Update : 08/03/12
Nyeri, menurut International Association for Study of Pain (IASP), adalah merupakan pengalaman sensoris subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan, yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan yang nyata, berpotensi rusak, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
Nyeri akibat kerusakan jaringan misalnya terjadi pada nyeri akibat luka operasi. Berpotensi rusak misalnya pada nyeri dada karena penyakit jantung (Angina Pectoris), dimana timbul nyeri sebagai pertanda akan terjadi kerusakan atau berpotensi terjadi kerusakan pada otot- otot jantung bila tidak ditangani secara benar. Menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan, misalnya nyeri yang timbul setelah sembuh dari penyakit herpes (Neuralgia Pasca Herpetica), dimana terjadi nyeri meskipun tidak ada kerusakan jaringan.
Rasa nyeri adalah anugerah dari Tuhan dan merupakan masalah unik, karena sebagai suatu tanda mekanisme perlindungan diri, contoh sederhana bila tangan menyentuh bara api maka pada orang normal akan merasakan panasnya bara api kemudian secara spontan akan menjauhkan tangan dari sumber panas tersebut. Bisa dibayangkan seandainya kita tidak bisa merasakan panas atau nyeri maka akan terbakarlah tangan oleh bara api tersebut.
Bila nyeri tidak ditangani secara benar maka dapat menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut, contohnya nyeri setelah operasi, nyeri setelah sembuh dari penyakit herpes, bila tidak ditangani secara benar, maka akan menjadi nyeri kronis yang merupakan permasalahan besar dan sulit ditangani, karena terjadi perubahan ekspresi dari saraf-saraf. Nyeri seperti inilah yang diklasifikasikan sebagai nyeri kronis yang ditandai dengan adanya persepsi nyeri tanpa kerusakan jaringan.
Mekanisme Nyeri
Seseorang baru merasakan sensasi nyeri rangsangan nyeri yang timbul mengalami proses transduksi, transmisi, modulasi dan kemudian dipersepsikan sebagai nyeri. Transduksi adalah rangsang nyeri diubah menjadi depolarisasi membran reseptor yang kemudian menjadi impuls saraf. Transmisi, saraf sensoris perifir yang melanjutkan rangsang ke terminal di medula spinalis disebut sebagai neuron aferen primer, jaringan saraf yang naik dari medula spinalis ke batang otak dan talamus disebut neuron penerima kedua, neuron yang menghubungkan dari talamus ke kortek serebri disebut neuron penerima ketiga. Modulasi nyeri dapat timbul di nosiseptor perifer, medula spinalis atau supraspinal. Modulasi ini dapat menghambat atau memberi fasilitasi. Persepsi, nyeri sangat dipengaruhi oleh faktor subyektif, walaupun mekanismenya belum jelas
Fisiologi perjalanan nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh
yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan
sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas, yang berada di dalam kulit, yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat, yang secara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor (nosiceptor), secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (cutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral. Karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal
dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya
mudah untuk dilokalisasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan
serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det), yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C
Merupakan
serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det), yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit
dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik
dalam, meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah,
syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan
sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis
ketiga adalah reseptor viseral. Reseptor ini meliputi organ-organ
viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamari.
Alur Nyeri
Reseptor nyeri yang jumlahnya jutaan di tubuh, akan menerima rangsangan nyeri yang kemudian dibawa ke spinal cord yaitu pada daerah kelabu dilanjutkan ke traktus spinothalamikus selanjutnya ke korteks serebri. Mekanismenya sebagai berikut ;
- Alur nyeri dari tangan yang terbakar mengeluarkan zat kimia bradykinin, prostaglandin, kemudian merangsang ujung reseptor saraf yang kemudian membantu transmisi nyeri dari tangan yang terbakar ke otak.
- Impuls disampaikan ke otak melalui nervus ke kornu dorsalis pada spinal cord.
- Pesan diterima oleh thalamus sebagai pusat sensori pada otak.
- Impuls dikirim ke korteks, dimana intensitas dan lokasi nyeri dirasakan.
- Penurunan nyeri dimulai sebagai signal dari otak, turun melalui spinal cord.
