak). Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan.
 3. Berdasarkan penyebab
  • Fisik, bisa terjadi karena stimulus fisik, contoh : patah tulang paha (fraktur femur) 
  • Psycogenic, terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari. Contoh : orang yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya.
Biasanya nyeri dapat terjadi secara “concomitants”, karena perpaduan 2 sebab tersebut 

4. Berdasarkan lama/durasinya
  • Nyeri akut
    Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cedera, atau intervensi bedah dan memiliki mula yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan . Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya cidera atau penyakit yang akan datang.  Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak.

    Nyeri akut biasanya
    akan berakhir dalam periode singkat sampai dengan kurang dari 6 bulan. Nyeri akut biasanya ditandai dengan tanda-tanda inflamasi, biasanya berlangsung beberapa hari sampai proses penyembuhan. Tanda-tanda utama inflamasi adalah: rubor (kemerahan jaringan), kalor (kehangatan jaringan), tumor (pembengkakan jaringan), dolor (nyeri jaringan), fungsio laesa (kehilangan fungsi jaringan).

    Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut secara serius mengancam proses penyembuhan klien, untuk itu harus menjadi prioritas perawatan. Rehabilitasi bisa tertunda dan hospitalisasi bisa
    memanjang dengan adanya nyeri yang tidak terkontrol.
  • Nyeri kronik
    Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode
    tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. 

    Seseorang yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat).  Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang  diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik dan psikologis.


    Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari.

  • Nyeri kanker adalah merupakan kombinasi dari nyeri akut dan nyeri kronis dimana ada suatu proses inflamasi kemudian nyeri berlangsung terus- menerus sesuai dengan perkembangan kankernya, bilamana kanker tidak ditangani.
5. Berdasarkan lokasi/letak
  • Radiating pain, dimana nyeri menyebar dari sumber nyeri ke jaringan di dekatnya , contoh : nyeri infark miokard.
  • Referred pain, dimana nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yang diperkirakan berasal dari  jaringan penyebab.
  • Intractable pain, adalah nyeri yang sangat susah dihilangkan, contoh: nyeri kanker, keganasan.
  •  Phantom pain, adalah sensasi nyeri dirasakan pada bagian tubuh yang hilang, contoh bagian tubuh yang diamputasi atau bagian tubuh yang lumpuh karena injuri medulla spinalis
6. berdasarkan Kecepatan Timbul
  • Nyeri cepat: bila diberikan stimulus nyeri maka rasa nyeri cepat timbul dalam waktu kira-kira 0,1 detik. Rasa nyeri cepat juga digambarkan dengan banyak nama pengganti seperti : rasa nyeri tajam, rasa nyeri tertusuk, rasa nyeri akut, dan rasa nyeri elektrik
     
  • Nyeri lambat:  timbul setelah 1 detik atau lebih dan kemudian secara perlahan  bertambah selama beberapa detik dan kadang kala bahkan beberapa menit. Rasa nyeri lambat juga mempunyai banyak nama tambahan seperti rasa nyeri terbakar lambat, nyeri pegal, nyeri berdenyut, nyeri mual dan nyeri kronik.
Respon Terhadap Nyeri

1. Respons sistemik 

Nyeri akut berhubungan dengan respons neuroendokrin sesuai derajat nyerinya. Nyeri akan menyebabkan peningkatan hormon katabolik dan penurunan hormon anabolik. Manifestasi nyeri dapat berupa hipertensi, takikardi, hiperventilasi (kebutuhan Oksigen dan produksi karbon dioksida meningkat), tonus sfingter saluran cerna dan saluran air kemih meningkat (ileus, retensi urin)

2. Respon perilaku

Respon perilaku terhadap nyeri antara lain
  • Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
  • Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir, Diam menahan)
  • Gerakan tubuh (Gelisah, Melindungi area yang nyeri, Imobilisasi, Menghindari dari stimulus, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan)
  • Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awal mula yang mendadak dapat bereaksi sangat berbeda dibanding nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas, karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
 
3. Respon Fisiologik
  • Respon simpatetik (Pada nyeri akut, ringan, moderat atau superficial) dan merupakan respon homeostatis
    1. Peningkatan tekanan darah
    2. Peningkatan denyut nadi dan pernafasan
    3. Dilatasi pupil
    4. Ketegangan otot dan kaku
    5. Bagian tubuh perifer akan terasa dingin
    6. Sering buang air kecil
    7. Kadar gula darah meningkat
    8. Penurunan motilitas saluran cerna
    9. Dilatasi saluran bronkhial
  • Respon Parasimpatetik (pada nyeri berat) dan menunjukkan bahwa tidak mampu lagi melakukan homeostatis.
    1. Muka pucat
    2. Mual dan muntah
    3. Penurunan kesadaran
    4. Penurunan tekanan darah
    5. Penurunan nadi
    6. Pernafasan cepat dan tidak teratur
    7. Kelelahan, keletihan dan lemah
4. Respon Afektif
  • Diam tidak berdaya
  • “withdrawl” (menolak)
  • Depresi
  • Marah
  • Takut
  • Tidak punya harapan
  • Tidak punya kekuatan

5. Respon Psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atat arti nyeri bagi klien. Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
  • Bahaya atau merusak
  • Komplikasi seperti infeksi
  • Penyakit yang berulang
  • Penyakit baru
  • Penyakit yang fatal
  • Peningkatan ketidakmampuan
  • Kehilangan mobilitas
  • Menjadi tua
  • Sembuh
  • Perlu untuk penyembuhan
  • Hukuman untuk berdosa
  • Tantangan
  • Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
  • Sesuatu yang harus ditoleransi
  • Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya

Fase Pengalaman Nyeri

Meinhart & McCaffery, mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, 
sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Seseorang bisa saja mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif. 

