Wednesday, 30 March 2011

Shwedagon



Pagoda Shwedagon (nama resmi: Shwedagon Zedi Daw), juga dikenal dengan julukan Pagoda Emas, adalah sebuah stupa atau pagoda setinggi 98 meter (321,5 kaki) yang berlapis emas dan terletak di Yangon, Myanmar. Pagoda ini berdiri di atas lahan seluas 5 hektare di atas bukit yang mempunyai ketinggian 58 meter di atas permukaan laut. Lebih tepatnya pagoda ini terletak di bagian barat Danau Kandawgyi, di bukit Singuttara. Dengan ketinggian ini, saat berada di Pagoda Schwedagon, para wisatawan dapat melihat hampir seluruh penjuru kota, dan pagoda ini telah menjadi ikon bagi kota Yangon. Stupa buddhis ini adalah yang paling suci bagi bangsa Birma, karena menyimpan relik Buddha terdahulu, yaitu tongkat Kakusandha, saringan air Konagamana, sepotong jubah Kassapa, dan delapan helai rambut Siddharta Gautama, Buddha historis.

Pagoda adalah suatu bangunan yang berfungsi untuk menyimpan relik-relik para Buddha dan benda-benda suci peninggalan para Buddha, sehingga pagoda merupakan tempat yang sangat sakral untuk melakukan puja bakti ataupun meditasi. Setiap umat yang melakukan puja bakti dengan melafalkan paritta ataupun meditasi akan memperoleh berkah yang sangat mulia.

Pagoda ini juga merupakan tempat yang diyakini dan dijadikan rujukan bagi rakyat dalam menentukan bintang keberuntungannya dari hari kelahirannya melalui oleh nama-nama binatang. Nama-nama binatang itu adalah: garuda (galon) untuk hari minggu, harimau untuk senin, singa untuk hari selasa, gajah untuk hari rabu, tikus untuk hari kamis, babi untuk jum’at, dan naga untuk hari sabtu. Setiap bintang kehidupan seseorang berupa nama binatang ini memiliki citra Buddhanya masing-masing yang selalu dipuja seperti melalui persembahan bunga, air dan lainnya melalui iringin doa, dan harapannya.


Pagoda Shwedagon adalah pagoda paling agung, jika dibandingkan berdasarkan ukuran dan kehebatan arsitektur dengan Angkor Wat (Kamboja) dan Borobudur (Indonesia). Kata Shwedagon berasal dari kata “shwe” berarti emas dan “dagon” adalah nama terdahulu dari kota Yangon (Ibukota Myanmar). Maka, “Shwedagon” memiliki arti pagoda emas di kota Dagon. 

Sejarah
 
Pagoda tersebut dipercaya telah dibangun sejak lebih dari 2500 tahun yang lalu, saat Sang Buddha Gautama masih hidup. Menurut legenda, dua orang bersaudara yang berprofesi sebagai pedagang dari Myanmar, bernama Tapussa dan Bhallika, memimpin karavan kereta kerbau ke India dan menemui Sang Buddha yang baru mencapai Kesempurnaan atau Ke-Buddha-an.

Kedua bersaudara itu pun mempersembahkan madu dan sejenis kue yang bernama Kywet Kyit kepada Buddha dan menerima sebagai balasan delapan helai rambut dari Buddha. Kedua bersaudara tersebut dan pengikutnya dengan bahagia kembali ke kampung halamannya, Okkalapa (juga merupakan nama sebelumnya dari Yangon).

Penguasa Okkalapa, yang telah mendengar kabar yang luar biasa tersebut, kemudian menyambut datangnya rambut suci tersebut dengan upacara penyambutan yang besar. Rambut-rambut tersebut kemudian disimpan di dalam sebuah pagoda yang dibangun khusus untuk tujuan tersebut.
 

Terlepas dari legenda yang dipercayai oleh rakyat Burma, para arkeolog memperkirakan bangunan stupa itu didirikan pada sekitar abad 6 sampai 10 pada masa kerajaan Mon. Bangunan ini pernah mengalami keruntuhan pada tahun 1300, namun ketika Raja Mon, Binya U Bago berkuasa, pagoda yang berbentuk stupa tersebut dibangun kembali dengan tinggi 18 meter (66 kaki).

Pagoda tersebut secara bertahap dibangun kembali dan diperbesar hingga memiliki tinggi dan bentuk seperti sekarang ini, sejak abad ke 14 dan 15, oleh pewaris tahta dan ratu kerajaan Mon, yang memerintah Myanmar, selama beberapa. Namun, masih banyak raja-raja Myanmar yang telah berjasa melakukan pengembangan terhadap pagoda tersebut dan daerah sekitarnya, seperti memasang “htees” atau paying-payung dan lonceng-lonceng, melapisi dengan emas, membangun rumah-rumah peristirahatan, dan “tazaungs” atau aula-aula untuk pemujaan. Kerajaan Mon sendiri memiliki dua pagoda suci, yaitu Shemawdaw di Bago dan pagoda Shwedagon

Saat ini, pagoda tersebut memiliki ketinggian 326 kaki dan keliling dasar / fondasi sepanjang 1420 kaki. Awalnya, pagoda tersebut hanya dilapisi dengan emas. Kemudian, bagian atas dari pagoda tesebut ditutupi dengan kepingan emas sebesar lebih kurang 30 cm2. Sedangkan pada bagian payung, dilapisi dengan emas dan ditaburi permata yang tak ternilai harganya. Anda mungkin baru dapat menyadari bahwa orang Myanmar sangat bermurah-hati.