- Pada kornu dorsalis zat kimia seperti endorfin dikeluarkan untuk menurunkan intensitas nyeri.
Teori “Gate Control”
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat
menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori
yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, meskipun demikian, teori
gerbang kendali nyeri (Gate Control Teory) dianggap paling relevan.
Teori gate control
dari Melzack dan Wall (1965) menyatakan bahwa impuls nyeri dapat
diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf
pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah
pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup.
Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan
nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari
neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak akan mengatur proses
pertahanan ini. Neuron delta-A dan C akan melepaskan substansi C melepaskan
substansi P untuk mentransmisikan impuls melalui mekanisme pertahanan.
Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter
penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A,
maka akan menutup mekanisme pertahanan.
Diyakini, mekanisme penutupan ini
dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan
lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor,
apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C,
maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi
nyeri.
Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat
kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf
desenden akan melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator
ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi
P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya
untuk melepaskan endorfin.
Jadi secara singkat, teori ini menyatakan bahwa : saraf berdiameter kecil menghantarkan stimulus nyeri ke otak, sedangkan saraf berdiameter besar, berusaha menghambat transmisi impuls nyeri dari spinal cord ke otak. Mekanisme ini terjadi pada sel-sel substancia gelatinosa pada kornu dorsalis di spinal cord.
Zat- zat penghasil nyeri
Pembedahan akan menyebabkan kerusakan sel. Sebagai konsekuensinya, sel-sel akan mengeluarkan zat- zat kimia bersifat algesik yang berkumpul di sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. Zat mediator inflamasi tersebut diantaranya: bradikinin, histamin, katekolamin, sitokinin, serotonin, lekotrien, prostaglandin dan substansi-P. Nyeri dapat berlangsung berjam-jam sampai berhari-hari.
Mekanisme Nyeri Pada Trauma dan Pasca Bedah
Mekanisme Nyeri Pada Trauma dan Pasca Bedah
Respons
Stress (Stress Responds)
Respons
tubuh terhadap suatu pembedahan atau nyeri akan menghasilkan reaksi endokrin
dan immonologik, yang secara umum disebut sebagai respons stress. Respons
stress ini sangat merugikan penderita karena selain akan menurunkan cadangan
dan daya tahan tubuh, meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung, mengganggu
fungsi respirasi dengan segala konsekuensinya, juga akan mengundang resiko
terjadinya tromboemboli yang pada gilirannya meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.
Meskipun berbagai tehnik pengelolaan nyeri telah banyak
dikembangkan, namun mengontrol nyeri pascabedah per-se, tidak selalu menjadi
jaminan untuk tidak terjadinya respons stress yang turut berperan dalam
prognosis penderita pasca bedah.
Hipersensitifitas
dan plastisitas Susunan Saraf.
Penelitian
laboratorium menunjukkan bahwa menyusul suatu trauma atau operasi maka input
nyeri dari perifer ke sentral akan mengubah ambang reseptor nyeri baik
di perifer maupun di sentral (kornu posterior medulla spinalis).
Kedua reseptor nyeri tersebut di atas akan menurunkan ambang nyerinya, sesaat
setelah terjadi input nyeri.
Perubahan
ini akan menghasilkan suatu keadaan yang disebut sebagai hipersensitifitas baik
perifer maupun sentral. Perubahan ini dalam klinik dapat dilihat, dimana daerah
perlukaan dan sekitarnya akan berubah menjadi hiperalgesia. Daerah tepat
pada perlukaan akan berubah menjadi allodini, artinya dengan stimulasi
lemah, yang normal tidak menimbulkan rasa nyeri, kini dapat menimbulkan rasa
nyeri, daerah ini disebut juga sebagai hiperalgesia primer.
Di lain
pihak daerah di sekitar perlukaan yang masih nampak normal juga berubah menjadi
hiperalgesia, artinya dengan suatu stimuli yang kuat, untuk cukup menimbulkan
rasa nyeri, kini dirasakan sebagai nyeri yang lebih hebat dan berlangsung lebih
lama, daerah ini juga disebut sebagai hiperalgesia sekunder.