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri
  • Usia
    Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal,  jika nyeri diperiksakan.
  • Jenis kelamin
    Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (contoh: tidak pantas kalau laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri)
  • Kultur, etnis
    Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri. (ex: suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri)
  • Makna nyeri
    Berhubungan dengan  bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
  • Perhatian
    Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
  • Ansietas atau stressor lain
    Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
  • Pengalaman masa lalu
    Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
  • Pola koping (Strategi Menyelesaikan Masalah = Coping strategy)
    Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
  • Support keluarga dan sosial
    Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan perlindungan.

  • Psikis.
    Seorang tukang ketik dan seorang petani sama- sama mengalami luka pada jari tangan, maka si tukang ketik akan merasakan lebih nyeri pada jari tangan, karena berhubungan dengan psikis mengingat jarinya identik dengan alat untuk mencari nafkah, sedangkan seorang petani misalnya cenderung akan merasakan kurang nyeri karena menganggap luka di jari tangan sebagai hal yang biasa dan mengabaikan saja.
Pengukuran skala nyeri

Persepsi nyeri mencakup proses sensasi ketika stimulus nyeri terjadi dan berhubungan dengan interpretasi nyeri oleh seseorang. Ambang nyeri adalah intensitas terendah dari stimulus nyeri yang dapat menyebabkan seseorang mengenal nyeri. Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual. Sebenarnya ambang nyeri itu jika tanpa adaptasi, sama pada setiap orang, akan tetapi proses adaptasi setiap orang tidaklah sama, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan ambang nyeri pada setiap orang, karena adanya perubahan sesuai dengan adaptasi yang dialami setiap orang.

Nyeri pada dasarnya adalah pengalaman seseorang individu (personal experience). Jadi dengan demikian persepsi nyeri itu sangat individual dan unik pada setiap orang. Durasi, berat atau Intensitas, Kualitas, Periode dari Nyeri. Nyeri itu suatu perasaan campuran dan terjadi pada berbagai tingkatan. 

Pengetahuan tentang nyeri penting untuk menyusun program pengobatan nyeri setelah pembedahan. Derajat nyeri dapat diukur dengan macam-macam cara. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri. Pengukuran lain untuk menilai nyeri, misalnya tingkah laku pasien, skala verbal dasar, skala analog visual. 

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan. 

Secara sederhana nyeri setelah pembedahan pada pasien sadar dapat langsung ditanyakan pada yang bersangkutan dan biasanya dikategorikan sebagai: tidak nyeri (none), nyeri ringan (mild, slight), nyeri sedang (moderate), nyeri berat (severe) dan sangat nyeri (very severe, intolerable).

Berikut adalah beberapa alat untuk yang biasa digunakan untuk menilai derajat nyeri :

1) skala intensitas nyeri deskritif 

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.

 skala intensitas nyeri deskritif
2) Skala identitas nyeri numerik

Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm.

Skala identitas nyeri numerik
3) Skala analog visual

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.

Skala analog visual
4) Skala nyeri menurut bourbanis

Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
  • 0 : Tidak nyeri
  • 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
  • 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
  • 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
  • 10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan.

Pengelolaan Nyeri


Metoda pengobatan nyeri, sesuai dengan step ledder dari WHO, maka untuk mengatasi nyeri ringan digunakan obat anti inflamasi non steroid, untuk mengatasi nyeri sedang digunakan obat anti inflamasi non steroid dikombinasi dengan golongan opioid lemah dan untuk mengatasi nyeri berat digunakan obat anti inflamasi non steroid dikombinasi dengan golongan opioid kuat.

Selain pengobatan diatas kadang dibutuhkan juga pengobatan tambahan diantaranya obat sedatif bila nyeri disertai stress, pengobatan akupunktur untuk mengatasi nyeri kronik, sampai blok anestesi. Untuk masyarakat umun  bila mengalami nyeri disarankan untuk segera berkonsultasi ke dokter untuk mendapatkan pengobatan sesuai dengan masalah nyeri yang dialami.

Metoda pengobatan nyeri dapat dengan cara sistemik (oral, rectal, transdermal, sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau perinfus). Cara yang sering digunakan dan paling digemari ialah intramuscular opioid.
Metoda regional misalnya dengan epidural opioid atau intraspinal opioid. Kadang- kadang digunakan metoda infiltrasi pada luka operasi, sebelum pembedahan selesai misalnya pada sirkumsisi atau pada luka operasi usus buntu (apendektomi).

Begitu pentingnya pengetahuan nyeri, maka saat ini nyeri merupakan tanda vital keenam, setelah kesadaran, tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, dan suhu tubuh.

1 comment:

  1. mohon izin om, sumbernya dan pengarangnya dari mana ya?

    ReplyDelete