Emas yang dipergunakan untuk pembangunan ini merupakan hasil dari sumbangan masyarakat. Saat itu, di masyrakat setempat terdapat suatu tradisi menyumbangkan emas untuk pagoda. Tradisi  di abad ke-15 tersebut, ternyata memang membuahkan hasil yang memuaskan. Sumbangan ini digunakan oleh masyarakat Myanmar sebagai persembahan kepada Budha. Jadilah sebuah mahakarya yang agung, dari ribuan masyarakat yang berpartisipasi untuk mengihiasi pagoda ini dengan ribuan berlian dan batu delima.


Oleh karena itu, mereka hanya mempersembahkan sesuatu yang terbaik kepada pagoda-pagoda, terutama Shwedagon yang agung — lambang dari Buddha. Hasilnya menjadikan pagoda Shwedagon sebagai tempat penyimpanan sesuatu yang berharga dan terbaik dalam kebudayaan Myanmar – arsitektur, pahatan, kesenian, kerajinan tangan, dan lain sebagainya.

Dengan kata lain, pagoda Shwedagon merupakan museum unik untuk karya seni dan kerajinan tangan Myanmar. Itu sebabnya kompleks Shwedagon dijadikan sebagai tempat tujuan wisata utama. Dari tangga hingga bangunan-bangunan yang banyak terdapat disekitarnya dan pagoda Shwedagon itu sendiri, semuanya mengandung keindahan dan keagungan. Shwedagon merupakan tempat pemujaan paling sakral di dunia dan juga karya seni arsitektur yang hebat.

Sebagian besar bangunan-bangunan di sekeliling pagoda didekorasi dengan lukisan-lukisan dan arca-arca terbaik, di Myanmar, sehingga dengan belajar hanya beberapa jam saja tentang pagoda tersebut dan lingkungannya, dapat memberikan gambaran yang baik tentang tingginya nilai kesenian dan keahlian masyarakat Myanmar.


Adanya beberapa gempa bumi yang terjadi turut mendatangkan kerusakan pada pagoda Shwedagon. Kerusakan yang sangat parah dialami pada bencana gempa bumi di tahun 1768 yang meruntuhkan puncak stupa. Namun tak lama kemudian segera diadakan pembangunan kembali oleh raja Hsinbyushin dari dinasti Konbaung. Sebuah hti atau mahkota didonasikan oleh Raja Mindon Min, pada tahun 1871, setelah beberapa daerah di Myanmar dianeksasi Inggris. Selanjutnya gempa bumi yang cukup kuat di tahun 1970 juga sempat mendorong tiang mahkota dan cukup mengaburkan pandangan kearah puncak stupa.

Di dalam kompleks pagoda, terdapat  empat jalan setapak tertutup, yang mengarah ke Paya, yaitu suatu tempat yang akan membawa seseorang ke atas bukit Singuttara dan mimbar pagoda. Baik pintu masuk selatan dan utara mempunyai pilihan lift atau tangga, sedangkan pintu masuk barat terdapat eskalator.
Untuk merasakan suasana yang otentik, dianjurkan untuk masuk melalui tangga timur, karena akan melewati biara dan berbagai pedagang yang menjual kebutuhan biara.

Jalur terdekat dari pintu masuk utama, adalah melalui jalan Schwedagon Paya di pintu masuk selatan. Pintu masuk ini dijaga oleh dua chinthe setinggi 18 kaki (mitos singa-naga). Di sini para wisatawan harus melepas sepatu dan kaus kaki sebelum menaiki tangganya.

Selama melewati tangga, terdapat toko-toko yang menjual bunga (baik yang asli dan kertas) untuk persembahan, gambar Buddha, dupa, barang antik dan barang-barang lainnya. Ketika matahari bersinar cerah, pancaran warna keemasan yang luar biasa akan terlihat sangat menakjubkan, saat melangkah menuju bagian puncak kompleks kuil.

Bangunan utama di kompleks Pagoda Schwedagon yang menjadi pusat perhatian seluruh wisatawan adalah Stupa besar. Jalur tikar diletakkan di sekitarnya untuk melindungi kaki para wisatawan marmer panas yang panas.

Setiap inci dari stupa besar ini ditutupi dengan emas. Sementara bagian atasnya ditaburi dengan berlian, dengan total lebih dari 2.000 karat.

Stupa utama didukung sebuah alas persegi yang berdiri setinggi 6,4 meter di atas panggung. Pengaturan ini terpisah dari stupa lainnya. Pada panggung tersebut, terlihat stupa-stupa kecil dimana yang berukuran paling besar berdiri di empat arah mata angin, ukuran sedang di empat sudut, dan 60 stupa kecil lainnya di sekitar perimeter.