Kedua
perubahan tersebut di atas, baik hiperalgesia primer maupun hiperalgesia
sekunder merupakan konsekuensi terjadinya hipersensitifitas perifer dan
sentral menyusul suatu input nyeri akibat suatu trauma atau operasi. Ini
berarti bahwa susunan saraf kita, baik susunan saraf perifer maupun susunan
saraf sentral dapat berubah sifatnya menyusul suatu input nyeri yang kontinyu.
Dengan kata lain, susunan saraf kita dapat disamakan sebagai suatu kabel yang
kaku (rigid wire), tapi mampu berubah sesuai dengan fungsinya sebagai
alat proteksi.
Kemampuan
sususnan saraf kita yang dapat berubah mirip dengan plastik disebut sebagia
plastisitas susunan saraf (plasticity of the nervous system). Analgesia
Preemptif (Preemptive analgesia) Sekali susunan saraf mengalami
plastisitas, berarti akan menjadi hipersensitif terhadap suatu stimuli dan
penderita akan mengeluh dengan nyeri yang lebih hebat sehingga dibutuhkan dosis
obat analgesik yang tinggi untuk mengontrolnya.
Atas dasar itulah maka untuk
mengurangi keluhan nyeri pasca bedah, dilakukan upaya-upaya untuk mencegah
terjadinya plastisitas susunan saraf. Salah satu cara untuk mengurangi
plastisitas tersebut pada suatu pembedahan elektif adalah dengan menggunakan
blok saraf (epidural/spinal), sebab dengan demikian input nyeri dari perifer
akan terblok untuk masuk ke kornu posterior medulla spinal.
Dilain pihak jika
trauma terjadi sebelum operasi, maka pemberian opioid secara sistemik dapat
mengembalikan perubahan plastisitas susunan saraf kembali menjadi normal.
Upaya-upaya mencegah terjadinya plastisitas ini disebut sebagai analgesia
preemptif (preemptive analgesia), artinya mengobati nyeri sebelum terjadi (to
treat pain before it occurs).
Dengan cara demikian keluhan nyeri pascabedah
akan sangat menurun dibandingkan dengan keluhan nyeri pascabedah penderita yang
dioperasi dengan fasilitas anastesi umum. Hal ini telah banyak dibuktikan
melalui penelitian-penelitian klinik. Analgesia Balans (Balanced
Analgesia) Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa konsep analgesia
balans adalah upaya mengintervensi nyeri pada proses perjalanannya yakni pada
proses transduksi, transmisi dan proses modulasi.
Jadi merupakan intervensi
nyeri yang bersifat terpadu dan berkelanjutan, yang diilhami oleh konsep
plastisitas dan analgesia preemptif seperti disebutkan di atas.Pengalaman
menunjukkan bahwa dengan menggunakan analgesia preemptif, pada awalnya akan
diperoleh hasil yang cukup baik, tapi cara ini mempunyai keterbatasan waktu.
Tidak mungkin analgesia preemptif dapat dipertahankan beberapa hari sampai
proses penyembuhan usai. Selain iti epidural kontinyu dengan menggunakan
anastesi lokal, juga memiliki keterbatasan seperti disebutkan sebelumnya.
Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa analgesia preemptif, walaupun hasilnya
sangat baik terutama dalam mencegah terjadinya plastisitas pada kornu
posterior, namun memiliki keterbatasan, yakni sulitnya dipertahankan selama
proses penyembuhan pascabedah. Disinilah keunggulan dari analgesia balans
dimana intervensi nyeri dilakukan secara multimodal dan berkelanjutan.
Multimodal, dimaksudkan bahwa intervensi dilakukan pada ketiga proses perjalanan
nyeri yakni pada proses transduksi dengan menggunakan NSAID, pada
proses transmisi dengan anastetik lokal, dan pada proses modulasi
dengan opioid.
Dengan
cara ini terjadi penekanan pada proses transduksi dan peningkatan proses
modulasi, guna mencegah terjadinya proses hipersensitivitas baik di perifer
maupun di central. Dengan kata lain, analgesia balans dapat menghasilkan selain
pain free juga stress responses free. Dengan regimen analgesia balans ini akan
menghasilkan suatu analgesia pascabedah yang secara rasional akan menghasilkan
analgesia yang optimal bukan saja waktu istirahat, tapi juga dalam keadaan
mobilisasi.
Nyeri dapat dibedakan berdasarkan :
·
1. Berdasarkan kualitasnya,
Berdasarkan kualitasnya, nyeri dapat dibagi menjadi: nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri berat. Pada nyeri ringan, biasanya pasien secara obyektif dapat berkomunikasi dengan baik. Pada nyeri sedang, secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. Pada nyeri berat, secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang.
Nyeri memiliki suatu ambang / “treshold” dan ambang ini dicapai secara berbeda. Ambang dicapai oleh karena adanya hambatan transmisi impuls nyeri dari spinal cord ke otak. Mekanisme ini terjadi pada sel-sel substansia gelatinosa pada kornu dorsalis di spinal cord.
2. Berdasarkan sumbernya
- Cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit/ jaringan subkutan. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar), contoh: terkena ujung pisau atau gunting.
- Deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari lapisan dinding tubuh, seperti ligament, pembuluh darah, tendon dan syaraf, nyeri menyebar dan lebih lama daripada cutaneus, contoh: sprain sendi.
- Visceral (pada organ dalam), stimtlasi reseptor nyeri dalam rongga perut (abdomen), kepala (cranium) dan dada (thorak). Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan.
3. Berdasarkan penyebab
- Fisik, bisa terjadi karena stimulus fisik, contoh : patah tulang paha (fraktur femur)
- Psycogenic, terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari. Contoh : orang yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya.
Biasanya nyeri dapat terjadi secara “concomitants”, karena perpaduan 2 sebab tersebut
4. Berdasarkan lama/durasinya
- Nyeri akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cedera, atau intervensi bedah dan memiliki mula yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan . Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya cidera atau penyakit yang akan datang. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak.
Nyeri akut biasanya akan berakhir dalam periode singkat sampai dengan kurang dari 6 bulan. Nyeri akut biasanya ditandai dengan tanda-tanda inflamasi, biasanya berlangsung beberapa hari sampai proses penyembuhan. Tanda-tanda utama inflamasi adalah: rubor (kemerahan jaringan), kalor (kehangatan jaringan), tumor (pembengkakan jaringan), dolor (nyeri jaringan), fungsio laesa (kehilangan fungsi jaringan).
Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut secara serius mengancam proses penyembuhan klien, untuk itu harus menjadi prioritas perawatan. Rehabilitasi bisa tertunda dan hospitalisasi bisa memanjang dengan adanya nyeri yang tidak terkontrol.
- Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut.
Seseorang yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik dan psikologis.
Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari.
- Nyeri kanker adalah merupakan kombinasi dari nyeri akut dan nyeri kronis dimana ada suatu proses inflamasi kemudian nyeri berlangsung terus- menerus sesuai dengan perkembangan kankernya, bilamana kanker tidak ditangani.
5. Berdasarkan lokasi/letak
- Radiating pain, dimana nyeri menyebar dari sumber nyeri ke jaringan di dekatnya , contoh : nyeri infark miokard.
- Referred pain, dimana nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yang diperkirakan berasal dari jaringan penyebab.
- Intractable pain, adalah nyeri yang sangat susah dihilangkan, contoh: nyeri kanker, keganasan.
- Phantom pain, adalah sensasi nyeri dirasakan pada bagian tubuh yang hilang, contoh bagian tubuh yang diamputasi atau bagian tubuh yang lumpuh karena injuri medulla spinalis
6. berdasarkan Kecepatan Timbul
- Nyeri cepat: bila diberikan stimulus nyeri maka rasa nyeri cepat timbul dalam waktu kira-kira 0,1 detik. Rasa nyeri cepat juga digambarkan dengan banyak nama pengganti seperti : rasa nyeri tajam, rasa nyeri tertusuk, rasa nyeri akut, dan rasa nyeri elektrik
- Nyeri lambat: timbul setelah 1 detik atau lebih dan kemudian secara perlahan bertambah selama beberapa detik dan kadang kala bahkan beberapa menit. Rasa nyeri lambat juga mempunyai banyak nama tambahan seperti rasa nyeri terbakar lambat, nyeri pegal, nyeri berdenyut, nyeri mual dan nyeri kronik.
Respon Terhadap Nyeri
1. Respons sistemik
Nyeri akut berhubungan dengan respons neuroendokrin sesuai derajat nyerinya. Nyeri akan menyebabkan peningkatan hormon katabolik dan penurunan hormon anabolik. Manifestasi nyeri dapat berupa hipertensi, takikardi, hiperventilasi (kebutuhan Oksigen dan produksi karbon dioksida meningkat), tonus sfingter saluran cerna dan saluran air kemih meningkat (ileus, retensi urin)
Nyeri akut berhubungan dengan respons neuroendokrin sesuai derajat nyerinya. Nyeri akan menyebabkan peningkatan hormon katabolik dan penurunan hormon anabolik. Manifestasi nyeri dapat berupa hipertensi, takikardi, hiperventilasi (kebutuhan Oksigen dan produksi karbon dioksida meningkat), tonus sfingter saluran cerna dan saluran air kemih meningkat (ileus, retensi urin)
2. Respon perilaku
Respon perilaku terhadap nyeri antara lain
Respon perilaku terhadap nyeri antara lain
- Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
- Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir, Diam menahan)
- Gerakan tubuh (Gelisah, Melindungi area yang nyeri, Imobilisasi, Menghindari dari stimulus, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan)
- Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri)
3. Respon Fisiologik
- Respon simpatetik (Pada nyeri akut, ringan, moderat atau superficial) dan merupakan respon homeostatis
- Peningkatan tekanan darah
- Peningkatan denyut nadi dan pernafasan
- Dilatasi pupil
- Ketegangan otot dan kaku
- Bagian tubuh perifer akan terasa dingin
- Sering buang air kecil
- Kadar gula darah meningkat
- Penurunan motilitas saluran cerna
- Dilatasi saluran bronkhial
- Respon Parasimpatetik (pada nyeri berat) dan menunjukkan bahwa tidak mampu lagi melakukan homeostatis.
- Muka pucat
- Mual dan muntah
- Penurunan kesadaran
- Penurunan tekanan darah
- Penurunan nadi
- Pernafasan cepat dan tidak teratur
- Kelelahan, keletihan dan lemah
4. Respon Afektif
- Diam tidak berdaya
- “withdrawl” (menolak)
- Depresi
- Marah
- Takut
- Tidak punya harapan
- Tidak punya kekuatan
5. Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atat arti nyeri bagi klien. Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
- Bahaya atau merusak
- Komplikasi seperti infeksi
- Penyakit yang berulang
- Penyakit baru
- Penyakit yang fatal
- Peningkatan ketidakmampuan
- Kehilangan mobilitas
- Menjadi tua
- Sembuh
- Perlu untuk penyembuhan
- Hukuman untuk berdosa
- Tantangan
- Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
- Sesuatu yang harus ditoleransi
- Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman
dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan,
persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
Fase Pengalaman Nyeri
Meinhart & McCaffery, mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase
ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini
bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang
belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut.
Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan
informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase
ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.
Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan
orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan
stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap
nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri,
sebelum
nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan
endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan
tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap
individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan
individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Seseorang bisa saja mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi
wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien
itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang
menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti
apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang
yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus
seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase
ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien
masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,
sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila
klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath)
dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam
membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.
Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri
- Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal, jika nyeri diperiksakan.
- Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (contoh: tidak pantas kalau laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri)
- Kultur, etnis
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri. (ex: suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri)
- Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
- Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
- Ansietas atau stressor lain
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
- Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
- Pola koping (Strategi Menyelesaikan Masalah = Coping strategy)
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
- Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan perlindungan.
- Psikis.
Seorang tukang ketik dan seorang petani sama- sama mengalami luka pada jari tangan, maka si tukang ketik akan merasakan lebih nyeri pada jari tangan, karena berhubungan dengan psikis mengingat jarinya identik dengan alat untuk mencari nafkah, sedangkan seorang petani misalnya cenderung akan merasakan kurang nyeri karena menganggap luka di jari tangan sebagai hal yang biasa dan mengabaikan saja.
Pengukuran skala nyeri
Persepsi nyeri mencakup proses sensasi ketika stimulus nyeri terjadi dan berhubungan dengan interpretasi nyeri oleh seseorang. Ambang nyeri adalah intensitas terendah dari stimulus nyeri yang dapat menyebabkan seseorang mengenal nyeri. Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual. Sebenarnya ambang nyeri itu jika tanpa adaptasi, sama pada setiap orang, akan tetapi proses adaptasi setiap orang tidaklah sama, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan ambang nyeri pada setiap orang, karena adanya perubahan sesuai dengan adaptasi yang dialami setiap orang.
Nyeri pada dasarnya adalah pengalaman seseorang individu (personal
experience). Jadi dengan demikian persepsi nyeri itu sangat individual dan
unik pada setiap orang. Durasi, berat atau Intensitas, Kualitas, Periode dari
Nyeri. Nyeri itu suatu perasaan campuran dan terjadi pada berbagai tingkatan.
Pengetahuan
tentang nyeri penting untuk menyusun program pengobatan nyeri setelah
pembedahan. Derajat nyeri dapat diukur dengan macam-macam cara. Pengukuran
nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon
fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik
ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri. Pengukuran lain untuk menilai nyeri, misalnya
tingkah laku pasien, skala verbal dasar, skala analog visual.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah
tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali
diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau
parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien.
Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Secara sederhana
nyeri setelah pembedahan pada pasien sadar dapat langsung ditanyakan pada yang
bersangkutan dan biasanya dikategorikan sebagai: tidak nyeri (none), nyeri
ringan (mild, slight), nyeri sedang (moderate), nyeri berat (severe) dan sangat
nyeri (very severe, intolerable).
Berikut adalah beberapa alat untuk yang biasa digunakan untuk menilai derajat nyeri :
1) skala intensitas nyeri deskritif
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale,
VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang
tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta
klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat
juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan
seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.
2) Skala identitas nyeri numerik
Skala penilaian numerik (Numerical rating scales,
NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam
hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling
efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm.
3) Skala analog visual
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS)
tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili
intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi
keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang
lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada
rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.
4) Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
- 0 : Tidak nyeri
- 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
- 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
- 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
- 10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut
mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka
deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja
dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi
perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau
saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami
penurunan atau peningkatan.
Pengelolaan Nyeri
Metoda pengobatan nyeri, sesuai dengan step ledder dari WHO, maka untuk mengatasi nyeri ringan digunakan obat anti inflamasi non steroid, untuk mengatasi nyeri sedang digunakan obat anti inflamasi non steroid dikombinasi dengan golongan opioid lemah dan untuk mengatasi nyeri berat digunakan obat anti inflamasi non steroid dikombinasi dengan golongan opioid kuat.
Selain pengobatan diatas kadang dibutuhkan juga pengobatan tambahan diantaranya obat sedatif bila nyeri disertai stress, pengobatan akupunktur untuk mengatasi nyeri kronik, sampai blok anestesi. Untuk masyarakat umun bila mengalami nyeri disarankan untuk segera berkonsultasi ke dokter untuk mendapatkan pengobatan sesuai dengan masalah nyeri yang dialami.
Metoda pengobatan nyeri dapat dengan cara sistemik (oral, rectal, transdermal, sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau perinfus). Cara yang sering digunakan dan paling digemari ialah intramuscular opioid.
Metoda regional misalnya dengan epidural opioid atau intraspinal opioid. Kadang- kadang digunakan metoda infiltrasi pada luka operasi, sebelum pembedahan selesai misalnya pada sirkumsisi atau pada luka operasi usus buntu (apendektomi).
Begitu pentingnya pengetahuan nyeri, maka saat ini nyeri merupakan tanda vital keenam, setelah kesadaran, tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, dan suhu tubuh.
mohon izin om, sumbernya dan pengarangnya dari mana ya?
ReplyDelete