Selain stupa utama, masih ada beberapa bagian lain yang menarik untuk dilihat dalam balutan arsitektur yang unik dan khas. Ditambah nuansa emas di hampir keseluruhan kompleks pagoda, yang senantiasa akan menimbulkan decak kagum.

Masa Penjajahan Inggris

Mereka yang akan melakukan puja di pagoda emas itu pastilah tanpa alas kaki, dan para pengunjung yang hendak memasuki pagoda diminta melepaskan sepatunya. Dalam sepanjang sejarah, dan sejak kedatangan bangsa Inggris, melepaskan sepatu merupakan isu senditif yang bisa menjadi pemicu unjuk rasa dan pemberontakan. Banyak kejadian yang dialami pagoda Shwedagon selama penjajahan Inggeris dan sebanyak itu pula pagoda ini menyimpan kenangan peristiwa heroik bangsa Burma.

Dua abad setelah Inggris mendarat pada 11 Mei 1824 berlangsung perang yang dikenal sebagai perang pertama bangsa Burma dengan Inggris. Semasa perang itu Inggris sangat tertarik dengan pagoda itu dan menjadikan Pagoda Shwedagon itu sebagai sebuah benteng pertahanan dan pusat komando untuk memantau seluruh kota, dan ketika mereka meninggalkannya dua tahun kemudian stupa itu pun dibiarkan terlantar begitu saja.


Penjarahan, vandalisme dan upaya pencurian juga tidak luput terhadap benda-benda berharga yang ada di dalam pagoda tersebut. Pernah seorang pimpinan tentara melakukan penggalian sebuah terowongan menuju ke dalam stupa untuk menemukan sesuatu yang dapat dijadikan senjata. Maha Gandha Bell, dengan berat 23 ton yang didonasikan oleh Raja Singu dan yang secara populer dikenal sebagai Singu Bell, juga pernah dikeluarkan. Tetapi, ketika dalam perjalanan dengan kapal, untuk dibawa Calcutta, Maha Gandha Bel ini tenggelam ke dalam sungai. Kejadian yang serupa juga pernah terjadi pada benda berharga lainnya yaitu Dhammazedi Bell yang hendak dibawa oleh petualang Portugis, Philip de Brito y Nicote, tahun 1608.

Pada perang raya Burma-Inggris yang kedua, Bangsa Inggris kembali menduduki Pagoda Shwedagon di bulan April 1852. Selama 77 tahun berikutnya hingga tahun 1929, pagoda tersebut berada di bawah kontrol militer Inggeris, meskipun masyarakat tidak dilarang bila hendak mengunjunginya menuju Paya.


Sebagai Arena Perjuangan


Selanjutnya Pagoda Shedagon ini kerap dijadikan arena perjuangan rakyat. Di tahun 1920 misalnya, para mahasiswa Burma dengan di sebuah paviliun di sebelah selatan Pagoda mengadakan pertemuan dalam rangka merencanakan unjuk rasa memprotes undang-undang Universitas yang baru yang hanya memberi keuntungan bagi elit berkuasa dan ditopang oleh hukum kolonial. Tempat ini sekarang dijadikan sebagai tempat untuk peringata hari Nasional Bangsa Burma (National Day). Selama perang kedua mahasiswa juga melakukan perjuangan yang bersejarah di tahun 1936 dengan mengambil teras pagoda Shwedagon sebagai kampus pergerakannya.

Pagoda Shwedagon juga menjadi tempat dan titik tujuan aksi para pekerja tambang di tahun 1938, yang melakukan protesnya dengan berjalan kaki dari ladang minyak di Chauk dan Yenangyaung di Burma Tengah menuju Rangoon. Perjuangan ini juga didukung oleh masyarakat luas termasuk mahasiswa yang dikenal sebagai “Revolusi 1300”yang juga memprotes para tentara yang bersepatu boot untuk melepaskan sepatunya ketika berada di halaman pagoda.


Ketika terjadi perjuangan kemerdekaan, pagoda ini kembali menjadi tempat perlawanan yang bersejarah lainnya. Pada Januari 1946, jenderal Aung San mengadakan pertemuan massa di pagoda Shwedagon dalam menuntut kemerdekaan negerinya, dari kolonial Inggeris.

 


Kemudian 42 tahun kemudian puteri Aung San, Aung San Suu Kyi juga mengadakan pertemuan massa di di tempat yang sama yang diikuti oleh 500.000 orang. Puteri pejuang kemerdekaan negeri Burma ini menuntut demokrasi dan mengadakan perlawanan terhadap rejim militer yang tengah berkuasa dalam peristiwa yang dikenal sebagai 8888, kebangkitan dan perjuangan kemerdekaan kedua.

Bila ingin berkunjung, para wisatawan dapat datang hari apa saja mulai pukul 5.00-22.00 waktu setempat dengan biaya masuk tertentu. Untuk mengabadikan sebuah foto, diharuskan meminta izin terlebih dahulu dan biasanya dikenakan biaya tambahan yang sama dengan biaya masuknya. 

Galeri Gambar 






 



2 comments: